HOME

31 Mei, 2022

PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang Masalah

 Persis sebagai organisasi masyarakat Islam, keberadaannya cukup diperhitungkan seperti halnya ormas NU dan Muhammadiyah. Persis terbentuk di Bandung dan mengusung purifikasi agama dari segala macam adat istiadat yang mengandung bid’ah dan khurafat, terlebih takhayul dan hal-hal mistik lainnya. Sebagai ormas Islam tentunya ia memiliki kaidah-kaidah dan landasan-landasan sendiri dalam memahami Islam. Antara lain, berpegang kembali kepada al-Quran dan sunah dalam mengambil fatwa.

Paham ini diprakarsai oleh tokoh-tokoh Persis yang sangat berpengaruh, A. Hassan diantaranya. A. Hassan disebut sebut sebagai pembaharu Islam di Indonesia dari kalangan Persis. Ia merupakan salah satu ulama panutan Persis khususnya di bidang hadis. Bahkan ada yang mengatakannya sebagai rujukan kaum Persis. A. Hassan menyeru umat Islam Indonesia untuk mempertanyakan kembali semua aktivitas, ritual adat dan amalan-amalan umat sehari-hari, adakah dalil dalam otoritas hukum Islam, al-Quran dan hadis yang mengabsahkannya aktivitasnya.

Sebagai contoh, A. Hassan tidak sepakat dengan adanya acara makan-makan di rumah keluarga mayit, tentunya dzikir di dalamnya pun menjadi tidak absah juga. Ia juga menolak ucapan “sayyidina” ketika melafalkan shalawat dalam bacaan tasyahud.

Maka, dalam makalah sederhana ini penulis akan mencoba mengkaji pemikiran-pemikiran A. Hassan, terlebih dalam bidang disiplin ilmu hadis. Diawali dengan riwayat hidupnya serta sekelumit wawasan tentang Persis. Berikutnya masuk kepada pembahasan pemikirannya beserta implikasinya terhadap Persis, umat Islam Indonesia dan ilmu hadis. 


    B.  Rumusan Masalah

1.    Siapakah A. Hassan itu?

2.    Apa Persis itu ?

3.    Seperti apa pemikiran-pemikiran A.Hassan?

4.    Apa sajakah dampak dan bentuk kontribusi dari pemikiran A. Hassan?

 

    C.  Tujuan Penelitian

1.    Mengetahui biografi seorang A. Hassan

2.    Mengerti apa itu Persis

3.    Mengetahui pemikiran A. Hassan, khususnya dalam bidang hadis

4.    Memahami dampak dan kontribusi pemikiran A. Hassan

  

BAB II

PEMBAHASAN 

    A.    Biografi A. Hassan

Bernama lengkap Hassan bin Ahmad, namun lebih populer dengan nama Hassan Bandung ketika tinggal di Bandung. Ia juga kerap disebut Ahmad Hassan Bangil ketika pindah ke daerah Bangil Pasuruan. Sementara dalam buku-bukunya, seringkali tertulis dengan nama A. Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya Ahmad berasal dari India dan bergelar Pandit, ia merupakan penulis dan wartawan beserta pemimpin majalah Nurul-Islam di Singapura. Berangkat dari latar belakang profesinya, tak heran bila ayahnya bercita-cita, menginginkan sang buah hati mengikuti jejaknya menjadi seorang penulis. Sedangkan ibunya, Maznah berasal dari Madras, India. Namun, ibunya ini masih memiliki nasab dari Mesir. Kedua orang tua Hassan menikah di Surabaya lalu merantau ke Singapura. Disinilah Hassan lahir dan tumbuh besar.[1]

Usia 7 tahun, Hassan mulai mempelajari al-Quran dan pengetahuan dasar agama Islam dan mampu ia selesaikan dalam 2 tahun saja. Lalu ia masuk ke sekolah Melayu selama 4 tahun, dilanjutkan dengan mempelajari berbagai bahasa seperti Arab, Melayu, Tamil dan Inggris selama 4 tahun juga. Setelah itu proses pembelajarannya ia jalani dengan mendatangi para ulama. Seperti, Haji Ahmad Kampung Tiung untuk mendalami fikih, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh dalam bidang nahwu dan sharaf, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili dalam bidang bahasa Arab, Abdul Latif, Haji Hasan dan Syekh Ibrahim India.[2]

Disamping belajar, ia juga gemar bekerja dan berbisnis. Pada umur 12 tahun ia bekerja di toko iparnya, Sulaiman. Tercatat dalam berbagai referensi seorang Hassan pernah mengasah keterampilannya dalam bertenun dan bertukang. Ia juga pernah membantu ayahnya di usaha percetakan. Menginjak usia remaja, kiranya cita-cita ayahnya terkabul. Tulisan Hassan mulai terpublikasikan. Ia menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu, Singapura pada tahun 1909. Tulisan Hassan sebagaimana yang dipaparkan Yunasril Ali seringkali mengandung kritik konstruktif untuk kemajuan Islam.[3]

Ditengah kesibukannya menulis, ia juga mengajar. Hassan menjadi guru di madrasah untuk orang India di beberapa Singapura. Selain itu, ia juga masih mencari penghasilan tambahan. Berbagai pekerjaan ia jalani. Seperti pedagang batu permata, agen es, makelar pakaian, penambal ban mobil. Selama setahun ia pernah menjadi kerani kepala di Pilgrim Office (kantor urusan haji yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf) yang mengurus perjalanan haji di Jeddah.[4]

Pada tahun 1921 ia merantau ke Surabaya guna mengelola toko guru sekaligus pamannya, Haji Abdul Latif. Di Surabaya ia menemukan adanya perseteruan yang tengah memanas antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Dimana Kaum Muda menginginkan purifikasi, yakni menghapus semua hal yang tidak mempunyai landasan dari al-Quran dan Sunah. Sementara Kaum Tua teguh mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat.[5]

Awalnya, Hassan cenderung dengan apa yang digagas Kaum Tua. Terlebih ketika ia telah bertemu KH. Wahab Hasbullah (tokoh NU dan wakil Kaum Tua) keduanya menjadi teman yang cukup dekat. Namun dalam membahas berbagai masalah yang tengah muncul, nampaknya Hassan belum merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh Kaum Tua. Di waktu yang sama ia bertemu dengan Pakih Hasyim, seorang pedagang dan ulama yang berasal dari Sumatra Barat yang notabene banyak mendapat masukan pemikiran pembaharuan dari Kaum Muda Sumatra Barat. Terjalinlah persahabatan di antara keduanya sebagaimana Hassan bersahabat dengan KH. Wahab Hasbullah sebelumnya. Bahkan, ketika Pakih Hasyim meninggal dunia menuju baka, Hassan memungut anaknya yang bernama Noer.[6]

Dalam berbisnis, nasibnya tidak begitu mujur. Toko Haji Abdul Latif yang ia kelola tidak membuahkan hasil baik sampai akhirnya ia serahkan kembali kepada pemiliknya. Lalu ia membuka usaha tambal ban, lagi-lagi usaha ini tidak bertahan lama, karena ia memperoleh kepercayaan untuk mengasah tenun lagi di Kediri. Beberapa bulan di Kediri ia merasa keterampilan yang ia miliki belum mampu dan sanggup untuk mengelola sebuah perusahaan tenun. Akhirnya tahun 1924 ia pergi ke Bandung untuk meneruskan belajar tenun. Di sana ia tinggal di kediaman keluarga KH. M. Yunus, salah seorang pendiri Persis.[7]

Berangkat dari situ, ia kembali aktif dalam aktivitas keagamaan. Apalagi, pabrik tenun yang ia kelola di Bandung sejak 1926 ini juga tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Karena kesulitan fasilitas benang dan celup di sisi lain modalnya pun terbatas. Walhasil pabrik tenun tersebut ditutup. Setelah itu ia pun fokus menulis dan memajukan Persis. Amanat yang ia emban ketika itu cukup banyak. Hassan harus bertabligh setiap minggu, menjadi guru Persis, memberi kursus kepada pelajar-pelajar didikan barat, menyusun berbagai karya tulis untuk majalah dan buku serta berdebat dimana saja.[8]

Tulisan pertamanya yang mendapat sambutan baik dari masyarakat ialah Tafsir al-Furqan yang dicetaknya sendiri. Mengingat dirinya sangat teguh untuk tidak menerima sedekah atau bantuan dari orang lain untuk hidup, ia menyusun dan mencetak serta menjual Tafsir al-Furqannya sendiri. Dari hasil inilah ia hidup. Ia manfaatkan mesin cetak pribadinya dan ia melakukan semuanya sendiri; dari menulis, mensetting, mencetak, menjilid, mengoreksi lalu menjualnya. Dalam berdakwah, ia tidak hanya menggunakan media cetak. Ia juga berdakwah melalui lisan dengan cara berdebat. Dirinya cukup ahli dalam perdebatan. Orang-orang yang kalah berdebat dengannya pun cukup banyak. Saking ahlinya dalam berdebat ia tidak memilih-milih lawan debatnya, siapapun, kapanpun dan dimanapun, dirinya siap melakukannya. Bahkan, ia bersedia untuk membiayai acara pelaksanaan debat tersebut.[9]

Pada masa inilah, di kota kembang ia bertemu dan berkenalan dengan Soekarno. Keduanya seringkali berdiskusi. Di sana juga ia berkenalan Mohammad Natsir hingga akhirnya Mohammad Natsir menjadi sahabat dan muridnya. Bersama Natsir, ia menerbitkan majalah Pembela Islam (terbit sampai 72 nomor) dan majalah al-Lisan (terbit sebanyak 58 nomor). Lewat majalah tersebut, sosok Hassan sebagai pembela, pembaharu, pemurni Islam mulai dikenal dan tersohor di seluruh nusantara, Malaysia dan Singapura.

Pada tahun 1941, setelah 17 tahun di Bandung dan Persis sudah banyak dikenal,  Hassan pindah ke Bangil Pasuruan. Dakwahnya ia lanjutkan dan berkembang di Bangil. Persis juga berkembang pesat di daerah Bangil. Selanjutnya di tahun 1956 ia berhaji di tanah suci. Akan tetapi ia jatuh sakit di tanah suci, ia pun pulang ke tanah air. Setelah itu, ia terkena infeksi yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Dalam keadaan sakit ia meninggal dunia diusianya yang ke 71.[10] Ia meninggal pada tanggal 10 November 1958.[11]

 

    B.     Karya Tulis A. Hassan

Selain dirinya aktif menulis di majalah-majalah. Hassan juga memiliki beberapa buku. Ia tergolong penulis produktif. Syafiq Mughni merekam setidaknya ada kurang lebih 81 buku karya A. Hassan. Sedangkan Dadan Wildan mencatat ada 80 karya Hassan. Berikut daftar buku karya A.Hassan yang penulis kutip dan olah dari kedua referensi tersebut:[12]

 No

Judul Buku

Tahun

Isi

Terbit/ Eksemplar

1

Pengajaran Shalat

1930

Shalat

45,000

2

Dosa-dosa Yesus

1930

Kristen

 

3

Debat Riba

1931

Riba

2,000

4

Al-Mukhtar

1931

Tarikh

8,000

5

Risalah Jum'ah

1931

Shalat Jum'at

4,000

6

Soal Jawab

1931

Fikih

7,000

7

Talqin

1931

Talqin

5,000

8

Al-Burhan

1931

Fikih

2,000

9

Al-Furqan

1931

Tafsir

2,000

10

Benarkah Muhammad itu Rasul

1931

Tauhid

 

11

Risalah Ahmadiyah

1932

Ahmadiyah

3,000

12

Kitab Riba

1932

Riba

2,000

13

Debat Talqin

1932

Talqin

7,000

14

Pepatah

1934

Pepatah

2,000

15

Debat Luar Biasa

1934

Debat

3,000

16

Debat Taqlid

1935

Taqlid

6,000

17

Debat Taqlid

1936

Taqlid

10,000

18

Surat-Surat Islam dari Endeh

1937

Umum

10,000

19

Al Hidayah

1937

Tafsir

2,000

20

Ketuhanan Yesus Menurut Bibel

1939

Kristen

4,000

21

Bacaan Sembahyang

1939

Shalat

15,000

22

Kesopanan Tinggi

1939

Akhlak

15,000

23

Kesopanan Islam

1939

Akhlak

2,000

24

Hafalan

1940

Hadis

5,000

25

Qaidah Ibtidaiyah

1940

Pelajaran Juz 'Amma

8,000

26

Hai Cucuku

1941

Akhlak

4,000

27

Risalah Kerudung

1941

Fikih

7,000

28

Islam dan Kebangsaan

1941

Paham Kebangsaan

6,000

29

An-Nubuwah

1941

Tauhid

8,000

30

Perempuan Islam

1941

 

7,000

31

Debat Kebangsaan

1941

Paham Kebangsaan

3,000

32

Tertawa

1947

Kritik

3,000

33

Pemerintahan Cara Islam

1947

Politik

5,000

34

Kamus Rampaian

1947

Kamus

4,000

35

A.B.C. Politik

1947

Politik

6,000

36

Merebut Kekuasaan

1947

Politik

4,000

37

Al-Manasik

1948

Haji

2,000

38

Kamus Persamaan

1948

Kamus

4,000

39

Al-Hikam

1948

Kata Hikam

4,000

40

First Step Before Learning English

1948

Bahasa

2,000

41

Al-Faraidh

1949

Harta Waris

10,000

42

Belajar Membaca Huruf Arab

1949

Pelajaran 

3,000

43

Special Edition/ Dictionary

1949

Kamus

2,000

44

Al-Hidayah

1949

Tafsir

6,000

45

Sejarah Isra Mi'raj

1949

Isra Mi'raj

6,000

46

Al-Jawahir

1950

Ayat-Hadis

5,000

47

Matan Ajrumiyah

1950

Nahwu

2,000

48

Kitab Tajwid

1950

Tajwid

8,000

49

Surat Yasin

1951

Tafsir

2,000

50

Is Muhammad a Prophet

1951

Tauhid

5,000

51

Muhammad Rasul ?

1951

Tauhid

5,000

52

Apa Dia Islam?

1951

Agama Islam

5,000

53

What is Islam?

1951

Agama Islam

3,000

54

Tashauf

1951

 

30,000

55

Al-Fatihah

1951

Bacaan al-Fatihah

5,000

56

At-Tahajji

1951

Pelajaran

5,000

57

Pedoman Tahajji

1951

Pelajaran

5,000

58

Syair

1953

Nasehat

2,000

59

Risalah Hajji

1954

Haji

2,000

60

Wajibkah Zakat?

1955

Zakat

3,000

61

Wajibkah Perempuan Berjum'at ?

1955

Fikih

4,000

62

Topeng Dajjal

1955

Ahmadiyah

3,000

63

Halalkah Bermadzhab

1956

Madzhab

7,000

64

Al-Madzhab

1956

Madzhab

7,000

65

Al-Furqan

1956

Tafsir

85,000

66

Bybel-Bybel

1958

Kristen

5,000

67

Isa Disalib

1958

Kristen

5,000

68

Isa dan Agamanya

1958

Kristen

5,000

69

Bulughul Maram

1959

Fikih

20,000

70

At-Tauhid

1959

Tauhid

15,000

71

Adakah Tuhan?

1962

Tauhid

12,000

72

Pengajaran Shalat

1966

Shalat

3,000

73

Dosa-dosa Yesus

1966

Kristen

3,000

74

Bulughul Maram II

 

Fikih

 

75

Hai Puteriku

 

Akhlak

 

76

Nahwu

 

Nahwu

 

77

Al-Iman

 

Tauhid

 

78

Aqaid

 

Tauhid

 

79

Hai Puteriku II

 

Akhlak

 

80

Ringkasan Islam

 

Agama Islam

 

81

Munazarah

 

Debat

 

82

Hai Puteraku

 

Akhlak

 

Diantara karya-karyanya yang paling populer adalah Tafsir al-Furqan, Soal Jawab Masalah Agama, Terjemah Bulughul Maram. Dari daftar bukunya terlihat A. Hassan tidaklah terpaku pada satu bidang keilmuan saja. Tetapi karya tulisnya sebagian besar mencakup Islam dari berbagai sisi, meliputi sisi akidah, syariat, adab dan etika, tafsir, hadis beserta bahasa.

    C.    Mengenal Persis

Persis atau Persatuan Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di Bandung oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan. Sebelumnya, ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang sifatnya kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok kajian. Mendirikan organisasi pada waktu itu bukanlah hal yang luar biasa, karena sejumlah organisasi, klub dan gerakan telah banyak yang berdiri untuk tujuan sosial, ekonomi, religious, pendidikan dan lain lain. Sebut saja Sarikat Islam, Budi Utomo atau Muhammadiyah sebagai contoh.[13]

Pendirian Persis merupakan usaha sejumlah umat Islam untuk memperluas diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada secara informal selama beberapa bulan. Latar belakang personil kajian ini semuanya adalah pedagang. Dua tokoh utama dalam diskusi ini adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus. Haji Zamzam telah menghabiskan tiga setengah tahun untuk belajar di Dar al-Ulum di Mekkah, lalu ia menjadi guru di Madrasah Darul Muta’allimun di Bandung sekitar 1910. Ia kenal dengan Ahmad al-Surkati, pendiri al-Irsyad dan pendukung awal pemikiran Islam fundamentalis di Indonesia. Sementara Muhammad Junus adalah seorang pedagang. Ia hanya pernah memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, tetapi ia tida pernah mengajar. Hanya saja minatnya untuk mempelajari agama tidak pernah hilang. Dengan kekayaannya ia mampu membeli kitab-kitab agama untuk dirinya sendiri dan anggota Persis lainnya.[14]

Jumlah anggota Persis pada masa awal tahun-tahun pertama kurang dari dua puluh orang. Syarat untuk menjadi anggota Persis ketika itu adalah ketertarikan pada agama dan umat Islam yang mewakili faksi Kaum Tua dan Kaum Muda pada mulanya dicatat di antara anggota-anggotanya. Sebelum tahun 1926, Persis tidak mendukung prinsip-prinsip modernis sebagai suatu organisasi, tetapi sejalan dengan keanggotaan campur meningkatkan studi Islam secara umum. Namun, tampaknya sudah ada kecenderungan di pihak Haji Zamzam untuk mempromosikan ide-ide fundamentalis, sehingga membuat jengkel pihak anggota yang cenderung mendukung pandangan tradisionalis.[15]

Terlebih ketika Ahmad Hassan bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1942, perspektif dan pemikirannya telah memberikan format dan individualitas nyata kepada Persis dan terang-terangan menempatkannya ke dalam barisan muslim modernis. Sistem keagamaan Ahmad Hassan menekankan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan sangat bergantung pada interpretasi dan implementasi yang benar terhadap hukum agama. Keyakinan Hassan bahwa ulama-ulama terkenal dan Imam –Imam besar Islam hanya dianggap sebagai “guru” yang pendapat-pendapatnya tidak boleh diterima secara buta. Maka dari itu, Hassan tidak mengikuti salah satu dari empat mazhab besar yang ada. Tetapi pendapat empat mazhab tidaklah salah asalkan tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan sunah.[16]

Pemikiran Ahmad Hassan secara umum mulai diterima oleh sebagian besar anggota Persis, tetapi juga berakibat pada penyingkiran anggota-anggota lain yang menganggap mazhab-mazhab sebagai pembimbing utama bagi kehidupan religious. Menjelang tahun 1926, terjadilah perpecahan antar anggota yang berbeda paham. Anggota yang tradisionalis memisahkan diri dari Persis dan mendirikan organisasi tandingan yang bernama Permoefakatan Islam. Sedang kelompok sisanya tetap mempertahankan nama Persatuan Islam, dan mengikrarkan diri bahwa mereka adalah gerakan Islam modernis.[17]

Memang perhatian Persis yang utama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Berbagai aktivitas mereka gelar demi terwujudnya cita-cita ini. Hal ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Penerbitan inilah yang menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya dan pesatnya perkembangan paham dan organisasinya.[18]

    D.    Pemikiran A. Hassan secara Umum

Formulasi doktrin dan keyakinan keagamaan Ahmad Hassan tidak tertulis dalam satu buku tertentu. Melainkan tersebar di beberapa buku penting yang masing-masing ia tulis untuk tujuan tertentu. Pertama, ada buku at-Tauhied yang menjelaskan keyakinan Hassan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, disamping untuk membantah konsep trinitas Kristen, pemujaan terhadap para wali dan praktik-praktik animisme yang masih dominan dan kental di Jawa. Kedua, kitab an-Nubuwah menggambarkan pikirannya tentang Nabi untuk membuktikan kepada kaum nasionalis, sekuler dan Kristiani, bahwa Muhammad adalah progresif dan sejalan dengan pemikiran saintifik. Kemudian, Islam dan Kebangsaan menjelaskan pandangannya tentang kewajiban manusia kepada Tuhan dan sesama umat manusia, disamping untuk menunjukkan kepada umat Islam, peran Islam yang sebenarnya dalam kehidupan publik.[19]

Dalam akidah dan pemahaman agama, Ahmad Hassan adalah seorang muslim Sunni. Pemahaman agamanya sangatlah sejalan dengan keyakinan-keyakinan dasar Muhammad Abduh dan Rashid Rida.[20]     

Selain itu, Hassan juga mempunyai empat prinsip dasar yang menjadi pokok pandangan-pandangannya. Yaitu, pertama sumber hukum Islam. Kedua, ijtihad, ittiba’ dan taklid. Ketiga, bid’ah. Keempat, faham kebangsaan.[21]

Sumber hukum menurutnya hanya ada dua. Yaitu al-Quran dan hadis. sedangkan ijma’ dan qiyas tidaklah berdiri sendiri tetapi harus merujuk kepada kedua sumber di atas. Islam telah sempurna dengan kedua sumber hukum tersebut. Ia hanya mengakui ijma’ yang dilakukan sahabat. Sebab, ia percaya bahwa mereka tidak akan menentukan suatu hukum bila tidak ada landasan dari Nabi. Ia juga membenarkan qiyas dalam masalah duniawi sebagai cara memutuskan hukum, asalkan lagi-lagi hukum itu diambil dari al-Quran dan sunah. Namun, ia menolak qiyas apabila dalam hal ibadah. Karena baginya qiyas dalam hal tersebut sama saja dengan menambahi hal baru dalam ritual ibadah. Baginya, setiap ibadah selain yang telah ditentukan Allah atau Rasulullah adalah bid’ah.[22]

Kemudian, ijtihad dan ittiba’ serta taklid adalah tiga jalan yang biasa dipakai umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Menurut Hassan, ijtihad mungkin atau bisa terjadi di setiap waktu, sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabiin dan masa-masa selanjutnya. Sebab pada dasarnya agama mengharuskan setiap orang untuk memahami dan mengamalkan agamanya melalui ijtihad. Kecuali bagi orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas atau memenuhi syarat, maka ia harus mengambil alternatif kedua, ittiba’. Untuk menjadi mujtahid, menurut Hassan, seseorang harus mengetahui bahasa Arab dan ilmunya, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu hadis sekedar cukup untuk memeriksa dan memahami arti dan maksud al-Quran dan hadis.[23]

Menurutnya pula, ulama terdahulu tidak bisa mendapatkan sunah Rasul secara lengkap dan utuh. Berbeda dengan zaman sekarang, hadis-hadis nabi telah terhimpun secara sistematis dan rapi, sehingga ulama terdahulu bersusah payah mengadakan ijtihad. Mereka tidak memiliki bahan yang sama satu dengan yang lain. Apa yang didapat seorang imam mungkin tidak diketahui imam yang lain begitupula sebaliknya. Sementara, untuk masa kini keadaan sudah berbeda. Sunah nabi mudah didapat oleh umat Islam, termaktub di berbagai kitab, sehingga memudahkan umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad untuk berijtihad. Adapun umat Islam yang belum mampu untuk berijtihad maka ia wajib ittiba’ dan tidak boleh bertaklid.[24]

Hassan menentang taklid dan menghukuminya haram. Menurutnya, larangan taklid itu bukan saja bersumber dari al-Quran semata. Bahkan imam mazhab pun dengan keras melarang orang lain mengikuti mereka. Ditambah lagi dengan al-Quran surat Bani Israil ayat 46. Ia berpendapat mengikuti pendapat imam mazhab atau bermazhab itu sama saja dengan bertaklid.[25] Menurut Syafiq, pikiran Hassan mengenai ijtihad, ittiba’ dan taklid menjadi salah satu koreksi terhadap sistem umat Islam dalam memahami dan mengamalkan agama saat itu, sekaligus merupakan tantangan bagi orang-orang yang menyeru pada doktrin tertutupnya pintu ijtihad.[26]

Selanjutnya tentang bid’ah. Hassan menjelaskan bahwa bagi pemeluk Islam, beribadah kepada Allah adalah mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Semua aktivitas muslim bernilai ibadah menurut pengertian luas. Namun, ada pengertian ibadah dalam arti khas atau khusus. Ibadah yang mempunyai arti khusus tersebut ialah masalah yang berkenaan dengan akhirat. Sedang di luar itu adalah masalah duniawi. Ajaran yang ada dalam al-Quran dan hadis terbagi menjadi dua macam. Pertama, keduniaan dan yang kedua adalah keakhiratan, begitu ia menyebutnya.[27]

Keduniaan dalam perspektifnya ialah segala masalah atau perbuatan yang biasa atau mungkin dikerjakan oleh manusia, walaupun seandainya tidak ada agama di dunia ini. Ia menyebutnya sebagai “Ma‘qul al-Ma‘na” maksudnya ialah sesuatu yang sebab dan maksudnya bisa dimengerti akal pikiran. Apabila urusan dunia ini ditetapkan oleh agama maka disebut “Urusan agama bagi keduniaan”. Dengan demikian bila agama mewajibkan maka hukumnya wajib, jika mensunahkan berarti hukum hal tersebut menjadi sunah. Bila agama memakruhkannya, sebaiknya ditinggalkan. Bila sama sekali tidak ditegaskan oleh agama maka hukumnya mubah.[28]

Keakhiratan menurutnya adalah masalah atau perbuatan yang seandainya tidak ada petunjuk agama, manusia tidak akan mengerjakannya. Hal ini disebut dengan “Ghairu Ma‘qul al-Ma‘na” yakni sesuatu yang sebab dan tujuannya tidak bisa dipahami oleh akal pikiran. Dalam masalah ini hanya ada hukum wajib dan sunah. Sementara selain kedua hal itu adalah haram dan bid’ah. Dengan demikian tiada bid’ah lain kecuali haram. Karena ibadah yang tidak diwajibkan atau disunahkan oleh agama merupakan bid’ah.[29]

Ghairu ma’qul al-ma’na  bisa disebut ada di dalam Islam apabila tercantum dalam sumber hukum Islam. Atau dengan kata lain suatu perbuatan bisa dimasukkan ke dalam kategori ghairu ma’qul al-ma’na bila ada keterangan yang berdasarkan pada sumber hukum Islam. Bila tidak ada, maka hukum perbuatan tersebut ialah bid’ah. Intinya, Hassan menyebut bid’ah sebagai perbuatan atau ucapan yang bersifat keakhiratan (ibadah) yang dilakukan orang padahal tidak ada keterangan dari agama, menurut sumbernya yakni al-Quran dan sunah.[30]

Menurutnya agama Islam melarang keras adanya bid’ah. Sampai-sampai ia menghukumi haram bila menghadiri acara yang di dalamnya terdapat bid’ah. Kecuali jika kedatangannya untuk mengubah bid’ah dengan tangan atau ucapan. Dalam beribadah, seorang muslim harus  melakukannya persis seperti yang termaktub dalam al-Quran dan sunah yang dicontohkan Nabi, tanpa tambahan ataupun pengurangan. Oleh karena itu Hassan menolak bacaan “Usalli” ketika memulai shalat, bacaan “Wabihamdihi” dalam tasbih ruku’ dan sujud, bacaan “Sayyidina” dalam tashahud, doa qunut selain qunut nazilah dan qada’ shalat. Karena masing-masing tidak berdasar pada keterangan agama, maka dari itu hukumnya haram.[31]

Ketika menjelaskan hadis tentang bid’ah “Setiap bid’ah adalah sesat”, Hassan mengatakan: “Kata-kata bid’ah dalam hadis ini kalau kita pakai dengan arti bahasa, maka memakai sepeda, sepeda motor, kereta api, radio dan lain lain itu semua sesat karena barang-barang tersebut tidak ada pada zaman Nabi. Tetapi tak usahlah kita begitu gila mengartikan sabda tersebut. Nabi tahu bahwa dunia ini berubah. Nabi mengerti kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu tak mungkin kata-kata itu ditujukan kepada benda-benda tersebut. Yang pasti kata tersebut ditujukan kepada tugas pokok yang diperintahkan Nabi menyampaikan kepada umatnya, yaitu soal agama. Jadi bid’ah itu ialah yang berhubungan dengan perbuatan agama yang tidak ada pada masa Nabi dan tidak pernah dibenarkan oleh Nabi serta tidak dapat dimasukkan dalam salah satu hal atau perbuatan yang dibenarkan beliau. [32]

 

    E.     Pemikiran A. Hassan dalam Hadis

            Ahmad Hassan tidak meninggalkan sebuah karya spesifik tentang ilmu hadis. pemikirannya tentang hadis tersebar di beberapa buku karyanya dan majalah. Hassan menjelaskan sunah sebagai “Sabda Nabi, tingkah laku Nabi dan tingkah laku orang-orang lain yang diperkenankan olehnya”. Dalam masalah agama semisal shalat, ucapan dan perbuatan Nabi telah diatur oleh wahyu dari Allah. Sedangkan dalam masalah duniawi, Nabi tidak dibimbing oleh wahyu tetapi melakukan ijtihad. Ia mencatat bahwa semua muslim harus menerima semua yang berasal dari Nabi –entah berasal dari wahyu maupun ijtihad- sebagai bagian dari agama Islam.[33] 

            Selain itu, menurutnya tidak semua hadis dapat diamalkan. Hadis yang bisa dipakai sebagai pokok untuk menetapkan hukum ada lima:[34]

    1.      Hadis mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh orang banyak, lalu disampaikan kepada orang banyak pula. Demikian seterusnya sampai tercatat dalam kitab-kitab masa belakangan. Orang-orang banyak itu secara adat, mustahil untuk melakukan kebohongan atas Nabi.

    2.      Hadis sahih li dhatihi, yaitu hadis yang sahih secara sanadnya bukan karena dibantu oleh yang lain.

    3.      Hadis sahih li ghairihi, yaitu hadis yang derajatnya dibawah sedikit dari hadis sahih, lalu ditopang oleh hadis lain semisal.

    4.      Hadis hasan li dhatihi, yaitu hadis sah tetapi derajatnya di bawah sedikit dari hadis sahih karena di antara rawi-rawinya ada rawi yang hafalannya sekali, dua kali terganggu.

    5.      Hadis hasan li ghairihi, yaitu hadis yang lemahnya agak ringan lalu dibantu atau dikuatkan dengan yang semisalnya atau dengan jalan-jalan lain yang dapat diterima.

Kelima macam hadis di atas, lanjutnya, dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum kecuali hadis hasan li ghairihi yang hanya dipakai untuk hukum-hukum yang ringan. Seperti hukum sunah, makruh atau mubah.

Dalam pandangannya, sebuah hadis dinilai sahih dan dapat diamalkan bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: [35]

1.      Setiap perawinya tidak terkenal sebagai pendusta, tidak dituduh sebagai pendusta, tidak banyak salahnya, tidak kurang kuat hafalannya, tidak sering menyalahi rawi-rawi kuat, dan bukan termasuk perawi yang tidak dikenal. Menurutnya perawi terkenal adalah seorang yang dikenal oleh dua ahli hadis di zamannya.

2.      Masing-masing perawi tersebut saling bertemu dan menerima hadis tersebut. Masing-masing perawi dari awal sanad hingga terakhir. Perawi tersebut harus menggunakan shigat yang menunjukkan bahwa ia menerima langsung hadis tersebut dari orang yang ada di atasnya. Shigat tersebut antara lain; Diucapkan kepada saya oleh si Fulan; dikabarkan kepada saya oleh si Fulan; diomongkan kepada saya oleh si Fulan; diceritakan kepada saya oleh si Fulan. Bila seorang perawi tidak memakai lafal “kepada saya” maka sanad tersebut tidak dapat dinilai sahih. Karena ia tidak tegas menerangkan menerima langsung hadis tersebut dari orang yang ada di atasnya. Sebab tidak menutup kemungkinan si Fulan tidak berkata kepadanya tetapi kepada orang lain dan boleh jadi ia meriwayatkan dari si Fulan dengan perantaraan orang lain.

3.      Perawi sudah baligh dan beragama Islam

4.      Hadis tersebut tidak berlawanan dengan hadis lain yang lebih kuat darinya dan tidak bertentangan dengan al-Quran. Karena ia meyakini apa yang difirmankan Allah tidak akan bertentangan dengan keadaan atau firman Nya atau dengan lainnya. Maka bila dijumpai sebuah hadis yang secara lahiriah yang nampaknya bertentangan dengan al-Quran , sesungguhnya itu bukanlah bertentangan, hanya kita saja yang tidak mampu mendudukkannya.

5.      Tidak mengandung illat atau cacat yang tersembunyi.

Tentang hadis daif, Hasan berpendapat bahwa hadis ini memiliki tingkatan-tingkatan. Ada yang lemahnya sangat berat. Hadis yang jenisnya seperti ini sama sekali tidak dapat dipakai. Ada yang lemahnya kurang sedikit dari yang di atas. Hadis ini pun menurutnya tetap tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Ada juga yang lemahnya ringan karena di antara para perawinya ada yang hafalannya kurang kuat. Hadis yang seperti menurutnya bisa ditopang oleh salah satu sanad lain yang semisal dengannya. Karenanya ia naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis penopang tersebut dalam ilmu hadis disebut shahid.[36]

Suatu hadis dianggap daif apabila di antara para perawinya ada yang bersifat dituduh berbohong, dituduh suka keliru, dituduh suka salah, pembohong, suka melanggar hukum agama, tidak dapat dipercaya, banyak salah dalam meriwayatkan, tidak kuat hafalan, bukan orang Islam, belum baligh saat meriwayatkan, berubah akal,dan lain-lain yang menyebabkan perawi tercela.[37]

Tentang hadis qudsi, ia berpendapat hadis ini sama saja dengan hadis-hadis yang lain. Dia menolak dengan tegas anggapan yang menyatakan bahwa hadis qudsi pasti sahih. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa hadis qudsi ada yang sahih, hasan maupun daif. Jumlah hadis qudsi menurutnya tidak banyak, hanya sekitar seratus lebih.[38]

Perspektifnya yang cukup menarik adalah tentang hadis fadail a’mal. yakni, hadis-hadis yang menerangkan keutamaan suatu amal yang isinya mendorong dan mengancam. Menurutnya, bila hadisnya sahih maka tidak diragukan lagi dan bisa diamalkan. Yang menjadi masalah ialah apabila status hadis tersebut daif. Menurutnya hadis daif tidak dapat dipakai meski berhubungan dengan fadail a’mal. sebab bila kita mengamalkannya, berarti berpegang pada sesuatu yang belum tentu benar atau meragukan. Sedangkan Nabi bersabda: “Tinggalkan sesuatu yang meragukan berpindahlah kepada sesuatu yang tidak meragukan”. (HR. Ahmad dan lainnya). Di samping itu,fadail a’mal juga termasuk sendi-sendi agama yang harus berdasarkan pada hadis sahih. Selain itu, hadis sahih yang menunjukkan fadail a’mal juga sudah banyak.[39]

Selanjutnya, ketika menghadapi hadis-hadis yang menerangkan aspek ibadah murni, Hassan memahaminya secara tekstual. Karena ibadah harus dijalankan sesuai dengan perintah agama tanpa mengurangi atau melebihkan. Maka dari itu, ia berpendapat seorang mukallaf yang meninggalkan shalat bukan karena tertidur atau lupa, ia tidak wajib mengqada atau menggantinya. Sebab bila ia menggantinya maka ia telah melakukan ibadah yang tidak diperintahkan oleh agama. Ditambah lagi, mengerjakan ibadah yang tidak diperintahkan tidak akan diterima oleh Allah.[40]

Sedangkan terkait dengan muamalah, Hassan terkadang tampak sangat kontekstual dalam memahami sebuah hadis. misalnya hadis tentang memotong kumis dan memelihara jenggot. Nabi SAW bersabda: “ Cukurlah kumis kalian dan peliharalah jenggot kalian, dan hendaklah kalian menyalahi orang-orang Majusi” (HR. Ahmad dan Muslim) dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: “ Hendaklah kalian menyalahi orang-orang musyrik. Peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. (HR. Bukhari dan Muslim).[41]

Hassan menyatakan bahwa dalam hadis ini Rasulullah memerintahkan umat Islam agar mengambil tindakan berbeda dari orang-orang Majusi dan musyrik dalam hal jenggot dan kumis. Mereka tidak memelihara jenggot tetapi kumis. Hal tersebut tak lain agar Nampak identitas tertentu yang membedakan antara kaum muslimin dan musyrikin. Keadaan demikian, kata Hassan tak lain karena pada zaman itu kamu Majusi dan musyrik memakai pakaian yang sama dengan muslim. ketika itu secara fisik hampir-hampir tidak ada perbedaan antara mereka, sehingga Nabi menyuruh umat Islam untuk memelihara jenggot supaya ada perbedaan.[42]

Maka sekarang, lanjut Hassan, kalau kita dapat mengadakan perbedaan antara kaum muslim dan lainnya dengan suatu cara, maka tidak ada halangan tentang mencukur jenggot. Malahan jenggot tidak berguna kalau tidak menjadi pembeda. Hassan mencontohkan sebagian komunitas India di mana orang-orang kafir memelihara jenggot dan bersurban dan umat Islam pun berpenampilan serupa; orang-orang Islam di Tunis memakai jenggot Perancis dan topi Eropa dan jenggot itu tidak menolong apa-apa. Karena itu ia berpendapat, kita boleh mengatur rambut kepala, jenggot, kumis, pakaian dan lain-lain sesuka kita asalkan ada satu tanda yang dengan mudah bisa dikenal sebagai orang Islam.[43]    

Ketika menjumpai dali-dalil yang nampak bertentangan, Hassan menawarkan tiga metode penyelesaian. Yaitu jam’u, tarjih dan tawaqquf. Dalam menjama’ keterangan-keterangan agama hendaklah dilakukan dengan dasar-dasar keterangan lain, tidak dengan pikiran dan perasaan semata. Hal yang pertama dilakukan adalah jam’u. apabila jam’u tidak bisa dilakukan maka tarjih dilaksanakan. Dan apabila masih tidak bisa disinergikan bersama, maka jalan tawaqquf lah yang diambil. [44]

 

    F.     Pesantren Persis Bangil; Jejak Ahmad Hassan Masa Kini

Dalam situs resmi pesantren Persis Bangil, penulis tidak menemukan tentang sejarah berdirinya pondok pesantren tersebut. Penulis menemukan sejarah pesantren tersebut dari website alumni pesantren Persis yang berdomisili di Pakistan mereka menyebutnya dengan FOSPI (Forum Silaturahmi Persatuan Islam) Pakistan. Disana dinyatakan bahwa dalam buku Waqfiyah Yayasan Pesantren Persis Bangil yang diterbitkan tahun 1960 tercatat Pesantren Persis didirikan pertama kali di Bandung di Masjid Persatuan Islam pada tahun 1936 (1 Dzulhijjah 1354 H) oleh Ahmad Hassan (sebagai kepala pesantren dan guru), M. Natsir , R. Abdul Qadir dan M. Ali Al-Hamidi (sebagai guru) dengan jumlah siswa 40 orang dari tanah air dan mancanegara. Kemudian, di permulaan bulan Maret tahun 1940, pesantren ini dipindah ke Bangil Pasuruan. Murid-murid yang belum mendapat pelajaran yang cukup ketika di Bandung, dibawa pindah ke Bangil, untuk ditamatkan beberapa pelajaran lagi. Selang setahun kemudian, pesantren Persis untuk putri pun dibangun.[45]

Tujuan didirikannya pesantren tersebut ialah mengeluarkan mubalighin yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mempertahankan agama mereka, Islam, dimana saja mereka berada. Bagi penulis, tujuan serta visi misi pesantren Persis sangatlah erat dan kental dengan pemikiran –pemikiran Ahmad Hassan yang seringkali menonjolkan upaya purifikasi dalam setiap dakwahnya. Selalu menyeru pada paham dan amal perbuatan yang mengacu kembali pada sumber agama al-Quran dan sunnah. Sebagaimana misi pesantren:[46]

1.      Menyelenggarakan pendidikan Islam berbasis pesantren melalui pendidikan yang integral

2.      Menyelenggarakan pendidikan yang menguatkan akidah, akhlak dan hukum syariah sebagai dasar amaliyah yang sholehah

3.      Mewujudkan suasana belajar yang kreatif, kritis dan argumentatif berdasarkan pemikiran Islam yang benar

4.      Menyelenggarakan pendidikan ketrampilan yang didukung oleh teknologi informasi

Misi di atas menurut penulis merupakan cermin dari sosok Ahmad Hassan, dimana ia adalah seorang ulama modernis, yang pastinya akan mudah menyambut kemajuan teknologi ketika mendidik keterampilan murid. Terlebih, ia cukup banyak menjalani berbagai pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan seperti tenun dan percetakan. Poin ketiga, suasana kelas yang kritis dan argumentatif, juga merupakan ciri khas seorang Ahmad Hassan yang selalu kritis dalam tulisan-tulisannya di media cetak maupun ketika debat. Terakhir, amaliyah sholehah yang termaktub dalam misi pesantren merupakan slogan seorang Hassan, bahwa setiap amal perbuatan yang dikerjakan manusia haruslah sholeh, dalam artian sesuai dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunah.

Kini, mudir tertinggi yang tengah memimpin pesantren Persis Bangil adalah ustadz Luthfie Abdullah Ismail, Lc.[47] Dahulu, anak pertama Ahmad Hassan yaitu Abdul Qodir Hassan atau Abdul Qodir bin Hassan bin Ahmad juga pernah memimpin pesantren Persis ini pasca wafat ayahnya.[48] Abdul Qodir Hassan merupakan ulama hadis di Indonesia pada masanya. Seperti ayahnya, ia juga memiliki banyak karya tulis. Di antaranya buku Ilmu Musthalah Hadis, Ushul Fiqh, Kata Berjawab (soal jawab tentang hukum Islam) dan Qamus al-Quran merupakan  karya besarnya yang cukup dikenal di masyarakat. Ia wafat pada tanggal 25 Agustus 1984 di Bangil Pasuruan Jawa Timur.[49]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

BAB III

PENUTUP

    1.      A. Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya Ahmad berasal dari India dan bergelar Pandit, ia merupakan penulis dan wartawan beserta pemimpin majalah Nurul-Islam di Singapura. Berangkat dari latar belakang profesinya, tak heran bila ayahnya bercita-cita, menginginkan sang buah hati mengikuti jejaknya menjadi seorang penulis. Sedangkan ibunya, Maznah berasal dari Madras, India. Namun, ibunya ini masih memiliki nasab dari Mesir.

    2.      Persis atau Persatuan Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di Bandung oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan. Sebelumnya, ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang sifatnya kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok kajian. Pendirian Persis merupakan usaha sejumlah umat Islam untuk memperluas diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada secara informal selama beberapa bulan. Latar belakang personil kajian ini semuanya adalah pedagang. Dua tokoh utama dalam diskusi ini adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus.

    3.      Hassan juga mempunyai empat prinsip dasar yang menjadi pokok pandangan-pandangannya. Yaitu, pertama sumber hukum Islam. Kedua, ijtihad, ittiba’ dan taklid. Ketiga, bid’ah. Keempat, faham kebangsaan.

    4.      Ahmad Hassan tidak meninggalkan sebuah karya spesifik tentang ilmu hadis. pemikirannya tentang hadis tersebar di beberapa buku karyanya dan majalah. Hassan menjelaskan sunah sebagai “Sabda Nabi, tingkah laku Nabi dan tingkah laku orang-orang lain yang diperkenankan olehnya”.

    5.      Menurutnya, hadis fadail a’mal bila hadisnya sahih maka tidak diragukan lagi dan bisa diamalkan. Yang menjadi masalah ialah apabila status hadis tersebut daif. Menurutnya hadis daif tidak dapat dipakai meski berhubungan dengan fadail a’mal. sebab bila kita mengamalkannya, berarti berpegang pada sesuatu yang belum tentu benar atau meragukan.

 

Daftar Pustaka

Ali, Yunasril, Hassan Ahmad, Ensiklopedi Tematis Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Fatih, M, Mengenal Pemikiran Hadis A. Hassan Persis, Mutawatir Vol I, no 1, Januari-Juni, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011.

Federspiel, Howard M, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Hassan, Ahmad. Soal Jawab Masalah Agama, Bangil: t.p, 1996.

Mughni, Syafiq A. Hasan Bandung, Surabaya: Bina Ilmu, 1994.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.

Wildan, Dadan Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Rosda, 1997.

http://digilib.uinsby.ac.id/7968/5/BAB%20III.pdf

https://fospi.wordpress.com/persis-bangil/

http://persisbangil.hol.es/profil.php?id=profil&kode=12&profil=Misi

http://www.arrahmah.com/news/2013/07/16/abdul-qadir-hassan-ulama-ahli-hadits-dari-bangil.html


[1] Yunasril, Hassan Ahmad, Ensiklopedi Tematis Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, 325.

[2] Ibid., 325.

[3] Ibid., 325.

[4] Ibid., 326.

[5] Ibid., 326.

[6] Ibid., 326.

[7] Ibid, 326.

[8]Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Rosda, 1997, 23.

[9] Ibid., 23.

[10] Ibid., 25.

[11] http://digilib.uinsby.ac.id/7968/5/BAB%20III.pdf diakses pada tanggal 15-04-2016.

[12] Ibid., 47-50. Lihat juga, Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung, Surabaya: Bina Ilmu, 1994, 129-131.

[13]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980, 45.

[14] Ibid., 46.

[15] Ibid., 47.

[16] Ibid., 47.

[17] Ibid., 48.

[18] Ibid., 48.

[19] Howard M Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, 44.

[20] Ibid., 45.

[21] Ibid., 45.

[22] Syafiq , Hassan Bandung, 28.

[23] Syafiq, Hassan Bandung, 28.

[24] Syafiq, Hassan Bandung, 30.

[25] Syafiq, Hassan Bandung, 30.

[26] Syafiq, Hassan Bandung, 30.

[27] Syafiq, Hassan Bandung, 31.

[28] Syafiq, Hassan Bandung, 31.

[29] Syafiq, Hassan Bandung, 31.

[30] Syafiq, Hassan Bandung, 31.

[31] Syafiq, Hassan Bandung,31.

[32] Syafiq, 31-32. Lihat Federspiel, Persatuan Islam, 73. dan lihat juga Fatih, M, Mengenal Pemikiran Hadis A. Hassan Persis, Mutawatir Vol I, no 1, Januari-Juni, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011, 60-61. Bandingkan dengan Ahmad Hassan,Soal Jawab Masalah Agama, Bangil: t.p, 1996, 610-625.

[33] Federspiel, Persatuan Islam, 50.

[34] Fatih, Mengenal Pemikiran, 60-61. Hassan,Soal Jawab, 15-17.

[35] Ibid., 61-62.

[36] Ibid, 62.

[37] Ibid., 62.

[38] Ibid., 62.

[39] Ibid., 63. Hassan,Soal Jawab, 20.

[40] Hassan,Soal Jawab, 610-625.

[41] Ibid., 610-625.

[42] Ibid., 610-625.

[43] Ibid., 610-625.

[44] M. Fatih, 66-67.

[45] https://fospi.wordpress.com/persis-bangil/ diakses pada tanggal 17-04-2016.

[47] Dari akun facebooknya, penulis menemukan ia berasal dari Singapura.

[48] Abdul Qodir Hassan lahir di Singapura tahun 1914.

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...