A. PENDAHULUAN
Kajian ke-Islam-an baik di dunia Timur maupun Barat terus
berkembang dengan pesat. Kajian terhadap Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW
terus dilakukan hingga sekarang. Al-Qur’an maupun hadis merupakan teks yang
berbeda, al-Qur’an teksnya langsung dari sang Khaliq sedangkan hadis dari
Rasulullah sendiri meskipun dengan bimbingan wahyu-Nya. Maka para pecinta ilmu
melakukan berbagai upaya dalam memahami teks-teks tersebut. Mereka mencoba
untuk menginterpretasikan teks-teks agama dengan teori masing-masing.
Banyak
ahli ilmu yang mencoba menafsiri teks agama dengan tujuan untuk memahami
kandungannya. Manusia memiliki ghirah untuk selalu ingin tahu. Jadi tidak cukup
memahami makna luarnya saja bahkan, mereka akan terus melacak gejala yang
timbul dibalik teks. Misalnya ketika berbicara dengan seseorang maka akan berusaha mengetahui apa yang akan
dikatakan, dampak yang diakibatkan, dan konsekuensinya. Maka mereka akan
melakukan penafsiran-penafsiran dengan hal tersebut. Pada kenyataannya manusia
tidak hanya menafsiri teks Bahasa tetapi juga peristiwa sosial, prilaku, suatu
kegiatan, benda, karya, dan masih banyak hal lainnya. Kegiatan menafsirkan
menjadi rumit ketika obyek yang dikaji diluar Bahasa atau budaya penafsir
lebih-lebih yang mempunyai jarak psiko-sosio-kultural tertentu dari pelaku
penafsiran sendiri. Meski demikian, manusia terus-menerus melakukan penafsiaran
dan mengembangkan teorinya sebisa mungkin. Diantara hasil dari pengembangan tersebut
memunculkan teori hermeneutika.[1]
Ibn ‘Arabi merupakan salahsatu dari sekian banyak ilmuan
yang mengkaji teks-teks agama. Ia digambarkan sebagai filsuf yang
bertipe tidak beraturan (desultory) elektik (electic), gayanya ambiguous.
Menurut Browne setidaknya ada dua
cara untuk memahaminya dalam menyelesaikan masalah yakni ortodok dan pantheistic
namun pada kenyataannya ia menggunakan sat cara yakni pantheistic. Jika
ia merasakan keortodokannya
maka ia mempertahankn dirinya terhadap orang yang dikhayalkannya sedang
menantangnya, dengan demikian seakan-akan ia nampak ortodoks. Hal ini pernah
dilakukannya ketika ditanya seseorang tentang apa yang dimaksud dengan perkataannya:
“O,
Engkau yang melihatku sedang aku tidak melihat-Mu, betapa sering saya lihat Dia
sedang Dia tidak melihat saya.
Lalu
ia menjawabnya seketika itu pula dengan membuat tambahan yang merubah makna
aslinya:
“O,
Engkau yang melihat saya yang sudah berbuat dosa, sedang Engkau saya lihat
tidak ingin menyalahkan. Betapa sering saya lihat Dia mencurahkat rahmat-Nya,
sedangkan Ia melihat saya tidak berusaha mendapatkan rahmat.[2]
Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sosok
yang unik dalam pemikirannya. pemikirannya juga tidak mudah dipahami, hal ini
bisa dilihat dari karyanya yang sulit dipahami. Dalam makalah ini penulis
mencoba menjelaskan sekelumit tentang pemikirannya.
B. PEMBAHASAN
1.
Riwayat
hidup Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi bernama lengkap Muhammad ibn
‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi al-Tayy.[3]
Ia lebih dikenal dengan Ibn al-‘Arabi di
dunia Barat tetapi di Timur, ia dikenal dengan Ibn ‘Arabi. Penggunaan Alif dan
Lam memiliki tujuan yaitu untuk membedakannya dengan Ibn al-‘Arabi yang menjadi
qadi (seorang ahli Fiqih).[4]
Selain itu, ia juga dikenal dengan ibn Saraqah di dunia Timur.[5]
Ia dilahirkan di Murcia sebelah selatan Spanyol pada tanggal 17 Ramadhan 560 H
/ 28 Juli 1165 M yang merupakan keturunan Arab murni yang bermukim di Spanyol.[6]
Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ibn Sa‘id ibn Mardaniyah, Gubernur
Andalusia Timur.[7]
Al-Syaikh al-Akbar
(Sang Maha Guru) dan Muhyi al-Din (Sang Penghidup Agama) adalah gelar
yang disematkan kepada Ibnu ‘Arabi. Selain itu ia juga diberi gelar Qudwah
al-Anam, ‘Umdah al-Ahkam, Sultan al-‘Arifin. Keluarga besarnya adalah
orang-orang yang taat beragama, hal ini terlihat dari beberapa anggota
keluarganya yang menjadi tokoh sufi.
misalnya ‘Ali ibn Muhammad ayah kandung Ibnu ‘Arabi yang merupakan zahid dan
sangat menentang hawa nafsu dan materialism. Pada waktu itu ayahnya menjadi
salah satu pegawai Muhammad ibn Sa‘id ibn Mardanisi yang menjadi penguasa
Murcia pada saat itu. Ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya hingga
dituntun ke jalan kezuhudan yang akhirnya berdampak positif terhadap pribadi
Ibnu ‘Arabi.[8]
Dinasti Muwahhidun berhasil
menaklukkan Murcia pada saat ia berumur 7 tahun, sehingga ayahnya harus membawa
keluarganya untuk pindah ke Sevilla. Disana, ayahnya ditunjuk untuk menjadi
pegawai pemerintahan. Sebagian keluarga Ibn ‘Arabi adalah orang penting dalam
pemerintahan, misalnya Yahya Ibn Yughan. Yahya, salah satu pamannya menjadi penguasa
kota Tlemcen di Al-Jazair, tapi pada akhirnya ia meninggalkan jabatannya untuk
menjadi seorang sufi dan zahid. Adapula pamannya yang memiliki kedudukan
dalam pemerintahan yaitu Abu Muslim al-Khaulani. Kedua paman ini ikut andil
dalam perjalanan spiritualnya Ibn ‘Arabi. Selaian kedua paman di atas, ‘Abd Allah
ibn Muhammad ibn ‘Arabi pamannya yang lain juga seorang sufi.[9]
Sevilla pada saat itu menjadi pusat
ilmu dimana banyak ulama terkenal yang bermukim di sana. Di sini pulalah Ibn ‘Arabi
banyak menimba ilmu seperti ilmu qira’at, sejarah, adab, sha‘ir,
hadis dan sebagainya. Ibn ‘Arabi belajar kepada beberapa ulama terkemuka
diantaranya: dalam bidang qira’at ia belajar kepada Abu Bakar Muhammad ibn Khalaf al-Lakhami al-Ishbili
wafat tahun 586 H, Abu Hasan ibn Muhammad ibn Sharif al-Ra’ini, Abu al-Qasim ‘Abd
al-Rahman ibn Muhammad al-Qurtubi wafat tahun 586 H. ia belajar kitab tafsir
karya Abu ‘Amr a-Dani kepada Syaikh Abu Bakar Muhammad ibn Abi Khumayra. Adapun
dalam bidang hadis, fiqih dan adab ia berguru kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad
ibn Sa‘id yang dikenal dengan Ibn Zarkun wafat tahun 586 H, Abu Muhammad ‘Abd
al-Haq ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd Allah ibn Husain ibn Sa‘id al-Azdi
al-Ishbili wafat tahun 581 H, Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn Yahya ibn
al-Jadd, Abu Muhammad ‘Abd al-Mu‘im ibn ‘Abd al-Rahim al-Khazraji al-Gharnadi wafat
597 H, Abu al-Qasim Jamal al-Din ‘Abd al-Samad ibn Muhammad ibn Abi al-Fadal al-Khurasatani
(520 H – 614 H).[10]
Kemudian dia ditunjuk sebagai gubernur
Sevilla dan menikahi gadis bernama Maryam binti Muhammad ibn ‘Abdun ibn ‘Abd
al-Rahman al-Baja’i. Istrinya juga berasal dari keluarga yang terpandang.[11]
Ia meninggalkan Sevilla untuk mengunjungi Tunisia pada tahun 590 H. Pada tahun
597 H ia mendapat ilham spiritual yang memerintahkannya untuk pergi ke timur.
Satu tahun kemudian ia menunaikan ibadah haji ke Makkah.[12]
Sebelum ke Mekkah, ia menetap di Mesir baru kemudian pada tahun 596 H. selain
itu, ia juga berkunjung ke Negara Baghdad, Yarussalem dan Damaskus, dan di
Damaskus.[13]
Di Mekkah ia berkenalan dengan seorang Syaikh bernama Abu Shuja‘ dari Isbahan
yang memiliki seorang putri bernama al-Nizam. Pertemuannya dengan putri Syaikh
inilah yang mengilhami Ibn ‘Arabi untuk menulis Tarjuman al-Ashwaq (ungkapan
kerinduan) pada tahun 598 H. Selain bertemu dengannya ia juga bertemu dengan
Syaikh Majd al-Din Ishaq dari Malatya (sebuah kawasan di Turki) yang memiliki
putra bernama Sadr al-Din al-Qunawi (606 H – 673 H / 1210 M – 1274 M) yang
kelak menjadi salah satu murid Ibn ‘Arabi.[14]
Ibn ‘Arabi ikut serta syaikhnya ketika
kembali ke Malatya dan selama perjalanannya ia mampir di Mosul. Di kota Mosul
inilah ia ditasbihkan oleh ‘Ali ibn ‘Abd Allah ibn al-Jami‘, seseorang yang
memperolaah kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidir. Sultan Kay Kaus
(607-616 H) mengirim Ibn ‘Arabi ke Baghdad pada tahun 608 H/ 1211 M. Ia
memiliki hubungan baik dengan sang Sultan dan juga sahabat penguasa Aleppo
al-Malik al-Zahir Ghazi (582-615 H/ 1186-1218 M) putra Salah al-Din al-Ayyubi.[15]
Damaskus adalah tempat terakhir dari
perjalanan panjangnya karena disini pulalah ia tinggal hingga wafat. Ia tinggal
di Damaskus sejak tahun 620 H/ 1233 M hingga wafat pada 28 Rabi‘ al-Akhir 627
H/ 16 November 1240 M. Ia meninggal di rumah muridnya, Ibn al-Zaki di usianya
yang ke-78. Kemudian dimakamkan di kaki gunung Qasiyun sebelah utara Damaskus.
Ibn ‘Arabi memiliki dua putra; yang pertama bernama Sa‘d al-Din Muhammad lahir
di Malta pada bulan Ramadan tahun 618 H dan menjadi seorang sufi dan penyair. Putra yang kedua bernama ‘Imad
al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad yang wafat pada tahun 667 H. kedua putranya ini
dimakamkan disamping makam ayahnya (Ibn ‘Arabi).[16]
2.
Murid-murid Ibnu ‘Arabi
Banyak orang yang menimba ilmu dari
Ibnu ‘Arabi, diantaranya:
Ø Sadr
al-Din al-Qunawi
Ø Shihab
al-Din ‘Umar ibn Muhammad al-Suhrawardi
Ø Abu
al-‘Abbas al-Harrar
Ø ‘Izz
al-Din ibn ‘Abd al-Salam
Ø Abu
‘Abd Allah Zakariyaibn Mahmud (pengarang kitab ‘Ajaib al-Makhluqat)
Ø Al-Hafiz
Abu Tahir al-Asfahani
Ø Abu
‘abd Allah Muhammad ibn Mahmud al-Hafiz
Majd al-Din ibn al-Najjar
Ø Shafi
al-Din ibn Husain Jamal al-Din al-Ansari
Ø Abu
al-Faraj ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali ibn al-jawzi al-Hafiz
Ø Sa‘d
al-Din Muhammad ibn al-Mu’ayyad al-Hamawi
Ø Al-malik
al-Zahir Ghazi ibn al-Nasir Salah al-Din al-Ayyubi
Ø Al-Qasim
ibn al-Hafiz ibn ‘Asakir
Ø Sultan
Kay Kaus 1, dan lain sebagainya.[17]
3.
Karya-karya
Ibn ‘Arabi
Brockelmann menjelaskan bahwa Ibn
‘Arabi termasuk salahsatu penulis yang maha produktif. Hal ini bisa dilihat
dari hasil karyanya yang mencapai 150, itupun yang masih ada. Dari katalog
perpustakaan Kerajaan Mesir di Kairo, ditemukan sekitar 90 karya Ibn ‘Arabi
yang ada, kebanyakan MSS. Dalam catatannya pada tahun 632/ 1234, Ibn ‘Arabi
pernah menyebutkan sendiri bahwa ia pernah menulis sekitar 289 tulisan, Jami
mengatakan 500 buku, dan yang paling masyhur adalah pendapat Sha‘rani yang
mengatakan ada 100 buah.[18]
Karya-karya Ibn ‘Arabi sebagian besar
ditulis di Timur, paling banyak ditulis di Mekkah dan Damaskus. Karyanya yang
ditulis sepuluh tahun terakhir sebelum wafat adalah karyanya yang terkenal dan
paling matang. Sebelumnya ia menulis tentang monograf yang berkaitan dengan
subyek khusus. Misalnya Ibn ‘Arabi menulis Tadribat yang membicarakan Mikrokosmos. Menulis tentang
aturan disiplin dari jalan mistis, aturan sama‘ (audisi, pendengaran), tilawah
dimana Ibn ‘arabai menulis Mawaqi‘ dan sebagainya. Opus Magnum nya
terdapat dalam kitab Fusus al-Hikam yang selesai pada tahun 628/ 1230.
Kitab ini menjadi salahsatu kitab yang sulit dipahami karena tanpa Futuhat
al-Makkiyyah yang dianggap sebagai penafsiran dari Fussus al-Hikam,
walaupun ada afsir Qasani maka kitab Fusus al-Hikam menjadi kitab
yang paling tidak masuk akal dan kabur.[19]
Kitab al-Futuhat al-Makkiyah oleh Ibn ‘Arabi diklaim bahwa apa yang
ditulisnya adalah ilham dari Allah SWT. Begitu pula dengan Fusus al-Hikam yang ia terima dari Rasulullah SAW agar
disebarkan kepada umat.[20]
Diantara karya-karya ibnu ‘Arabi
adalah:
Ø Al-Kibrit
al-Ahmar
Ø Al-Tadbirat
al-Ilahiyyah
Ø Al-Isra’
ila al-Maqam al-Asra’
Ø Mawaqi‘
al-Nujum
Ø ‘anqa’
Mughrib
Ø Insha’
al-Dawa’ir
Ø Mishkat
al-Anwar Hilyat al-Abdal
Ø Ruh
al-Quds
Ø Taj
al-Rasa’il wa Minhaj al-Wasa’il
Ø Kitab
al-Alif
Ø Kitab
a-Ba’
Ø Kitab
al-Ya’
Ø Tanazzulatal-Mausiliyya’i
Ø Kitab
al-Jalal wa al-Jamal
Ø Kitab
al-Kunh Ma La Bidda li al-Murid minhu
Ø Fusus
al-hikam
Ø Al-Futuhat
al-Makkiyyah
Ø Turjuman
al-Ashwaq
Ø Asrar
al-Qulub
Ø Kitab
al-Adab
Ø Asrar
Qulub al-‘Arifin
Ø Asrar
al-Wahyi fi al-Mi‘taj
Ø Tauhid
al-Tauhid
Ø Al-Isharat
Ø Tauhid
al-Qulub
Ø Al-Haqq
Ø Taj
al-Tarajum
Ø Al-Qismu
al-Ilahi bismi al-Rabbani
Ø Al-Jalalah
Ø Shajarat
al-Kaun[21]
Ø Al-Misbah
fi al-Jami‘ bain al-sihhah fi al-Hadith
Ø Al-Hikam
al-Ilahiyyah
Ø Al-Jadwat
al-Muqtabisat, dan lain sebagainya.[22]
4.
Teori Ibn ‘Arabi
Bagi
Ibnu ‘Arabi tuhan adalah esa mutlak, sumber
segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Dunia diciptakan karena ada dalam
ruang dan waktu. Dunia abadi karena dunia ada dalam pengetahuan Tuhan. Dunia
adalah Tuhan dan tuhan adalah dunia karena keduanya tak bisa dibedakan kecuali
dalam pengetahuan manusia yang abstrak. Manusia tak dapat menjadi tuhan begitu
pula sebaliknya tetapi melalui pengetahuan bisa dicapai penyatuan spiritual dengan
tuhan. [23]
Setiap
Nabi adalah firman Tuhan dan Muhammad adalah firman Tuhan. Kebenaran atau
esensi Muhammad (al-Haqiqah al-Muhammaddiyah) merupakan kekuasaan
kreatif Tuhan. Insanul kamil (manusia sempurna) adalah tujuan daari penciptaan yang
merupakan mikrokosmos yang merefleksikan keaguangan Tuhan, makrokosmos. Berarti
para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali (sahabat)
Tuhan. Ibnu ‘Arabi
mengatakan bahwa ia khatim wali tuhan dan nabi Muhammad adalah khatim para
nabi.[24] Istilah Khatim al-wali diambil dari gelar yang
diberikan kepada nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi. Term waliyullah pada
masa Ibnu ‘Arabi biasa digunakan oleh orang Islam yang bersifat terbuka untuuk
mewujudkan model manusia sempurna sebagaimana yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad.[25]
Menurutnya
hubungan yang mengikat tuhan dengan manusia sempurna adalah cinta dan cinta itu bukan timbul karena cinta itu sendiri
atau sebelah pihak. Cinta yang dimaksudnya adalah cinta yang memilii tujuan
yang hendak dicapai dan cinta ini berfungsi sebagai akibat terhadap sebab yaitu
keindahan. Bersamaan dengan identifikasi Tuhan dan dunia, teori wilayah yang
dikemukakan Ibnu ‘Arabi tidak disukai oleh kalangan sufi. Teori-teorinya justru
membuat kaum sufi beragumentasi untuk menjauh dari Islam normative. Semua
kalangan dari ulama, penjaga syariat, muslim ortodoks dan ortopraksis segera
bereaksi terhadap pemikiran spekulatif ibnu ‘arabi. Menurut pantaisme, perbedaaan
dan anatra kebaikan dan keburukan bercampur karena keduanya sama-sama eksis
sedangkan eksistensi dan keilahian merupakan realitas yang sama. Kesimpulan
akhir dari penalaran Ibnu ‘Arabi ini adalah bahwa semua agama sama. Kontroversi
dan perselisihan antar agama, bahkan argumentasinya
dianggap tidak ada artinya oleh ibnu ‘Arabi.[26]
Syaikh Akbar (khatam waliyullah) mengangap dirinya
memiliki fungsi untuk menampakkan keutamaan modalitas pokok dari kesempurnaan
sebagai manusia yang dilimpahi warisan Muhammad. Setiap mode eksistensi dapat
dijangkau manusia sebagai tingkatan spiritual. Maqam (pengetahuan) manusia
ditentukan oleh faktor yang kembali pada realitas. Pada taraf tertentu, maqam
tesebut mempresentasikan perspektif yang valid tentang sifat realitas dan
perspektif berasal dari Nabi. Maqam Nabi Muhammad melampaui maqam nabi-nabi
sebelumnya, ia bisa mewujudkan setiap kesempurnaan pada level amal, spiritual
dan pengetahuan.[27]
5.
Contoh interpretasi Ibn ‘Arabi terhadap al-Qur’an dan
hadis
a.
Contoh Ayat al-Qur’an
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai
manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa,
dan dari padanya Ia menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah SWT
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (al-Nisa’: 1)
Kata nafs disini oleh Ibnu ‘Arabi diartikan sebagai Nabi Adam
dan Hawa diciptakan san tulang rusuknya sebagai pendamping. Menurutnya
perempuan adalah entitas reseptif karena ia tercipta dari laki-laki yang
merupakan entitas kreatif. Tujuan dari penciptaannya Hawa dari tulung rusuk
adalah agar tunduk patuh kepada suaminya. Sifat dari tulang rusuk adalah tunduk
dan lemah lembut terhadap anak dan suaminya. Maka kecintaan seorang laki-laki
terhadap istrinya adalah kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Sedangkan
kecintaan perempuan kepada laki-laki karena ia tercipta dari tulang rusuknya.[28]
Selain makna di atas, menurut Ibnu ‘Arabi juga
menjelaskan tentang nazariyyah haqiqah Muhammadiyah. Maksudnya adalah
Nabi Muhammad adalah bapak manusia di alam ruhani sedangkan Adam bapak manusia
di alam jasmani. Jadi Muhammad adalah nafs wahidah sedangkan Adam istri
(ibu di alam ruhani), karena wujud Adam diciptakan dari cahaya Muhammad SAW dan
Adam termasuk sempurna yang termanifestasi dalamalam nyata. Disamping itu, Adam
adalah bapak bagi anak keturunannya dan Hawa adalah istri (istri di alam
jasmani).[29]
Menurut pemaparan di atas berarti cinta Hawa adalah cinta
pada asal penciptaannya sedangkan cinta Adam pada dirinya sendiri. Adam dan
Hawa diciptakan dari nafs wahidah atau satu sumber maka ada
kecenderungan dan ketertarikan antara keduanya. Dari penafsiran ayat ini, Ibnu
‘Arabi mengisyaratkan bahwa alam tercipta dari asal yang satu, jiwa dan raga
yang sama. Maka seharusnya sesama makhluk Tuhan harus saling menyayangi. Jika
ia kafir maka saudara satu bapak dan jika mukmin maka selain saudara satu bapak
juga saudara seakidah.[30]
b.
Contoh hadis
حَدَّثَنَا
آدَمُ،
حَدَّثَنَا
ابْنُ
أَبِي
ذِئْبٍ،
عَنِ
الزُّهْرِيِّ،
عَنْ
أَبِي
سَلَمَةَ
بْنِ
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ،
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ،
قَالَ:
قَالَ
النَّبِيُّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
«كُلُّ
مَوْلُودٍ
يُولَدُ
عَلَى
الفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ،
أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ،
أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ،
كَمَثَلِ
البَهِيمَةِ
تُنْتَجُ
البَهِيمَةَ
هَلْ
تَرَى
فِيهَا
جَدْعَاءَ»[31]
Adam
menceritakan kepada kami, Ibn Abi Zha’bin menceritakan kepada kami dari
al-Zuhri dari Abi Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dari Abi Hurairah r.a, dia berkata
Rasulullah SAW bersabda “setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci),
kemudian kedua orang tuanyalah yang yang akan menjadikan anak itu menjadi
Yahudi, nasrani atau majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan
binatang ternak dengan sempurna, apakah kalian melihat cacat padanya?. (H. R.
Al-Bukhari)
Alif
dan lam yang digunakan dalam sabda Nabi "على الفطرة" untuk “janji” artinya fitrah (suci)
yang disucikan oleh Allah SWT. Fitrah juga berarti pembuka, artinya
setiap bayi dilahirkan dengan keadaan suci, pertama kali yang diperdengarkan
oleh Allah SWT adalah yang disebutkan dalam firman-Nya (ألست بربكم ) , dan pertama kali yang terbuka dari
lisan manusia adalah “بلى” maka yang dimaksud dengan fitrah adalah
mengakui Allah SWT dengan beribadah kepada-Nya (taat). Jadi alif dan lam dalam
lafazh fitrah untuk semua jenis fitrah karena manusia termasuk alam, maka
fitrahnya alam untuk seluruh alam, fitrahnya anak adam juga fitrahnya semua
alam, fitrahnya setiap makhluk yang ada di alam adalah apa yang tampak dari
Tuhan yang akan terwujud hanya ketika beribadah kepada Allah SWT, dan bertasbih
dengan lisan mereka dan diterima oleh Tuhan. Maka termasuk nikmat dari Allah
SWT yaitu menjadikan fitrah dalam penciptaannya bukan dalam ke-tauhid-an. Oleh
karenanya, tujuan fitrah adalah rahmat karena perkara ini berhubungan. Perkara
yang terakhir berhubungan dengan yang pertama dan bergabungnya mengandung
hikmah hikmahnya hanya wujud. Jika dikatakan lalu dimanakah orang yang pertama
kali kafir? Akalnya dipengaruhi oleh orang tua dalam mendidiknya sehingga keluar
dari fitrahnya menjadi syirik.[32]
c.
Contoh hadis
Abu
‘Abd al-Rahman al-Sulaimi meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya al-Arba‘in
fi al-Tasawwuf sebagai berikut:
رواه ابن عيينة عن ابن جريح بن عطاء عن ابي هريرة عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه الا العلماء
بالله فاذا نطقو به لا ينكره الا اهل الغرة بالله[33]
Diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Uyaynah dari Ibnu Juraih ibn ‘Ata’ dari Abu Hurairah dari Rasulullah
SAW, beliau bersabda “Sesungguhnya terdapat sebagian ilmu yang tersembunyi,
hanya para ulama Allah SWT yang mengetahuinya maka apabila mereka
membecirakannya, hanya orang yang lalai akan Allah yang mengingkarinya.”[34]
Sanad hadis ini, berawal dari Hamid al-Harwi dari Nasr
ibn Muhammad ibn al-Harith dari ‘Abd al-Salam ibn Salih, baru kemudian sampai
kepada Sufyan ibn ‘Uyaynah.[35] Selain, al-Sulaimi, al-Dailimi juga meriwayatkan hadis
tersebut dari jalur Abu ‘abd al-Rahman namun, al-Mundhir melemahkan riwayat
tersebut yang diikuti oleh al-‘Iraqi dalam kitabnya Takhrij Ahadith
al-Ihya’.[36] Dalam
kitab hadis induk, semisal kkutub al-sittah tidak ditemukan hadis yang
sama namun ditemukan dalam kitab ‘Awarif al-Ma‘arif, “ia adalah rahasia
Allah yang ditampakkan kepada wali yang amanah dan insan yang mulia tanpa
adanya proses belajar. Dan ia termasuk dari rahasia yang tidak tersentuh
kecuali oleh orang khusus.[37] Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tibidari jalur
al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibn Hasan yang juga sampai pada Sufyan ibn ‘Uyaynah.
Ada juga yang meriwayatkan dari jalur Abi al-Salt ‘Abd al-Salam ibn Salih
al-Harwi yang dikenal lemah periwayatannya.[38]
Meski demikian, Ibnu ‘Arabi memandang hadis tersebut sahih
melalui kasyaf menurut ahlinya. Ada sebagian ilmu yang memang
tersebunyi namun, hakekatnya ilmu tidak bisa bersembunyi secara mutlak. Apabila
hal tersebut terjadi maka tidak ada satupun ulama yang mengetahui kecuali Allah
SWT. Pada kenyataannya Allah SWT memang memberikan ilmu tersebut kepada orang-orang
tertentu, yang artinya ada ilmu yang tersembunyi namun tidak seutuhnya.[39]
Jika yang ia dapat dari hasil kasyaf-nya tidak
sesuai dengan pilihannya karena merasa terpaksa maka ketika perintah itu
dikerjakan dan menimbulkan pertentangan, maka sebenarnya ia tidak melanggar dan
tidak bersalah. Pada hakikatnya ia hanya mengerjakan apa yang ia ketahui saja.
Pantaslah jika dikatakan ilmu yang demikian hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu dan ilmunya tidak bisa diwariskan. Karena
ilmu ini didapatkan tanpa ada proses berfikir berbeda dengan ilmu yang melalui
proses berfikir yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.[40]
Berdasarkan firman Allah SWT yang membicarakan tentang
Nabi Khidir a.s dan tentang firman-Nya dalam surat al-Rahman,[41] mereka menyebut ilmu yang demikian adalah ilmu yang
tidak bisa dirasionalkan. Dari ayat-ayat tersebut bisa dipahami bahwa ilmu
tersebut didapat melalui pengajaran yang langsung dibimbing oleh Allah SWT
tanpa perantara melainkan dengan kasyaf. Hal tersebut sangat mungkin
terjadi mengingat Allah adalah zat yang Mahakuasa.[42]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
C.
PENUTUP
Ibn ‘Arabi bernama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad
ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi al-Tayy. Dia dari keluarga yang mencintai
ilmu seperti beberapa pamannya yang menjadi ulama dan termasuk dalam struktur
pemerintahan. Selain itu, paman-pamannya serta ayahnya adalah seorang sufi bahkan ada yang rela menyerahkan
jabatannya untuk menyatukan diri kepada Tuhan. Ayahnya sendirilah yang pertama
mengajarkannya tentang tasawwuf sehingga ajaran ini membentuk dia menjadi
seorang sufi. Dia juga memiliki banyak karya karena ia adalah penulis produktif
dan yang paling monomental adalah al-Futuhat al-Makkiyyah, Fusus al-Hikam.
Bagi Ibnu ‘Arabi tuhan adalah esa mutlak, sumber segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Manusia tak dapat menjadi tuhan begitu pula sebaliknya tetapi melalui pengetahuan bisa dicapai penyatuan spiritual dengan tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A. E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1955.
Bukhari, (al) Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhari. juz. 2. t.t: Dar Tuq al-Najah, 1522 H.
Chittick, William C. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi & Nandi Rahman. Jakarta: Gya Media Pratama, 1995.
Faruqi, (al) Isma’il R. & Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. terj. Ilyas Hasan. Bandung Penerbit Mizan, 1998.
Ghurab, Mahmud Mahmud. al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din ibn ‘Arabi Tarjamatu Hayatihi min Kalamihi. Damaskus: Matba‘ah al-Nadr, 1991.
Hasan, Abdillah F. Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam. Surabaya: Jawara Surabaya, t.th.
Hatimi, (al) Abu Bakar Muhyi al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah. Al-Futuhat al-Makkiyah, juz. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. Th.
Hidayat, Muhammad Syarif. “Ibn Arabi: Sebuah Telaah Historis”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.
Mahmud Mahmud Ghurab, Insan Kamil al-Qutb al-Ghauth al-Fard min Kalam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, juz. 2. Damaskus: Matba‘ah al-Nazar, t.th.
……, Al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Klam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi. jil. 2. Damaskus: Dar al-Iman. 2007.
Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, Rasa’il ibn ‘Arabi. Abu Dabi: Manshurat al-Mujamma‘ al-Thaqafi, t.th.
Maghribi, (al) Ahmad ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Hasani al-Ghamari. Awatif al-Lata’if min Ahadith Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Qarni, (al) ‘Abd al-Hafiz Faraghili ‘Ali. Al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi Sultan al-‘Arifin. Kairo: al-Hay’ah al-Masriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1986.
Sahruradi, (al) Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Abd Allah. ‘Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Sari, Nur Masitha. Ekspedisi Mengarungi Polemik Sabda-sabda Nabi Melalui Kasyaf Ibn Arabi, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.
Sheila Ardiana, Refleksi, “Tafsir Isyari dalam Perspektif Ibn Arabi”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.
Imam Malik Masyhuri, Tafsir Ahkam al-Qur’an, Studi Analisis Metode Penafsiran Ibnu al-‘Arabi dalam “Jurnal Dinamika Penelitian” Vol. 7, Nomor 1, Juli 2007.
[1] Irhamni, Hermeneutika dalam Berbagai Pandangan dalam jurnal El-Jadid, “Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam” vol. 1, no. 2, Januari 2004, 22-23.
[2] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1955), 5.
[3] Abu Bakar Muhyi al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi, Al-Futuhat al-Makkiyah, juz. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th), 3.
[4] Muhammad Syarif Hidayat, “Ibn Arabi: Sebuah Telaah Historis”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 3. Ibnu al-‘Arabi juga dikenal sebagai mufassir yang berhasil menyusun kitan tafsir yaitu Ahkam al-Qur’an, ia bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn al-‘Arabi al-Mu‘afiri lahir pada 12 Rajab 486 H/ 1087 dan wafat tahun 543 H/ 1148 M. lihat Imam Malik Masyhuri, Tafsir Ahkam al-Qur’an, Studi Analisis Metode Penafsiran Ibnu al-‘Arabi dalam “Jurnal Dinamika Penelitian” Vol. 7, Nomor 1, Juli 2007.
[5] Afifi, Filsafat Mistis, 1.
[6] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din ibn ‘Arabi Tarjamatu Hayatihi min Kalamihi (Damaskus: Matba‘ah al-Nadr, 1991), 15.
[7] Afifi, Filsafat Mistis, 1.
[8] ‘Abd al-Hafiz Faraghili ‘Ali al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi Sultan al-‘Arifin (Kairo: al-Hay’ah al-Masriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1986), 23.
[9] Hidayat, “Ibn Arabi, 4.
[10] al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar, 31-32.
[11] Ibid, 9.
[12] Hidayat, “Ibn Arabi, 5
[13] Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung Penerbit Mizan, 1998), 333-334.
[14] Hidayat, “Ibn Arabi, 5-6.
[15] Ibid, 6.
[16] Ibid, 7.
[17] Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, Rasa’il ibn ‘Arabi (Abu Dabi: Manshurat al-Mujamma‘ al-Thaqafi, t.th), 14-15.
[18] Afifi, Filsafat Mistis, 3.
[19] Ibid, 4.
[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya, t.th), 314.
[21] al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar, 178-181.
[22] Hasan, Tokoh-tokoh Mashur, 314.
[23] Isma’il R. c Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung Penerbit Mizan, 1998), 333-334.
[24] Ibid.
[25] William C. Chittick, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi & Nandi Rahman (Jkarta: Gya Media Pratama, 1995), 10-11.
[26] al-Faruqi, Atlas Budaya, 333-334.
[27] Chittick, Filsafat Mistis, 15.
[28] Mahmud Mahmud Ghurab, Insan Kamil al-Qutb al-Ghauth al-Fard min Kalam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, juz. 2 (Damaskus: Matba‘ah al-Nazar, t.th), 490-493.
[29] Sheila Ardiana, Refleksi, “Tafsir Isyari dalam Perspektif Ibn Arabi”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 48.
[30] Ghurab, Insan Kamil, 490-493
[31] Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 2 (t.t: Dar Tuq al-Najah, 1522 H), 100. Nomer indeks hadis: 1385.
[32] Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Klam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, jil. 2 (Damaskus: Dar al-Iman, 2007), 180-181.
[33] Ahmad ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Hasani al-Ghamari al-Maghribi, Awatif al-Lata’if min Ahadith Awarif al-Ma‘arif (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 764.
[34] Nur Masitha Sari, Ekspedisi Mengarungi Polemik Sabda-sabda Nabi Melalui Kasyaf Ibn Arabi, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 69.
[35] al-Maghribi, Awatif al-Lata’if, 764.
[36] Jalal al-Din al-Suyuti, Jami‘ al-Ahadith, juz. 9, no 8481, 308.
[37] Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Sahruradi, ‘Awarif al-Ma‘arif (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 893.
[38] al-Maghribi, Awatif al-Lata’if, 764.
[39] Ghurab, Al-Hadith fi Sharh, juz. 1, 23.
[40] Ibid., 24.
[41] Q.S. al-Kahfi: 65, al-Rahman: 4.
[42] Sari, Ekspedisi Mengarungi, 73-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar