HOME

04 Juni, 2022

HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI

 

    A.  PENDAHULUAN

Kajian ke-Islam-an baik di dunia Timur maupun Barat terus berkembang dengan pesat. Kajian terhadap Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW terus dilakukan hingga sekarang. Al-Qur’an maupun hadis merupakan teks yang berbeda, al-Qur’an teksnya langsung dari sang Khaliq sedangkan hadis dari Rasulullah sendiri meskipun dengan bimbingan wahyu-Nya. Maka para pecinta ilmu melakukan berbagai upaya dalam memahami teks-teks tersebut. Mereka mencoba untuk menginterpretasikan teks-teks agama dengan teori masing-masing.

Banyak ahli ilmu yang mencoba menafsiri teks agama dengan tujuan untuk memahami kandungannya. Manusia memiliki ghirah  untuk selalu ingin tahu. Jadi tidak cukup memahami makna luarnya saja bahkan, mereka akan terus melacak gejala yang timbul dibalik teks. Misalnya ketika berbicara dengan seseorang  maka akan berusaha mengetahui apa yang akan dikatakan, dampak yang diakibatkan, dan konsekuensinya. Maka mereka akan melakukan penafsiran-penafsiran dengan hal tersebut. Pada kenyataannya manusia tidak hanya menafsiri teks Bahasa tetapi juga peristiwa sosial, prilaku, suatu kegiatan, benda, karya, dan masih banyak hal lainnya. Kegiatan menafsirkan menjadi rumit ketika obyek yang dikaji diluar Bahasa atau budaya penafsir lebih-lebih yang mempunyai jarak psiko-sosio-kultural tertentu dari pelaku penafsiran sendiri. Meski demikian, manusia terus-menerus melakukan penafsiaran dan mengembangkan teorinya sebisa mungkin. Diantara hasil dari pengembangan tersebut memunculkan teori hermeneutika.[1]

Ibn ‘Arabi merupakan salahsatu dari sekian banyak ilmuan yang mengkaji teks-teks agama.  Ia digambarkan sebagai filsuf yang bertipe tidak beraturan (desultory) elektik (electic), gayanya ambiguous.  Menurut Browne setidaknya ada dua cara untuk memahaminya dalam menyelesaikan masalah yakni ortodok dan pantheistic namun pada kenyataannya ia menggunakan sat cara yakni pantheistic. Jika ia merasakan keortodokannya maka ia mempertahankn dirinya terhadap orang yang dikhayalkannya sedang menantangnya, dengan demikian seakan-akan ia nampak ortodoks. Hal ini pernah dilakukannya ketika ditanya seseorang tentang apa yang dimaksud dengan perkataannya:

“O, Engkau yang melihatku sedang aku tidak melihat-Mu, betapa sering saya lihat Dia sedang Dia tidak melihat saya.

Lalu ia menjawabnya seketika itu pula dengan membuat tambahan yang merubah makna aslinya:

“O, Engkau yang melihat saya yang sudah berbuat dosa, sedang Engkau saya lihat tidak ingin menyalahkan. Betapa sering saya lihat Dia mencurahkat rahmat-Nya, sedangkan Ia melihat saya tidak berusaha mendapatkan rahmat.[2]

Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sosok yang unik dalam pemikirannya. pemikirannya juga tidak mudah dipahami, hal ini bisa dilihat dari karyanya yang sulit dipahami. Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan sekelumit tentang pemikirannya.


    B.  PEMBAHASAN

1.    Riwayat hidup Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi bernama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi al-Tayy.[3] Ia lebih dikenal dengan Ibn al-‘Arabi  di dunia Barat tetapi di Timur, ia dikenal dengan Ibn ‘Arabi. Penggunaan Alif dan Lam memiliki tujuan yaitu untuk membedakannya dengan Ibn al-‘Arabi yang menjadi qadi  (seorang ahli Fiqih).[4] Selain itu, ia juga dikenal dengan ibn Saraqah di dunia Timur.[5] Ia dilahirkan di Murcia sebelah selatan Spanyol pada tanggal 17 Ramadhan 560 H / 28 Juli 1165 M yang merupakan keturunan Arab murni yang bermukim di Spanyol.[6] Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ibn Sa‘id ibn Mardaniyah, Gubernur Andalusia Timur.[7]

Al-Syaikh al-Akbar (Sang Maha Guru) dan Muhyi al-Din (Sang Penghidup Agama) adalah gelar yang disematkan kepada Ibnu ‘Arabi. Selain itu ia juga diberi gelar Qudwah al-Anam, ‘Umdah al-Ahkam, Sultan al-‘Arifin. Keluarga besarnya adalah orang-orang yang taat beragama, hal ini terlihat dari beberapa anggota keluarganya yang menjadi tokoh  sufi. misalnya ‘Ali ibn Muhammad ayah kandung Ibnu ‘Arabi yang merupakan zahid dan sangat menentang hawa nafsu dan materialism. Pada waktu itu ayahnya menjadi salah satu pegawai Muhammad ibn Sa‘id ibn Mardanisi yang menjadi penguasa Murcia pada saat itu. Ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya hingga dituntun ke jalan kezuhudan yang akhirnya berdampak positif terhadap pribadi Ibnu ‘Arabi.[8]

Dinasti Muwahhidun berhasil menaklukkan Murcia pada saat ia berumur 7 tahun, sehingga ayahnya harus membawa keluarganya untuk pindah ke Sevilla. Disana, ayahnya ditunjuk untuk menjadi pegawai pemerintahan. Sebagian keluarga Ibn ‘Arabi adalah orang penting dalam pemerintahan, misalnya Yahya Ibn Yughan. Yahya, salah satu pamannya menjadi penguasa kota Tlemcen di Al-Jazair, tapi pada akhirnya ia meninggalkan jabatannya untuk menjadi seorang sufi dan zahid. Adapula pamannya yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan yaitu Abu Muslim al-Khaulani. Kedua paman ini ikut andil dalam perjalanan spiritualnya Ibn ‘Arabi. Selaian kedua paman di atas, ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn ‘Arabi pamannya yang lain juga seorang sufi.[9]

Sevilla pada saat itu menjadi pusat ilmu dimana banyak ulama terkenal yang bermukim di sana. Di sini pulalah Ibn ‘Arabi banyak menimba ilmu seperti ilmu qira’at, sejarah, adab, sha‘ir, hadis dan sebagainya. Ibn ‘Arabi belajar kepada beberapa ulama terkemuka diantaranya: dalam bidang qira’at ia belajar kepada  Abu Bakar Muhammad ibn Khalaf al-Lakhami al-Ishbili wafat tahun 586 H, Abu Hasan ibn Muhammad ibn Sharif al-Ra’ini, Abu al-Qasim ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Qurtubi wafat tahun 586 H. ia belajar kitab tafsir karya Abu ‘Amr a-Dani kepada Syaikh Abu Bakar Muhammad ibn Abi Khumayra. Adapun dalam bidang hadis, fiqih dan adab ia berguru kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Sa‘id yang dikenal dengan Ibn Zarkun wafat tahun 586 H, Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd Allah ibn Husain ibn Sa‘id al-Azdi al-Ishbili wafat tahun 581 H, Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn Yahya ibn al-Jadd, Abu Muhammad ‘Abd al-Mu‘im ibn ‘Abd al-Rahim al-Khazraji al-Gharnadi wafat 597 H, Abu al-Qasim Jamal al-Din ‘Abd al-Samad ibn Muhammad ibn Abi al-Fadal al-Khurasatani (520 H – 614 H).[10]

Kemudian dia ditunjuk sebagai gubernur Sevilla dan menikahi gadis bernama Maryam binti Muhammad ibn ‘Abdun ibn ‘Abd al-Rahman al-Baja’i. Istrinya juga berasal dari keluarga yang terpandang.[11] Ia meninggalkan Sevilla untuk mengunjungi Tunisia pada tahun 590 H. Pada tahun 597 H ia mendapat ilham spiritual yang memerintahkannya untuk pergi ke timur. Satu tahun kemudian ia menunaikan ibadah haji ke Makkah.[12] Sebelum ke Mekkah, ia menetap di Mesir baru kemudian pada tahun 596 H. selain itu, ia juga berkunjung ke Negara Baghdad, Yarussalem dan Damaskus, dan di Damaskus.[13] Di Mekkah ia berkenalan dengan seorang Syaikh bernama Abu Shuja‘ dari Isbahan yang memiliki seorang putri bernama al-Nizam. Pertemuannya dengan putri Syaikh inilah yang mengilhami Ibn ‘Arabi untuk menulis Tarjuman al-Ashwaq (ungkapan kerinduan) pada tahun 598 H. Selain bertemu dengannya ia juga bertemu dengan Syaikh Majd al-Din Ishaq dari Malatya (sebuah kawasan di Turki) yang memiliki putra bernama Sadr al-Din al-Qunawi (606 H – 673 H / 1210 M – 1274 M) yang kelak menjadi salah satu murid Ibn ‘Arabi.[14]  

Ibn ‘Arabi ikut serta syaikhnya ketika kembali ke Malatya dan selama perjalanannya ia mampir di Mosul. Di kota Mosul inilah ia ditasbihkan oleh ‘Ali ibn ‘Abd Allah ibn al-Jami‘, seseorang yang memperolaah kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidir. Sultan Kay Kaus (607-616 H) mengirim Ibn ‘Arabi ke Baghdad pada tahun 608 H/ 1211 M. Ia memiliki hubungan baik dengan sang Sultan dan juga sahabat penguasa Aleppo al-Malik al-Zahir Ghazi (582-615 H/ 1186-1218 M) putra Salah al-Din al-Ayyubi.[15]

Damaskus adalah tempat terakhir dari perjalanan panjangnya karena disini pulalah ia tinggal hingga wafat. Ia tinggal di Damaskus sejak tahun 620 H/ 1233 M hingga wafat pada 28 Rabi‘ al-Akhir 627 H/ 16 November 1240 M. Ia meninggal di rumah muridnya, Ibn al-Zaki di usianya yang ke-78. Kemudian dimakamkan di kaki gunung Qasiyun sebelah utara Damaskus. Ibn ‘Arabi memiliki dua putra; yang pertama bernama Sa‘d al-Din Muhammad lahir di Malta pada bulan Ramadan tahun 618 H dan menjadi seorang sufi dan  penyair. Putra yang kedua bernama ‘Imad al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad yang wafat pada tahun 667 H. kedua putranya ini dimakamkan disamping makam ayahnya (Ibn ‘Arabi).[16]

2.    Murid-murid Ibnu ‘Arabi

Banyak orang yang menimba ilmu dari Ibnu ‘Arabi, diantaranya:

    Ø  Sadr al-Din al-Qunawi

    Ø  Shihab al-Din ‘Umar ibn Muhammad al-Suhrawardi

    Ø  Abu al-‘Abbas al-Harrar

    Ø  ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam

    Ø  Abu ‘Abd Allah Zakariyaibn Mahmud (pengarang kitab ‘Ajaib al-Makhluqat)

    Ø  Al-Hafiz Abu Tahir al-Asfahani

    Ø  Abu ‘abd Allah Muhammad ibn Mahmud  al-Hafiz Majd al-Din ibn al-Najjar

    Ø  Shafi al-Din ibn Husain Jamal al-Din al-Ansari

    Ø  Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali ibn al-jawzi al-Hafiz

    Ø  Sa‘d al-Din Muhammad ibn al-Mu’ayyad al-Hamawi

    Ø  Al-malik al-Zahir Ghazi ibn al-Nasir Salah al-Din al-Ayyubi

    Ø  Al-Qasim ibn al-Hafiz ibn ‘Asakir

    Ø  Sultan Kay Kaus 1, dan lain sebagainya.[17]

3.    Karya-karya Ibn ‘Arabi

Brockelmann menjelaskan bahwa Ibn ‘Arabi termasuk salahsatu penulis yang maha produktif. Hal ini bisa dilihat dari hasil karyanya yang mencapai 150, itupun yang masih ada. Dari katalog perpustakaan Kerajaan Mesir di Kairo, ditemukan sekitar 90 karya Ibn ‘Arabi yang ada, kebanyakan MSS. Dalam catatannya pada tahun 632/ 1234, Ibn ‘Arabi pernah menyebutkan sendiri bahwa ia pernah menulis sekitar 289 tulisan, Jami mengatakan 500 buku, dan yang paling masyhur adalah pendapat Sha‘rani yang mengatakan ada 100 buah.[18]

Karya-karya Ibn ‘Arabi sebagian besar ditulis di Timur, paling banyak ditulis di Mekkah dan Damaskus. Karyanya yang ditulis sepuluh tahun terakhir sebelum wafat adalah karyanya yang terkenal dan paling matang. Sebelumnya ia menulis tentang monograf yang berkaitan dengan subyek khusus. Misalnya Ibn ‘Arabi menulis Tadribat  yang membicarakan Mikrokosmos. Menulis tentang aturan disiplin dari jalan mistis, aturan sama‘ (audisi, pendengaran), tilawah dimana Ibn ‘arabai menulis Mawaqi‘ dan sebagainya. Opus Magnum nya terdapat dalam kitab Fusus al-Hikam yang selesai pada tahun 628/ 1230. Kitab ini menjadi salahsatu kitab yang sulit dipahami karena tanpa Futuhat al-Makkiyyah yang dianggap sebagai penafsiran dari Fussus al-Hikam, walaupun ada afsir Qasani maka kitab Fusus al-Hikam menjadi kitab yang paling tidak masuk akal dan kabur.[19] Kitab al-Futuhat al-Makkiyah oleh Ibn ‘Arabi diklaim bahwa apa yang ditulisnya adalah ilham dari Allah SWT. Begitu pula dengan Fusus al-Hikam  yang ia terima dari Rasulullah SAW agar disebarkan kepada umat.[20]

Diantara karya-karya ibnu ‘Arabi adalah:

Ø  Al-Kibrit al-Ahmar

Ø  Al-Tadbirat al-Ilahiyyah

Ø  Al-Isra’ ila al-Maqam al-Asra’

Ø  Mawaqi‘ al-Nujum

Ø  ‘anqa’ Mughrib

Ø  Insha’ al-Dawa’ir

Ø  Mishkat al-Anwar Hilyat al-Abdal

Ø  Ruh al-Quds

Ø  Taj al-Rasa’il wa Minhaj al-Wasa’il

Ø  Kitab al-Alif

Ø  Kitab a-Ba’

Ø  Kitab al-Ya’

Ø  Tanazzulatal-Mausiliyya’i

Ø  Kitab al-Jalal wa al-Jamal

Ø  Kitab al-Kunh Ma La Bidda li al-Murid minhu

Ø  Fusus al-hikam

Ø  Al-Futuhat al-Makkiyyah

Ø  Turjuman al-Ashwaq

Ø  Asrar al-Qulub

Ø  Kitab al-Adab

Ø  Asrar Qulub al-‘Arifin

Ø  Asrar al-Wahyi fi al-Mi‘taj

Ø  Tauhid al-Tauhid

Ø  Al-Isharat

Ø  Tauhid al-Qulub

Ø  Al-Haqq

Ø  Taj al-Tarajum

Ø  Al-Qismu al-Ilahi bismi al-Rabbani

Ø  Al-Jalalah

Ø  Shajarat al-Kaun[21]

Ø  Al-Misbah fi al-Jami‘ bain al-sihhah fi al-Hadith

Ø  Al-Hikam al-Ilahiyyah

Ø  Al-Jadwat al-Muqtabisat, dan lain sebagainya.[22]

 

4.    Teori Ibn ‘Arabi

Bagi Ibnu ‘Arabi tuhan adalah esa mutlak, sumber segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Dunia diciptakan karena ada dalam ruang dan waktu. Dunia abadi karena dunia ada dalam pengetahuan Tuhan. Dunia adalah Tuhan dan tuhan adalah dunia karena keduanya tak bisa dibedakan kecuali dalam pengetahuan manusia yang abstrak. Manusia tak dapat menjadi tuhan begitu pula sebaliknya tetapi melalui pengetahuan bisa dicapai penyatuan spiritual dengan tuhan. [23]

Setiap Nabi adalah firman Tuhan dan Muhammad adalah firman Tuhan. Kebenaran atau esensi Muhammad (al-Haqiqah al-Muhammaddiyah) merupakan kekuasaan kreatif Tuhan. Insanul kamil (manusia sempurna) adalah tujuan daari penciptaan yang merupakan mikrokosmos yang merefleksikan keaguangan Tuhan, makrokosmos. Berarti para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali (sahabat) Tuhan. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa ia khatim wali tuhan dan nabi Muhammad adalah khatim para nabi.[24] Istilah Khatim al-wali diambil dari gelar yang diberikan kepada nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi. Term waliyullah pada masa Ibnu ‘Arabi biasa digunakan oleh orang Islam yang bersifat terbuka untuuk mewujudkan model manusia sempurna sebagaimana yang diterapkan oleh Nabi Muhammad.[25]

Menurutnya hubungan yang mengikat tuhan dengan manusia sempurna adalah cinta dan cinta itu bukan timbul karena cinta itu sendiri atau sebelah pihak. Cinta yang dimaksudnya adalah cinta yang memilii tujuan yang hendak dicapai dan cinta ini berfungsi sebagai akibat terhadap sebab yaitu keindahan. Bersamaan dengan identifikasi Tuhan dan dunia, teori wilayah yang dikemukakan Ibnu ‘Arabi tidak disukai oleh kalangan sufi. Teori-teorinya justru membuat kaum sufi beragumentasi untuk menjauh dari Islam normative. Semua kalangan dari ulama, penjaga syariat, muslim ortodoks dan ortopraksis segera bereaksi terhadap pemikiran spekulatif ibnu ‘arabi. Menurut pantaisme, perbedaaan dan anatra kebaikan dan keburukan bercampur karena keduanya sama-sama eksis sedangkan eksistensi dan keilahian merupakan realitas yang sama. Kesimpulan akhir dari penalaran Ibnu ‘Arabi ini adalah bahwa semua agama sama. Kontroversi dan perselisihan antar agama, bahkan argumentasinya dianggap tidak ada artinya oleh ibnu ‘Arabi.[26]

Syaikh Akbar (khatam waliyullah) mengangap dirinya memiliki fungsi untuk menampakkan keutamaan modalitas pokok dari kesempurnaan sebagai manusia yang dilimpahi warisan Muhammad. Setiap mode eksistensi dapat dijangkau manusia sebagai tingkatan spiritual. Maqam (pengetahuan) manusia ditentukan oleh faktor yang kembali pada realitas. Pada taraf tertentu, maqam tesebut mempresentasikan perspektif yang valid tentang sifat realitas dan perspektif berasal dari Nabi. Maqam Nabi Muhammad melampaui maqam nabi-nabi sebelumnya, ia bisa mewujudkan setiap kesempurnaan pada level amal, spiritual dan pengetahuan.[27]

 

5.    Contoh interpretasi Ibn ‘Arabi terhadap al-Qur’an dan hadis

a.    Contoh Ayat al-Qur’an

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

 

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa, dan dari padanya Ia menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah SWT memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (al-Nisa’: 1)

 

Kata nafs disini oleh Ibnu ‘Arabi diartikan sebagai Nabi Adam dan Hawa diciptakan san tulang rusuknya sebagai pendamping. Menurutnya perempuan adalah entitas reseptif karena ia tercipta dari laki-laki yang merupakan entitas kreatif. Tujuan dari penciptaannya Hawa dari tulung rusuk adalah agar tunduk patuh kepada suaminya. Sifat dari tulang rusuk adalah tunduk dan lemah lembut terhadap anak dan suaminya. Maka kecintaan seorang laki-laki terhadap istrinya adalah kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Sedangkan kecintaan perempuan kepada laki-laki karena ia tercipta dari tulang rusuknya.[28]

Selain makna di atas, menurut Ibnu ‘Arabi juga menjelaskan tentang nazariyyah haqiqah Muhammadiyah. Maksudnya adalah Nabi Muhammad adalah bapak manusia di alam ruhani sedangkan Adam bapak manusia di alam jasmani. Jadi Muhammad adalah nafs wahidah sedangkan Adam istri (ibu di alam ruhani), karena wujud Adam diciptakan dari cahaya Muhammad SAW dan Adam termasuk sempurna yang termanifestasi dalamalam nyata. Disamping itu, Adam adalah bapak bagi anak keturunannya dan Hawa adalah istri (istri di alam jasmani).[29]

Menurut pemaparan di atas berarti cinta Hawa adalah cinta pada asal penciptaannya sedangkan cinta Adam pada dirinya sendiri. Adam dan Hawa diciptakan dari nafs wahidah atau satu sumber maka ada kecenderungan dan ketertarikan antara keduanya. Dari penafsiran ayat ini, Ibnu ‘Arabi mengisyaratkan bahwa alam tercipta dari asal yang satu, jiwa dan raga yang sama. Maka seharusnya sesama makhluk Tuhan harus saling menyayangi. Jika ia kafir maka saudara satu bapak dan jika mukmin maka selain saudara satu bapak juga saudara seakidah.[30]

b.    Contoh hadis

حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ»[31]

Adam menceritakan kepada kami, Ibn Abi Zha’bin menceritakan kepada kami dari al-Zuhri dari Abi Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dari Abi Hurairah r.a, dia berkata Rasulullah SAW bersabda “setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian kedua orang tuanyalah yang yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, nasrani atau majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna, apakah kalian melihat cacat padanya?. (H. R. Al-Bukhari)

 

Alif dan lam yang digunakan dalam sabda Nabi "على الفطرة"  untuk “janji” artinya fitrah (suci) yang disucikan oleh Allah SWT. Fitrah juga berarti pembuka, artinya setiap bayi dilahirkan dengan keadaan suci, pertama kali yang diperdengarkan oleh Allah SWT adalah yang disebutkan dalam firman-Nya (ألست بربكم ) , dan pertama kali yang terbuka dari lisan manusia adalah “بلى  maka yang dimaksud dengan fitrah adalah mengakui Allah SWT dengan beribadah kepada-Nya (taat). Jadi alif dan lam dalam lafazh fitrah untuk semua jenis fitrah karena manusia termasuk alam, maka fitrahnya alam untuk seluruh alam, fitrahnya anak adam juga fitrahnya semua alam, fitrahnya setiap makhluk yang ada di alam adalah apa yang tampak dari Tuhan yang akan terwujud hanya ketika beribadah kepada Allah SWT, dan bertasbih dengan lisan mereka dan diterima oleh Tuhan. Maka termasuk nikmat dari Allah SWT yaitu menjadikan fitrah dalam penciptaannya bukan dalam ke-tauhid-an. Oleh karenanya, tujuan fitrah adalah rahmat karena perkara ini berhubungan. Perkara yang terakhir berhubungan dengan yang pertama dan bergabungnya mengandung hikmah hikmahnya hanya wujud. Jika dikatakan lalu dimanakah orang yang pertama kali kafir? Akalnya dipengaruhi oleh orang tua dalam mendidiknya sehingga keluar dari fitrahnya menjadi syirik.[32]

c.    Contoh hadis

Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulaimi meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya al-Arba‘in fi al-Tasawwuf sebagai berikut:

رواه ابن عيينة عن ابن جريح بن عطاء عن ابي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه الا العلماء بالله فاذا نطقو به لا ينكره الا اهل الغرة بالله[33]

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyaynah dari Ibnu Juraih ibn ‘Ata’ dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda “Sesungguhnya terdapat sebagian ilmu yang tersembunyi, hanya para ulama Allah SWT yang mengetahuinya maka apabila mereka membecirakannya, hanya orang yang lalai akan Allah yang mengingkarinya.”[34]

 

Sanad hadis ini, berawal dari Hamid al-Harwi dari Nasr ibn Muhammad ibn al-Harith dari ‘Abd al-Salam ibn Salih, baru kemudian sampai kepada Sufyan ibn ‘Uyaynah.[35] Selain, al-Sulaimi, al-Dailimi juga meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Abu ‘abd al-Rahman namun, al-Mundhir melemahkan riwayat tersebut yang diikuti oleh al-‘Iraqi dalam kitabnya Takhrij Ahadith al-Ihya’.[36] Dalam kitab hadis induk, semisal kkutub al-sittah tidak ditemukan hadis yang sama namun ditemukan dalam kitab ‘Awarif al-Ma‘arif, “ia adalah rahasia Allah yang ditampakkan kepada wali yang amanah dan insan yang mulia tanpa adanya proses belajar. Dan ia termasuk dari rahasia yang tidak tersentuh kecuali oleh orang khusus.[37] Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tibidari jalur al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibn Hasan yang juga sampai pada Sufyan ibn ‘Uyaynah. Ada juga yang meriwayatkan dari jalur Abi al-Salt ‘Abd al-Salam ibn Salih al-Harwi yang dikenal lemah periwayatannya.[38]

Meski demikian, Ibnu ‘Arabi memandang hadis tersebut sahih melalui kasyaf menurut ahlinya. Ada sebagian ilmu yang memang tersebunyi namun, hakekatnya ilmu tidak bisa bersembunyi secara mutlak. Apabila hal tersebut terjadi maka tidak ada satupun ulama yang mengetahui kecuali Allah SWT. Pada kenyataannya Allah SWT memang memberikan ilmu tersebut kepada orang-orang tertentu, yang artinya ada ilmu yang tersembunyi namun tidak seutuhnya.[39]

Jika yang ia dapat dari hasil kasyaf-nya tidak sesuai dengan pilihannya karena merasa terpaksa maka ketika perintah itu dikerjakan dan menimbulkan pertentangan, maka sebenarnya ia tidak melanggar dan tidak bersalah. Pada hakikatnya ia hanya mengerjakan apa yang ia ketahui saja. Pantaslah jika dikatakan ilmu yang demikian hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dan ilmunya tidak bisa diwariskan. Karena ilmu ini didapatkan tanpa ada proses berfikir berbeda dengan ilmu yang melalui proses berfikir yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.[40]

Berdasarkan firman Allah SWT yang membicarakan tentang Nabi Khidir a.s dan tentang firman-Nya dalam surat al-Rahman,[41] mereka menyebut ilmu yang demikian adalah ilmu yang tidak bisa dirasionalkan. Dari ayat-ayat tersebut bisa dipahami bahwa ilmu tersebut didapat melalui pengajaran yang langsung dibimbing oleh Allah SWT tanpa perantara melainkan dengan kasyaf. Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat Allah adalah zat yang Mahakuasa.[42]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

    C.  PENUTUP

Ibn ‘Arabi bernama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi al-Tayy. Dia dari keluarga yang mencintai ilmu seperti beberapa pamannya yang menjadi ulama dan termasuk dalam struktur pemerintahan. Selain itu, paman-pamannya serta ayahnya adalah seorang  sufi bahkan ada yang rela menyerahkan jabatannya untuk menyatukan diri kepada Tuhan. Ayahnya sendirilah yang pertama mengajarkannya tentang tasawwuf sehingga ajaran ini membentuk dia menjadi seorang sufi. Dia juga memiliki banyak karya karena ia adalah penulis produktif dan yang paling monomental adalah al-Futuhat al-Makkiyyah, Fusus al-Hikam.

Bagi Ibnu ‘Arabi tuhan adalah esa mutlak, sumber segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Manusia tak dapat menjadi tuhan begitu pula sebaliknya tetapi melalui pengetahuan bisa dicapai penyatuan spiritual dengan tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, A. E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1955.

Bukhari, (al) Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhari. juz. 2. t.t: Dar Tuq al-Najah, 1522 H.

Chittick, William C. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi & Nandi Rahman. Jakarta: Gya Media Pratama, 1995.

Faruqi, (al)  Isma’il R. & Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. terj. Ilyas Hasan. Bandung Penerbit Mizan, 1998.

Ghurab, Mahmud Mahmud. al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din ibn ‘Arabi Tarjamatu Hayatihi min Kalamihi. Damaskus: Matba‘ah al-Nadr, 1991.

Hasan, Abdillah F. Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam. Surabaya: Jawara Surabaya, t.th.

Hatimi, (al) Abu Bakar Muhyi al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah. Al-Futuhat al-Makkiyah, juz. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. Th.

Hidayat, Muhammad Syarif. “Ibn Arabi: Sebuah Telaah Historis”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.

Mahmud Mahmud Ghurab, Insan Kamil al-Qutb al-Ghauth al-Fard min Kalam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, juz. 2. Damaskus: Matba‘ah al-Nazar, t.th.

……, Al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Klam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi. jil. 2. Damaskus: Dar al-Iman. 2007.

Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, Rasa’il ibn ‘Arabi. Abu Dabi: Manshurat al-Mujamma‘ al-Thaqafi, t.th.

Maghribi, (al) Ahmad ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Hasani al-Ghamari. Awatif al-Lata’if min Ahadith Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.

Qarni, (al) ‘Abd al-Hafiz Faraghili ‘Ali. Al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi Sultan al-‘Arifin. Kairo: al-Hay’ah al-Masriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1986.

Sahruradi, (al) Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Abd Allah. ‘Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.

Sari, Nur Masitha. Ekspedisi Mengarungi Polemik Sabda-sabda Nabi Melalui Kasyaf Ibn Arabi, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.

Sheila Ardiana, Refleksi, “Tafsir Isyari dalam Perspektif Ibn Arabi”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi. Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012.

Imam Malik Masyhuri, Tafsir Ahkam al-Qur’an, Studi Analisis Metode Penafsiran Ibnu al-‘Arabi dalam “Jurnal Dinamika Penelitian” Vol. 7, Nomor 1, Juli 2007.


[1] Irhamni, Hermeneutika dalam Berbagai Pandangan dalam jurnal El-Jadid, “Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam” vol. 1, no. 2, Januari 2004, 22-23.

[2] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1955), 5.

[3] Abu Bakar Muhyi al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimi, Al-Futuhat al-Makkiyah, juz. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th), 3.

[4] Muhammad Syarif Hidayat, “Ibn Arabi: Sebuah Telaah Historis”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 3. Ibnu al-‘Arabi juga dikenal sebagai mufassir yang berhasil menyusun kitan tafsir yaitu Ahkam al-Qur’an, ia bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn al-‘Arabi al-Mu‘afiri lahir pada 12 Rajab 486 H/ 1087 dan wafat tahun 543 H/ 1148 M. lihat Imam Malik Masyhuri, Tafsir Ahkam al-Qur’an, Studi Analisis Metode Penafsiran Ibnu al-‘Arabi dalam “Jurnal Dinamika Penelitian” Vol. 7, Nomor 1, Juli 2007.

[5] Afifi, Filsafat Mistis, 1.

[6] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din ibn ‘Arabi Tarjamatu Hayatihi min Kalamihi (Damaskus: Matba‘ah al-Nadr, 1991), 15.

[7] Afifi, Filsafat Mistis, 1.

[8] ‘Abd al-Hafiz Faraghili ‘Ali al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi Sultan al-‘Arifin (Kairo: al-Hay’ah al-Masriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1986), 23.

[9] Hidayat, “Ibn Arabi, 4.

[10] al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar, 31-32.

[11] Ibid, 9.

[12] Hidayat, “Ibn Arabi, 5

[13] Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung Penerbit Mizan, 1998), 333-334.

[14] Hidayat, “Ibn Arabi, 5-6.

[15] Ibid, 6.

[16] Ibid, 7.

[17] Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, Rasa’il ibn ‘Arabi (Abu Dabi: Manshurat al-Mujamma‘ al-Thaqafi, t.th), 14-15.

[18] Afifi, Filsafat Mistis, 3.

[19] Ibid, 4.

[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya, t.th), 314.

[21] al-Qarni, Al-Shaikh al-Akbar, 178-181.

[22] Hasan, Tokoh-tokoh Mashur, 314.

[23] Isma’il R. c Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung Penerbit Mizan, 1998), 333-334.

[24] Ibid.

[25] William C. Chittick, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi & Nandi Rahman (Jkarta: Gya Media Pratama, 1995), 10-11.

[26] al-Faruqi, Atlas Budaya, 333-334.

[27] Chittick, Filsafat Mistis, 15.

[28] Mahmud Mahmud Ghurab, Insan Kamil al-Qutb al-Ghauth al-Fard min Kalam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, juz. 2 (Damaskus: Matba‘ah al-Nazar, t.th), 490-493.

[29] Sheila Ardiana, Refleksi, “Tafsir Isyari dalam Perspektif Ibn Arabi”, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 48.

[30] Ghurab, Insan Kamil, 490-493

[31] Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 2 (t.t: Dar Tuq al-Najah, 1522 H), 100. Nomer indeks hadis: 1385.

[32] Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Klam al-Shaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, jil. 2 (Damaskus: Dar al-Iman, 2007), 180-181.

[33] Ahmad ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Hasani al-Ghamari al-Maghribi, Awatif al-Lata’if min Ahadith Awarif al-Ma‘arif (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 764.

[34] Nur Masitha Sari, Ekspedisi Mengarungi Polemik Sabda-sabda Nabi Melalui Kasyaf Ibn Arabi, dalam Refleksi Sufistik Ibn Arabi (Mesir: Sa’id Aqil Siradj Center, 2012), 69.

[35] al-Maghribi, Awatif al-Lata’if, 764.

[36] Jalal al-Din al-Suyuti, Jami‘ al-Ahadith, juz. 9, no 8481, 308.

[37] Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Sahruradi, ‘Awarif al-Ma‘arif (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 893.

[38] al-Maghribi, Awatif al-Lata’if, 764.

[39] Ghurab, Al-Hadith fi Sharh, juz. 1, 23.

[40] Ibid., 24.

[41] Q.S. al-Kahfi: 65, al-Rahman: 4.

[42] Sari, Ekspedisi Mengarungi, 73-74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...