HOME

09 Juni, 2022

KRITIK MUSTAFA 'AZAMI TERHADAP PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH NABI

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Kajian terhadap hadis Nabi selalu bergerak mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Perubahan tersebut baik meliputi sisi metodologis maupun pendekatan yang digunakan. Perubahan tersebut semakin terlihat ketika munculnya sarjana-sarjana muslim kontemporer.

Mereka mampu memberikan warna baru dalam kajian hadis yang didasarkan pada kapasitas keilmuan serta waktu keberadaan mereka. Dan juga merupakan suatu yang wajar, jika diantara mereka menimbulkan kritikan, karena pemikiran mereka berbeda dengan pemikiran ulama yang sudah ada.

Salah satu pemikir kontemporer yang mampu memberikan warna baru dalam kajian hadis adalah Muhammad Mustafa al-A’zami. Sudah tidak diragukan lagi kapasitas al-A’zami dalam kajian hadis. Ini terlihat ketika beliau menulis berbagai tulisan di bidang hadis.

    B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana biografi Mustafa al-A’zami?

2.      Bagaimana pemikiran Hadis menurut Mustafa al-A’zami?

3.      Bagaimana Respon Mustafa al-A’zami terhadap Orientalis Hadis?

4.      Bagaimana Sanggahan Mustafa al-A’zami terhadap Schacht Tentang Sanad?

5.      Bagaimana Sanggahan Mustafa al-A’zami Terhadap Schacht Tentang Tersebarnya Sanad?

6.      Bagaimana Kesulitan Teori Projecting Back menurut Mustafa al-A’zami?


BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Biografi Mustafa al-A’zami

Pakar ilmu hadis ini nama lengkapnya adalah Muhammad Mustafa al-A’zami. Beliau dilahirkan di kota Mano, India Utara pada tahun 1932. Atas arahan ayahnya yang membenci penjajahan dan inggris ketika duduk di bangku SLTA beliau diharuskan ke Sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Di sekolah inilah al-A’zami mulai belajar Hadis.[1]

Tamat dari Sekolah Islam, al-A’zami melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan Studi Islam. Al-A’zami tamat tahun 1952. Kemudian beliau melanjutkan lagi ke Fakultas Bahasa Arab Jurusan Tadris (Pengajaran) Universitas al-Azhar, Cairo dan tamat tahun 1955. Dengan bekal ijazah al-‘Alimiyah Universitas al-Azhar, tahun itu juga beliau kembalinya ke tanah airnya India.[2]

Tahun 1956 al-A’zami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 al-A’zami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul “Studies in Early Hadits Literature”. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.[3]

Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyad untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini ‘Ali Mustafa Ya’qub bertemu dengan al-A’zami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia mendapat amanat dari al-A’zami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi Ilmiah al-A’zami melejit ketika pada tahun 1400 H/ 1980 M beliau memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyad.[4]

    B.     Pemikiran Sunnah menurut Mustafa al-A’zami

    1.      Pengertian Sunnah dan Kedudukannya Menurut al-A'zami

Al-Azami mendefinisikan sunnah secara bahasa sebagai tata cara. Sedang dalam Alquran sendiri, menurutnya, kata sunnah dipakai untuk arti tata "cara dan tradisi".

Kemudian kata "sunnah" untuk arti terminologis dengan menambahi "al" di depannya, diartikan sebagai "tata cara dan syari'at Rasulullah saw" dan hal tersebut tidak berarti pengertian etimologisnya itu terhapus, sebab pengertian yang belakang ini hanya dipakai dalam arti yang sempit.[5]

Menurut al-A'zami, sunnah adalah sumber ajaran kedua setelah Alquran sekaligus penjelas Alquran yang bersifat global. Karena diantara tugas Rasulullah saw. adalah menjelaskan hal–hal global dalam Alquran, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Menolaknya sama saja menolak Alquran.[6]

Dari keterangan dalam beberapa ayat, al-A'zami berpandangan sudah jelas bahwa memakai Alquran saja dan meninggalkan sunnah adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan.

    2.      Konsep 'adalah dan Penulisan Hadis Nabi (Tadwin)

Al-A'zami lebih cenderung mengatakan bahwa semua sahabat 'Udul. Beliaupun menyandarkannya pada pendapat Jumhur ulama terdahulu. Beberapa pendahuhulu al-Azami berpendapat bahwa Hadis-hadits Rasul hanya disebarkan secara lisan sampai Abad Pertama Hijriah.[7] Khusus pada abad ke-Tiga merupakan masa yang sangat subur dan produktif dalam penulisan hadis, dan sistem penyusunannya juga sudah lebih baik daripada masa sebelumnya. Hingga pada masa sebelumnya digabungkan dengan masa itu, sehingga sedikit saja yang tersisa. Kesimpulannya, tidak mungkin ada penulisan hadis pada abad pertama Hijriyyah.

Al-Azami sendiri, membenarkan telah adanya penulisan hadis Nabi di Awal Periode Islam, mengenai pendapat golongan yang mengingkari fakta tersebut, al-Azami membantahnya dengan menyebutkan kesalahan dalam argumen semacam itu. Sebagai berikut :

a.       Misinterpretasi tentang kata-kata Tadwīn, Tasnīf, dan Kitābah yang dipahami dalam makna dan pengertian yang sama dalam pencatatan.

b.      Kesalahpahaman tentang istilah Haddathana, Akhbarana, 'An, dan lainnya yang diyakini dipakai untuk periwayatan secara lisan.

c.       Klaim bahwa hafalan orang Arab adalah unik, sehingga mereka tidak perlu mencatat sesuatu apapun di dalam buku.

d.      Sejumlah hadis Nabi sendiri yang bertentangan dengan kegiatan penulisan hadis.

e.       Misinterpretasi ungkapan atau pernyataan para ahli di awal masa perkembangan Islam yang berkaitan dengan penulisan hadis.[8]

    3.      Seputar Otentisitas Hadits Nabi dan Periodesasinya

Periodisasi yang dirumuskan oleh al-Azami adalah penggalan– penggalan masa sejarah tentang perkembangan hadis, yaitu fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan hingga sekarang.

Dalam kitabnya Studies in Early Hadis Literature, al-A'zami telah menyusun periodisasi sejarah dan perkembangan hadis sebagai berikut :

a.        Pra Classical Hadith Literature

Yaitu periodisasi sebelum dibukukannya hadis. Masa ini terjadi mulai zaman Nabi sampai berakhirnya abad pertama Hijryah. Periode ini dibagi kepada 4 fase yaitu : Fase pertama, fase aktifnya para sahabat menerima dan menyampaikan hadis, Fase kedua, fase para tabi'in menerima dan meriwayatkan hadis dari para sahabat, Fase ketiga, fase tabi'it tabi'in menerima dan meriwayatkan dari tabi'in, dan Fase keempat, fase para guru dan ulama hadis mengajar dan menyampaian hadis.

b.      The Learning And Transmitting Of Hadis

Periode ini mulai sejak abad II Hijriyah, yakni sejak dikeluarkanya perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadis. Periode ini terbagi kedalam tiga fase yaitu:

1)      Pertama,  dalam fase ini (a) Ahli hadis, dalam menyusun kitab-kitab hadis memuat juga ayat-ayat Alquran, athar-athar sahabat dan tabi'in, (b) Di semua kota besar yang masuk dalam daerah islam ada ahli-ahli hadisnya yang terkenal.

2)      Kedua,  fase sampai awal abad III Hijriyah. Dalam fase ini (a) Kitab-kitab hadis, Khusus hanya memuat Hadis Nabi saja, (b) Susunan Hadis ada yang berdasarkan topik pembahasan masalah dan ada yang berdasarkan nama sahabat periwayat

3)      Ketiga, Fase pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, perkembangan hadis dari segi penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang tertinggi.[9]

    4.      Persyaratan untuk Hadis Shahīh, hasan Li-Dzātihi, Hasan Li-Ghairihi dan Hadis Mardūd.

Al-Azami mengajukan persyaratan untuk Hadis Sahih sebagaimana berikut:

a.       Kontinuitas mata rantai (Isnad) harus terjaga, yang artinya seluruh perawi kembali kepada perawi terakhir.

b.      Tidak boleh ada shudhudh.

c.       Hadis tersebut tidak boleh mempunyai cacat yang tersembunyi.

Sementara untuk hadis Hasan Li-Dhātihi, ia mengatakan bahwa semua syarat-syarat yang di cantumkan untuk hadis shahih juga di syaratkan untuk hadis hasan Li-Dhatihi, kecuali bahwa para perawinya hanya termasuk kelompok keempat (sadūq) atau istilah lain yang setara dengan tingkatan tersebut.

Untuk Hadis Hasan Li-Ghairih, apabila perawi termasuk ke dalam kelompok kelima atau keenam, dan ada hadis lain yang mendukungnya baik dari segi susunan matan atau yang semakna dengannya, hadis yang pertama disebut hadis Hasan li-Ghairihi. Diterimanya hadis secara keseluruhan adalah didasarkan pada keberadaan ulama yang paling lemah. Jadi jika ada satu orang perawi yang lemah, maka hal itu berakibat pada lemahnya tingkatan hadis tersebut.[10]

    5.      Mengomentari tentang hadis yang di tolak (mardūd), ia lebih spesifik menjelaskan kriteria hadis yang di tolak terbagi menjadi tiga macam:

a.        Penolakan yang disebabkan oleh cacat yang ada pada diri perawi.

b.       Kelemahan yang diakibatkan keterputusan Isnād. Dalam kategori ini, sebuah hadis mungkin disebut mursal, munqothi', dan mu'dhal, namun terkadang juga mauqūf dan maqthū'.

c.       kelemahan yang di akibatkan oleh sebab-sebab yang sepele. Yang termasuk dalam kategori ini adalah : maqlūb, mudtharib, dan mu'allal.[11]

    6.      Naqd al-Hadith

Dalam bukunya Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhaddithin, al-A’zami memasukkan beberapa aktifitas yang termasuk kateori kritik (naqd) :

a.       Menyeleksi (membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha'if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.[12]

b.      Penetapan status cacat atau Adil  pada perawi hadis dengan bukti-bukti yanng mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadits untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang Shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.[13]

7.      Dari perumusan di atas, maka hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah saw, tetapi sekedar uji perangkat yang memuat informasi tentangnya, termasuk uji kejujuran informatornya.[14]

    C.    Respon M. M Azami terhadap Orientalis Hadis

                        Tuduhan-tuduhan kalangan orientalis terhadap hadis nabi mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Salah satunya Mustofa Azami. Melalui beberapa buku yang ditulisnya ia membahas dengan rinci sanggahan sanggahannya. Bahwa ada banyak kesalahan dan tuduhan tuduhan yang tidak berdasar dari kalangan orintalis terhadap hadis nabi.

Salah satu orientalis hadis yang pandangannya dikritik oleh M. M Azami adalah Joseph Schacth. Tokoh orieantalis asal Ratibor, Silesia, polandia.

Schacht mengatakan, bahwa hadis nabi telah dipalsukan oleh para ulama’ abad ke dua dan ketiga yang berusaha menjustivikasi pandangan mereka sendiri dengan melacak ke belakang sampai kepada nabi.[15] Menurutnya, tradisi yang hidup dari madzhab fiqh-fiqh klasik di dasarkan pada sejumlah besar penalaran individual terlebih dahulu, kemudian pada tahap kedua dinyatakan berasal dari sahabat.[16]

Dalam buku Menguji Keasilian Hadis-Hadis Hukum M. M Azami mengkrtik Schact atas karangangannya Origin of Muhammadan Jurisprudence dalam beberapa persoalan:

a.         Inkonsistensi Baik dalam Teori Penggunaan Sumber 

Dalam buku tersebut, Scacht membatasi diri pada hadis-hadis hukum setelah membahas 47 contoh dari periode yang berbeda-beda.[17] Padahal, sebagian yang dibahasnya itu sebenarnya tidak datang dari Nabi dan sebagian besar pula bukan hadis hukum, melainkan hadis ibadah. Dengan kata lain, hanya semperempat dari bahasannya itu yang sesuai dengan bahasan Schacth. Demikan Respon Azami.

 

b.        Asumsi-asumsi yang Tidak berdasar dan Metode Riset yang Tak Ilmiah

Premis dasar yang digunakan Schacht, bahwa jika suatu hadis tidak dirujuk dalam dalam diskusi hukum, maka hadis itu telah dipalsukan. Dia berargumen bahwa generasi sebelum Syafi’I adalah pengecualian dan bahwa semua madzhab fiqih klasik memberikan perlawanan terhadap hadis-hadis Nabi.

Jika pernyataan itu benar, Kata Azami, tentu suatu hadis tidak pernah ada jika tidak digunakan sebagai argumen hukum. Mereka yang menentang hadis-hadis hukum sepertinya hampir tidak pernah mengunakan hadis tersebut.[18]

 

c.         Kesalahan-kesalahan Fakta

Banyak contoh yang dikutib Schacht untuk menunjukkan pemalsuan hadis dianggap tidak valid oleh refrensi kepada sumber lain yang memberikan bukti bahwa ulama sezaman atau yang lebih dulu menyadari adanya hadis tersebut.[19]

d.     Pengabaian Terhadap Realitas Politik dan Geogerafis

Pandangan Schact menginginkan agar kita percaya bahwa tipu daya telah dilakukan secara massal oleh para ulama di seluruh dunia islam pada abad ke-2 H.

Azami mengatakan: “Apa kita percaya bahwa tanpa fasilitas telpon, telegrap atau alat transportasi modern. Para ulama dapat berkomunikasi begitu baik sehingga hadis-hadis yang sama berkembang dalam area yang luas dan terpencar-pencar.”

e.         Kesalahan Terhadap Metode Kutipan para Ulama terdahulu

Azami mengatakan bahwa sebagai seorang sarjana, Scacht telah melakukan kesalahan metodologis, kesalahpahaman dan kesalahtafsiran terhadap kutipan para ulama terdahulu dalam tulisan dan fatwa mereka. Salah satu contohnnya mengenai kompenasasi untuk luka-luka. Schat berpandangan hadis tersebut dilakukan pemalsuan oleh madzhab irak. Padahal kasusnya adalah perselisihan pendapat antara Abu Hanifah dan Malik mengenai kompensasi luka-luka.

Dan terlebih mengenai pembahasan tersebut, tidak ditemukan referensi dari Nabi maupun sumber lain. Pembahasan tersebut adalah mengenai keputusan/ fatwa Abu Hanifah tentang kompesasi untuk jenis luka tertentu yang menimpa seorang hamba.[20]

    D.    Sanggahan terhadap Schacht Tentang Sanad: Gambaran Umum

Ada perbedaan antara kitab sirah dan kitab hadis. Dalam penyusunan kitab Hadis bisa jadi ada dua hadis yang disebutkan dalam satu tempat sementara hadis tersebut tidak berhubungan. Dalam hal ini pembaca tidak akan merasa adanya percampuradukan. Sedangkan kitab sirah selalu memerlukan penuturan kejadian dan kisah-kisah yang selalu berkaitan dan berkesinambungan. Dengan demikian, dari kacamata ilmiah, kita sirah tidak dapat dijadikan obyek studi sanad.[21] Inilah yang banyak dilakukan oleh kalangan orentalis, sebagaimana dikatakan Azami. Mereka menggunakan kita sirah untuk meneliti sanad.

Joseph Schacht, sebut Azami, telah mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik dan kitab al-Umm’ karya imam Syafi’i. Kitab tersebut lebih tepat disebut sebagai kitab fiqih dari pada kitab-kitab Hadis. Dan ia telah menggenerelisasikan hasil kajiannya terhadap kitab tersebut. Dan ia seolah-olah menerapkan terhadap kitab tersebut sebagai kitab hadis.

Menurut Azami ,Schacht tidak memperhatikan cara penyusunan kitab fiqih, bagaimana ketika seorang mufti, hakim, atau pembela menangani suatu masalah tidak harus memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya. Dan ini yang dilakukan oleh ulama-ulama fiqih pada abad pertama hijri.[22]

Dengan demikian, dalam kesimpulan yang ditulis dalam Bab VII tentang “Schacht dan Studi sanad Dalam Kitab Fiqih” dalam buku Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya ia mengatakan, “Adalah suatu kesalahan mendasar apabila kita meneliti hadis-hadis dalam kitab fiqih. Karenanya semua penelitian hadis serta sanad di luar sumber yang asli, hasilnya akan meleset dari kebenaran.”

    E.     Sanggahan Terhadap Schacht Tentang Tersebarnya Sanad

Teori Schacht tentang “Sejarah Pemalsuan Sanad” atau dengan kata lain, “untuk mengetahui masa pemalsuan sanad Hadis” mendapat pujian dari prof. Robson. Ia mengatakan, “Teori ini merupakan sumbangan yang berharga untuk meneliti perkembangan Hadis-hadis Nabi.”

Schacht mengatakan, bahwa sanad Hadis sebagian besar adalah palsu, dan hal itu diakui oleh semua orang bahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulai dalam bentuk sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknya pada paruh kedua abad ketiga hijri. Ia juga memberikan tuduhan, bahwa jika suatu kelompok ingin mengaitkan pendapatnya dengan orang terdahulu, maka kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang-orang terdahulu itu dan menaruhnya kedalam sanad.[23]

Dalam hal ini, Azami membantah, bahwa sebenarnya penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi SAW, hanya saja metode ahli hadis dalam menggunakan sanad itu berbeda-beda, khususnya pada masa sahabat. Dan perhatian terhadap pentingnya sanad itu mencapai puncaknya pada akhir abad pertama. Azami mengatakan, teori projectting Back (proyeksi ke belakang) schacht sulit dibayangkan dan prakteknya juga mustahil.[24]

Selain itu, dalam penelitiannya Shcacht hanya mengambil sebagian Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli-ahli hadis seperti imam Malik dan yang lainnya. Tetapi kemudian ia menerapkannya kepada keseluruhan hadis nabi yang otentik. Bahkan, hadis-hadis yang diambil oleh Schacht adalah Hadis yang dinilai lemah bahkan keliru oleh ahli-ahli Hadis.[25]

    F.      Kesulitan Teori Projecting Back

Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, sebagaimana dikatakan oleh Azami, bahwa teori projecting Back yang digunakan Schacht sangat sulit diterapkan.

Hal tersebut dikemukakan oleh Azami. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh azami untuk membuktikan pernyataannya sebagai berikut:[26]

1)      Dalam dunia ilmu pengetahuan citra seorang guru tidaklah sama. Setiap peajar selalu cenderung untuk berguru kepada guru yang paling baik dan populer. Sementara pada abad kedua hijri, sudah terdapat kaidah-kaidah kritik baik secara lisan maupun tulisan. Dari kaidah tersebut dapat diketahui bahwa ada guru yang memiliki reputasi ilmiah yang tinggi dan sebaliknya. Jika demikian adanya, mengapa para pelajar itu tidak membuat sanad dengan memasukkan nama-nama guru yang memiliki reputasi tinggi. Sebaliknya mereka justeru memilih orang-orang yang dipercaya hadisnya.

2)      Materi-materi Hadis kebanyakan mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok islam seperti Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah dan imamiyah, dimana mereka mereka memisahkan diri dari kelompok ahlussunnah kurang lebih 25 tahun setelah Nabi wafat. Maka, apabila pemalsuan hadis yang berkaitan dengan masalah fiqih itu, pemalsuannya terjadi pada abad kedua dan ketiga hijri sebagaimana dikatakan Schacht, maka tentunya tidak ada satu hadis pun yang secara bersamaan terdapat dalam kelompok islam tersebut. Padahal, kenyataannya, dalam kitab tersebut banyak terdapat Hadis yang materinya berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dalam kesimpulannya, Azami mengakui bahwa memang terjadi pemalsuan hadis pada dekade keempat dari hijrahnya Nabi. Tetapi pemalsuan itu hanya pada masalah politik. Maka sejak saat itu, ahli hadis lebih berhati dalam memilih guru, lebih selektif dalam memilih Hadis dan lebih teliti dalam menerima rawi. Dan dibanding masa sebelumnya, penggunaan sanad setelah itu menjadi sangat penting.

“Kitab-kitab Hadis sampai sekarang ini juga selalu siap untuk diperiksa, diteliti dan dikoreksi, sepanjang hal itu memenuhi kriteria-kriteri ilmiah dan obyejtifitas, bukan atas dasar ketidak tahuan dan kebecian,” ujar Azami di kesimpulan akhir dalam pembahasan sanad.


Baca artikel lainnya yang terkait;

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Demikian beberapa sanggahan yang dikemukaan oleh M. M Azami terhadap karya orientalis tentang hadis Nabi khususnya Joseph schacht. Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa terdapat banyak kesalahan dan tidak sesuai dengan faktas sejarah mengenai tuduhan-tuduhan Schacht terhadap hadis.

Hal ini tidak lain disebabkan karena sikapnya yang subyektif dan memiliki tendensi untuk menghancurkan islam dalam struktur ilmu pengetahuan

 

 DAFTAR PUSTAKA

A’zami (al), Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. ‘Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012

A’zami (al), Muhammad Mustafa, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Riyadh : al-Ummariyah, 1982

A’zami (al), Muhammad Mustafa, Menuji keaslian Hadis-Hadis Hukum, Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004.

A’zami (al), Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah, Tt.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis, Bandung : Penerbit Angkasa, Tt.

Jawabi (al), Juhud al-Muhadditsin. Tp., Tt.

Ya’qub, ‘Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.


[1] ‘Ali Mus}t}afa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 25.

[2] Ibid.

[3] M.M. al-A’z}ami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. ‘Ali Mus}t}afa Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), 700.

[4] Ibid., 700.

[5] Ibid., 13.

[6]  Ibid., 27.

[7] Lihat Abu Thalib al-Maliki, Qut al-Qulub,i:159, Tadzkirah al-Huffadz,i: 144. untuk mengetahui penyebaran hadits secara lisan selama satu abad lebih.

[8] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Hidayah), 54.

[9] M Syuhudi Ismail. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Penerbit Angkasa), 69-71.

[10]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 102-104

[11] Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKkritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 105-109

[12]M. Musthafa al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh : al-Ummariyah, 1982 ) hlm.5

[13] Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, hlm. 94.

[14]Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits Versi Muhadditsin dan Fuqhaha, (Yogyakarta : Teras) hlm. 9-11

[15]M. M Azami, Menuji keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004), hal. 162

[16]Pandangan Schact tersebut di dasarkan pada keyataan bahwa bagian penting sejarah hidup nabi ditulis pada masa belakangan. Sehingga pada masa itu, kira-kira sekitar satu setengah abad setelah nabi wafat, umat islam sudah tidak mempunyai ingatan atas nabi kecuali dalam keadaan samar. Namun, berbagai upaya dilakukan untuk menutupi kekurangan. Materi diatur sedemikian rupa sebentuk Hadis dengan menambahi sanad. Hal ini terjadi pada abad ke dua hijriah. Demikian kesimpulan Schacht sebagai mana ditulis oleh M. M Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.

[17]Ke-47 daftar yang dibahas Schacht adalah sebagai berikut: (1) Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Malik mengenai Luka-luka tertentu dan kompensasinya. Hadist ini tidak datang dari nabi. (2)Sebuah surat yang dinyatakan dari Hasan Bashri kepada Abd al Malik (Bukan dari Nabi). (3) Sujud Setelah membaca ayat-ayat tertentu dalam al Qur’an. (4) Posisiperempuan dalam Shalat Jama’ah, (5) Kutukan kepada musuh dalam Shalat, (6) Waktu yang paling utama untuk Sahalt Subuh, (7) Mengenai Kesucian kota Mekkah, (8) Mengenai Puasa, (9) Luka Pada Gigi,(10) Rampasan perang milik pembunuh,(11), Mereka yang mengikuti suatu golongan adalah anggota golongan itu,(12)  Pencurian barang rampasan oleh budak, (13) Pelarian budak ke daerah musuh (Bukan Hadis Nabi), (14) Kesaksian palsu (Bukan Dari Nabi), (15) Zakan pertanian sepersepuluh,(16) Mengenai pertukaran (larangan menjual makanan biji-bijian sebelum menjadi hak milik), (17) Tayammum, (18) Zakat harta milik anak yatim, (19)  Bagian seorang anak laki-laki yang ikut berperang (Usian matang), (20) Bersuci, (21) Transaksi tertentu, (22) Sujud dalam Al Qur’an, (23) Kesucian Mekkah dan membunuh ular di sana, (24) Larangan merusak barang-barang milik musuh dalam peperangan (Hadis dari Abu Bakar, bukan dari Nabi). Lih. selengkapnya di dalam buku Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum karya Mustafa Azami (Putaka Firdaus: Jakarta, 2004), hal. 166

[18]Argumen ini, menurut Azami menyanggah teori e silentio sebagaimana yang digunakan Schacht dalam tesisnya. teori e selentio mengasumsikan bahwa jika seorang ulama’ pada waktu tertentu mengabaikan suatu hadis tertentu atau tidak menyinggungya atau, terlebih, jika hadis tersebut tidak disinggung oleh ulama’ kemudian, maka hadis tersebut tidak ada pada masa itu. Jika suatu Hadis pertama kali ditemukan dengan isnad yang tidak lengkap, dan kemudian dengan isnad yang lengkap, maka hadis tersebut telah diperbaiki, dengan kata lain dipalsukan.

[19] Kenyatan ini dapat dilihat pada nomer 4, 6, 7, 10, 17, 19, 23, dan 24 dari 47 contoh yang dibahasanya.

[20]Dalam diskusi yang dilakukan antara Abu Hanifah dan Malik tidak ada yang mengarah kepada Hadis ataupun kepada sumber yang lebih tinggi. Tetapi Schacht dapat menemukan hadis palsu dari nabi di dalamnya. Demikian kata Azami. Untuk lebih jelas dan banyak lagi contoh-contoh kesalahan yang dilakukan oleh Schacht dapat dilihat di dalam bukunya Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, hal. 176-221.

[21]M. M Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), hal. 538.

[22]Salah satu contoh cara ahli fiqih klasik dalam menukil Hadis adalah perkataan Abu Yusuf. Ia berkata: “Saya diberi tahu Muhammad bin ishaq, bahwa ubadah al Shalmit ketika ditanya mengenai ayat rampasan perang, ia menjawab, “Masalah itu mengenai diri kami para sahabat Nabi. Allah menurunkan ayat Al-Anfal (Rampasan perang) pada waktu itu kami berbeda pendapat dan sikap kami tidak baik mengenai hal itu. Lalu Allah menyerahka itu kepada Rosulullah. ”” Mustofa Azami, Ibid, hal. 539. Perkataan tesebut dikutib Azami dari kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’I, hal, 7

[23]Ibid, hal. 563-564

[24]Ibid, hal. 564

[25]Contoh dalam hal ini adalah hadis yang diperkenalkan oleh Imam Malik dimana Nabi mengusap sarung kaki. Sanad dari Hadis tersebut salah, dan bahkan al Zurqani menuduh Malik melakukan dua kesalahan. Dan anehnya, dalam bahasan tersebut , Schacht tidak menuturkan ucapan al Zurqani selengkapnya. Asyafi’I selaku murid Imam Malik menjelaskan kekeliruan hadis tersebut dalam sanadnya. 

[26]Ibid, hal. 574-575

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...