A. Pendahuluan
Tindakan,
ucapan dan ketetapan Nabi SAW selain bersifat lokal dan temporal juga bersifat
universal. Pemahaman terhadap berbagai peristiwa disekeliling Nabi SAW jika
dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, maka ada yang harus diterapkan
secara tekstual dan ada yang harus ditetapkan secara kontekstual pada masa
sekarang.
Memahami
sebuah hadis tidak cukup hanya melihat teks hadis semata, namun juga perlu memperhatikan konteksnya,
karena tidak jarang ada hadis yang secara tekstual nampak bertentangan (mukhtalif) atau
sulit dipahami (gharib).
Jika hadis itu memiliki asbab
al-wurud, maka akan dapat membantu memahami maksud hadis itu
disampaikan dan dalam kondisi sosio-kultural seperti apa Nabi SAW
menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitas tersebut, terkadang
akan ditemui kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadis, bahkan
dapat membawa ke dalam pemahaman yang barangkali kurang sesuai.
Dalam
rangka memperoleh dan membantu pehamanan yang sesuai dengan
sosio-historis-kultural saat hadis itu muncul, serta agar terhindar dari
pemaknaan yang keliru, maka dalam makalah ini akan membahas tentang asbab al-wurud (historis), sosiologis, dan antropologis.
B. Pembahasan
1.
Pendekatan
historis
Menurut
bahasa, seperti yang tertulis dalam KBBI (Kamus Besar Bahsa Indonesia) historis
adalah sesuatu yang berkenaan dengan sejarah. Dalam istilah ulama hadis, ilmu
yang berkenaan dengan sejarah munculnya suatu hadis disebut ilmu asbab wurud
al-hadith. Ilmu asbab wurud al-hadith sendiri merupakan salah satu
disiplin ilmu tersendiri dalam ilmu hadis.
a.
Pengertian asbab
al-wurud
Kata asbab al-wurud terdiri dari
dua kata yakni asbab dan al-wurud yang ditambahi al li
al-ta‘rif. Menurut bahasa, kata asbab bentuk jamak dari kata sabab,
artinya sesatu yang dapat menghubungkan dengan sesuatu yang lain atau
sesuatu yang menyebabkan terjadi sesuatu yan lain.[1]
Al-Jurjani dalam kitab al-Ta‘rifat-nya
mendefinisikan kata asbab sebagai nama untuk sesuatu yang dapat mencapai
apa yang dimaksud. Masih menurutnya, secara istilah adalah keterangan yang
berfungsi sebagai jalan untuk mencapai suatu hukum yang tidak dipengaruhi oleh
hukum itu sendiri.[2]
Kata wurud
merupakan bentuk isim masdar dari warada, yaridu, wurudan,
dengan arti datang, tiba[3]
atau sampai[4] atau berarti sumber/tempat air, air
yang darinya ia keluar (al-manahil).[5]
Sedangkan secara terminologi, asbab
al-wurud menurut sebagian ulama adalah peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan-pertanyaan yang melatarbelakangi atau terjadi pada waktu hadis itu disabdakan oleh Nabi SAW.[6] Dalam pengertian semacam ini, asbab
al-wurud identik dengan pengertian asbab al-nuzul hampir mirip dengan asbab al-nuzul.
Menurut ‘Ajjaj
al-Khatib, asbab al-wurud adalah ilmu yang menjelaskan tentang munculnya
sebuah hadis.[7] Artinya, asbab al-wurud sebagai ilmu yang menjelaskan
sebab Nabi SAW bersabda dan waktu ketika Nabi SAW bersabda.
Sementara al-Suyuti menjelaskan asbab al-wurud sebagai sesuatu yang menjadi
metode untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat ‘am (umum), khass (khusus), mutlaq, muqayyad,
dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu
hadis. Namun, definisi al-Suyuti lebih mengarah kepada fungsi asbab al-wurud,
sebagai perangkat untuk menentukan kekhususan dari yang umum, membatasi yang
mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh dan mansukh
dalam suatu hadis.
Dari beberapa
definisi tersebut dapat dijelaskan, bahwa asbab al-wurud adalah sebuah
konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis disabdakan oleh Nabi Saw.
dan dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan atau mengantarkan
kepada maksud hadis, baik bersifat khusus, umum, mutlak atau muqayyad, naskh
atau mansukh.
Pentingnya mengetahui kejadian yang
melingkupi dalam pendekatan kondisi historis akan mempertanyakan mengenai
mengapa Nabi sampai bersabda demikian serta bagaimana kondisi sosio kultural
masyarakat pada saat itu. Termasuk di dalamnya persoalan politik yang saat itu
dimungkinkan mengemuka dan mengintervensi munculnya hadis. Jadi pendekatan
historis yang dilakukan terhadap obyek material hadis secara teknis dilakukan
dengan meneliti proses yang mengikuti munculnya hadis. tidak lain untuk
menemukan penjelas tentang faktor yang menyebabkan suatu hadis itu muncul.
Dengan kata lain, tujuan pendekatan ini adalah menemukan generalisasi yang
berguna dalam upaya memahami gejala problem masa kini.
b.
Contoh hadis 1:
6154 - حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ
اللَّهِ
بْنُ
مُوسَى،
أَخْبَرَنَا
حَنْظَلَةُ،
عَنْ
سَالِمٍ،
عَنِ
ابْنِ
عُمَرَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمَا،
عَنِ
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ:
«لَأَنْ
يَمْتَلِئَ
جَوْفُ
أَحَدِكُمْ
قَيْحًا
خَيْرٌ
لَهُ
مِنْ
أَنْ
يَمْتَلِئَ
شِعْرًا»[8]
Diriwayatkan
dari ‘Ubaid Allah ibn Musa dari Hanzalah dari Salim dari Ibn ‘Umar dari Nabi
SAW: Lebih baik perut kalian diisi dengan nanah daripada diisi dengan syair
(puisi). H.R al-Bukhari
Secara tekstual, hadis ini dapat diambil
kesimpulan bahwa, syair hukumnya haram. Ada indikasi ketidak senangan Nabi
terhadap orang yang bersyair.
c.
Skema sanad
hadis
Skema sanad di bawah ini juga menyertakan komentar jarh-ta‘dil-nya
para rawi, sehingga bisa diketahui apakah hadisnya sahih atau tidak. Dari
penelitian ini menunjukkan bahwa hadis di atas memenuhi syarat sahih (muttasil,
‘adil, dabit, ghairu shadh, ghairu ‘illah), juga sahih dari segi matan.
1.
Nabi Muhammad SAW |
|
2.
Nama: |
Ibnu ‘Umar (w. 73)[9] |
Kritik: |
Sahabat nabi adil |
3.
Nama: |
Salim ibn ‘Abd Allah ibn
‘Umar w. 106[10] |
Kritik: |
Ahmad
ibn Hanbal; thubut Ibnu
Hibban; thiqah |
4.
Nama: |
Hantalah
ibn al-Aswad w. 151[11] |
Kritik: |
Abu
Hatim al-Razi; thiqah Ibnu
Hibban; thiqah |
5.
Nama: |
‘Ubaidillah
ibn Musa ibn Badham w. 219[12] |
Kritik: |
Abu
Hatim; saduq Ibnu
Hibban; thiqah |
6.
Nama: |
Al-Bukhari |
d.
Asbab al-wurud:
سبب: أخرج أحمد ومسلم عن أبي سعيد الخدري قال: بينما نحن نسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعرج إذ عرض شاعر ينشد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " خذوا الشيطان.
أو أمسكوا الشيطان.
، لأن يمتلئ جوف رجل قيحا خير له من يمتلئ شعرا ".[13]
Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Sa‘id al-Khudri, dia berkata: Suatu hari kami
dan Rasulullah melakukan perjalanan dan berada di kota ‘Araj, terletak sekitar
78 mil dari Madinah. Kota ini adalah tempat pertemuan
berbagai jurusan. Oleh karenanya, sangat wajar jika budaya termasuk syair
bertemu di kota tersebut. Tiba-tiba di hadapan Rasulullah ada seseorang yang
membaca syair. Rasulullah kemudian bersabda seperti hadis yang telah disebut di
atas.[14]
Menurut an-Nawawi, syair yang dibacakan isinya
tidak sopan dan melanggar asusila, atau mungkin karena penyairnya orang kafir. Pada zaman sekarang banyak ulama yang
menggunakan syair atau nadham dalam memberikan ajaran pokok agama islam. Maka
boleh menggunakan syair selama itu tidak mengandung hal-hal yang dilarang
agama.[15]
e.
Contoh hadis 2:
حَدَّثَنَا
أَبُو
اليَمَانِ،
أَخْبَرَنَا
شُعَيْبٌ،
عَنِ
الزُّهْرِيِّ،
حَدَّثَنَا
أَبُو
سَلَمَةَ
بْنُ
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ،
أَنَّ
أَبَا
هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ:
قَبَّلَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
الحَسَنَ
بْنَ
عَلِيٍّ
وَعِنْدَهُ
الأَقْرَعُ
بْنُ
حَابِسٍ
التَّمِيمِيُّ
جَالِسًا،
فَقَالَ
الأَقْرَعُ:
إِنَّ
لِي
عَشَرَةً
مِنَ
الوَلَدِ
مَا
قَبَّلْتُ
مِنْهُمْ
أَحَدًا،
فَنَظَرَ
إِلَيْهِ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
ثُمَّ
قَالَ:
«مَنْ
لاَ
يَرْحَمُ
لاَ
يُرْحَمُ»[16]
وحَدَّثَنِي
عَمْرٌو
النَّاقِدُ،
وَابْنُ
أَبِي
عُمَرَ،
جَمِيعًا
عَنْ
سُفْيَانَ،
قَالَ:
عَمْرٌو،
حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ
بْنُ
عُيَيْنَةَ،
عَنِ
الزُّهْرِيِّ،
عَنْ
أَبِي
سَلَمَةَ،
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ،
أَنَّ
الْأَقْرَعَ
بْنَ
حَابِسٍ،
أَبْصَرَ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُ
الْحَسَنَ
فَقَالَ:
إِنَّ
لِي
عَشَرَةً
مِنَ
الْوَلَدِ
مَا
قَبَّلْتُ
وَاحِدًا
مِنْهُمْ،
فَقَالَ
رَسُولُ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
«إِنَّهُ
مَنْ
لَا
يَرْحَمْ
لَا
يُرْحَمْ»[17]
Hadis
yang pertama merupakan teks hadis yang menceritakan bahwa orang yang tidak
menyayangi maka tidak disayangi. Hadis tersebut tidak serta merta muncul dengan
sendirinya. Dalam hadis yang kedua sebelum Nabi bersabda demikian telah
diceritakan bahwasanya al-Aqra‘ ibn Habis melihat Nabi mencium cucunya
al-Hasan, lalu dia berkata “saya memiliki 10 orang anak tetapi saya tidak
pernah satupun dari mereka saya cium” kemudian Rasulullah SAW bersabda
demikian.[18]
Adakalanya
sebab dari munculnya hadis berada dalam teks hadis itu sendiri seperti contoh
di atas. Yang sering ditemukan memang asba al-wurud sebuah hadis disebut
dalam hadis lain tetapi tidak jarang pula ditemukan dalam teks itu sendiri.
f.
Skema sanad
hadis
Skema sanad yang
pertama
1.
Nama: |
Abu
Hurairah w. 57[19] Sahabat:
adil |
2.
Nama: |
‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[20] Ibnu
Hibban; thiqah |
3.
Nama: |
Ibnu
Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[21] Ibnu
Hibban; thiqah |
4.
Nama: |
Shu‘aib
ibn Dinar w. 162[22] |
Kritik: |
Abu
Hatim; thiqah Ibnu
Hibban; thiqah |
5.
Nama: |
Hakam
ibn Nafi‘ m. 138 w. 221[23] |
Kritik: |
Abu
Hatim; saduq Ibnu
Hibban; thiqah |
6.
Nama: |
Al-Bukhari |
Skema sanad yang kedua
1.
Nama: |
Abu
Hurairah w. 57[24] Sahabat:
adil |
2.
Nama: |
‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[25] Ibnu
Hibban; thiqah |
3.
Nama: |
Ibnu
Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[26] Ibnu
Hibban; thiqah |
4.
Nama: |
Sufyan
ibn ‘Uyaynah m. 107 w. 198[27] |
Kritik: |
Abu
Hatim thiqah Ibnu
Hibban hafiz |
5.
Nama: |
Muhammad
ibn Yahya ibn Abi ‘Umar w. 243[28] |
Kritik: |
Abu
Hatim: kana rajulan salihan Ibnu
Hibban thiqah |
6.
Nama: |
‘Amr
ibn Muhammad ibn Bakir w. 232[29] |
Kritik: |
Abu
Hatim thiqah Ibnu
Hibban thiqah |
7.
Nama: |
Muslim |
2.
Pendekatan
sosiologis
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, terutama
didalamnya perubahan-perubahan sosial. Sedangkan sosiologis merupakan tinjauan
secara sosiologi.[30]
Memahami
hadis secara sosiologis yaitu dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya
dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis.
a.
Contoh
حَدَّثَنَا
أَبُو
الوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا
عَاصِمُ
بْنُ
مُحَمَّدٍ،
قَالَ:
سَمِعْتُ
أَبِي،
عَنِ
ابْنِ
عُمَرَ،
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمَا،
عَنِ
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
قَالَ:
«لاَ
يَزَالُ
هَذَا
الأَمْرُ
فِي
قُرَيْشٍ
مَا
بَقِيَ
مِنْهُمُ
اثْنَانِ»[31]
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ،
حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ،
عَنْ
سَهْلِ
(2) أَبِي
الْأَسَدِ،
عَنْ
بُكَيْرٍ
الْجَزَرِيِّ،
عَنْ
أَنَسٍ
قَالَ:
كُنَّا
فِي
بَيْتِ
رَجُلٍ
مِنَ
الْأَنْصَارِ،
فَجَاءَ
رسول
الله
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
حَتَّى
وَقَفَ
فَأَخَذَ،
بِعِضَادَتيِ
(3) الْبَابِ،
فَقَالَ:
" الْأَئِمَّةُ
مِنْ
قُرَيْشٍ،
وَلَهُمْ
عَلَيْكُمْ
حَقٌّ،
وَلَكُمْ
مِثْلُ
ذَلِكَ،
مَا
إِذَا
اسْتُرْحِمُوا
رَحِمُوا،
وَإِذَا
حَكَمُوا
عَدَلُوا،
وَإِذَا
عَاهَدُوا
وَفَّوْا،
فَمَنْ
لَمْ
يَفْعَلْ
ذَلِكَ
مِنْهُمْ
فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ
اللهِ،
وَالْمَلَائِكَةِ،
وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
" (4)[32]
Menurut Syuhudi Ismail
seperti yang telah dijelaskannya dalam bukunya Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual, jika hadis di atas dipahami secara tekstual maka syarat untuk
menjadi kepala negara harus dari kaum Quraisy. Ibnu Khaldun memahaminya secara
kontekstual dari sisi sosiologisnya. Jika dilihat dari sosiologisnya,
kepemimpinan menjadi hak orang quraisy bukan karena etnis quraisynya tetapi
karena kemampuan dan kewibawaannya. Ketika Rasulullah SAW bersabda demikian
beliau melihat bahwa yang memenuhi syarat kepemimpinan adalah kaum quraisy.
Apabila suatu waktu ada etnis selain quraisy memiliki kemampuan dan kewibawaan
yang mumpuni maka berhak untuk menjadi pemimnin.[33]
Redaksi hadis di atas
menggunakan bentuk informative dan dalam hadis yang serupa tidak ada yang
menggunakan bentuk perintah (fi‘il amar). Meskipun bentuk khabar yang
demikian memiliki makna tuntutan tetapi, selama tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan penegasan untuk bermakna tuntutan maka tidak bisa dianggap bermakna
tuntutan. Dalam kasus ini tidak ada tanda dalam teks hadisnya maupun dalam
hadis yang serupa maka, tuntutan disini tidak bersifat wajib.
Secara sosiologis, kaum quraisy
adalah golongan yang paling kuat diantara suku yang lain, paling banyak
jumlahnya, solidaritas dan kebangsawanannya telah membentuk kewibawaan
dikalangan suku yang lain. Kenyataannya, suku yang lain mengamini realitas
tersebut serta tunduk dan patuh di bawah kepemimpinan suku quraisy. Logikanya
adalah, seandainya dipegang suku yanglain maka akan terjadi perpecahan dan
perselisihan yang berkepanjangan.
Ketika orang-orang
non-muslim berhasil menaklukkan wilayah Arab dan berhasil merebut daerah-daerah
strategis, serta perpecahan dalam tubuh kaum quraisy sendiri maka, kaum quraisy
kemudian mengalami kemunduran. Sifat-sifat yang dimilikinyapun mulai terkikis
sedikit demi sedikit sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kaum
quraisy masih menjadi syarat untuk menjadi seorang pemimpin?. Kiranya pendapat
Ibnu Khaldun bisa dikomparasikan dengan fakta sejarah ini bahwa hadis di atas
lebih tepat jika dilihat dari segi sosiologisnya. Suku quraisy tidak lagi
menjadi syarat namun sifat yang dimilikinya masih tetap berlaku bagi pemimpin
suatau kaum.
b.
Takhrij hadis
Skema sanad yang pertama
1.
Nabi Muhammad
SAW |
|
2.
Nama: |
Ibnu ‘Umar (w. 73)[34] Sahabat:
adil |
3.
Nama: |
Muhammad
ibn Zaid[35] |
|
Abu
Hatim: thiqah |
4.
Nama: |
‘Asim
ibn Muhammad[36] |
Kritik: |
Abu
Hatim: thiqah |
5.
Nama: |
Hisham
ibn ‘Abd al-Malik m. 133 w. 227[37] Abu
Hatim: thiqah |
6.
Nama: |
Al-Bukhari |
Skema
sanad yang kedua
1.
Nabi Muhammad
SAW |
|
2.
Nama: |
Anas
ibn Malik w. 93[38] |
Kritik:
|
Sahabat
adil |
3.
Nama: |
Bukair
ibn Wahab[39] |
Kritik: |
Al-Dhahabi:
majhul |
4.
Nama: |
‘Ali
Abu al-’Asad |
Kritik: |
Ibnu
Hajar al-‘Asqalani: maqbul |
5.
Nama: |
Sulaiman
ibn Mahran m. 61 w. 148[40] Abu
Hatim: thiqah Ibnu
Hibban: thiqah |
6.
Nama: |
Waki‘
ibn al-Jarah m. 128 w. 196[41] |
Kritik: |
Abu
Hatim: thiqah |
7.
Nama: |
Ahamad
ibn Hanbal |
Meskipin ada salah satu rawi yang majhul namun ada ulama lain yang
menerima riwayatnya. Ditambah lagi hadis ini memiliki dukungan hadis lain yang
derajatnya sahih.
c.
Contoh kedua
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ
بْنُ
الهَيْثَمِ،
حَدَّثَنَا
عَوْفٌ،
عَنِ
الحَسَنِ،
عَنْ
أَبِي
بَكْرَةَ،
قَالَ:
لَقَدْ
نَفَعَنِي
اللَّهُ
بِكَلِمَةٍ
سَمِعْتُهَا
مِنْ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَيَّامَ
الجَمَلِ،
بَعْدَ
مَا
كِدْتُ
أَنْ
أَلْحَقَ
بِأَصْحَابِ
الجَمَلِ
فَأُقَاتِلَ
مَعَهُمْ،
قَالَ:
لَمَّا
بَلَغَ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَنَّ
أَهْلَ
فَارِسَ،
قَدْ
مَلَّكُوا
عَلَيْهِمْ
بِنْتَ
كِسْرَى،
قَالَ:
«لَنْ
يُفْلِحَ
قَوْمٌ
وَلَّوْا
أَمْرَهُمُ
امْرَأَةً»[42]
Secara tekstual, hadis
ini memberi pengertian bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi kepala
Negara, hakim, dan jabatan yang setara. Perempuan hanya bertugas untuk menjaga
harta suaminya saja.[43] Untuk memahami lebih
dalam maka, perlu mengetahui cerita dibalik munculnya hadis tersebut. Hadis ini
disabdakan ketika Rasulullah mendengar penuturan sahabat yang mengangkat
perempuan menjadi pemimpin di Persia.[44]
Tradisi kerajaan di
Persia yaitu mengangkat anak lelaki sebagai penerus raja namun, yang terjadi
pada tahun 9 H ini berbeda dari adat. Buwaran binti Shairawaih ibn Kisra ibn
Barwiz diangkat menjadi ratu (kisra) karena ayahnya sudah meninggal dan
saudara laki-lakinya juga meninggal saat merebut kekuasaan. Pilihannya adalah
menobatkan keturunan raja untuk dijadikan penggantinya yaitu Buwaran sekalipun
itu menyalahi adat.[45]
Ketika Persia dipimpin
oleh kakek Buwaran, Rasulullah pernah mengirimi surat yang isinya mengajak
mereka untuk memeluk Islam. Kemudian ia merobek-robeknya dan cerita itu
disampaikan kepada Nabi. Setelah Nabi mendengar cerita tersebut, beliau berkata
“barang siapayang merobek-robek suratku maka ia dan kerajannya akan
dirobek-robek.[46] Apa yang disabdakan
Nabi ternyata menjadi kenyataan karena beberapa tahun kemudian kerajan tersebut
mengalamai kehancuran. Bahkan terjadi keakcauan dan pertikaian yang dilakukan
oleh keluarga kerajaan itu sendiri.[47]
Kekacauan yang terjadi
membuat masyarakat tidak percaya kepada kaum perempuan untuk memimpinnya. Peristiwa
yang demikian juga terjadi di Bangsa Arab. Kedatangan Islam kemudian mengubah
nasib perempuan yang mengangkat harkat dan martabatnya. Hal ini seperti
penjelasan Qasim Amin yang dikutip oleh Syuhudi Ismail dari kitabnya al-Mar’ah
al-Jadidah dan Tahrir al-Mar’ah.[48]
Jika keadaan perempuan
demikian, tidak memiliki kewibawaan dan kemampuan maka pantaslah jika
pemerintahannya akan kacau jika dipimpin oleh perempuan yang demikian. Dengan bertambah
majunya zaman, keadaan itu mulai pudar dan terbukti banyak perempun yang telah
menorah penghargaan, tidak kalah dengan kaum lelaki. Oleh karenanya maka, hadis
di atas tidak lagi berlaku bagi kaum perempuan yang sudah maju serta memiliki
kemampuan untuk memimpin maka kenapa tidak untuk menjadikannya pemimpin.[49]
d. Takhrij hadis
1.
Rasulullah
SAW |
|
2.
Nama: |
Nafi‘
ibn al-Harith w. 51[50] |
3.
Nama: |
Al-Hasan
ibn yasar m. 22 w. 110[51] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban thiqah Abu
‘Abd Allah al-Hakim: imam hafiz thiqah |
4.
Nama: |
‘Auf
ibn Bundawaih m. 60 w. 146[52] |
Kritik: |
Abu
Hatim saduq salih Ibnu
Hibban thiqah |
5.
Nama: |
Uthman
ibn ‘Umar al-Haitham w. 220[53] |
Kritik: |
Abu
Hatim saduq Ibnu
Hibban thiqah |
6.
Nama: |
Al-Bukhari |
3.
Pendekatan
antropologis
Adalah
memahami hadis dengan melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang.
a.
Misalnya:
5950 - حَدَّثَنَا
الحُمَيْدِيُّ،
حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ،
حَدَّثَنَا
الأَعْمَشُ،
عَنْ
مُسْلِمٍ،
قَالَ:
كُنَّا
مَعَ
مَسْرُوقٍ،
فِي
دَارِ
يَسَارِ
بْنِ
نُمَيْرٍ،
فَرَأَى
فِي
صُفَّتِهِ
تَمَاثِيلَ،
فَقَالَ:
سَمِعْتُ
عَبْدَ
اللَّهِ،
قَالَ:
سَمِعْتُ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَقُولُ:
«إِنَّ
أَشَدَّ
النَّاسِ
عَذَابًا
عِنْدَ
اللَّهِ
يَوْمَ
القِيَامَةِ
المُصَوِّرُونَ»[54]
“Sesungguhnya orang menerima
siksaan paling dahsyat di hadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak adalah para
pelukis.”
Maksud
hadis ini sangat berkaitan erat dengan praktek keagamaan masyarakat pada saat
itu. Ketika itu, masyarakat belum lepas sepenuhnya dari kepercayaan animism dan
politeisme, yakni menyembah kepada patung dan semacamnya. Nabi dalam
kapasitasnya sebagai utusan untuk menyebarkan agama islam memiliki peran untuk
melepaskan mereka dari praktek kemusyrikan tersebut.[55]
Salah satu caranya yaitu dengan bersabda akan larangan melukis. Jika tidak
demikian maka adat yang seperti itu akan terus berkembang dan tidak bisa
dihilangkan.
Sekiranya
hadis ini memiliki illah yakni kekhawatiran akan kemusyrikan, jika illahnya
hilang maka larangan tersebut juga hilang begitu pula sebaliknya. Sesuai dengan
kaidah usul fiqh:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum itu berkisar dengan illahnya (latar belakang)
keberadaan dan ketiadaannya.
Artinya hukum ditentukan oleh illahnya, keberadaannya
maupun ketiadaannya. Jika hillahnya hilang maka hukumnya tidak ada jika
sebaliknya illahnya masih ada maka hukum itu
berlaku.[56]
b.
Takhrij hadis
1.
Rasulullah
SAW |
|
2.
Nama: |
‘Abd
Allah ibn Mas‘ud w. 32[57] Sahabat:
adil |
3.
Nama: |
Masruq
ibn al-Ajda’ w. 62[58] |
Kritik: |
Abu
Hatim thiqah Ibnu
Hajar al-‘Asqalani thiqah faqih |
4.
Nama: |
Muslim
ibn Sabih w. 100[59] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban thiqah Abu
Zur‘ah al-Razi thiqah |
5.
Nama: |
Sulaiman
ibn Mahran m. 61 w. 148[60] |
Kritik: |
Abu
Hatim thiqah Ibnu
Hibban thiqah |
6.
Nama: |
Sufyan
ibn ‘Uyaynah m. 107 w. 198[61] Abu
Hatim: thiqah Ibnu
Hibban: hafiz |
7.
Nama: |
Al-Humaidi
‘Abd Allah ibn al-Zubair w. 219[62] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban thiqah Abu
‘Abd Allah al-Hakim thiqah ma’mun |
8.
Nama: |
Al-Bukhari |
c.
Contoh kedua:
حَدَّثَنَا
أَصْبَغُ
بْنُ
الفَرَجِ
[ص:102]،
حَدَّثَنِي
ابْنُ
وَهْبٍ،
عَنْ
يُونُسَ،
عَنِ
ابْنِ
شِهَابٍ،
عَنْ
أَبِي
سَلَمَةَ
بْنِ
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ،
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ:
أَنَّ
أَعْرَابِيًّا
أَتَى
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
فَقَالَ:
إِنَّ
امْرَأَتِي
وَلَدَتْ
غُلاَمًا
أَسْوَدَ،
وَإِنِّي
أَنْكَرْتُهُ،
فَقَالَ
لَهُ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
«هَلْ
لَكَ
مِنْ
إِبِلٍ؟»
،
قَالَ:
نَعَمْ،
قَالَ:
«فَمَا
أَلْوَانُهَا؟»
،
قَالَ:
حُمْرٌ،
قَالَ:
«هَلْ
فِيهَا
مِنْ
أَوْرَقَ؟»
،
قَالَ:
إِنَّ
فِيهَا
لَوُرْقًا،
قَالَ:
«فَأَنَّى
تُرَى
ذَلِكَ
جَاءَهَا»
،
قَالَ:
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ،
عِرْقٌ
نَزَعَهَا،
قَالَ:
«وَلَعَلَّ
هَذَا
عِرْقٌ
نَزَعَهُ»
،
وَلَمْ
يُرَخِّصْ
لَهُ
فِي
الِانْتِفَاءِ
مِنْهُ
Diceritakan dari Asbagh ibn al-Faraj
dari ibn Wahab dari Yunus dari Ibn Shihab dari Abi Salamah dari Abu Hurairah:
ada seorang laki-laki Arab menemui Rasulullah, ia mengadu bahwa istrinya telah
melahirkan anak yang berkulit hitam yang membuatnya tidak mempercayainya, lalu
Rasulullah berkata: apakah kamu memiliki unta? Dia menjawab ia, rasulullah
bertanya lagi berwarna apa? Dia menjawab merah, Nabi bertanya lagi apakah ia
dari keturunan unta yang berwarna abu-abu? Dia menjawab mungkin saja unta itu
berasal dari unta yang berkulit abu-abu, lalu Rasulullah bersabda “maka aku
pikir untamu yang berkulit merah itu berasal dari unta yang berkulit abu-abu.
Laki-laki itu kemudian menjawab Ya Rasulullah, untaku yang berkulit merah
keturunan dari unta yang berkulit abu-abu. Nabi lalu menyatakan (masalah
anakmu) semoga berasal dari keturunannya dan nenek moyangmu (yang berkulit
hitam) tidak akan menurunkan keturunan yang menghilangkan darinya.[63]
d.
Takhrij hadis
1.
Nama: |
Abu
Hurairah w. 57[64] |
Kritik: |
Sahabat
adil |
2.
Nama: |
‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[65] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban: thiqah |
3.
Nama: |
Muhammad
ibn Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[66] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban: thiqah |
4.
Nama: |
Yunus
ibn Yazid w. 159[67] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban: thiqah |
5.
Nama: |
‘Abd
Allah ibn Wahab al-Qurashi m. 125 w. 197[68] |
Kritik: |
Ibnu
Hajar al-‘Asqalani: thiqah, hafiz |
6.
Nama: |
Asbagh
ibn al-Faraj w. 225[69] |
Kritik: |
Ibnu
Hibban: thiqah |
7.
Nama: |
Al-Bukhari
|
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
C. Penutup
1.
Memahami hadis dengan pendekatan historis atau yang
dikenal dengan asbab wurud al-hadith
2.
Pentingnya memahami hadis dengan berbagai pendekatan
seperti historisnya, sosiologis maupun antropologis bertujuan agar tidak keluar
dari apa yang dimaksud oleh hadis itu sendiri
3.
Selain itu, agar bisa memahami hadis secara mendalam dan
bisa diambil hikmah/ dijadikan hujjah untuk zaman sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (metode dan pendekatan). Yogyakarta: YPI ar-Rahmah, 2001.
‘Asqalani, (al) Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar Abu al-Fadl. Fath al-Bari Sharh Sahih Mulim. Juz. 8. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379.
Bukhari, (al) Abu ‘Abd Allah Muhammad. Sahih al-Bukhari. Jilid 3. Semarang: Thoha Putra, t.t.
…………….. Sahih al-Bukhari. juz. 8. tt: Dar Tuq al-Najah, 1422 H.
Hanbal, Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn. Musnad Ahmad. Juz. 20. tt: Mu’assah al-Risalah, 2001.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.
Jurjani, (al) ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Zain al-Sharif. al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/ 1983 M.
Khatib, (al) M. Ajjaj. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
Muhdlar, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996.
Mizi, (al) Jamal al-Din. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980.
Naisaburi, (al) Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qushairi. Sahih Muslim. juz. 4. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Arkola, t.th.
Qazwini, (al) Ibnu Majah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibnu Majah. juz. 2. t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.
Sijistani, (al) Abu Dawud Sulaiman ibn al-Ash‘ath. Sunan Abu Daud. Juz. 4. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th.
Suyuti, (al) Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar. Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith. Bairut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 1984.
………….. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004.
Tirmidhi, (al) Muhammad ibn ‘isa ibn Saurah. Sunan al-Tirmidhi. juz. 5. Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah al-Babi al-Halbi, 1395 H
[1] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyah, 1984), 10.
[2] ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Zain al-Sharif al- Jurjani, al-Ta‘rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/ 1983 M), 117.
[3] Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Mughirahbin Badrizbahal-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid 3 (Semarang: Thoha Putra, t.t.), 23.
[4] Ahmad Zuhdi Muhdlar, Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 735.
[5] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 50.
[6] Ibid., 346.
[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), 27.
[8] Muhammad ibn Isma‘il abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 8 (tt: Dar Tuq al-Najah, 1422H), 36. Lihat pula Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 4 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th), 1769. Lihat pula Abu Dawud Sulaiman ibn al-Ash‘ath al-Sijistani, Sunan Abu Daud. Juz. 4 (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th), 302. Lihat pula Muhammad ibn ‘isa ibn Saurah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, juz. 5 (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah al-Babi al-Halbi, 1395 H), 140. Lihat pula Ibnu Majah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, juz. 2 (t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), 236.
[9] Jamal al-Din al-Mizi, Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz 15 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980), 332, 340.
[10] Ibid., 145, 153-154.
[11] Ibid, juz. 7, 443, 445-447.
[12] Ibid, juz. 19, 164, 168-169.
[13] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith, juz. 1 (t.t: Maktab al-Buhuth wa al-Dirasat fi Dar al-Fikr li al-Taba‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1996), 79.
[14] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), 60-61.
[15] Ibid., 61.
[16] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 8, 7.
[17] al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 4, 1808.
[18] Ismail, Hadis Nabi, 56.
[19] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 34, 366.
[20] Ibid, juz. 33, 370, 376.
[21] Ibid, juz. 26, 419, 440-442.
[22] Ibid, juz. 12, 516, 519-520.
[23] Ibid, juz. 7, 146, 153-154.
[24] Ibid, juz 34, 366.
[25] Ibid, juz. 33, 370, 376.
[26] Ibid, juz. 26, 419, 440-442.
[27] Ibid, juz. 11, 177, 188-189.
[28] Ibid, juz. 26, 639, 642.
[29] Ibid, juz. 22, 213, 216-217.
[30] Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, t.th), 719.
[31] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 4, 179.
[32] Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad. Juz. 20 (tt: Mu’assah al-Risalah, 2001), 249.
[33] Ismail, Hadis Nabi, 40.
[34] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 15, 332, 340.
[35] Ibid, juz. 25, 226, 228.
[36] Ibid, juz. 13, 542-543
[37] Ibid, juz. 30, 226, 231-232.
[38] Ibid, juz. 4, 255.
[39] Ibid, juz. 21, 182-183.
[40] Ibid, juz. 12, 76, 89-90.
[41] Ibid, juz. 30, 462, 483-484.
[42] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 6, 8. Lihat pula al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, juz. 4, 527.
[43] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar Abu al-Fadl al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih Mulim, Juz. 8 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379), 128.
[44] Ismail, Hadis Nabi, 65.
[45] al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 128.
[46] Ibid., 127-128.
[47] Ismail, Hadis Nabi, 66.
[48] Ibid.
[49] Ibid., 66-67.
[50] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz. 30, 5, 8-9.
[51] Ibid, juz. 6, 95, 126.
[52] Ibid, juz. 22, 437, 440-441.
[53] Ibid, juz. 19, 502, 504-505.
[54] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 7, 167.
[55] Ismail, Hadis Nabi, 36-37.
[56] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (metode dan pendekatan) (Yogyakarta: YPI ar-Rahmah, 2001), 103-107.
[57] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz. 16, 121-122.
[58] Ibid, juz. 27, 451, 457.
[59] Ibid, juz. 27, 520, 522.
[60] Ibid, juz. 12, 76, 89-90.
[61] Ibid, juz. 11, 177, 188-189.
[62] Ibid, juz. 14, 512, 515.
[63] Ismail, Hadis Nabi, 29-30.
[64] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 34, 366.
[65] Ibid, juz. 33, 370-373.
[66] Ibid, juz. 34, 451.
[67] Ibid, juz. 32, 551-552, 557.
[68] Ibid, juz. 16, 277-278, 286.
[69] Ibid, juz. 3, 304-306.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar