HOME

04 Juni, 2022

MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS

 

    A.  Pendahuluan

Tindakan, ucapan dan ketetapan Nabi SAW selain bersifat lokal dan temporal juga bersifat universal. Pemahaman terhadap berbagai peristiwa disekeliling Nabi SAW jika dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, maka ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus ditetapkan secara kontekstual pada masa sekarang.

Memahami sebuah hadis tidak cukup hanya melihat teks hadis semata,  namun juga perlu memperhatikan konteksnya, karena tidak jarang ada hadis yang secara tekstual nampak bertentangan (mukhtalif) atau sulit dipahami (gharib). Jika hadis itu memiliki asbab al-wurud, maka akan dapat membantu memahami maksud hadis itu disampaikan dan dalam kondisi sosio-kultural seperti apa Nabi SAW menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitas tersebut, terkadang akan ditemui kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadis, bahkan dapat membawa ke dalam pemahaman yang barangkali kurang sesuai.

Dalam rangka memperoleh dan membantu pehamanan yang sesuai dengan sosio-historis-kultural saat hadis itu muncul, serta agar terhindar dari pemaknaan yang keliru, maka dalam makalah ini akan membahas tentang asbab al-wurud (historis), sosiologis, dan antropologis.


    B.  Pembahasan

1.    Pendekatan historis

Menurut bahasa, seperti yang tertulis dalam KBBI (Kamus Besar Bahsa Indonesia) historis adalah sesuatu yang berkenaan dengan sejarah. Dalam istilah ulama hadis, ilmu yang berkenaan dengan sejarah munculnya suatu hadis disebut ilmu asbab wurud al-hadith. Ilmu asbab wurud al-hadith sendiri merupakan salah satu disiplin ilmu tersendiri dalam ilmu hadis.

a.    Pengertian asbab al-wurud

Kata asbab al-wurud terdiri dari dua kata yakni asbab dan al-wurud yang ditambahi al li al-ta‘rif. Menurut bahasa, kata asbab bentuk jamak dari kata sabab, artinya sesatu yang dapat menghubungkan dengan sesuatu yang lain atau sesuatu yang menyebabkan terjadi sesuatu yan lain.[1]

Al-Jurjani dalam kitab al-Ta‘rifat-nya mendefinisikan kata asbab sebagai nama untuk sesuatu yang dapat mencapai apa yang dimaksud. Masih menurutnya, secara istilah adalah keterangan yang berfungsi sebagai jalan untuk mencapai suatu hukum yang tidak dipengaruhi oleh hukum itu sendiri.[2]

Kata wurud merupakan bentuk isim masdar dari warada, yaridu, wurudan, dengan arti datang, tiba[3] atau sampai[4] atau berarti sumber/tempat air, air yang darinya ia keluar (al-manahil).[5] Sedangkan secara terminologi, asbab al-wurud menurut sebagian ulama adalah peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang melatarbelakangi atau terjadi pada waktu hadis itu disabdakan oleh Nabi SAW.[6]  Dalam pengertian semacam ini, asbab al-wurud identik dengan pengertian asbab al-nuzul hampir mirip dengan asbab al-nuzul.

Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, asbab al-wurud adalah ilmu yang menjelaskan tentang munculnya sebuah hadis.[7] Artinya, asbab al-wurud sebagai ilmu yang menjelaskan sebab Nabi SAW bersabda dan waktu ketika Nabi SAW bersabda.

 Sementara al-Suyuti menjelaskan asbab al-wurud sebagai sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat  ‘am  (umum), khass (khusus), mutlaq, muqayyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadis. Namun, definisi al-Suyuti lebih mengarah kepada fungsi asbab al-wurud, sebagai perangkat untuk menentukan kekhususan dari yang umum, membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadis.

Dari beberapa definisi tersebut dapat dijelaskan, bahwa asbab al-wurud adalah sebuah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis disabdakan oleh Nabi Saw. dan dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan atau mengantarkan kepada maksud hadis, baik bersifat khusus, umum, mutlak atau muqayyad, naskh atau mansukh.

Pentingnya mengetahui kejadian yang melingkupi dalam pendekatan kondisi historis akan mempertanyakan mengenai mengapa Nabi sampai bersabda demikian serta bagaimana kondisi sosio kultural masyarakat pada saat itu. Termasuk di dalamnya persoalan politik yang saat itu dimungkinkan mengemuka dan mengintervensi munculnya hadis. Jadi pendekatan historis yang dilakukan terhadap obyek material hadis secara teknis dilakukan dengan meneliti proses yang mengikuti munculnya hadis. tidak lain untuk menemukan penjelas tentang faktor yang menyebabkan suatu hadis itu muncul. Dengan kata lain, tujuan pendekatan ini adalah menemukan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami gejala problem masa kini.

b.    Contoh hadis 1:

 

6154 - حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا»[8]

Diriwayatkan dari ‘Ubaid Allah ibn Musa dari Hanzalah dari Salim dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW: Lebih baik perut kalian diisi dengan nanah daripada diisi dengan syair (puisi). H.R al-Bukhari

Secara tekstual, hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa, syair hukumnya haram. Ada indikasi ketidak senangan Nabi terhadap orang yang bersyair.

c.    Skema sanad hadis

Skema sanad di bawah ini juga menyertakan komentar jarh-ta‘dil-nya para rawi, sehingga bisa diketahui apakah hadisnya sahih atau tidak. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hadis di atas memenuhi syarat sahih (muttasil, ‘adil, dabit, ghairu shadh, ghairu ‘illah), juga sahih dari segi matan.

1.      Nabi Muhammad SAW

 

2.      Nama:

Ibnu ‘Umar (w. 73)[9]

Kritik:

Sahabat nabi adil

3.      Nama:

Salim ibn ‘Abd Allah ibn ‘Umar w. 106[10]

Kritik:

 

Ahmad ibn Hanbal; thubut

Ibnu Hibban; thiqah

4.      Nama:

Hantalah ibn al-Aswad w. 151[11]

Kritik:

 

Abu Hatim al-Razi; thiqah

Ibnu Hibban; thiqah

5.      Nama:

‘Ubaidillah ibn Musa ibn Badham w. 219[12]

Kritik:

 

Abu Hatim; saduq

Ibnu Hibban; thiqah

6.      Nama:

Al-Bukhari

 

d.   Asbab al-wurud:

سبب: أخرج أحمد ومسلم عن أبي سعيد الخدري قال: بينما نحن نسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعرج إذ عرض شاعر ينشد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " خذوا الشيطان.

أو أمسكوا الشيطان.

، لأن يمتلئ جوف رجل قيحا خير له من يمتلئ شعرا ".[13]

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Sa‘id al-Khudri, dia berkata: Suatu hari kami dan Rasulullah melakukan perjalanan dan berada di kota ‘Araj, terletak sekitar 78 mil dari Madinah. Kota ini adalah tempat pertemuan berbagai jurusan. Oleh karenanya, sangat wajar jika budaya termasuk syair bertemu di kota tersebut. Tiba-tiba di hadapan Rasulullah ada seseorang yang membaca syair. Rasulullah kemudian bersabda seperti hadis yang telah disebut di atas.[14]

Menurut an-Nawawi, syair yang dibacakan isinya tidak sopan dan melanggar asusila, atau mungkin karena penyairnya orang kafir. Pada zaman sekarang banyak ulama yang menggunakan syair atau nadham dalam memberikan ajaran pokok agama islam. Maka boleh menggunakan syair selama itu tidak mengandung hal-hal yang dilarang agama.[15]

e.    Contoh hadis 2:

حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: «مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ»[16]

وحَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: عَمْرٌو، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، أَبْصَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ الْحَسَنَ فَقَالَ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ»[17]

 

Hadis yang pertama merupakan teks hadis yang menceritakan bahwa orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi. Hadis tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Dalam hadis yang kedua sebelum Nabi bersabda demikian telah diceritakan bahwasanya al-Aqra‘ ibn Habis melihat Nabi mencium cucunya al-Hasan, lalu dia berkata “saya memiliki 10 orang anak tetapi saya tidak pernah satupun dari mereka saya cium” kemudian Rasulullah SAW bersabda demikian.[18]

Adakalanya sebab dari munculnya hadis berada dalam teks hadis itu sendiri seperti contoh di atas. Yang sering ditemukan memang asba al-wurud sebuah hadis disebut dalam hadis lain tetapi tidak jarang pula ditemukan dalam teks itu sendiri.

f.     Skema sanad hadis

Skema sanad yang pertama

1.      Nama:

Abu Hurairah w. 57[19]

Sahabat: adil

2.      Nama:

‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[20]

Ibnu Hibban; thiqah

3.      Nama:

Ibnu Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[21]

Ibnu Hibban; thiqah

4.      Nama:

Shu‘aib ibn Dinar w. 162[22]

Kritik:

 

Abu Hatim; thiqah

Ibnu Hibban; thiqah

5.      Nama:

Hakam ibn Nafi‘ m. 138 w. 221[23]

Kritik:

 

Abu Hatim; saduq

Ibnu Hibban; thiqah

6.      Nama:

Al-Bukhari

 

Skema sanad yang kedua

1.      Nama:

Abu Hurairah w. 57[24]

Sahabat: adil

2.      Nama:

‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[25]

Ibnu Hibban; thiqah

3.      Nama:

Ibnu Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[26]

Ibnu Hibban; thiqah

4.      Nama:

Sufyan ibn ‘Uyaynah m. 107 w. 198[27]

Kritik:

 

Abu Hatim thiqah

Ibnu Hibban hafiz

5.      Nama:

Muhammad ibn Yahya ibn Abi ‘Umar w. 243[28]

Kritik:

 

Abu Hatim: kana rajulan salihan

Ibnu Hibban thiqah

6.      Nama:

‘Amr ibn Muhammad ibn Bakir w. 232[29]

Kritik:

 

Abu Hatim thiqah

Ibnu Hibban thiqah

7.      Nama:

Muslim

 

2.    Pendekatan sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, terutama didalamnya perubahan-perubahan sosial. Sedangkan sosiologis merupakan tinjauan secara sosiologi.[30]

Memahami hadis secara sosiologis yaitu dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis.

a.    Contoh

 حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لاَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ»[31]

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَهْلِ (2) أَبِي الْأَسَدِ، عَنْ بُكَيْرٍ الْجَزَرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ، بِعِضَادَتيِ (3) الْبَابِ، فَقَالَ: " الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ، وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ، وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ، مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا، وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا، وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ، وَالْمَلَائِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ " (4)[32]

 

Menurut Syuhudi Ismail seperti yang telah dijelaskannya dalam bukunya Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, jika hadis di atas dipahami secara tekstual maka syarat untuk menjadi kepala negara harus dari kaum Quraisy. Ibnu Khaldun memahaminya secara kontekstual dari sisi sosiologisnya. Jika dilihat dari sosiologisnya, kepemimpinan menjadi hak orang quraisy bukan karena etnis quraisynya tetapi karena kemampuan dan kewibawaannya. Ketika Rasulullah SAW bersabda demikian beliau melihat bahwa yang memenuhi syarat kepemimpinan adalah kaum quraisy. Apabila suatu waktu ada etnis selain quraisy memiliki kemampuan dan kewibawaan yang mumpuni maka berhak untuk menjadi pemimnin.[33]

Redaksi hadis di atas menggunakan bentuk informative dan dalam hadis yang serupa tidak ada yang menggunakan bentuk perintah (fi‘il amar). Meskipun bentuk khabar yang demikian memiliki makna tuntutan tetapi, selama tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan penegasan untuk bermakna tuntutan maka tidak bisa dianggap bermakna tuntutan. Dalam kasus ini tidak ada tanda dalam teks hadisnya maupun dalam hadis yang serupa maka, tuntutan disini tidak bersifat wajib.

Secara sosiologis, kaum quraisy adalah golongan yang paling kuat diantara suku yang lain, paling banyak jumlahnya, solidaritas dan kebangsawanannya telah membentuk kewibawaan dikalangan suku yang lain. Kenyataannya, suku yang lain mengamini realitas tersebut serta tunduk dan patuh di bawah kepemimpinan suku quraisy. Logikanya adalah, seandainya dipegang suku yanglain maka akan terjadi perpecahan dan perselisihan yang berkepanjangan.

Ketika orang-orang non-muslim berhasil menaklukkan wilayah Arab dan berhasil merebut daerah-daerah strategis, serta perpecahan dalam tubuh kaum quraisy sendiri maka, kaum quraisy kemudian mengalami kemunduran. Sifat-sifat yang dimilikinyapun mulai terkikis sedikit demi sedikit sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kaum quraisy masih menjadi syarat untuk menjadi seorang pemimpin?. Kiranya pendapat Ibnu Khaldun bisa dikomparasikan dengan fakta sejarah ini bahwa hadis di atas lebih tepat jika dilihat dari segi sosiologisnya. Suku quraisy tidak lagi menjadi syarat namun sifat yang dimilikinya masih tetap berlaku bagi pemimpin suatau kaum.

b.    Takhrij hadis

Skema sanad yang pertama

1.    Nabi Muhammad SAW

 

2.    Nama:

Ibnu ‘Umar (w. 73)[34]

Sahabat: adil

3.    Nama:

Muhammad ibn Zaid[35]

 

Abu Hatim: thiqah

4.    Nama:

‘Asim ibn Muhammad[36]

Kritik:

Abu Hatim: thiqah

5.     Nama:

Hisham ibn ‘Abd al-Malik m. 133 w. 227[37]

Abu Hatim: thiqah

6.     Nama:

Al-Bukhari

 

Skema sanad yang kedua

1.    Nabi Muhammad SAW

 

2.    Nama:

Anas ibn Malik w. 93[38]

Kritik:

Sahabat adil

3.    Nama:

Bukair ibn Wahab[39]

Kritik:

Al-Dhahabi: majhul

4.    Nama:

‘Ali Abu al-’Asad

Kritik:

Ibnu Hajar al-‘Asqalani: maqbul

5.    Nama:

Sulaiman ibn Mahran m. 61 w. 148[40]

Abu Hatim: thiqah

Ibnu Hibban: thiqah

6.    Nama:

Waki‘ ibn al-Jarah m. 128 w. 196[41]

Kritik:

Abu Hatim: thiqah

7.    Nama:

Ahamad ibn Hanbal

Meskipin ada salah satu rawi yang majhul namun ada ulama lain yang menerima riwayatnya. Ditambah lagi hadis ini memiliki dukungan hadis lain yang derajatnya sahih.

c.    Contoh kedua

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»[42]

 

Secara tekstual, hadis ini memberi pengertian bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi kepala Negara, hakim, dan jabatan yang setara. Perempuan hanya bertugas untuk menjaga harta suaminya saja.[43] Untuk memahami lebih dalam maka, perlu mengetahui cerita dibalik munculnya hadis tersebut. Hadis ini disabdakan ketika Rasulullah mendengar penuturan sahabat yang mengangkat perempuan menjadi pemimpin di Persia.[44]

Tradisi kerajaan di Persia yaitu mengangkat anak lelaki sebagai penerus raja namun, yang terjadi pada tahun 9 H ini berbeda dari adat. Buwaran binti Shairawaih ibn Kisra ibn Barwiz diangkat menjadi ratu (kisra) karena ayahnya sudah meninggal dan saudara laki-lakinya juga meninggal saat merebut kekuasaan. Pilihannya adalah menobatkan keturunan raja untuk dijadikan penggantinya yaitu Buwaran sekalipun itu menyalahi adat.[45]

Ketika Persia dipimpin oleh kakek Buwaran, Rasulullah pernah mengirimi surat yang isinya mengajak mereka untuk memeluk Islam. Kemudian ia merobek-robeknya dan cerita itu disampaikan kepada Nabi. Setelah Nabi mendengar cerita tersebut, beliau berkata “barang siapayang merobek-robek suratku maka ia dan kerajannya akan dirobek-robek.[46] Apa yang disabdakan Nabi ternyata menjadi kenyataan karena beberapa tahun kemudian kerajan tersebut mengalamai kehancuran. Bahkan terjadi keakcauan dan pertikaian yang dilakukan oleh keluarga kerajaan itu sendiri.[47]

Kekacauan yang terjadi membuat masyarakat tidak percaya kepada kaum perempuan untuk memimpinnya. Peristiwa yang demikian juga terjadi di Bangsa Arab. Kedatangan Islam kemudian mengubah nasib perempuan yang mengangkat harkat dan martabatnya. Hal ini seperti penjelasan Qasim Amin yang dikutip oleh Syuhudi Ismail dari kitabnya al-Mar’ah al-Jadidah dan Tahrir al-Mar’ah.[48]

Jika keadaan perempuan demikian, tidak memiliki kewibawaan dan kemampuan maka pantaslah jika pemerintahannya akan kacau jika dipimpin oleh perempuan yang demikian. Dengan bertambah majunya zaman, keadaan itu mulai pudar dan terbukti banyak perempun yang telah menorah penghargaan, tidak kalah dengan kaum lelaki. Oleh karenanya maka, hadis di atas tidak lagi berlaku bagi kaum perempuan yang sudah maju serta memiliki kemampuan untuk memimpin maka kenapa tidak untuk menjadikannya pemimpin.[49]

d.   Takhrij hadis

1.    Rasulullah SAW

 

2.    Nama:

Nafi‘ ibn al-Harith w. 51[50]

3.    Nama:

Al-Hasan ibn yasar m. 22 w. 110[51]

Kritik:

 

Ibnu Hibban thiqah

Abu ‘Abd Allah al-Hakim: imam hafiz thiqah

4.    Nama:

‘Auf ibn Bundawaih m. 60 w. 146[52]

Kritik:

 

Abu Hatim saduq salih

Ibnu Hibban thiqah

5.    Nama:

Uthman ibn ‘Umar al-Haitham w. 220[53]

Kritik:

 

Abu Hatim saduq

Ibnu Hibban thiqah

6.    Nama:

Al-Bukhari

 

3.    Pendekatan antropologis

Adalah memahami hadis dengan melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang.

a.    Misalnya:

5950 - حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ، فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ، فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ، فَقَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ»[54]

Sesungguhnya orang menerima siksaan paling dahsyat di hadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak adalah para pelukis.

Maksud hadis ini sangat berkaitan erat dengan praktek keagamaan masyarakat pada saat itu. Ketika itu, masyarakat belum lepas sepenuhnya dari kepercayaan animism dan politeisme, yakni menyembah kepada patung dan semacamnya. Nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan untuk menyebarkan agama islam memiliki peran untuk melepaskan mereka dari praktek kemusyrikan tersebut.[55] Salah satu caranya yaitu dengan bersabda akan larangan melukis. Jika tidak demikian maka adat yang seperti itu akan terus berkembang dan tidak bisa dihilangkan.

Sekiranya hadis ini memiliki illah yakni kekhawatiran akan kemusyrikan, jika illahnya hilang maka larangan tersebut juga hilang begitu pula sebaliknya. Sesuai dengan kaidah usul fiqh:

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

   Hukum itu berkisar dengan illahnya (latar belakang) keberadaan dan ketiadaannya.

Artinya hukum ditentukan oleh illahnya, keberadaannya maupun ketiadaannya. Jika hillahnya hilang maka hukumnya tidak ada jika sebaliknya illahnya masih ada maka hukum itu berlaku.[56]

b.    Takhrij hadis

1.    Rasulullah SAW

 

2.    Nama:

‘Abd Allah ibn Mas‘ud w. 32[57]

Sahabat: adil

3.    Nama:

Masruq ibn al-Ajda’ w. 62[58]

Kritik:

 

Abu Hatim thiqah

Ibnu Hajar al-‘Asqalani thiqah faqih

4.    Nama:

Muslim ibn Sabih w. 100[59]

Kritik:

 

Ibnu Hibban thiqah

Abu Zur‘ah al-Razi thiqah

5.    Nama:

Sulaiman ibn Mahran m. 61 w. 148[60]

Kritik:

 

Abu Hatim thiqah

Ibnu Hibban thiqah

6.    Nama:

Sufyan ibn ‘Uyaynah m. 107 w. 198[61]

Abu Hatim: thiqah

Ibnu Hibban: hafiz

7.    Nama:

Al-Humaidi ‘Abd Allah ibn al-Zubair w. 219[62]

Kritik:

 

Ibnu Hibban thiqah

Abu ‘Abd Allah al-Hakim thiqah ma’mun

8.    Nama:

Al-Bukhari

 

c.    Contoh kedua:

حَدَّثَنَا أَصْبَغُ بْنُ الفَرَجِ [ص:102]، حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلاَمًا أَسْوَدَ، وَإِنِّي أَنْكَرْتُهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟» ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا أَلْوَانُهَا؟» ، قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ: «هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟» ، قَالَ: إِنَّ فِيهَا لَوُرْقًا، قَالَ: «فَأَنَّى تُرَى ذَلِكَ جَاءَهَا» ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِرْقٌ نَزَعَهَا، قَالَ: «وَلَعَلَّ هَذَا عِرْقٌ نَزَعَهُ» ، وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ فِي الِانْتِفَاءِ مِنْهُ

Diceritakan dari Asbagh ibn al-Faraj dari ibn Wahab dari Yunus dari Ibn Shihab dari Abi Salamah dari Abu Hurairah: ada seorang laki-laki Arab menemui Rasulullah, ia mengadu bahwa istrinya telah melahirkan anak yang berkulit hitam yang membuatnya tidak mempercayainya, lalu Rasulullah berkata: apakah kamu memiliki unta? Dia menjawab ia, rasulullah bertanya lagi berwarna apa? Dia menjawab merah, Nabi bertanya lagi apakah ia dari keturunan unta yang berwarna abu-abu? Dia menjawab mungkin saja unta itu berasal dari unta yang berkulit abu-abu, lalu Rasulullah bersabda “maka aku pikir untamu yang berkulit merah itu berasal dari unta yang berkulit abu-abu. Laki-laki itu kemudian menjawab Ya Rasulullah, untaku yang berkulit merah keturunan dari unta yang berkulit abu-abu. Nabi lalu menyatakan (masalah anakmu) semoga berasal dari keturunannya dan nenek moyangmu (yang berkulit hitam) tidak akan menurunkan keturunan yang menghilangkan darinya.[63]

d.   Takhrij hadis

 

1.      Nama:

Abu Hurairah w. 57[64]

Kritik:

Sahabat adil

2.      Nama:

‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf m. 22 w. 94[65]

Kritik:

Ibnu Hibban: thiqah

3.      Nama:

Muhammad ibn Shihab al-Zuhri m. 52 w. 124[66]

Kritik:

Ibnu Hibban: thiqah

4.      Nama:

Yunus ibn Yazid w. 159[67]

Kritik:

Ibnu Hibban: thiqah

5.      Nama:

‘Abd Allah ibn Wahab al-Qurashi m. 125 w. 197[68]

Kritik:

Ibnu Hajar al-‘Asqalani: thiqah, hafiz

6.      Nama:

Asbagh ibn al-Faraj w. 225[69]

Kritik:

Ibnu Hibban: thiqah

7.      Nama:

Al-Bukhari


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

    C.  Penutup

1.    Memahami hadis dengan pendekatan historis atau yang dikenal dengan asbab wurud al-hadith

2.    Pentingnya memahami hadis dengan berbagai pendekatan seperti historisnya, sosiologis maupun antropologis bertujuan agar tidak keluar dari apa yang dimaksud oleh hadis itu sendiri

3.    Selain itu, agar bisa memahami hadis secara mendalam dan bisa diambil hikmah/ dijadikan hujjah untuk zaman sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (metode dan pendekatan). Yogyakarta: YPI ar-Rahmah, 2001.

‘Asqalani, (al) Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar Abu al-Fadl. Fath al-Bari Sharh Sahih Mulim. Juz. 8. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379.

Bukhari, (al) Abu ‘Abd Allah Muhammad. Sahih al-Bukhari. Jilid 3. Semarang: Thoha Putra, t.t.

…………….. Sahih al-Bukhari. juz. 8. tt: Dar Tuq al-Najah, 1422 H.

Hanbal, Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn. Musnad Ahmad. Juz. 20. tt: Mu’assah al-Risalah, 2001.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

Jurjani, (al) ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Zain al-Sharif. al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/ 1983 M.

Khatib, (al) M. Ajjaj. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

Muhdlar, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996.

Mizi, (al) Jamal al-Din. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980.

Naisaburi, (al) Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qushairi. Sahih Muslim. juz. 4. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.

Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Arkola, t.th.

Qazwini, (al) Ibnu Majah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibnu Majah. juz. 2. t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.

Sijistani, (al) Abu Dawud Sulaiman ibn al-Ash‘ath. Sunan Abu Daud. Juz. 4. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th.

Suyuti, (al) Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar. Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith. Bairut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 1984.

………….. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004.

Tirmidhi, (al) Muhammad ibn ‘isa ibn Saurah. Sunan al-Tirmidhi. juz. 5. Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah al-Babi al-Halbi, 1395 H


[1] Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyah, 1984), 10.

[2] ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Zain al-Sharif al- Jurjani, al-Ta‘rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/ 1983 M), 117.

[3] Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Mughirahbin Badrizbahal-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid 3 (Semarang: Thoha Putra, t.t.), 23.

[4] Ahmad Zuhdi Muhdlar, Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 735.

[5] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 50.

[6] Ibid., 346.

[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), 27.

[8] Muhammad ibn Isma‘il abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 8 (tt: Dar Tuq al-Najah, 1422H), 36. Lihat pula Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 4 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th), 1769. Lihat pula Abu Dawud Sulaiman ibn al-Ash‘ath al-Sijistani, Sunan Abu Daud. Juz. 4 (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th), 302. Lihat pula Muhammad ibn ‘isa ibn Saurah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, juz. 5 (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah al-Babi al-Halbi, 1395 H), 140. Lihat pula Ibnu Majah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, juz. 2 (t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), 236.

[9] Jamal al-Din al-Mizi, Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz 15 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980), 332, 340.

[10] Ibid., 145, 153-154.

[11] Ibid, juz. 7, 443, 445-447.

[12] Ibid, juz. 19, 164, 168-169.

[13] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith, juz. 1 (t.t: Maktab al-Buhuth wa al-Dirasat fi Dar al-Fikr li al-Taba‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1996), 79.

[14] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), 60-61.

[15] Ibid., 61.

[16] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 8, 7.

[17] al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 4, 1808.

[18] Ismail, Hadis Nabi, 56.

[19] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 34, 366.

[20] Ibid, juz. 33, 370, 376.

[21] Ibid, juz. 26, 419, 440-442.

[22] Ibid, juz. 12, 516, 519-520.

[23] Ibid, juz. 7, 146, 153-154.

[24] Ibid, juz 34, 366.

[25] Ibid, juz. 33, 370, 376.

[26] Ibid, juz. 26, 419, 440-442.

[27] Ibid, juz. 11, 177, 188-189.

[28] Ibid, juz. 26, 639, 642.

[29] Ibid, juz. 22, 213, 216-217.

[30] Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, t.th), 719.

[31] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 4, 179.

[32] Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad. Juz. 20 (tt: Mu’assah al-Risalah, 2001), 249.

[33] Ismail, Hadis Nabi, 40.

[34] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 15, 332, 340.

[35] Ibid, juz. 25, 226, 228.

[36] Ibid, juz. 13, 542-543

[37] Ibid, juz. 30, 226, 231-232.

[38] Ibid, juz. 4, 255.

[39] Ibid, juz. 21, 182-183.

[40] Ibid, juz. 12, 76, 89-90.

[41] Ibid, juz. 30, 462, 483-484.

[42] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 6, 8. Lihat pula al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, juz. 4, 527.

[43] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar Abu al-Fadl al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih Mulim, Juz. 8 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379), 128.

[44] Ismail, Hadis Nabi, 65.

[45] al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 128.

[46] Ibid., 127-128.

[47] Ismail, Hadis Nabi, 66.

[48] Ibid.

[49] Ibid., 66-67.

[50] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz. 30, 5, 8-9.

[51] Ibid, juz. 6, 95, 126.

[52] Ibid, juz. 22, 437, 440-441.

[53] Ibid, juz. 19, 502, 504-505.

[54] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 7, 167.

[55] Ismail, Hadis Nabi, 36-37.

[56] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (metode dan pendekatan) (Yogyakarta: YPI ar-Rahmah, 2001), 103-107.

[57] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz. 16, 121-122.

[58] Ibid, juz. 27, 451, 457.

[59] Ibid, juz. 27, 520, 522.

[60] Ibid, juz. 12, 76, 89-90.

[61] Ibid, juz. 11, 177, 188-189.

[62] Ibid, juz. 14, 512, 515.

[63] Ismail, Hadis Nabi, 29-30.

[64] al-Mizi, Tahdhib al-Kamal, juz 34, 366.

[65] Ibid, juz. 33, 370-373.

[66] Ibid, juz. 34, 451.

[67] Ibid, juz. 32, 551-552, 557.

[68] Ibid, juz. 16, 277-278, 286.

[69] Ibid, juz. 3, 304-306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...