HOME

05 Juni, 2022

KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH

 

    A.  Pendahuluan

Hadis yang oleh umat muslim diyakini sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur’an sangat menarik untuk dikaji. Rasulullah SAW juga bersabda agar selalu berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan sunnahnya. Segala bentuk sabda, prilaku dan sebagainya yang dilakukan dan yang tampak dalam diri Rasulullah maka pantas untuk dijadikan panutan bahkan ada yang bermuatan wajib. Sunnah Rasulullah memiliki peran sangat penting untuk dijadikan perantara memahami al-Qur’an. Karena ayat yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat universal sehingga perlu adanya penafsiran terhadap ayat tersebut dan Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang hal itu.

Sunnah Rasulullah SAW sendiri mengandung ilmu-ilmu yang banyak manfaatnya. Di tambah lagi hadis sendiri masih menyisakan pertanyan-pertanyaan yang harus dijawab dengan ilmiyah. Maka banyak yang tertarik untuk meneliti hadis baik dari kaum muslim maupun non-muslim. Salah satu faktor ketertarikan tersebut adalah fakta bahwa hadis ditulis setelah Rasulullah wafat dan terbentang oleh waktu yang panjang. Oleh karenanya banyak peneliti yang pada kesimpulan akhirnya mengatakan bahwa hadis palsu, tidak bisa dijadikan hujjah yang disebut dengan pengingkar Sunnah.

Secara kuantitas, hadis terbagi menjadi dua yakni mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir  tidak banyak diperdebatkan bahkan ulama sepakat untuk menjadikannya hujah. Hal ini berbeda dengan hadis ahad yang terjadi perbedaan pendapat sebagian menjadikannya hujah adapula yang tidak menerimanya sebagai hujah. Dalam makalah ini penulis berupaya untuk menguraikan alasan-alasan pengingkar sunah dan dalil untuk membantahnya.

    B.  Pembahasan

1.    Hadis Ahad

a.    Definisi hadis ahad

Kata ahad (أحاد) jamak dari ahadun (أحد) yang berarti satu (واحد). Hadis ahad, secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.

Sedangkan menurut istilah hadis ahad adalah

مالم يجمع شروط المتواتر[1]

“Hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir”.[2]

Definisi yang dijelaskan oleh Mahmud Tahhan seperti pendapat Imam Ibnu Hajar yang dikutip oleh Suhaib al-Saqar dalam kitabnya al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi Masa’il al-I‘tiqad.[3]

Al-Qasimi mendefinisikan hadis ahad sebagai berikut:

وأما خبر الواحد فهو ما لم يوجد فيه شروط المتواتر سواء كان الراوي له واحدًا أو أكثر[4]

Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir baik perawinya hanya seorang atau lebih banyak.

Sedangkan menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi, kandungannya memberi pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat‘i atau yakin. Dari definisi di atas, bisa dipahami bahwa dari segi kuantitas perawi, hadis ahad berada di bawah hadis mutawatir. Begitu pula dari segi subtansinya, hadis ahad bersifat zanni bukan qat‘i. Dengan alasan inilah yang bisa membedakan antara hadis ahad dan hadis mutawatir.[5]

b.    pembagian hadis ahad

1)   hadis ahad dari segi kuantitas

Dari segi kuantitas, hadis ahad terbagi pada tiga bagian yakni; mashhur, ‘aziz dan gharib.

a)    Hadis mashhur

Al-shuhrah (kemasyhuran) secara etimologi berarti tersebar dan tersiar.

Secara termenologi ulama hadis, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar adalah:

الحديث المشهور ما له طرق محصورة بأكثر من اثنين[6]

Hadis masyhur adalah hadis yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.[7]

Artinya hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mencapai batas mutawatir.[8] Lebih jelas lagi, Mahmud Tahhan mengatakan bahwa hadis ahad  adalah hadis yang riwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam setiap tabaqah-nya dan tidak sampai pada batas mutawatir.[9]

b)   Hadis Aziz

Kata ‘Aziz berasal dari ‘azza-ya‘izzu, artinya la yakadu yujadu aw qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari ‘azza-yaazzu berarti qawiya (kuat).[10]

Sedangkan menurut istilah, seperti yang dikutip Munzier Suparta dari kitab al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif hadis ‘aziz adalah:

 ما جاء في طبقة من طبقات رواته أو أكثر من طبقة إثنان

“Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad”[11]

Mahmud Tahhan menjelaskan lebih lanjut bahwa meskipun disebagian tabaqah  terdapat tiga rawi atau lebih  tidak menjadi masalah yang terpenting adalah dalam salah satu tabaqah terdapat dua rawi saja.[12]

c)    Hadis Gharib

Secara etimologi, gharib adalah sifat mushabbihah,[13] al-munfarid (menyendiri), al-ba‘id ‘an ’aqaribihi (jauh dari kerabatnya).[14]

Seperti yang dijelaskan Nur al-Din ‘Itr dalam kitabnya Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith,  hadis gharib menurut ulama hadis adalah:

الحديث الذي تفرد به راويه سواء تفرد به عن إمام يجمع حديثه أو عن راو غير إمام[15]

“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.[16]

 

2)   hadis ahad dari segi kualitas

Hadis ahad jika dilihat dari segi kualitas terbagi menjadi tiga, yakni; sahih, hasan dan da‘if.

a)    Hadis sahih

1.a. defnisi hadis sahih

الحديث الصحيح هو المسند المتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.[17]

Hadis sahih ialah musnad yang sanadnya bersambung dengan periwayatan perawi yang adil dan dabit yang berasal dari orang-orang yang adil dan dabit sampai akhir sanad tanpa adanya kejanggalan dan cacat.

 

1.b. kehujjahan hadis sahih

Ulama Usul dan para ahli fikih berpendapat bahwa seluruh hadis yang berkualitas sahih harus diamalkan karena, hadis sahih bisa dijadikan hujjah sebagai dalil shara’. Maksud hadis sahih disini ialah hadis yang sanad dan matannya berkualitas sahih sebab banyak peneliti yang memvonis sahih setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut Muhammad Zuhri matn juga perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan dan kejanggalan.[18] Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja pada tiap-tiap tabaqah.[19]

b)   Hadis hasan

1.a. definisi hadis hasan

الحديث الحسن هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل عدل خف ضبطه غير شاذ ولا معلل[20]

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya tidak rancu dan tidak cacat.[21]

 

1.b. kehujjahan hadis hasan

Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidhy dan statusnya dibawah hadis sahih. Hal ini dikarenakan perbedaan tingkat kecermatan periwayat[22] tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama halnya dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah. Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan dengan alasan bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan. Sikap ini adalah bentuk kehati-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk dijadikan dalil hukum.[23]

c)    Hadis da‘if

1.a. definisi hadis da’if

ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول[24]

Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis makbul (yang dapat diterima).[25]

 

1.b. kehujjahan hadis da‘if

Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum syara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya.[26] Begitu pula terhadap kehujjahan hadis da‘if, para ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if sebagai hujjah walaupun hanya untuk memberi sugesti seperti pendapat yang dikemukan oleh Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis da‘if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani tetapi dengan catatan:[27]

a.    Hadis tersebut tidak terlalu lemah.

b.    Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan).

c.    Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.

2.    Kehujjahan hadis ahad

Tentang kehujjahan hadis ahad para sahabat, tabiin dan ulama setelahnya baik itu ahli usul, fiqh, maupun hadis, mereka menjadikan hadis ahad sebagai hujah dan wajib diamalkan. Wajibnya mengamalkan hadis ahad berdasarkan kewajiban qat‘i bukan ‘aqli. Tidak semua kalangan sepakat dengan pendapat tersebut, diantaranya kalangan qadariyah, rafidah, dan sebagian kelompok zahiriyah berpendapat bahwa tidak wajib mengamalkan hadis ahad. masih menurut kaum rafidah dkk bahwa sekalipun wajib beramal dengan hadis ahad tetapi berdasarkan dalil aqli bukan syar’i. salah satu pengikut mu’tazilah, al-Jubba’i berpendapat bahwa tidak wajib beramal dengan hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang pula (aziz). Ada pula dari kalangan mu’tazilah yang berpendapat wajib mengamalkan hadis ahad dengan syarat diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula (masyhur).[28]

Sedangkan hadis ahad menurut jumhur bisa dijadikan hujjah dan wajib mengamalkannya meskipun mengandung zann. Menurut Imam al-Razi para sahabat sepakat dengan pendapat tersebut dalam kitabnya al-Mahsul. Ada beberapa ulama berpendapat demikian pula diantaranya: Imam Ahmad, al-Harith ibn Asad al-Mahasibi, al-Husain ibn ‘Ali al-Karabisi, Abu Sulaiman al-Khattabi. Seperti yang diriwayatkan dari imam Malik bahwa hadis ahad merupakan qat‘i sehingga wajib mempelajari dan mengamalkannya.[29]

Selain kandungan hadis yang memang sesuai dengan kandungan al-Qur’an, hadis juga berfungsi sebagai penjelas kandungan al-Qur’an. Adakalanya hadis juga berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.[30] Fungsi hadis yang demikian ini merupakan ketetapan Nabi SAW sendiri yang harus ditaati sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 79:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

 

Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah SWT dan keburukan apapun yang menimpamu itu dari kesalahanmu, Kami mengutusmu menjadi rasul kepada seluruh manusia. Dan cukuplah Allah SWT yang menjadi saksi.[31]

 

Mentaati Rasulullah SAW dengan mengaplikasikan Sunnah-sunnahnya tidak hanya berlaku pada hadis mutawatir saja karena hanya hadis mutawatir jumlahnya sedikit. Selain jumlahnya yang sangat sedikit, juga dikarenakan masalah yang muncul sangat banyak dan tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis mutawatir. Adakalanya masalah-masalah tersebut justru dijelaskan dalam hadis ahad, misalnya masalah keharaman mengumpulkan istris yang sesaudara dalam perkawinan, mengawini perempuan yang dimadu dengan bibiya, haram menikahi saudara sesususan, khiyar syarat, shuf‘ah, larangan berpuasa bagi wanita haid, hak waris bagi kakek dan nenek, hak pilih bagi seorang wanita hamba apabila dimerdekakan, iddah bagi wanita yang dicerai mati, dll.[32]

Andai kata hadis ahad tidak diterima untuk dijadikan hujah, maka banyak masalah seperti yang disebut di atas dan masalah lainnya yang bermunculan pada abad berikutnya tidak memiliki ketentuan hukum. Diamalkannya hadis ahad bukan karena serta merta lasan tersebut tetapi, setelah diadakannya penelitian yang mendalam terhadapnya, kualitas sanad maupun matannya sehingga bisa diketahui akan diterima atau tidaknya hadis ahad tersebut.[33] Sekiranya berstatus sahih maka ulama sepakat untuk menerimanya. Jika berstatus hasan, maka ada sebagian ulama yang menerima dan ada yang tidak menerimanya. Bahkan yang berstatus da‘if-pun ada yang menerimanya tetapi dengan beberapa syarat.

3.    Syubhat para pengingkar kehujjahan hadis ahad[34]

a.    Yang pertama: Allah SWT berfirman:

ولا تقف ما ليس لك به علم (النجم: 36)

وإن الظن لا يغني من الحق شيئا (النجم:28)

Menurutnya, hadis ahad adalah zanni yang mengandung kesalahan dan lupa pada rawi. Jika ada indikasi salah dan lupa maka tidak qat‘i dan tidak bisa dijadikan hujjah ataupun dalil.

b.    Kedua: Jika diperbolehkan beramal dengan hadis ahad dalam masalah furu‘ berarti juga boleh beramal dengan hadis ahad dalam masalah usul dan akidah. Sedangkan ulama sepakat untuk tidak mengamalkan hadis ahad dalam masalah usul dan akidah maka, tidak bisa juga digunakan dalam masalah furu‘.

c.    Ketiga: Rasulullah SAW ragu untuk menerima kabar dari Dhul Yadain tentang kelupaan beliau ketika mengucapkan salam setelah dua rakaat di salah satu salat isya’, lalu beliau bertanya “apakah aku mengqasar shalatku ataukah aku lupa?. Dan Rasulullah tidak mempercayai Dhul Yadain sampai ada penguat dari Abu Bakar, ‘Umar, dan dari sahabat lain yang terdekat. Kemudian Rasulullah menyempurnakan shalatnya dan melakukan sujud sahwi. Jika hadis ahad bisa dijadikan hujjah maka Rasulullah akan menyempurnakan salatnya tanpa ada keraguan dan pertanyaan.

d.   Keempat: Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa hadis ahad tidak diamalkan. Seperti sahabat Abu Bakar yang menolak riwayat al-Mughirah dalam masalah warisan nenek hingga datang penguat dari Muhammad Ibn Maslamah. Ada juga ‘Umar yang  menolak khabar Abi Musa tentang adab meminta izin sampai datang penguat dari Abu Sa‘id. Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat ‘Uthman tentang izin Rasulullah dalam menolak al-Hakam Ibn Abi al-‘Ash. Kemudian penolakan ‘Ali ibn Abi Talib atas riwayat Abi Sinan al-Ashja‘i dalam hal al-mufawwadah, Ali tidak menerimanya sampai dia bersumpah selain Abu Bakar. ‘Aishah juga menolak riwayat Ibn ‘Umar tentang azab mayit atas keluarganya.

4.    Bantahan terhadap syubhat

Ulama juga memberikan bantahan terhadap penolakan atas kehujjahan hadis ahad, seperti yang dijelaskan di bawah ini:[35]

a.    Jawaban terhadap syubhat pertama

Dalil zann tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah ushuludin dan kaidah tetapi bisa digunakan dalam masalah furu‘ bahkan wajib beramal dengan dalil zann karena tidak ada cara lain. Terdapat perbedaan pemahaman antara mujtahid dalam memahami nas al-Qur’an tetapi, tidak ada satupun dari mereka yang yang mengklaim bahwa pendapatnya paling benar. Meskipun demikian, mereka sepakat untuk mewajibkan melaksanakan ijtihadnya karena tidak ada cara lain selain berlandaskan dalil zann. Selain itu, hadis ahad bukanlah dalil zann melainkan qat‘i yang sudah disepakati oleh sahabat dan ulama sesudahnya.

b.    Jawaban terhadap syubhat kedua

Ulama sepakat untuk tidak menggunakan dalil zann dalam masalah usul dan akidah, berbeda dengan masalah furu‘. Al-amdi berkata: syubhat ini bertentangan dengan hadsi ahad. Dalam menetapkan masalah usul harus menggunakan dalil qat‘i maka tidak ada dalil zann dalam masalah usul berbeda dengan masalah furu’. Sebenarnya mengqiyaskan furu’ pada ushul dengan mewajibkan menggunakan dalil qat’i itu mustahil sebab tidak ada cara lain selain menggunakan dalil zann dalam masalah furu’.

c.    Jawaban terhadap syubhat ketiga

Rasulullah ragu terhadap terhadap Dhul Yadain karena khawatir keliru sebab dia sendiri dalam riwayatnya. Jika ada tanda keraguan dalam hadis ahad maka ulama sepakat untuk mendiamkannya. Rasulullah mengamalkan khabar Abu Bakar, ‘Umar dan yang lainnya serta riwayat Zhul Yadain adalah pengamalan khabar yang tidak mencapai batas mutawatir.

d.   Jawaban terhadap syubhat keempat

Syubhat yang keempat ini sebenarnya tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada kenyataannya sahabat menerima dan mengamalkan hadis ahad. sebenarnya mereka tidak menolak tetapi mendiamkan sampai ada sesuatu yang menguatkan khabar ahad tadi. Misalnya penolakan Abu Bakar terhadap riwayat al-Mughirah dalam masalah warisan nenek. Ketika Muhammad ibn Maslamah menjadi saksi atas riwayat al-Mughirah maka kemudian Abu Bakar mengamalkan khabar ahad dari al-Mughirah tersebut.

 

5.    Dalil kehujjahan hadis ahad

Imam al-Shafi‘i berkata “jika ada seseorang bertanya tentang dalil yang menyebutkan akan ketetapan khabar ahad maka ia akan menyebutkannya dengan berbagai macam hadis, diantaranya:[36]

Diriwayatkan dari Imam Malik dari Zaid ibn Aslam dari ‘Ata’ ibn Yasar: bahwa ada seorang lelaki yang sedang berpuasa mencium istrinya, kemudian ia merasa ada yang janggal lalu menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Umi Salamah (Umm al-Mu’minin), Umi Salamah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah menciumnya saat berpuasa. Kemudian sang istri pulang untuk memberitahukan kepada suaminya tentang jawaban dari Umi Salamah. Dari situ, suaminya malah bertambah keganjalannya dan berkata kita tidaklah sama seperti Rasulullah SAW yang mana Allah SWT  memperbolehkan Rasul-Nya berbuat apa saja. Lalu sang istri kembali lagi kepada Umi Salamah untuk menanyakannya kembali tetapi ia bertemu langsung dengan Rasulullah SAW yang kemudian bertanya kepada Umi Salamah tentang perempuan tersebut, kemudian Umi Salamah menceritakan apa yang telah terjadi kepadanya. Mendengar cerita tersebut, Rasulullah marah seraya berkata “sesungguhnya aku tidaklah lebih bertakwa daripada kamu dan Dia lebih mengetahui dengan Kuasa-Nya”

Imam al-Shafi‘i kemudian mengomentarinya, ia berkata bahwa jawaban Umi Salamah tentang pertanyaan perempuan tadi saat pertama kali datang kepadanya merupakan dalil diperbolehkannya menerima penjelasan Umi Salamah karena, Rasulullah SAW tidak akan memerintahkan Umi Salamah untuk memberitahukan sesuatu dari Nabi kecuali hadis yang bisa dijadikan hujah.

    C.  Penutup

1.    Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir baik perawinya hanya seorang atau lebih banyak.

2.    Hadis ahad terbagi menjadi tiga; sahih, hasan, da‘if.

3.    Syubhat pengingkar kehujjahan hadis ahad

a.    hadis ahad adalah zanni yang mengandung kesalahan dan lupa pada rawi.

b.    Jika diperbolehkan beramal dengan hadis ahad dalam masalah furu‘ berarti juga boleh beramal dengan hadis ahad dalam masalah usul dan akidah.

c.    Rasulullah SAW ragu untuk menerima kabar dari Dhul Yadain.

d.   Para sahabat tidak mengamalkan hadis ahad.

4.    Bantahan terhadap syubhat:

a.       Dalil zann tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah ushuludin dan kaidah tetapi bisa digunakan dalam masalah furu‘ bahkan wajib beramal dengan dalil zann karena tidak ada cara lain.

b.      Menurut Al-amdi, syubhat ini bertentangan dengan hadsi ahad. Dalam menetapkan masalah usul harus menggunakan dalil qat‘i maka tidak ada dalil zann dalam masalah usul berbeda dengan masalah furu’.

c.       Jika ada tanda keraguan dalam hadis ahad maka ulama sepakat untuk mendiamkannya. Rasulullah mengamalkan khabar Abu Bakar, ‘Umar dan yang lainnya serta riwayat Zhul Yadain adalah pengamalan khabar yang tidak mencapai batas mutawatir.

d.      Syubhat yang keempat ini sebenarnya tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada kenyataannya sahabat menerima dan mengamalkan hadis ahad. sebenarnya mereka tidak menolak tetapi mendiamkan sampai ada sesuatu yang menguatkan khabar ahad tadi.

5.    Komentar Imam al-Shafi‘i terhadap hadis riwayat Malik; bahwa jawaban Umi Salamah tentang pertanyaan perempuan tadi saat pertama kali datang kepadanya merupakan dalil diperbolehkannya menerima penjelasan Umi Salamah.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadith. Damshiq: Dar al-Fikr, 1401 H/ 1981 M.

……………., ‘Ulumul Hadis. terj. Mujiyo. Bandng: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

Izzan, Ahmad. dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.

Qasimi, (al) Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq. Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Rahman, Fath. Ikhtisar Mustalah al-Hadith. Bandung: Al-Ma’arif, 1974.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pres, 2014.

Salim, Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im. Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in. T.t: Dar al-Diya’, 2000.

Saqar, (al) Suhaib. al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi Masa’il al-I‘tiqad. tt: tp. T.th.

Siba‘i, (al) Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri‘. tt: Dar al-Waraq, 2000.

Shafi‘i, (al) Muhmmad ibn Idris. al-Risalah. Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.

Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.

Depag. al-Qur’an dan Terjemahnya Special For Women. Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t


[1] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405), 23.

[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), 154.

[3] Suhaib al-Saqar, al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi Masa’il al-I‘tiqad (tt: tp. T.th), 42.

[4] Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq al-Qasimi, Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147.

[5] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 141.

[6] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadith (Damshiq: Dar al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), 408-409

[7] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandng: PT Remaja Rosdakarya, 2014),  434.

[8] Ibid.

[9] Tahhan, Taisir Mustalah, 24.

[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), 116. Lihat pula Tahhan, Taisir Mustalah, 26.

[11] Suparta, Ilmu Hadis, 116.

[12] Tahhan, Taisir Mustalah, 26

[13] Ibid., 27.

[14] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi, 396.

[15] Ibid.

[16] Suparta, Ilmu Hadis, 118.

[17] Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im Salim, Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in (T.t: Dar al-Diya’, 2000), 14. Lihat pula Tahan, Taisir Mustalah…, 30.

[18] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.

[19] Fath Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 119.

[20] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi,  264.

[21] ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 266.

[22] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.

[23] Ibid., 233.

[24] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi,  286.

[25] ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 291.

[26] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.

[27] Ibid., 230.

[28] Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq al-Qasimi, Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147-148.

[29] Mustfa al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri‘ (tt: Dar al-Waraq, 2000), 190.

[30] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 33.

[31] Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman (tt: tp, t.th), 90.

[32] Idri, Studi Hadis, 153-154.

[33] Ibid., 155.

[34] al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 191-192.

[35] al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 192-193.

[36] Muhmmad ibn Idris al-Shafi‘i, al-Risalah (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 404-406. Lihat pula al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...