A. Pendahuluan
Hadis
yang oleh umat muslim diyakini sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur’an
sangat menarik untuk dikaji. Rasulullah SAW juga bersabda agar selalu berpegang
teguh terhadap al-Qur’an dan sunnahnya. Segala bentuk sabda, prilaku dan
sebagainya yang dilakukan dan yang tampak dalam diri Rasulullah maka pantas
untuk dijadikan panutan bahkan ada yang bermuatan wajib. Sunnah Rasulullah
memiliki peran sangat penting untuk dijadikan perantara memahami al-Qur’an.
Karena ayat yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat universal sehingga perlu
adanya penafsiran terhadap ayat tersebut dan Rasulullah adalah orang yang
paling tahu tentang hal itu.
Sunnah
Rasulullah SAW sendiri mengandung ilmu-ilmu yang banyak manfaatnya. Di tambah
lagi hadis sendiri masih menyisakan pertanyan-pertanyaan yang harus dijawab
dengan ilmiyah. Maka banyak yang tertarik untuk meneliti hadis baik dari kaum
muslim maupun non-muslim. Salah satu faktor ketertarikan tersebut adalah fakta
bahwa hadis ditulis setelah Rasulullah wafat dan terbentang oleh waktu yang
panjang. Oleh karenanya banyak peneliti yang pada kesimpulan akhirnya
mengatakan bahwa hadis palsu, tidak bisa dijadikan hujjah yang disebut dengan
pengingkar Sunnah.
Secara
kuantitas, hadis terbagi menjadi dua yakni mutawatir dan ahad. Hadis
mutawatir tidak banyak
diperdebatkan bahkan ulama sepakat untuk menjadikannya hujah. Hal ini berbeda
dengan hadis ahad yang terjadi perbedaan pendapat sebagian menjadikannya
hujah adapula yang tidak menerimanya sebagai hujah. Dalam makalah ini penulis
berupaya untuk menguraikan alasan-alasan pengingkar sunah dan dalil untuk
membantahnya.
B. Pembahasan
1.
Hadis Ahad
a.
Definisi hadis ahad
Kata
ahad (أحاد) jamak dari ahadun
(أحد) yang berarti
satu (واحد). Hadis ahad,
secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.
Sedangkan
menurut istilah hadis ahad adalah
مالم يجمع شروط المتواتر[1]
“Hadis yang tidak memenuhi beberapa
persyaratan hadis mutawatir”.[2]
Definisi
yang dijelaskan oleh Mahmud Tahhan seperti pendapat Imam Ibnu Hajar yang
dikutip oleh Suhaib al-Saqar dalam kitabnya al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi
Masa’il al-I‘tiqad.[3]
Al-Qasimi
mendefinisikan hadis ahad sebagai berikut:
وأما خبر الواحد فهو ما لم يوجد فيه شروط المتواتر سواء كان الراوي له واحدًا أو أكثر[4]
Hadis ahad adalah hadis yang
tidak mencapai syarat mutawatir baik perawinya hanya seorang atau lebih
banyak.
Sedangkan
menurut Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya sahih
dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi, kandungannya
memberi pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat‘i atau
yakin. Dari definisi di atas, bisa dipahami bahwa dari segi kuantitas perawi,
hadis ahad berada di bawah hadis mutawatir. Begitu pula dari segi
subtansinya, hadis ahad bersifat zanni bukan qat‘i. Dengan
alasan inilah yang bisa membedakan antara hadis ahad dan hadis mutawatir.[5]
b.
pembagian hadis
ahad
1)
hadis ahad
dari segi kuantitas
Dari segi
kuantitas, hadis ahad terbagi pada tiga bagian yakni; mashhur,
‘aziz dan gharib.
a) Hadis mashhur
Al-shuhrah (kemasyhuran) secara etimologi
berarti tersebar dan tersiar.
Secara termenologi ulama hadis, seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar adalah:
الحديث المشهور ما له طرق محصورة بأكثر من اثنين[6]
Hadis masyhur
adalah hadis yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.[7]
Artinya
hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak
mencapai batas mutawatir.[8]
Lebih jelas lagi, Mahmud Tahhan mengatakan bahwa hadis ahad adalah hadis yang riwayatkan oleh tiga orang
atau lebih dalam setiap tabaqah-nya dan tidak sampai pada batas mutawatir.[9]
b) Hadis ‘Aziz
Kata ‘Aziz berasal dari ‘azza-ya‘izzu, artinya la yakadu yujadu aw qalla wa nadar (sedikit atau
jarang adanya), dan bisa berasal dari ‘azza-ya‘azzu berarti qawiya (kuat).[10]
Sedangkan menurut istilah, seperti yang
dikutip Munzier Suparta dari kitab al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith
al-Sharif hadis ‘aziz adalah:
ما
جاء
في
طبقة
من
طبقات
رواته
أو
أكثر
من
طبقة
إثنان
“Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tabaqat sanad”[11]
Mahmud Tahhan menjelaskan lebih lanjut bahwa meskipun
disebagian tabaqah terdapat tiga
rawi atau lebih tidak menjadi masalah
yang terpenting adalah dalam salah satu tabaqah terdapat dua rawi saja.[12]
c)
Hadis Gharib
Secara etimologi, gharib adalah sifat mushabbihah,[13]
al-munfarid (menyendiri), al-ba‘id ‘an ’aqaribihi (jauh dari kerabatnya).[14]
Seperti yang dijelaskan Nur al-Din ‘Itr dalam kitabnya Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith, hadis gharib
menurut ulama hadis adalah:
الحديث الذي تفرد به راويه سواء تفرد به عن إمام يجمع حديثه أو عن راو غير إمام[15]
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun
selainnya”.[16]
2)
hadis ahad
dari segi kualitas
Hadis
ahad jika dilihat dari segi kualitas terbagi menjadi tiga, yakni; sahih,
hasan dan da‘if.
a)
Hadis sahih
1.a. defnisi hadis sahih
الحديث
الصحيح هو المسند
المتصل
إسناده
بنقل
العدل
الضابط
عن
العدل
الضابط
الى
منتهاه
من
غير
شذوذ
ولا
علة.[17]
Hadis sahih ialah musnad yang sanadnya bersambung
dengan periwayatan perawi yang adil dan dabit yang berasal dari orang-orang yang adil dan dabit sampai akhir sanad tanpa adanya kejanggalan
dan cacat.
1.b. kehujjahan hadis
sahih
Ulama Usul
dan para ahli fikih berpendapat bahwa seluruh hadis yang berkualitas sahih
harus diamalkan karena, hadis sahih bisa dijadikan hujjah sebagai dalil shara’.
Maksud hadis sahih disini ialah hadis yang sanad dan matannya
berkualitas sahih sebab banyak peneliti yang memvonis sahih
setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut Muhammad Zuhri matn juga
perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan dan kejanggalan.[18]
Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih
tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau
sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja
pada tiap-tiap tabaqah.[19]
b)
Hadis hasan
1.a. definisi hadis
hasan
الحديث الحسن هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل عدل خف ضبطه غير شاذ ولا معلل[20]
Hadis hasan
adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya tidak rancu dan tidak cacat.[21]
1.b. kehujjahan hadis hasan
Istilah hadis hasan
dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidhy dan statusnya dibawah hadis sahih. Hal ini dikarenakan perbedaan tingkat
kecermatan periwayat[22]
tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama halnya
dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah.
Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah
yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan dengan alasan
bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan.
Sikap ini adalah bentuk kehati-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk
dijadikan dalil hukum.[23]
c)
Hadis da‘if
1.a. definisi hadis
da’if
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول[24]
Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis
makbul (yang dapat diterima).[25]
1.b. kehujjahan hadis da‘if
Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan
hadis hasan sebagai dalil hukum syara’
meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya.[26] Begitu pula terhadap kehujjahan
hadis da‘if, para
ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if
sebagai hujjah walaupun hanya untuk memberi sugesti seperti pendapat yang
dikemukan oleh Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis
da‘if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti,
menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk
menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani tetapi dengan catatan:[27]
a.
Hadis tersebut tidak terlalu lemah.
b.
Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa
dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan).
c.
Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut
benar-benar bersumber dari Nabi.
2.
Kehujjahan hadis ahad
Tentang kehujjahan hadis ahad para
sahabat, tabiin dan ulama setelahnya baik itu ahli usul, fiqh, maupun
hadis, mereka menjadikan hadis ahad sebagai hujah dan wajib diamalkan.
Wajibnya mengamalkan hadis ahad berdasarkan kewajiban qat‘i bukan
‘aqli. Tidak semua kalangan sepakat dengan pendapat tersebut, diantaranya
kalangan qadariyah, rafidah, dan sebagian kelompok zahiriyah berpendapat bahwa
tidak wajib mengamalkan hadis ahad. masih menurut kaum rafidah dkk bahwa
sekalipun wajib beramal dengan hadis ahad tetapi berdasarkan dalil aqli bukan
syar’i. salah satu pengikut mu’tazilah, al-Jubba’i berpendapat bahwa tidak
wajib beramal dengan hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh dua orang yang
diterima dari dua orang pula (aziz). Ada pula dari kalangan mu’tazilah yang
berpendapat wajib mengamalkan hadis ahad dengan syarat diriwayatkan oleh empat
orang dan diterima dari empat orang pula (masyhur).[28]
Sedangkan
hadis ahad menurut jumhur bisa dijadikan hujjah dan wajib mengamalkannya
meskipun mengandung zann. Menurut Imam al-Razi para sahabat sepakat dengan pendapat tersebut dalam
kitabnya al-Mahsul.
Ada beberapa ulama berpendapat demikian pula diantaranya: Imam Ahmad, al-Harith ibn Asad al-Mahasibi, al-Husain ibn ‘Ali al-Karabisi,
Abu Sulaiman al-Khattabi. Seperti yang diriwayatkan dari imam Malik bahwa hadis ahad merupakan
qat‘i sehingga wajib
mempelajari dan mengamalkannya.[29]
Selain kandungan hadis yang memang
sesuai dengan kandungan al-Qur’an, hadis juga berfungsi sebagai penjelas
kandungan al-Qur’an. Adakalanya hadis juga berfungsi untuk menetapkan hukum
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.[30]
Fungsi hadis yang demikian ini merupakan ketetapan Nabi SAW sendiri yang harus
ditaati sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 79:
مَا
أَصَابَكَ
مِنْ
حَسَنَةٍ
فَمِنَ
اللَّهِ
وَمَا
أَصَابَكَ
مِنْ
سَيِّئَةٍ
فَمِنْ
نَفْسِكَ
وَأَرْسَلْنَاكَ
لِلنَّاسِ
رَسُولًا
وَكَفَى
بِاللَّهِ
شَهِيدًا
Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah SWT dan
keburukan apapun yang menimpamu itu dari kesalahanmu, Kami mengutusmu menjadi
rasul kepada seluruh manusia. Dan cukuplah Allah SWT yang menjadi saksi.[31]
Mentaati
Rasulullah SAW dengan mengaplikasikan Sunnah-sunnahnya tidak hanya berlaku pada
hadis mutawatir saja karena hanya hadis mutawatir jumlahnya
sedikit. Selain jumlahnya yang sangat sedikit, juga dikarenakan masalah yang
muncul sangat banyak dan tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis mutawatir.
Adakalanya masalah-masalah tersebut justru dijelaskan dalam hadis ahad, misalnya
masalah keharaman mengumpulkan istris yang sesaudara dalam perkawinan,
mengawini perempuan yang dimadu dengan bibiya, haram menikahi saudara sesususan, khiyar syarat, shuf‘ah, larangan
berpuasa bagi wanita haid, hak waris bagi kakek dan nenek, hak pilih bagi seorang wanita hamba apabila dimerdekakan, iddah bagi
wanita yang dicerai mati, dll.[32]
Andai kata hadis ahad tidak diterima untuk dijadikan hujah, maka banyak masalah seperti yang disebut di atas dan masalah lainnya yang bermunculan pada abad berikutnya tidak memiliki ketentuan hukum. Diamalkannya hadis ahad bukan karena serta merta lasan tersebut tetapi, setelah diadakannya penelitian yang mendalam terhadapnya, kualitas sanad maupun matannya sehingga bisa diketahui akan diterima atau tidaknya hadis ahad tersebut.[33] Sekiranya berstatus sahih maka ulama sepakat untuk menerimanya. Jika berstatus hasan, maka ada sebagian ulama yang menerima dan ada yang tidak menerimanya. Bahkan yang berstatus da‘if-pun ada yang menerimanya tetapi dengan beberapa syarat.
3. Syubhat para
pengingkar kehujjahan hadis ahad[34]
a. Yang pertama: Allah SWT
berfirman:
ولا تقف ما ليس لك به علم (النجم: 36)
وإن الظن لا يغني من الحق شيئا (النجم:28)
Menurutnya, hadis
ahad adalah zanni yang mengandung kesalahan dan lupa pada rawi. Jika
ada indikasi salah dan lupa maka tidak qat‘i dan tidak bisa dijadikan
hujjah ataupun dalil.
b. Kedua: Jika diperbolehkan beramal
dengan hadis ahad dalam masalah furu‘ berarti juga boleh beramal
dengan hadis ahad dalam masalah usul dan akidah. Sedangkan ulama
sepakat untuk tidak mengamalkan hadis ahad dalam masalah usul dan
akidah maka, tidak bisa juga digunakan dalam masalah furu‘.
c. Ketiga: Rasulullah SAW ragu untuk
menerima kabar dari Dhul Yadain tentang kelupaan beliau ketika mengucapkan
salam setelah dua rakaat di salah satu salat isya’, lalu beliau bertanya “apakah
aku mengqasar shalatku ataukah aku lupa?. Dan Rasulullah tidak mempercayai Dhul
Yadain sampai ada penguat dari Abu Bakar, ‘Umar, dan dari sahabat lain yang
terdekat. Kemudian Rasulullah menyempurnakan shalatnya dan melakukan sujud
sahwi. Jika hadis ahad bisa dijadikan hujjah maka Rasulullah akan
menyempurnakan salatnya tanpa ada keraguan dan pertanyaan.
d. Keempat: Diriwayatkan dari
beberapa sahabat bahwa hadis ahad tidak diamalkan. Seperti sahabat Abu
Bakar yang menolak riwayat al-Mughirah dalam masalah warisan nenek hingga
datang penguat dari Muhammad Ibn Maslamah. Ada juga ‘Umar yang menolak khabar Abi Musa tentang adab meminta
izin sampai datang penguat dari Abu Sa‘id. Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat ‘Uthman
tentang izin Rasulullah dalam menolak al-Hakam Ibn Abi al-‘Ash. Kemudian
penolakan ‘Ali ibn Abi Talib atas riwayat Abi Sinan al-Ashja‘i dalam hal al-mufawwadah,
Ali tidak menerimanya sampai dia bersumpah selain Abu Bakar. ‘Aishah juga
menolak riwayat Ibn ‘Umar tentang azab mayit atas keluarganya.
4. Bantahan terhadap
syubhat
Ulama juga memberikan bantahan terhadap penolakan atas kehujjahan hadis ahad,
seperti yang dijelaskan di bawah ini:[35]
a. Jawaban terhadap syubhat pertama
Dalil zann
tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah ushuludin dan kaidah tetapi bisa
digunakan dalam masalah furu‘ bahkan wajib beramal dengan dalil zann karena
tidak ada cara lain. Terdapat perbedaan pemahaman antara mujtahid dalam
memahami nas al-Qur’an tetapi, tidak ada satupun dari mereka yang yang
mengklaim bahwa pendapatnya paling benar. Meskipun demikian, mereka sepakat
untuk mewajibkan melaksanakan ijtihadnya karena tidak ada cara lain selain
berlandaskan dalil zann. Selain itu, hadis ahad bukanlah dalil zann
melainkan qat‘i yang sudah disepakati oleh sahabat dan ulama
sesudahnya.
b. Jawaban terhadap syubhat kedua
Ulama sepakat untuk tidak menggunakan dalil zann
dalam masalah usul dan akidah,
berbeda dengan masalah furu‘. Al-amdi
berkata: syubhat ini bertentangan dengan hadsi ahad. Dalam menetapkan masalah usul harus menggunakan dalil qat‘i maka
tidak ada dalil zann dalam masalah usul berbeda dengan masalah furu’.
Sebenarnya mengqiyaskan furu’ pada ushul dengan mewajibkan menggunakan dalil
qat’i itu mustahil sebab tidak ada cara lain selain menggunakan dalil zann
dalam masalah furu’.
c. Jawaban terhadap syubhat ketiga
Rasulullah ragu
terhadap terhadap Dhul Yadain karena khawatir keliru sebab dia sendiri dalam
riwayatnya. Jika ada tanda keraguan dalam hadis ahad maka ulama sepakat
untuk mendiamkannya. Rasulullah mengamalkan khabar Abu Bakar, ‘Umar dan yang
lainnya serta riwayat Zhul Yadain adalah pengamalan khabar yang tidak mencapai
batas mutawatir.
d. Jawaban terhadap syubhat keempat
Syubhat yang
keempat ini sebenarnya tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada
kenyataannya sahabat menerima dan mengamalkan hadis ahad. sebenarnya
mereka tidak menolak tetapi mendiamkan sampai ada sesuatu yang menguatkan
khabar ahad tadi. Misalnya penolakan Abu Bakar terhadap riwayat al-Mughirah
dalam masalah warisan nenek. Ketika Muhammad ibn Maslamah menjadi saksi atas
riwayat al-Mughirah maka kemudian Abu Bakar mengamalkan khabar ahad dari
al-Mughirah tersebut.
5. Dalil kehujjahan hadis ahad
Imam al-Shafi‘i
berkata “jika ada seseorang bertanya tentang dalil yang menyebutkan akan
ketetapan khabar ahad maka ia akan menyebutkannya dengan berbagai macam
hadis, diantaranya:[36]
Diriwayatkan
dari Imam Malik dari Zaid ibn Aslam dari ‘Ata’ ibn Yasar: bahwa ada seorang
lelaki yang sedang berpuasa mencium istrinya, kemudian ia merasa ada yang
janggal lalu menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Umi Salamah (Umm
al-Mu’minin), Umi Salamah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah menciumnya saat
berpuasa. Kemudian sang istri pulang untuk memberitahukan kepada suaminya
tentang jawaban dari Umi Salamah. Dari situ, suaminya malah bertambah
keganjalannya dan berkata kita tidaklah sama seperti Rasulullah SAW yang mana
Allah SWT memperbolehkan Rasul-Nya
berbuat apa saja. Lalu sang istri kembali lagi kepada Umi Salamah untuk menanyakannya
kembali tetapi ia bertemu langsung dengan Rasulullah SAW yang kemudian bertanya
kepada Umi Salamah tentang perempuan tersebut, kemudian Umi Salamah
menceritakan apa yang telah terjadi kepadanya. Mendengar cerita tersebut,
Rasulullah marah seraya berkata “sesungguhnya aku tidaklah lebih bertakwa
daripada kamu dan Dia lebih mengetahui dengan Kuasa-Nya”
Imam al-Shafi‘i kemudian mengomentarinya, ia berkata bahwa jawaban Umi Salamah tentang pertanyaan perempuan tadi saat pertama kali datang kepadanya merupakan dalil diperbolehkannya menerima penjelasan Umi Salamah karena, Rasulullah SAW tidak akan memerintahkan Umi Salamah untuk memberitahukan sesuatu dari Nabi kecuali hadis yang bisa dijadikan hujah.
C. Penutup
1.
Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir
baik perawinya hanya seorang atau lebih banyak.
2.
Hadis ahad terbagi menjadi tiga; sahih, hasan,
da‘if.
3.
Syubhat pengingkar kehujjahan
hadis ahad
a.
hadis ahad adalah zanni yang mengandung kesalahan dan lupa
pada rawi.
b.
Jika diperbolehkan beramal dengan hadis ahad dalam masalah furu‘
berarti juga boleh beramal dengan hadis ahad dalam masalah usul
dan akidah.
c.
Rasulullah SAW ragu untuk menerima kabar dari Dhul Yadain.
d.
Para sahabat tidak mengamalkan hadis ahad.
4.
Bantahan
terhadap syubhat:
a.
Dalil zann tidak bisa dijadikan dasar dalam masalah ushuludin dan
kaidah tetapi bisa digunakan dalam masalah furu‘ bahkan wajib beramal
dengan dalil zann karena tidak ada cara lain.
b.
Menurut Al-amdi, syubhat ini bertentangan dengan hadsi ahad. Dalam
menetapkan masalah usul harus
menggunakan dalil qat‘i maka tidak ada dalil zann dalam masalah usul berbeda
dengan masalah furu’.
c.
Jika ada tanda keraguan dalam hadis ahad
maka ulama sepakat untuk mendiamkannya. Rasulullah mengamalkan khabar Abu
Bakar, ‘Umar dan yang lainnya serta riwayat Zhul Yadain adalah pengamalan
khabar yang tidak mencapai batas mutawatir.
d.
Syubhat yang keempat ini sebenarnya
tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada kenyataannya sahabat menerima dan
mengamalkan hadis ahad. sebenarnya mereka tidak menolak tetapi
mendiamkan sampai ada sesuatu yang menguatkan khabar ahad tadi.
5.
Komentar Imam al-Shafi‘i terhadap hadis riwayat
Malik; bahwa jawaban Umi Salamah tentang pertanyaan perempuan tadi saat pertama
kali datang kepadanya merupakan dalil diperbolehkannya menerima penjelasan Umi
Salamah.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
DAFTAR
PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadith. Damshiq: Dar al-Fikr, 1401 H/ 1981 M.
……………., ‘Ulumul Hadis. terj. Mujiyo. Bandng: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Izzan, Ahmad. dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Qasimi, (al) Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq. Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Rahman, Fath. Ikhtisar Mustalah al-Hadith. Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pres, 2014.
Salim, Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im. Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in. T.t: Dar al-Diya’, 2000.
Saqar, (al) Suhaib. al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi Masa’il al-I‘tiqad. tt: tp. T.th.
Siba‘i, (al) Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri‘. tt: Dar al-Waraq, 2000.
Shafi‘i, (al) Muhmmad ibn Idris. al-Risalah. Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zuhri,
Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2003.
Depag. al-Qur’an dan Terjemahnya Special For Women. Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t
[1] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405), 23.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), 154.
[3] Suhaib al-Saqar, al-Ihtijaj bi Khabar al-Ahad fi Masa’il al-I‘tiqad (tt: tp. T.th), 42.
[4] Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq al-Qasimi, Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147.
[5] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 141.
[6] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadith (Damshiq: Dar al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), 408-409
[7] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandng: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 434.
[8] Ibid.
[9] Tahhan, Taisir Mustalah, 24.
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), 116. Lihat pula Tahhan, Taisir Mustalah, 26.
[11] Suparta, Ilmu Hadis, 116.
[12] Tahhan, Taisir Mustalah, 26
[13] Ibid., 27.
[14] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi, 396.
[15] Ibid.
[16] Suparta, Ilmu Hadis, 118.
[17] Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im Salim, Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in (T.t: Dar al-Diya’, 2000), 14. Lihat pula Tahan, Taisir Mustalah…, 30.
[18] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.
[19] Fath Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 119.
[20] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi, 264.
[21] ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 266.
[22] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.
[23] Ibid., 233.
[24] ‘Itr, Manhaj al-Naqdi, 286.
[25] ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 291.
[26] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.
[27] Ibid., 230.
[28] Muhammad Jamal al-Din ibn Muhammad Sa‘id ibn Qasim al-Hallaq al-Qasimi, Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147-148.
[29] Mustfa al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri‘ (tt: Dar al-Waraq, 2000), 190.
[30] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 33.
[31] Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman (tt: tp, t.th), 90.
[32] Idri, Studi Hadis, 153-154.
[33] Ibid., 155.
[34] al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 191-192.
[35] al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 192-193.
[36] Muhmmad ibn Idris al-Shafi‘i, al-Risalah (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 404-406. Lihat pula al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha, 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar