HOME

03 Juni, 2022

PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST

 

BAB I

PENDAHULUAN

            A.    Latar Belakang

Membincangkan dan mengkaji teks agama dalam konteks suatu budaya menjadi sesuatu hal yang menarik. Sebab, di dalamnya akan ditemukan suatu gambaran bagaimana sebuah teks berinteraksi dengan konteks sosio-geografis tertentu yang tentu memiliki perbedaan, sehingga teks dapat dipahami dan dimaknai berbeda oleh orang atau kelompok yang tinggal di Arab dan kelompok yang tinggal jauh di luar Arab seperti Indonesia. Salah satu organisasi keagamaan di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki tradisi ilmiah berupa bahtsul masail. Dalam kegiatan bahtsul masail tersebut tidak menutup kemungkinan jika NU telah berinteraksi dengan teks-teks keagamaan, di dalamnya termasuk teks hadis. Asumsinya, tidak menutup kemungkinan jika NU mengalami beberapa problematika hermeneutik ketika memaknai dan memahami hadis Nabi. Di samping itu, beragamnya latar belakang pemikiran, pengetahuan, dan bahkan perbedaan pandangan mengenai masalah politik praktis, dan ideologi dari para peserta bahtsul masail semakin mempengaruhi pola pemahaman NU terhadap hadis Nabi dalam kegiatan bahtsul masail yang sejak pertama kali digelar pada Tahun 1926 hingga 2004. Bagaimana sebenarnya NU melakukan pemaknaan dan pemahaman terhadap teks hadis Nabi adalah problem hermeneutik yang perlu dikaji lebih serius dan ilmiah. Pertanyaan ini kemudian mengarah kepada pencarian bentuk mengenai bagaimana karakeristik metode dan pendekatan yang telah dan belum digunakan NU dalam memahami hadis Nabi. Sebuah pertanyaan yang melatarbelakangi mengapa penelitian ini dilakukan oleh penyusun.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

1.      Apa pengertian Nahdlatul Ulama (NU)?

2.      Bagaimana sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)?

3.      Bagaimana tradisi keberagamaan Nahdlatul Ulama (NU)?

4.      Bagaimana pemikiran Nahdlatul Ulama (NU) terhadap hadis beserta contohnya?

            C.    Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :

            1.      Mengerti dan memahami pengertian Nahdlatul Ulama (NU)

            2.      Mengerti sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)

            3.      Mengerti bagaimana tradisi keberagamaan Nahdlatul Ulama (NU)

4.      Mengerti bagaimana pemikiran Nahdlatul Ulama (NU) terhadap hadis beserta contohnya.

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pengertian Nahdlatul Ulama (NU)

Nahdlatul Ulama disingkat NU, artinya kebangkitan Ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya.[1]

Nahdlatul Ulama’ ( NU ) adalah merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tentram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar paham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama.[2]

 

2.      Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama

Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun didunia Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan sebagainya, akan segera dilarang. Tidak hanya itu saja, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya keseluruh dunia Islam, dengan dalil demi kejayaan Islam. Ia berencana meneruskan kekhalifaan dunia Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah. Untuk itu berencana menggelar Muktamar Khilafah di kota suci Makkah, sebagai penerus khilafah yang terputus itu. Seluruh Negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan oleh HOS Cokroaminoto (Sarikat Islam), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Wahab Hasbullah (Pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kiai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.

Peristiwa ini menyadarkan para Ulama Pondok Pesantren[3] akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu Saud yang akan merubah model beragama di Makkah. Para Ulama pesantren sangat tidak menerima kebijakan Raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti Maulid Nabi, anti ziarah makam, dan lain sebagainya.[4]

Seperti yang telah disinggung pada uraian diatas, bahwa pembentukan jam’iyyah NU tiada lain adalah merupakan upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan lebih luas lagi. Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap masalah sosial, ekonomi maupun persoalan kemasyarakatan pada umumnya.[5]

Sedangkan permasalahan dan persoalan motif akan berdirinya NU adalah sebagai berikut:

1. Motif Agama.

2. Membangun Nasionalisme

3. Mempertahankan Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.[6]

Pendiri resmi organisasi NU adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor pergerakannya adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim, ia lincah, enerjik dan banyak akal.[7]

 

3.      Nahdlatul Ulama Dan Tradisi Keberagamaannya

Sebagai satu jam’iyyah keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, NU memilki prinsip-prinsip yang berkaitan dengan upaya memahami dan mengamalkan ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan komunikasi vertikal dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama manusia.

NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Quran, al-Sunnah (hadis), al-Ijma, al-Qiyas. Dalam memahami serta menafsirkan Islam dari berbagai sumber tersebut, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wa al-Jamaah, dengan memakai jalan pendekatan (mazhab) sebagai berikut:

a. Di bidang aqidah, NU menganut paham ahlussunnah wa al-jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H), dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi (w. 333 H/944 M).[8]

b. Di bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari empat mazhab, keempat mazhab tersebut adalah Abu Hanifah An Num’an (80-150 H/ 700-767 M), Imam Malik bin Anas (93-179 H/713-795 M), Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M) serta Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).

c. Di bidang tasawuf, NU mengikuti tasawuf Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi (w.297 H), dan Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H).[9]

Dalam realitas empiris, warga NU walaupun lebih condong kepada al-Asy’ari ketimbang al-Maturidi dalam bidang aqidah, namun kenyataannya mereka lebih akrab dengan kitab-kitab karya al-Juwaini, al-Baqillani, al-Sanusi dan lain-lain, dibanding dengan karya-karya al-Asy’ari, apalagi al-Maturidi. Demikian juga dalam bidang fiqh, walaupun mereka (nahdiyyin) lebih condong mazhab syafi’i dibanding tiga mazhab yang lainnya namun mereka hanya lebih mengenal kitab-kitab pengikut Syafi’i ketimbang karya Imam Syafi’i sendiri seperti Al-Umm. Sedangkan dalam bidang Tasawuf meskipun lebih condong kepada al-Ghazali dan itupun sebatas kitab Bidayah al-Hidayah dan Ihya’ Ulumuddin namun mereka lebih dekat dengan syeikh Abdul Qodir Jaelani dengan Manaqibnya. Keterikatan NU dalam bidang aqidah, fiqh dan tasawuf dan mazhab-mazhab diatas menjadikan warga NU dikategorikan sebagai kaum tradisionalis.[10]

 

Paham keagamaan yang dianut NU tersimpul dalam sebuah “kaidah”

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

“Memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”

 

Kaidah ini sebenarnya bukan klaim tunggal NU, dan NU juga tidak pernah mengklaim sebagai satu-satunya kaidah miliknya, yang hanya saja populer dikalangan warga NU (Nahdliyyin).[11]

Landasan pijak “kaidah” diatas adalah universal, dalam arti banyak hal, peristiwa maupun ajaran yang orientasinya “memelihara yang sudah baik dan mengambil yang lebih baik.” Ajaran Islam sendiri juga pada hakikatnya demikian. Nilai-nilai masa lalu yang baik dipertahankan dengan memperkenalkan syari’at (ajaran) baru yang lebih baik, bahkan sekitar duapertiga al-Quran menceritakan umat masa lalu agar umat masa kini dapat memetik hikmah dan pelajaran darinya.[12]

Dapat dipahami dari uraian Nurcholis Madjid, salah seorang intelektual muslim pembaru yang getol memperkenalkan “kaidah” tersebut dalam banyak tulisannya, bahwa dalam konteks keIndonesiaan seharusnya “kaidah” tersebut milik semua organisasi kemasyarakatan Islam, baik yang tradisionalis maupun modernis, baik NU, NW, Persis, Muhammadiyah, al-Irsyad ataupun lainnya tanpa perlu ada yang diperselisihkan.[13]

Bentuk lain dari kekokohan NU dalam mempertahankan nilai-nilai terdahulu yang diyakini baik adalah sikap toleran dan kooperatifnya terhadap tradisi keberagamaan yang telah berkembang dimasyarakat, seperti membaca barzanzi dan diba’an (sejarah dan pujian terhadap Nabi SAW), wiridan kolektif seusai shalat berjamaah, puji-pujian antara azan dan iqamat, tahlilan (membaca kalimat “thayyibah” la ilaha illallah dirangkai dengan bacaan-bacaan tertentu), yasinan (membaca surat Yasin dalam waktu-waktu tertentu), yang menurut kaum modernis tidak perlu lagi dilestarikan, bahkan sebagian menganggapnya sebagai bid’ah yang harus diberantas.

Sejarah mencatat, dalam wacana keagamaan muncul dua aliran keagamaan yang dalam hal-hal tertentu bertentangan secara dimetral, kedua aliran tersebut adalah modernis dan kaum tradisionalis. Mereka mempersoalkan mazhab dan ijtihad Ahlu Sunnah wa al-Jamaah yang oleh kaum modernis dituduh sebagai bid’ah dan Khurafat yang mendekati syirik. Modernis menyerang kitab-kitab klasik yang dijadikan kaum tradisionalis sebagai sumber rujukan dalam pengambilan hukum, modernis menyerukan untuk kembali kepada al-Quran al-Hadis, sebaliknya kaum tradisionalis beranggapan bahwa kitab-kitab itu masih tetap relevan untuk memahami hukum Islam dari sumber aslinya.[14]

 

4.      Pemikiran  Nahdlatul Ulama Terhadap Hadis

Seperti telah dijelaskan diatas, NU dalam mengambil sumber ajaran Islam menempatkan al-Quran sebagai sumber pedoman yang utama kemudian al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Namun, NU dalam memutuskan dan menyelesaikan persoalan (istinbat hukum) terkesan mengabaikan al-Qur’an dan hadis tersebut, hal ini disebabkan NU lebih mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) dalam memutuskan persoalan hukum sehingga perlunya untuk berkompromi dan ‘berkonsultasi’ dengan kitab-kitab kuning (kitab al-Mu’tabarah) yang telah ditulis oleh para mujtahid dahulu. Kitab al-Mu’tabarah yang dimaksud adalah al-kutub ‘ala mazahib al-arba’ah atau kitab yang mengacu pada mazhab empat. Lebih dari itu, dengan merujuk –kitab-kitab kuning kembali akan menghindari dari penafsiran eksklusif-pundamentalis terhadap pemahaman al-Quran dan al-Hadis karena para perumusnya lebih jauh telah merumuskan “metode” memahami al-Quran dan al-Hadis dan merekalah yang berhak untuk merumuskan jawaban dari permasalahan keagamaan atau yang disebut mujtahid.[15]

Dalam NU, yang tertinggi dari tingkatan mujtahid adalah yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang dirumuskan sendiri. Mujtahid seperti ini disebut Mujtahid Mutlak Mutsaqil. Ada 11 syarat dari ulama salaf dalam memberikan gelar mujtahid: pertama menguasai al-Quran, kedua menguasai hadis al-Shahih, ketiga menguasai bahasa arab, keempat menguasai ilmu ushul al-Fiqh serta kaidah-kaidahnya, kelima memahami tujuan pokok syariat islam (maqasid al-Sariah), keenam bertaqwa kepada Allah, ketujuh mustaqil, kedelapan muntasib, kesembilan muqayyad, kesepuluh mujtahid fatwa, dan terakhir mampu mengeluarkan pendapat imam-imam dalam mazhab setelah dipelajari secara mendalam.[16]

Kemudian, dalam memahami Islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, hal ini juga tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai perpindahan Ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya.[17] Yang dapat dilakukan adalah menulusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap generasi.[18] Dalam pengantar anggaran dasar NU Tahun 1947, Rais Akbar dan salah seorang pendiri organisasi NU KH.Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:

”Wahai para Ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, golongan mazhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara bersambung kepada kalian, dan engkau tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama, maka oleh karenanya kalian adalah gudang bahkan pintu ilmu tersebut, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalu pintunya maka Ia pencuri.”[19]

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami mengapa NU dalam memecahkan persoalaan keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah (diakui) yang ditulis ulama mazhab empat. Demikian juga yang dilakukan terhadap sebagian besar persoalan keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan oleh Lajnah Bahtsul Masail dari kali pertama (1926) sampai saat ini. Tradisi ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan NU. Oleh karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam para pengamat sering menyebut dan mengelompokkan NU dalam golongan Islam tradisionalis.[20]

Ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan bagi yang belum memenuhi persyaratannya dianjurkan lebih baik taqlid kepada yang telah memenuhi syarat. Taqlid bagi NU tidak dipahami sebatas mengikuti tanpa mengetahui dalil melainkan juga mengikuti jalan pemikiran Imam mazhab.

Faham taqlid bermazhab sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren, transmisi keilmuan yang berlangsung melalui kitab kuning, kitab fiqih yang dipelajari mewarisi fatwa ulama terdahulu dengan sanad yang tak terputus. Transmisi seperti ini diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh kemurnian ajaran dari sumbernya yang pertama. Oleh karena itu, pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran mazhab. Jadi dalam menyelesaikan masalah Lajnah Bahtsul Masail tidak memakai istilah ‘ijtihad’ melainkan ‘istinbat’ (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan mazhaby.[21]

Agar pembacaan atas pemahaman hadis dalam tradisi NU menjadi utuh, maka penyusun juga menggunakan pendekatan sosio-historis dan hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Hasil penelitian menunjukkan:

(1) Bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004 terdapat 458 masalah yang menjadi pembahasan. Dari sebanyak masalah itu, penggunaan hadis oleh NU dalam bahtsul masail hanya terdapat 75 hadis, baik yang dikutip dengan cara menulis sebagian dari teks hadis maupun yang ditulis atau dikutip secara keseluruhan. Melihat garis-garis besar (khittah nahdliyah) NU serta perwatakannya ini, maka dapat dikatakan bahwa hadis dalam tradisi bahtsul masail NU dari tahun 1926 hingga 2004 menempati kedudukan yang penting dalam NU.

Dalam aplikasi NU itu sendiri terdapat beragam perbedaan dalam tradisi nalar NU, diantaranya adalah :

Pertama: Kelompok yang menekankan metode qauliy, yaitu suatu metode dalam istinbat hukum yang digunakan ulama/intelektual NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya kepada Imam yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada teksnya dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu. Dalam kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana yang diterangkan dalam ibarat tersebut. Namun jika terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan tahrir jama’i untuk memilih satu qaul yaitu dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat atau yang lebih rajah (kuat).

Dan kelompok ilhaqiy yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang jawabannya tidak terdapat dalam kitab al-mu’tabarah dengan hukum atau masalah serupa yang telah dijawab dalam kitab al-mu’tabarah. Dua kelompok ini  adalah elite-struktural NU yang ditenggarai berpikiran konservatif - radikal dan memiliki background pendidikan pesantren salaf. Kedudukan hadis terkesan sebagai sumber sekunder yang berada di bawah kitab kuning[22]. Sebab bagi kelompok ini hadis harus dipahami melalui pendapat-pendapat para ulama melalui beberapa kitab yang mu’tabarah dari kalangan empat madzhab, terutama madzhab Syafi’i. Kelompok ini adalah dominan dalam NU, sehingga tidak aneh jika dari 458 masalah dalam bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004, hanya ditemukan 75 masalah yang di dalamnya terdapat keterangan hadis -hadis Nabi.

Kedua: Kelompok yang menekankan metode manhajiy yaitu bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[23] Kelompok ini adalah kelompok yang memiliki background pendidikan dari Pondok Pesantren dan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Islam baik di Indonesia maupun di Barat, kelompok ini adalah kelompok moderat dan cenderung liberal karena mendudukkan hadis sebagaimana fungsinya, yakni sebagai sumber kedua bagi ajaran Islam.

(2) Metode pemahaman hadis yang digunakan NU adalah metode muqarin, metode ini yang paling banyak ditempuh NU dalam memahami suatu hadis, yakni berjumlah 41 kali, sedangkan metode ijmali menempati urutan kedua dengan total jumlah 20 kali. Adapun untuk metode tahlili menempati ututan terakhir dengan jumlah total 13 kali. Metode muqarin yang ditempuh NU dalam memahami suatu hadis Nabi tidak hanya sekedar mencocokkan satu dua kasus dalam beberapa kitab syarah, atau sekedar تنظیر المسائل بنظائرھا  (menyamakan suatu masalah dengan masalah lain yang mirip), melainkan suatu bentuk ijtihad meskipun bersifat muqayyad (terbatas) dan telah melalui proses berfikir manhajiy yang panjang dan “njlimet”.

Metode muqarin yang digunakan NU dalam memahami hadis Nabi dapat dipetakan menjadi dua model, yakni:

a)   Metode muqarin dengan cara membandingkan hadis Nabi dengan hadis nabi, beberapa kitab syarah, kitab fikih, atau kitab-kitab mu’tabarah lainnya.

b)   Metode membandingkan hadis berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-Qur'an, pendapat sahabat, pendapat para ulama, dan membandingkan dengan hasil muktamar sebelumnya. Adapun pendekatan yang digunakan NU adalah pendekatan tekstualis .  

Dari 75 hadis hanya dua hadis yang dipahami dengan pendekatan kontekstual, yakni: pertama, hadis tentang Hukum Islam berupa Penyuapan dalam penerimaan PNS. Kedua, hadis tentang Isu-isu Aktual berupa Memperkerjakan Wanita pada Malam Hari di Luar Rumah. Dalam muktamar ke -29 Tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya.

(3) Terdapat tiga tipologi pemikiran dan pemahaman NU terhadap hadis Nabi dalam bahtsul masail 1926-2004. Pertama: tipologi pemikiran tradisionalis, mereka adalah para elite - struktural NU yang ditengarai berpikiran konservatif-radikal dan memiliki background pendidikan pesantren salaf . Karakteristik kelompok ini adalah masih teranamnya idiom - idiom pemikiran skripturalistik, tesktualistik, dan formalistik dan mendominasi dalam tradisi bahsul masail NU. Kedua: pemikiran modernis, mereka adalah yang menempuh pendidikan dari Pondok Pesantren kemudian melanjutkan pendidikan pada Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dan sebagian ada yang meneruskan pendidikan pada Perguruan Tinggi Islam di Timur Tengah. Tipologi pemikiran modernis dalam NU ini memiliki pemahaman pembacaan yang kontekstual terhadap teks-teks keagamaan. Namun dalam bahtsul masail pembacaan kontekstual mereka ini hanya terbatas pada kitab kuning dan belum menyentuh pada pemahaman yang kontekstual atas teks al -Qur'an dan hadis. Ketiga: pemikiran liberalis, mereka adalah yang menempuh pendidikan dari Pondok Pesantren, di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, kemudian melanjutkan pendidikan di negara Barat . Kelompok ini mencoba menghidupkan kembali pemikiran dan pemahaman atas teks keagamaan (didalamnya termasuk pemahaman atas teks hadis Nabi) secara non-literal, substansial, dan kontekstual. Namun, usaha mereka menemui jalan buntu karena kuatnya hegemoni kaum tradisionalis.[24]

Kriteria Hadis dalam Bahtsul Masail dan penerimaannya atas Hadis Dhaif dengan melihat metode dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas, terlihat bahwa NU dalam menggunakan hadis Nabi SAW tidaklah memiliki kriteria tertentu tentang hadis yang dijadikan sebagai hujjah atau tidak. Namun, yang jelas berbeda dengan organisasi pembaharu semisal Muhammadiyah dan yang lainnya dengan jargon ‘Back to Quran and Hadis’ tentunya akan memiliki kriteria-kriteria hadis tersendiri dalam penetapan hadis yang bisa dijadikan hujjah dan atau tidak.

Kemudian, lebih dari itu literatur yang membahas secara spesifik mengenai hadis-hadis yang bisa diterima dalam NU secara umumnya masih sangat terbatas namun secara umum dalam amaliah dan istinbatnya, NU masih mentolerir hadis yang berstatus dhaif meskipun dengan adanya beberapa  persyaratan dengan catatan hadis ini dipakai hanya dalam lingkup Fadhail Amal. Kendati demikian, hadis dhaif juga kerap diterima dalam Lajnah Bahtsul Masail. Karena ketika NU menerima keberadaan Hadis Dhaif, ia berpandangan bahwa selemah-lemahnya Hadis Dhaif masih baik dibandingkan dengan ra’yu.

 

Contoh Pemahaman Hadis dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

1.      Dalam hasil muktamar NU yang pertama yang diselenggarakan di Surabaya pada 13 Rabiul Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M, sebuah pertanyaan yang menyinggung mengenai hukum-hukum mengikuti ulama yang empat dan yang lainnya atau yang disebut bermazhab. Hal ini merupakan satu permasalahan yang sangat fundamental karena menyangkut cara dan manhaj kaum NU dalam beragama. Kemudian dalam menanggapi hal ini para ulama dan Intelektualnya menjawab ‘wajib’. Dalam memaparkan jawaban seperti ini, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa NU mengambil referensi dari berbagai kitab kuning yang telah diuraikan didalamnya dan berdasarkan teks hadis Rasulullah SAW.

 

حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي: حدثنا الوليد بن مسلم: حدثنا معان بن رفاعة السلامي: حدثني أبو خلف الأعمي قال: سمعت أنس بن مالك يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (إن امتي لا تجتمع علي ضلالة. فإذا رأيتم إختلافا, فعليكم بالسواد الأعظم

“Al-Abbas bin Usman al-Dimasqi menyampaikan kepada kami dari al-Walid bin Muslim, dari Mu’an bin Rifa’ah as-Salami, dari Abu Khalaf al-A’ma bahwa Anas bin Malik berkata, Aku pernah mendengar  Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan. Apabila kalian melihat perselisihan, hendaklah kalian memegang (pendapat) kebanyakan orang.[25]

Teks hadis diatas merupakan bagian dari jawaban dalam muktamar pertama yang diambil secara langsung dari kitab al-Mizan al-Sya’roni fatawi Kubro dan Nihayat usul, dengan ini pemahaman yang diambil dari hadis diatas adalah untuk mendapatkan pemahaman Islam yang jauh dari eksklusif-fundamentalis yang akan membawa kepada kesesatan adalah dengan mengikuti pendapat mayoritas (mazhab).

Mengenai keadaan hadis diatas, mayoritas ulama menilai sebagai hadis dhaif, berangkat dari dua perawinya yang memang memiliki kecacatan dan dinilai cacat yakni Abu Khalf al-A’ma dinilai beberapa ulama diantaranya Yahya bin Ma’in dengan ungkapan ‘kadzdzab’ sementara Abu Khatim al-Razi menilainya dengan ungkapan ‘Munkar al-ahadis laisa bi al-qawi’, sedangkan al-Dzahabi dengan ungkapan ‘Layyin’. Yang kedua penilaian kepada Mu’an bin Rifa’ah as-Salami, antaranya al-Dzahabi menilainya dengan ungkapan ‘dhaif’.[26] Begitu juga mengenai kuantitasnya hadis diatas hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat yakni Anas bin Malik, termasuk hadis kategori Ahad gharib. Dengan ini hadis yang menjadi dasar NU dalam hukum bermazhab adalah dengan hadis dhaif-ahad gharib.

 

2.  Dalam muktamar ke-5 jawaban masalah tentang sampainya sodaqoh keluarga orang yang sudah meninggal.

حدثنا محمد بن عبد الرحيم: أخبرنا روح بن عبادة: حدثنا زكريا بن إسحاق قال: حدثنى عمرو بن دينار عن عكرمة, عن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمه توفيت, أينفعها أن تصدقت عنها؟ قال: ((نعم)), قال: فإن لي مخرافا فأنا أشهدك إني قد تصدقت به عنها

 “Muhammad bin Abdurrahim menyampaikan kepada kami dari Rauh bin Ubadah yang mengabarkan dari Zakaria bin Ishaq, dari Amru bin Dinar yang menyampaikan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki yang menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa ibunya telah meninggal. Dia berkata, “Adakah manfaat baginya (ibuku), bila aku bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, ‘Ya’. Laki-laki itu berkata, “Sungguh, aku mempunyai kebun yang berbuah, dan aku bersaksi kepadamu bahwa aku sedekahkan kebun itu atas nama ibuku.”[27]

Singkatnya, dalam memahami dan menjawab persoalan tentang sampainya pahala sodaqoh kepada mayit ulama NU juga mengambil hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang kualitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk kepada hadis yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat Imam mazhab setelah al-Quran. Dengan melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas dapat disimpulkan dalam menyelesaikan persoalan umat, NU dapat dikatakan tidak enggan memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkan memahaminya dengan mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab al-Mu’tabarah).

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai NU diperoleh kesimpulan antara lain :  

1.  Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

2.   Proses lahirnya organisasi ini dikarenakan para ulama pesantren sangat tidak menerima kebijakan Raja Ibnu  Saud yang anti kebebasan bermadzhab, anti Maulid Nabi, anti ziarah makam, dan lain sebagainya.

3.  NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan  sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Dalam bidang teologi/Tauhid dirujuk dari Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam bidang fiqih mengikuti 4 mazhab: Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

4.    Paham keagamaan yang dianut NU tersimpul dalam sebuah kaidah المحافظة علي القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

5.   *Bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004 terdapat 458 masalah yang menjadi pembahasan. Dari sebanyak masalah itu, penggunaan hadis oleh NU dalam bahtsul masail hanya terdapat 75 hadis. Dalam aplikasinya menggunakan metode qauliy, ilhaqiy dan manhajiy.

*Metode pemahaman hadis yang digunakan NU adalah metode muqarin, metode ijmali dan metode tahlili.

*Tiga tipologi pemikiran dan pemahaman NU terhadap hadis Nabi dalam bahtsul masail 1926-2004 adalah tipologi pemikiran tradisionalis, pemikiran modernis, pemikiran liberalis.

6. Kriteria Hadis dalam Bahtsul Masail dan penerimaannya atas Hadis Dhaif dengan melihat metode dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas, terlihat bahwa NU dalam menggunakan hadis Nabi SAW tidaklah memiliki kriteria tertentu tentang hadis yang dijadikan sebagai hujjah atau tidak karena ia berpandangan bahwa selemah-lemahnya Hadis Dhaif masih baik dibandingkan dengan ra’yu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Shohibul. Pemahaman Hadis Dalam Tradisi Nahdlatul Ulama (Telaah Tentang Hasil Bahstul Masa’il 1926-2004)

Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU.  tt: PT. Duta Aksara Mulia, 2010

Burhan, Umar. Hari-hari Sekitar Lahir NU.  Jakarta: Aula, 1981

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES, 1984

Fatah, Munawwir Abdul. Tradisi Orang-orang NU. cet III Yogyakarta: Pustaka Pesantren LKIS, t.th

Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: L’ Harmattan Archipel, 1999

Masyhuri, Aziz.  Masalah Keagamaan Hasil Mu’tamar NU.  Surabaya: Dinamika Press, 1977

Muzadi, Abdul Muchit. Mengenal Nahdlatul Ulama. cet IV. Surabaya: Khalista, 2004

Rah}ma>n (al), Yu>suf ibn ‘Abd  Tahzhi> b al-Kama>l fi Asama>’ al-Rija>l, juz. 33. Beirut: Mu’assah al-Risa>lah, 1980.

Sodik, Muhammad. Dinamika Kepemimpinan NU.  Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004

Subhan, Soeleiman Fadeli dan Muhammad. Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah. Surabaya: Khalista, 2008

Thahhan (al), Mahmud. terj. Imam Ghozali Sa’id, Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber, Menelusuri Sanad dan Menilai Hadis. Surabaya : Dian Tama, thn 2007.

Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004


[1] Muhammad Sodik, Dinamika Kepemimpinan NU (Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004), 40.

[2] Umar Burhan, Hari-hari Sekitar Lahir NU (Jakarta: Aula, 1981), 21.

[3]Pesantren adalah sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang disertai asrama dimana para murid, santri, mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kiyai. Tidak dapat diketahui secara pasti sudah berapa lama lembaga pendidikan islam tradisional ini hadir di Jawa.

[4]Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah, (Surabaya: Khalista, 2008), 1-2.

[5]Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (tt: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), 18.

[6]Ibid   

[7]Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi NU  Sejarah Istilah Amaliah Uswah, 2.

[8] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004), 19.

[9] Abdul Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama cet IV (Surabaya: Khalista, 2004), 25-26.

[10] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, 20.

[11] Ibid, 21.

[12] Mengenai ayat al-Quran memang sebagiannya banyak yang membicarakan kembali masa umat terdahulu seperti kisah-kisah Nabi Yunus dan ummatnya, kisah Nabi Musa dan ummatnya, kisah Fir’aun dsbg. Kisah-kisah ini dapat dilacak dari berbagai surat seperti al-Anbiya, QS Yunus, QS Yusuf, dsbg.

[13]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, 22.

[14] Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara (Yogyakarta: L’ Harmattan Archipel, 1999), 7.

[15] Abdul Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama cet IV ((Surabaya: Khalista, 2006), 23-24.

[16] Ibid

[17] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, 115.

[18]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 149-153.

[19] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU …, 115.

[20] Ibid, 116.

[21]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU …, 117.

[22]Mahmud at-Thahhan, terj. Imam Ghozali Sa’id, Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber, Menelusuri Sanad dan Menilai Hadis (Surabaya : Dian Tama, thn 2007),11.

[23] Aziz Masyhuri,  Masalah Keagamaan Hasil Mu’tamar NU (Surabaya: Dinamika Press, 1977), 364.

[24]Shohibul Adib, Pemahaman Hadis Dalam Tradisi Nahdlatul Ulama (Telaah Tentang Hasil Bahstul Masa’il 1926-2004, 78.

[25] Sullam al-Ushul Syarh Nihayat al-usul juz IV..lihat juga Munawwir abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU cet III (Yogyakarta: Pustaka Pesantren LKIS, t.th), 22. Teks hadis lihat Sunan Ibnu Majah Kitab al-Fitan bab al-Suwad al-a’dzam no: 3950

[26] Yusuf ibn ‘Abd al-Rah}man,  Tahzhi b al-Kamal fi Asama’ al-Rijal, juz. 33 (Beirut: Mu’assah al-Risalah, 1980), 286.

[27] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Dibolehkan Mewakafkan atau Menyedekahkan Tanah tanpa Menjelaskan Batasnya, no: 2770 . Aziz Masyhuri, Masalah keagamaan.., 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...