HOME

09 Juni, 2022

PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH

 

    A.    Pendahuluan

Alquran yang menjadi mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW oleh umat Islam dijadikan sumber hukum yang paling utama. Sedangkan Sunnah Rasulullah dijadikan sumber hukum kedua karena Rasulullah adalah contoh praktis dalam mengamalkan ajaran agama. Terlebih dalam Alquran disebutkan agar umat manusia mentaati Rasulullah yang implikasinya adalah wajib mentaati apa-apa yang telah disampaikannya. Oleh karena, Sunnah Rasulullah dijadikan sumber hukum dan penuntun akhlak selain Alquran.[1] Selain itu Sunnah memiliki peran penting terhadap Alquran yakni bayan taqrir, tafsil, taqyid, takhsis dan tashri‘.[2]

Hadis Nabi menjadi sumber ajaran agama setelah Alquran, maka hadis juga perlu untuk dipelajari dan diteliti lebih dalam lagi. Bahkan ulama-ulama telah melakukan penelitian dan kajian terhadap hadis untuk menentukan dan mengetahui kualitas hadis sehingga bisa dijadikan hujjah.[3] Maka hadis menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji, apalagi hadis ditulis setelah Rasulullah meninggal sehingga menimbulkan keraguan dari segi validitasnya.

Banyak ulama muslim yang melakukan penelitian terhadapnya tetapi tidak sedikit pula non muslim yang ikut serta dalam meneliti hadis dengan tujuan tertentu. Misalnya orang barat yang mengkaji tentang dunia timur yang disebut dengan orientalis. Awalnya orientalis mengkaji materi keislaman secara umum termasuk sastra dan sejarah. Pada masa selanjutnya mereka memfokuskan kajiannya pada hadis-hadis Nabi.[4]

Adapun orientalis yang pertama kali melakukan kajian dalam bidang hadis oleh ahli sejarah masih diperdebatkan. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa orientalis yang pertama kali mengadakan kajian khusus terhadap hadis adalah Alois Spenger. Kemudian kajian itu dilanjutkan oleh Sir Willian Muir dan kajian ini mencapai puncaknya dilakukan oleh Ignaz GHoldziher[5] yang disebut bapak orientalis. Oleh karenanya perlu untuk mengemkakan pendapat orientalis terhadap hadis dan Sunnah itu sendiri.


    B.  Pembahasan

1.    Pengertian Orientalisme dan Orientalis

Orientalisme berasal dari bahasa Perancis yang berasal dari kata ”orient” yang artinya timur dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap.[6] Adapula yang mengatakan bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).[7] H.M. Joesoef Sou’yb berpendapat bahwa Orientalisme asalnya adalah orient yang secara bahasa artinya timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur. Kata orient yang ditambahi isme atau ism memberi arti sebuah paham atau aliran yang ingin meneliti hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.[8]

Sederhanyanya, orientalisme diartikan sebagai sebuah gerakan pemikiran terhadap luar Eropa.artinya, orientalis adalah orang-orang yang mengkaji tentang ketimuran baik itu sastra, Bahasa, antropologi, sosiologi, psikologi, sampai pada agama dengan menggunakan paradigm eorocentrisme. Dengan begitu, kajian yang mereka lakukan menghasilkan konklusi yang distortif tentang apa yang dikaji.[9] Makna luasnya, orientalis bisa diartikan suatu kegiatan yang berkaitan dengan bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya sampai meliputi aspek kehidupannya. Namun secara sempit, orientalis adalah kegiatan ahli ketimuran barat tentang agama-agama di timur terutama agama Islam.[10] Secara termenelogis, biasanya identic dengan paradigma berpikir,[11] perbedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan barat 9the occident).[12]

Menurut Edward Said orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara “Timur” (the orient) dan hampir selalu “Barat” (the occident).[13]

Orientalis adalah pelaku atau orang yang melakukan kegiatan penelitian terhadap hal-hal yang berakitan dengan Timur.[14] Lebih luas lagi orientalis adalah sarjana Barat yang meneliti bahasa dunia Timur dan kesusastraannya serta mengkaji secara mendalam tentang agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.[15] Sebenarnya kegiatan belajar mereka bisa diartikan sebagai kegiatan yang sengaja menyerang umat Islam dan mendikreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam merupakan topeng an sich saja.[16]

2.    Hadits dalam Pandangan Orientalis

‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan sunnah sebagai berikut:

كل ما أثر عن النبي من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء كانت ذالك قبل البعثة كتحنثه في غار حراء أو بعدها

 

Segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat baik itu sifat fisik atau perangai, atau sejarah baik sebelum di angkat menjadi Rasul seperti menyendiri beribadah di dalam gua hira atau sesudahnya.[17]

Sedangkan hadis menurut orientalis adalah sekumpulan dongeng. Hal ini dikarenakan hadis menurut mereka tidak ada yang sahih bersumber dari Nabi Muhammad dan hanya sedikit yang benar-benar dari Nabi. Sebagaimana dalam sejarah disebutkan bahwa hadis baru ditulis secara keseluruhan dan dibukukan setelah Rasulullah wafat. Sehingga bagi orientalis, hadis mudah untuk di-distorsikan secara keseluruhan.

faktor yang menjadikan kajian hadis menarik bagi orientalis adalah pertama; hadis lebih mudah untuk dicari kelemahannya dibandingkan dengan Alquran. Bisa dikatakan bahwa penelitian orientalis terhadap Alquran gagal dalam mencari keleman-kelemahannya. Bahkan ada keinginan kuat dari beberapa orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua; terjadinya kontradiksi dalam tubuh hadis itu sendiri.[18] Di tambah dengan adanya pengakuan dari pemalsu hadis yang telah membuat hadis-hadis palsu secara sengaja untuk tujuan tertentu.

Ada beberapa aspek yang sering dikemukakan oleh orientalis  dalam kajian hadis yakni aspek pribadi Rasulullah sendiri, sanad dan matan, dan kodifikasi hadis. Bagi mereka hadis bukanlah wahyu tetapi buatan manusia. Dalam kajian isnad banyak dari orientalis yang tidak mempercayai adanya sanad. Salah satu orientalis yaitu H. Motzki menyatakan bahwa sangat kecil kemungkinan untuk melakukan pemalsuan isnad. Sanad yang terdapat dalam kitan musannaf patut dipercaya karena dari sekian banyaknay perawi tidak mungkin melakukan kebohongan berencana.[19]

Menanggapi pemikiran orientalis, ulama muslim telah melakukan bantahan dengan tulisannya misalnya Muhammad Mustafa Azami. Ia berpendapat bahwa sejak Rasulullah masih hidup, sahabat sudah menulis hadis-hadis yang didengar dari Rasulullah. Bukti nyata bahwa ada sebagian sahabat yang memiliki catatan hadis antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa. Tidak kurang dari 52 sahabat yang memiliki catatan hadis begitu juga dengan atbi’in yang memiliki catatan hadis dan mereka berjumlah 247 tabi’in.[20]

Orang Islam beranggapan bahwa orientalis adalah orang Barat yang mengkaji dunia Timur dalam segala bidang, baik itu budaya, keilmuan, politik dan sejarah. Penelitian tersebut dilakukan untuk konsumsi politik penjajahan maupun penelitian ilmiah yang murni atau sebuah misi jahat yang terselubung di dalamnya. Sebagian besar dari orientalis memiliki niat negative tetapi ada juga sebagian dari mereka dalam penelitiannya yang menggunakan metode ilmiah. Hal ini terlihat dari kajian Islam di Barat di beberapa lembaga tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau para peniliti bukan dari golongan agamawan.[21]

Hasil penelitian orientalis yang disebutkan terakhir ini yang menghasilkan karya dan memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian ke-Islaman baik umtuk muslim atau non-muslim. Misalnya berbagai kitan indeks hadis, kamus, dan ensiklopedi baik secara kolektif maupun peorangan. Karya orientalis yang banyak digunakan umat Islam khususnya ilmu hadis adalah Consordance et Indices da la Traadition Musulmane yang dikenal dengan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhi al-hadith karya A. J Wensink.[22]

Belum ada kitab yang menjelaskan indeks hadis yang susunannya lebih baik dari karya A. J. Wensink tersebut. Karena dengan adanya kitab tersebut pelajar dipermudah dalam mencari perawi hadis, matan hadis dan di dalam kitab apa saja yang meriwaytakan hadis yang dicari. Hal ini sangat penting karena hadis tidak seperti Alquran yang mudah untuk mengecek kevalid-annya. Bahkan Alquran sudah final tidak membutuhkan penelitian lagi dalam masalah tersebut.

Karya A. J. Wensink ini sangat membantu dalam mencari matan hadis tidak perlu membuka satu persatu kitab hadis induk tetapi cukup dengan mencari kata kunci atau pokok bahasan hadis tersebut baru kemudia mengecek kepada kitab yang telah tercantum dalam kitab indeks.[23] Kesulitan
 yang dihadapkan kepada peneliti jaman sekarang adalah kitab indeks tersebut disusun berdasarkan kitab hadis sebelum tahun 1939 M. Sementara kitab-kitab hadis tersebut telah diterbitkan lagi dengan berbaai edisi, sudah di-tahqiq sehingga terdapat ketidak cocokan antara data yang diperoleh dari kitab indeks dengan kib induk hadis.


Ignaz Goldziher

Hadis secara Bahasa memiliki makna yang sama namun memiliki cakupan yang berbeda karena sunah biasanya dimaknai lebih luas dibandingkan dengan hadis. Secara istilah, hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik itu berupa perkataan, prilaku serta taqrir Rasulullah SAW.[24] Sedangkan sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik itu ucapan, prilaku, ketetapan, sifat, sikap, gerak-gerik, keinginan baik di alam nayata atau dalam mimpi.[25]

Menurut Ignaz, hadis merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis, sedangkan sunah berisi aturan-aturan praktis.[26] Baginya sunah adalah segala sesuatu yang menjelaskan tentang tradisi, budaya, adat-istiadat dan kebiasaan orang Arab dari para leluhurnya. Kesimpulannya, baginya sunah hanyalah pelestarian budaya Arab kuno. Ia menyebut sunah dengan istilah anamisme atau jahiliyah yang digunakan umat Islam.[27]

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hadis adalah bentuk komunikasi lisan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sunah merupakan budaya, aturan dan kebiasaan yang dilestarikan umat Islam tanpa memandang apakah ada dalam hadis atau tidak.[28] Maka pantas saja jika ia meragukan bahwa hadis adalah sumber hukum Islam. Dengan tegas ia katakan bahwa hadis tidak bisa dijadikan bukti yang autentik di masa awal Islam. Hadis hanyalah peninggalan orang Arab kuno yang dikembangkan pasca Islam.[29]


Nabia Abbott

Menurutnya kata Sunnah terkadang menggunakan kata plural (Sunnah) tidak hanya terbatas pada prilaku Nabi saja, melainkan juga berlaku pada sahabat yang memiliki kedudukan tertinggi dalam pemerintahan. Dilihat dari segi fungsi dan kedudukannya, ia berpendapat bahwa sunah adalah praktik hukum atau legalitas terhadap suatu bidang dibandingkan sebagai jawaban atau solusi beberapa aktifitas kehidupan. Sedangkan makna sunah dalam bentuk jamak, tidak hanya sebatas contoh atau prilaku Nabi saja, namun juga digunaan untuk khalifah dan sejumlah tokoh terkemuka yang berada dalam deretan pemerintahan. Sunah tidak hanya solusi dari beragam kehidupan namun merupakan bagian dari bidang administrasi dan sebuah praktek hukum.[30]


Alois Sprenger

Alois Sprenger oleh pemerhati orientalis dianggap orientalis pertama kali yang mempelajari hadis. Dalam tesisnya ia mengatakan bahwa hadis adalah kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tetapi menarik). Jadi hadis adalah teks palsu bukan berasal dari Rasulullah SAW. Hal ini didukung oleh temannya yaitu William Mur yang mengatakan bahwa dalam literature hadis nama Nbi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Oleh karenanya ia menolak hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Katanya, setidaknya separuh dari 4000 hadis yang diriwayatkan al-Bukhari harus ditolak.[31]

 

    C.  PENUTUP

Orientalisme berasal dari bahasa Perancis yang berasal dari kata ”orient” yang artinya timur dan ”isme” artinya faham. Kata orientalisme dipahami sebagai paham atau aliran yang ingin meneliti hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya. Sedangkan orientalis adalah pelaku atau para peniliti “Timur” baik itu dalam bidang sejarah, agama, ilmu, politik maupun budaya.

Awal mulanya kajian oerientalis bersifat umum dalam bidang ke-Islamannya namun pada masa selanjutnya mereka fokus pada kajian hadis. penelitian itu dilakukan baik misi murni penelitian ilmiah atau misi tertentu. Sebagian besar dari mereka beranggapan negative terhadap hadis tetapi ada pula yang memiliki nilai positif terhadap hadis. beberapa hasil karya mereka banyak membantu para peneliti hadis baik untuk muslim-maupun non-muslim.

Menurut Ignaz Gholzhiher, hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik itu berupa perkataan, prilaku serta taqrir Rasulullah SAW. Sedangkan sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik itu ucapan, prilaku, ketetapan, sifat, sikap, gerak-gerik, keinginan baik di alam nayata atau dalam mimpi.

 Baca artikel lainnya yang terkait;

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , jil. 4. Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002.

A‘Zami, (al) Mustafa. Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.

Buchari, Mannan. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah, 2006.

Bakkar, Muhammad Mahmud Ahmad. Bulugh al-‘Amal min Mustalah al-Hadith wa al-Rijal. Kairo: Dar al-Salam, 2012.

Darmalaksana, Wahyudin. Hadits dimata Orientalis. Bandung: Benang Merah Press, 2004.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Fatimah, Siti. “Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits” dalam Ulul Albab; Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014.

Gholdziher, Ignaz. Mulism Studies, vol. II, terj. Barber dan Stern. London: Ruskin House Musuem Street, 1971.

Hanafi, A. Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits). Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981.

Haqan, Arina . Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah, Mutawatir, vol. 1, no. 2, Juli-Desember, 2011.

Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.

Ismail, M. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Idri, Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam. vol. 11, no. 1 Mei 2011.

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2013.

Khathib (al), M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.

Khatib, (al) Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Khatib, (al) ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabl al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Maufuf, Mustolah. Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995.

Rahim, Abdul. Sejarah Perkembangan Orientalisme, Hunafa, vol. 7. No. 2, Desember 2010.

Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995.

Said, Edward E. Orientalisme, terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, 1994.

Wizan, Adnan M. Akar GeerakanOrientalisme dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadits. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.


[1] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.

[2] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 30.

[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),  28

[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), 8.

[5] Idri, Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam (vol. 11, no. 1 Mei 2011), 201.

[6] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 5.

[7] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), 11.

[8] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), 1.

[9] Arina Haqan, Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah, Mutawatir, vol. 1, no. 2, Juli-Desember, 2011, 156.

[10] Abdul Rahim, Sejarah Perkembangan Orientalisme, Hunafa, vol. 7. No. 2, Desember 2010, 182.

[11] Adnan M. Wizan, Akar GeerakanOrientalisme dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), 1.

[12] Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1996), 6.

[13] Edward E. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1994), 23.

[14] Sou’yb, Orientalisme dan Islam, 1.

[15] A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits) (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), 8.

[16] M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , jil. 4 (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002), 59.

[17]‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 18.

[18] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 81.

[19] Siti Fatimah, Ulul Albab, Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014, 210.

[20] Yaqub, Kritik Hadits, 30.

[21] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006), 11.

[22] Ibid.

[23] Ibid, 111.

[24] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 32.

[25] Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, BUlugh al-‘Amal min Mustalah al-Hadith wa al-Rijal (Kairo: Dar al-Salam, 2012), 43.

[26] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 311.

[27] Mustafa al-A‘Zami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), 6.

[28] Ignaz Gholdziher, Mulism Studies, vol. II, terj. Barber dan Stern (London: Ruskin House Musuem Street, 1971), 26.

[29] Ibid., 5.

[30] Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II; Qur’anic Commentry and Tradition, 27.

[31] Siti Fatimah “Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits” dalam Ulul Albab; Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014, 209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...