BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama. Kedua,
diisi oleh sunah Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk menjelaskan
isi al-Qur’an secara rinci. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh praktis dalam
mengamalkan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, sejak zaman Nabi hingga
sekarang kaum muslimin menjadikan sunah sebagai sumber hukum dan penuntun
akhlak selain al-Qur’an.[1]
Sunah yang diwariskan Rasulullah SAW kepada umatnya memiliki kedudukan
tersendiri untuk al-Qur’an. Apalagi fungsi sunah terhadap al-Qur’an yang
menjadikannya istimewa tetapi tidak semua sunah bisa dijadikan hujjah. Hal ini
karena banyak faktor semisal tingkat kecermatan perawi. Al-Qur’an diriwayatkan
secara mutawatir dan ditulis
sejak zaman Rasulullah saw sehingga tidak lagi diperdebatkan tentang
keberadaannya. Berbeda dengan hadis yang ditulis jauh setelah Rasulullah saw
wafat sehingga bermunculan dugaan bahwa hadis bukanlah sabda Rasulullah saw.
Kitab-kitab hadis yang muncul setelah wafat Rasulullah menjadi sasaran empuk kaum orientalis untuk menghujat umat Islam. Semisal Joseph Schacht yang meragukan otentitas hadis dalam kitab al-Muwatta’. Selain hadis yang diriwayatkan Imam Malik, dia juga mengkritisi tentang untaian sanad emas “Malik-Nafi‘-Ibnu ‘Umar. Bantahan yang dikemukakan oleh para orientalis bisa dipatahkan oleh Mustafa al-A‘zamy.[2] Oleh karenanya penting untuk mengetahui latar belakang kehidupan Imam Malik serta di ablik penulisan kitabnya al-Muwatta’.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang diketahui tentang riwayat
hidup Imam Malik?
2.
Bagaimana proses penyusunan kitab al-Muwatta’?
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup Imam
Malik.
2.
Untuk mengetahui proses penyusunan
kitab al-Muwatta’.
BAB II
IMAM MALIK IBN ANAS DAN
KITAB AL-MUWATTA’
A.
Riwayat Hidup
Imam Malik
1.
Nama dan nasab serta kelahiran Imam Malik
Nama lengkap
Imam Malik adalah Abu ‘Abd Allah Malik ibn
Anas Ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn al-Harith ibn Ghaiman ibn Khuthail
ibn ‘Amr ibn al-Harith.[3]
‘Abd al-Ghafur Sulaiman al-Bandary dalam kitabnya Mausu‘ah Rijal al-Kutub al-Tis‘ah menyebutkan
bahwa nama lengkap Imam
Malik adalah Malik Ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn al-Harith ibn
‘Uthman ibn Hanbal ibn ‘Amr ibn al-Harith. Nama kunyahnya adalah Abu ‘Abd Allah
sedangkan laqabnya adalah al-Asbahy, al-Madany, al-Faqih, al-Imam Dar
al-Hijrah, dan al-Humairi. [4]
Dikatakan oleh
Abu Zahwu dalam kitabnya al-Hadith wa al-Muhaddithun bahwa Abu ‘Amir selalu
mengikuti peperangan pada masa Rasulullah kecuali perang Badar.[5]
Sedangkan kakeknya yakni Malik salah satu dari keempat pemandu keranda
jenazah Khalifah ‘Uthman ibn ‘Affan pada malam pemakamannya. Selain itu, Malik
termasuk tabi‘in besar dan ulama kenamaan pada masanya.[6] Ia
banyak meriwayatkan hadis dari ‘Aishah, ‘Uthman, Talhah, Abu Hurairah, dan Hasan ibn Abi Thabit.
Ia juga termasuk penulis mushaf ‘uthmany.[7] Imam Malik sendiri menjadi mufti di Madinah selama
60 tahun[8]
dan termasuk salah satu tabi‘ al-tabi‘in.[9]
Menurut qaul al-asahh, Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93
Hijriyah[10]
dari pasangan Anas ibn
Malik dan ‘Aliyah binti Sharik al-Azdiyah.[11]
Ada yang mengatakan bahwa ibu Imam Malik adalah al-Ghaliyah.[12] Ibn Bukair berkata, Imam Malik berada di dalam
kandungan ibunya selama dua tahun,[13]
ada pula yang mengatakan Imam Malik berada dikandungan selama tiga tahun.[14]
Muhammad ibn Sa‘ad berkata
bahwa Imam Malik meninggal di
Madinah pada bulan Safar tahun 179 H. Sedangkan
menurut Isma‘il ibn ‘Abd Allah ibn Uwais, Imam
Malik meninggal pada tanggal 14 Rabi‘ al-Awal 179 H dan
dikuburkan di Baqi‘[15] pada hari
ahad.[16]
Abu ‘Amr ibn ‘Abd al-Barr mengatakan
bahwa Imam Malik memiliki
empat orang anak yakni Muhammad,
Hammad, Yahya, dan Ummu al-Baha’. Ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memiliki tiga anak yakni Yahya, Muhammad, dan Fatimah yang dikenal
dengan Ummu
al-Mu’minin dan dia juga hafal kitab al-Muwatta’ milik
ayahnya. [17]
2.
Pribadi Imam Malik
Imam Malik adalah sosok yang lemah lembut,
sopan dan berbudi pekerti yang luhur. Ia orang yang tidak banyak bicara dan
hanya berbicara seperlunya saja. Dibalik kelembutannya, ia memiliki kepribadian
dan pendirian yang kuat. Hal ini terbukti dengan penolakannya untuk datang ke
Istana dan menjadi guru keluarga kerajaan ketika pemerintahan Harun al-Rashid.[18]
selain itu, ia pernah didera dengan cemita sehingga tulang punggngnya hampir
putus dan keluar dari lengannya dan punggungnya hampir remuk.kemudian ia diikat
diatas punggung unta dan di arak keliling Madinah agar ia mau mencabut fatwanya
yang menentang pemerintah tetapi, ia tetap menolak.[19]
Kejadian ini terjadi pada masa pemerintahan al-Mansur salah satu khalifah dari Bani ‘Abbasiyyah, ia diminta
untuk memberikan fatwa tentang baiat secara paksa dan Imam Malik menjawab
bahwa baiat tersebut tidak sah. Fatwa yang dikemukakan oleh Imam Malik kemudian
dijadikan pendorong oleh kelompok Syiah untuk menentang pemerintah. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 147 H yang menyebabkan Imam Malik di tahan dan
disiksa. Ketika musim haji tiba, al-Mansur mengunjungi Imam Malik dan memohon maaf atas perlakuan petugasnya di
Madinah karena telah menyiksanya. Selain itu, khalifah al-Mansur meminta kepadanya agar menghimpun
hadis yang bisa di jadikan pegangan umat. Awalnya Imam Malik menolak tetapi kemudian ia
menyetujuinya.[20]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
3.
Guru dan murid
Imam Malik
a.
Guru-guru Imam Malik:
Imam Malik tidak pernah melakukan perjalanan
dalam mencari hadis karena beliau sejak kecil hingga wafatnya berada di
Madinah. Madinah adalah kota yang pada saat itu adalah pusat ilmu pengetahuan
Agama Islam. Selain itu, Madinah adalah tempat yang banyak dihuni oleh tabiin
yang belajar langsung kepada para sahabat bahkan, banyak ulama dari luar kota
berdatangan ke Madinah untuk belajar.[21]
Ia belajar dan
mengambil hadis dari sembilan ratus orang yang terdiri dari tiga ratus al-tabi‘in dan enam
ratus dari tabi‘
al-tabi‘in.[22]
Adapun guru Imam Malik yang
terkemuka menurut Amin
al-Khulli ialah:
1)
Rabi‘ah al-Ra’yi ibn ‘Abd al-Rahman Furukh al-Madany (w. 136 H). Ia
adalah guru Imam Malik sewaktu masih
kecil yang mengajari ilmu akhlak, ilmu fikih dan ilmu hadis. Ada 12 riwayat
yang didapat dari Rabi‘ah yang terdiri
dari lima hadis musnad[23]
dan satu hadis mursal[24].[25]
2)
Ibn Hurmuz Abu Bakar ibn Yazid (w. 147 H). selama delapan tahun
lamanya Imam Malik berguru
kepadanya dalam bidang ilmu kalam, ilmu I’tiqad dan ilmu fikih dan mendapatkan
hadis sebanyak 45-47 hadis.[26]
3)
Ibnu shihab al-Zuhri (w. 124 H). Imam Malik
meriwayatkan hadis darinya sebanyak 132 yang terdiri dari 92 hadis musnad dan
yang lain hadis mursal.
4)
Nafi‘ ibn Surajis ‘Abd Allah al-Jailani (w. 120 H).
Ia hidup pada masa khalifah ‘Umar
ibn ‘Abd al-‘Aziz dan menjadi pembantu keluarga Ibnu ‘Umar. Imam
Malik meriwayatkan 80 lebih hadis dari Nafi‘.
5)
Ja‘far Sadiq ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Husain ibn Abi Talib
al-Madany (w. 148 H). Ia salah satu imam ithna ‘ash‘ariyah dan ahlu al-bait. Imam Malik belajar fikih dan hadis dan
meriwayatkan hadis darinya dalam bab manasik.[27]
6)
Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-Hadiry al-Taimy al-Quraishy (w. 131 H).
Ia adalah saudara Rabi‘ah
al-Ra’yi, ahli fikih Hijaz dan Madinah, ahli hadis, dan termasuk sayyidat al-qura.[28]
b.
Murid-murid Imam Malik:
Yahya al-Ansary, al-Zuhri, keduanya
adalah termasuk gurunya, Ibn Juraij, Yazid ibn ‘Abd Alla ibn al-Hadi, al-Auza ‘i,
al-Thauri, ibn ‘Uyaynah, Shu’bah, al-Laith ibn Sa ‘ad, ibn al-Mubarak, ibn
‘Aliyah, al-Shafi ‘i, ibn Wahab, Ibrahim ibn Haiman, al-Qa ‘naby, ‘Abd Allah
ibn Yusuf, ‘Abd Allah ibn Nafi ‘, Yahya al-Qattan, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi,
Ma’an ibn ‘Isa, ‘Abd al-Rahman ibn al-Qasim al-‘Ataqy al-Damiry, Abu ‘Asim
al-Nabil,Ruh ibn ‘Abadah, al-Walid ibn Muslim, Abu ‘Amir al-‘Aqdy, Yahya ibn
Yahya, Yahya ibn ‘Abd Allah ibn Bakir, ‘Abd al-‘Aziz al-Ausy, Qutaibah, Sa‘id
ibn Abi Maryam, Sa‘id ibn Kathir ibn ‘Afir, Matraf ibn ‘Abd Allah al-Siyary,
Waraqa’ ibn ‘Amr.[29]
Murid Imam Malik tidak hanya yang disebutkan ini saja tetapi masih banyak lagi
yang belum dipaparkan dalam makalah ini.
4.
Karya-karya Imam Malik
Selama hidupnya imam malik hanya
dipegunakan untuk mencari ilmu. Banyak kitab yang telah ditulis, diantaranya:[30]
a.
Al-Muwatta’
b.
Kitab ‘Aqdiyah
c.
Kitab Nujum
d.
Hisab Madar al-Zaman Manazil al-Qamar
e.
Kitab Manasik
f.
Kitab Tafsir li Gharib al-Qur’an
g.
Ahkam al-Qur’an
h.
Al-Mudawwanah al-Kubra
i.
Tafsir al-Qur’an
j.
Kitab Masa’ Islam
k.
Risalah ibn Matruf Gassan
l.
Risalah ila al-Laith
m. Risalah ibn Wahhab.
Namun dari sekian banyak karyanya yang
sampai kepada kita hanya kitab al-Muwatta’ dan al-Mudawwanah.
B.
Al-Muwatta’ Imam Malik ibn Anas
1.
Latar belakang
penyusunan kitab al- Muwatta’
Imam Malik menulis kitab al-Muwatta’ sejak masa Khalifah al-Mansur 137 H-159 H dan selesai pada masa al-Mahdi 159 H-169 H. Ketika pemerintahan Khalifah
Harun al-Rashid 170 H-194 H,
ia berusaha menjadikan kitab al-Muwatta’ sebagai kitab hukum yang berlaku
umum pada masa kepemimpinannya namun, Imam Malik menolaknya.[31]
Kitab al-Muwatta’ ditulis oleh Imam Malik karena kondisi
politik dan sosial agama. Keadaan politik pada saat itu sangat kacau karena
bersamaan dengan masa transisi Daulah Umayyah-Abbasiyah sehingga muncullah
golongan-golongan (Syiah, Khawarij, Keluarga Istana) yang mengancam integritas
kaum Islam. Selain itu terjadi perbedaan khususnya dalam bidang agama yang
berangkat dari penggunaan metode nash di satu sisi, yang lain menggunakan
rasio.[32]
Disebutkan dalam versi lain bahwa penulisan al-Muwatta’ karena adanya permintaan dari Khalifah Ja‘far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang merasa prihatin dengan perbedaan dan pertentangan yang terjadi pada saat itu. Oleh karenanya ia mengusulkan kepada khalifah agar membuat undang-undang yang bisa menengahi perbedaan tersebut. Maka kemudian khalifah meminta Imam Malik untuk menyusun kitab standar bagi seluruh umat Islam. Imam Malik menyetujuinya namun menolak kalau kitabnya dijadikan kitab standar atau kitab resmi Negara. Dikatakan bahwa selain terinisiasi oleh permintaan khalifah, Imam Malik juga memiliki keinginan untuk menyusunan kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama.[33]
2.
Penamaan kitab
Nama al-Muwatta’ adalah nama
yang orisinil berasal dari Imam
Malik. Adapun
alasan mengapa ia menamakan dengan al-Muwatta’ menjadi perbedaan persepsi
diantara ulama, diantaranya:
a.
Imam Malik telah menyerahkan
kitabnya kepada 70 ulama fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Diceritakan
dalam suatu riwayat bahwa al-Suyuty mengatakan: Imam
Malik berkata, aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli fikih Madinah, mereka
semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namai dengan.[34]
b.
Dinamakan al-Muwatta’ karena kitab
tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan
hidup dalam beragama.
c.
Dinamakan al-Muwatta’ karena
al-muwatta’ memperbaiki kitab-kitab sebelumnya.[35]
3.
Isi kitab
Kitab al-Muwatta’ memuat hadis
Nabi Muhammad, fatwa sahabat, fatwa tabiin, ijma’ ahli Madinah dan pendapat ia
sendiri. Mengenai jumlah hadis dalam al-Muwatta’ para ulama berbeda pendapat,
diantaranya:
a.
Ibn Habbab yang dikutip Abu Bakar al-A‘raby dalam Sharh al-Tirmidhy mengatakan
ada 500 hadis yang disaring dari 100.000 hadis.
b.
Abu Bakar al-Abhary mengatakan ada 1720 hadis dengan perincian
600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabiin.[36]
c.
Muhammad Abu
al-Laith al-Khaira ‘Abadi di dalam kitabnya
‘Ulum al-Hadith; Asiluha wa Mu‘ashiruha mengatakan bahwa Imam Malik menyaringnya dari 100.000 hadis
yang telah diriwayatkan.[37]
Perbedaan ini
terjadi karena para ulama berbeda dalam menghitung hadis dan karena perbedaan
sumber periwayatan.
Riwayat Imam Malik yang tertuang dalam kitab al-Muwatta’ telah banyak
diriwayatkan oleh para ulama dan telah banyak naskah yang menjelaskan itu
bahkan menurut Imam al-Suyuty lebih dari
seribu. Hanya saja menurut al-Suyuti naskah yang
terkenal ada 14 naskah, sedang menurut al-Kandahlawy ada 16 naskah, berbeda
dengan keduanya, qadi ‘Iyad berpendapat
ada dua puluh naskah.[38]
Diantara naskah tersebut:
a.
Naskah Yahya Ibn Yahya al-Masmudi Al-Andalusy (w. 204 H).
Ia adalah orang pertama kali yang mengambil al-Muwatta’ dari Yazid ibn ‘Abd al-Rahman ibn Ziyad al-Lahmy
(al-Bushkatun) dan pembawa madhhab maliki ke Andalusia.
b.
Naskah Ibn Wahb (w. 197 H)
c.
Naskah Abu ‘Ubaid Allah aAbd al-Rahman ibn al-Qasim
ibn al-Khalid Al-Misry (w. 191 H)
d.
Naskah Abu ‘Abd al-Rahman ‘Abd Allah ibn
Musalamah ibn Qa‘nabi al-Harisy (w. 221 H)
e.
Naskah ‘Abd Allah ibn Yusuf al-Dimashqy Abu Muhammad
al-Tunisy (w. 217 H)
f.
Naskah Mu‘an al-Qazzazy (w. 198 H)
g.
Naskah Sa‘id ibn ‘Uffair (w. 226 H)
h.
Naskah Ibn Bukair (w. 231 H)
i.
Naskah Abu Mas‘ab ibn ‘Abd Allah al-Zubairy (w. 215 H)
j.
Naskah Abu Mas‘ab Ahmad ibn Abu Bakar al-Qasim
al-Zuhry (w. 242 H)
k.
Naskah Muhammad ibn al-Mubarak al-Qushairy (w. 215 H)
l.
Naskah Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawy (w. 240 H)
m.
Naskah Muhammad ibn al-Hasan al-Shaibany (w. 179 H)
n.
Naskah Yahya ibn Yahya al-Taimy (w. 226 H)
o. Naskah Abi Hadafah al-Sahmy (w. 259 H)
4.
Sistematika
kitab al-Muwatta’
Kitab al-Muwatta’, seperti yang
di tahqiq oleh ‘Abd Baqi[39] terdiri dari
dua juz, 61 kitab dan 1824 hadis.[40]
Adapun perinciannya sebagai berikut:
Juz 1:
1.
Waktu salat, 80 tema, 30 hadis
2.
Bersuci, 32 tema, 115 hadis
3.
Salat, 8 tema, 70 hadis
4.
Lupa dalam salat, 1 tema, 3 hadis
5.
Salat jum‘at, 9 tema, 21
hadis
6.
Salat pada bulan Ramadan, 2 tema, 7
hadis
7.
Salat malam, 5 tema, 33 hadis
8.
Salat jamaah, 10 tema, 38 hadis
9.
Meng-qasar salat dalam perjalanan, 25 tema,
95 hadis
10.
Salat ‘idain, 7 tema, 13
hadis
11.
Salat khauf, 1 tema, 4 hadis
12.
Salat gerhana bulan dan matahari, 2
tema, 4 hadis
13.
Salat istisqa’, 3 tema, 6
hadis
14.
Menghadap qiblat, 6 tema, 15 hadis
15.
Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadis
16.
Kitab al-jana’iz, 16 tema, 59 hadis
17.
Zakat, 30 tema, 55 hadis
18.
Puasa, 22 tema, 60 hadis
19.
I‘tikaf, 8 tema, 16 hadis
20.
Haji, 83 tema, 255 hadis
Juz II:
21.
Kitab al-Jihad, 21 tema, 50 hadis
22.
Nadar dan sumpah, 9 tema, 17 hadis
23.
Qurban, 6 tema, 13 hadis
24.
Sembelihan, 4 tema, 19 hadis
25.
Binatang buruan, 7 tema, 19 hadis
26.
‘Aqiqah, 2 tema, 7 hadis
27.
Fara’id, 15 tema, 16 hadis
28.
Nikah, 22 tema, 58 hadis
29.
Talaq, 35 tema, 109 hadis
30.
Persusuan, 3 tema, 17 hadis
31.
Jual beli, 49 tema, 101 hadis
32.
Pinjam meminjam, 15 tema, 16 hadis
33.
Penyiraman, 2 tema, 3 hadis
34.
Menyewa tanah, 1 tema, 5 hadis
35.
Shuf‘ah, 2 tema, 4 hadis
36.
Hukum, 41 tema, 54 hadis
37.
Wasiat, 10 tema, 9 hadis
38.
Kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tema,
25 hadis
39.
Budak mukatabah, 13 tema, 15
hadis
40.
Budak mudarabah, 7 tema, 8
hadis
41.
Hudud, 11 tema, 35 hadis
42.
Minuman, 5 tema, 15 hadis
43.
Orang yang berakal, 24 tema, 16
hadis
44.
Sumpah, 5 tema, 2 hadis
45.
Al-jami‘, 7 tema, 26 hadis
46.
Qadar, 2 tema, 10 hadis
47.
Akhlak yang baik, 4 tema, 18 hadis
48.
Memakai pakaian, 8 tema, 19 hadis
49.
Sifat nabi, 13 tema, 39 hadis
50.
Mata, 7 tema, 18 hadis
51.
Rambut, 5 tema, 17 hadis
52.
Kitab al-ru’ya, 2 tema, 7 hadis
53.
Salam, 83 tema, 8 hadis
54.
Minta izin, 17 tema, 44 hadis
55.
Bai‘ah, 1 tema, 3 hadis
56.
Kalam, 12 tema, 27 hadis
57.
Jahanam, 1 tema, 2 hadis
58.
Sadaqah, 3 tema, 15 hadis
59.
Ilmu, 1 tema, 1 hadis
60.
Dakwah orang yang teraniaya, 1
tema, 1 hadis
61. Nama-nama nabi, 1 tema, 1 hadis
5.
Metode dan
kualitas hadis
Imam Malik tidak secara tegas menyebutkan
bahwa dalam menulis kitab al-Muwatta’ menggunakan
suatu metode seperti yang dikemukakan beberapa ahli hadis. Hal ini secara implisit
bisa diketahui dengan membaca kitab al-Muwatta’. Imam Malik dalam menyusun kitab al-Muwatta’ sesuai
klasifikasi hukum Islam (abwab
al-fiqhiyyah) dan mencamtumkan hadis marfu‘,[41]
hadis mauquf[42] maupun maqtu‘[43].[44]
Selain mencantumkan macam-macam hadis, Imam Malik juga menggunakan beberapa tahapan. Tahapan
yang ditempuhnya; pertama menyeleksi hadis yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad. Kedua, fatwa sahabat, ketiga fatwa tabiin, keempat ijma’ ahli Madinah
dan terakhir adalah pendapat Imam Malik sendiri. Tahapan tersebut tidak selalu
dipaparkan secara bersamaan di setiap pembahasan karena ia mendahulukan hadis dari Nabi
Muhammad baru kemudian menggunakan fatwa sahabat dan seterusnya tetapi fatwa
sahabat atau yang lainnya tidak selalu dihadirkan kecuali apabila diperlukan
saja.[45]
Ada beberapa
kriteria yang dilakukan Imam Malik untuk
mengkritisi setiap periwayat hadis yakni; pertama, periwayat bukan orang yang
berperilaku jelek. Kedua, bukan ahli bidah, ketiga, bukan orang berdusta dalam
hadis dan keempat, bukan orang yang tahu ilmu tetapi tidak mengamalkannya.[46]
Para ulama
berbeda pendapat dalam menilai kualitas hadis yang telah dihimpun oleh Imam Malik. Ada beberapa pendapat yang akan
disebutkan dibawah ini:
a.
Sufyan ibn ‘Uyaynah dan al-Suyuti berpendapat
bahwa seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah sahih.
b. Abu Bakar al-Abahary berpendapat
bahwa tidak semua hadis yang ada dalam al-Muwatta’ berkualitas sahih tetapi ada 222
hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285 hadis maqtu’.
c.
Ibn Hajar al-‘Asqalany berpendapat bahwa hadis yang
terdapat dalam al-Muwatta’ sahih menurut
Imam Malik dan pengikutnya. [47]
Pendapat Ibn Hajar
al-‘Asqalany adalah pendapat pribadi tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa
didalam al-Muwatta’ tidak ada
hadis mursal maupun munqati’ kecuali sanadnya sampai kepada Rasulullah saw dari
jalur lain.[48]
d.
Ibn Hazm dalam kitabnya Maratib al-Diniyah mengatakan
bahwa dalam al-Muwatta’ terdapat 500
hadis musnad, 300 hadis mursal dan 70 hadis da’if.[49]
e.
Al-Ghafiqi berpendapat bahwa dalam al-Muwatta’ terdapat 27
hadis mursal dan 15 hadis mauquf[50].[51]
f.
Hasbi ash-Shiddiqi berpendapat
bahwa dalam al-Muwatta’ terdapat
hadis sahih, hasan dan da’if.
Salah satu
ulama abad kelima, ibnu ‘Abd
al-Barr mengarang
kitab tentang ke-muttasil-an hadis mursal, munqati‘ dan mu‘dal yang ada dalam
kitab al-Muwatta’. Dia berkata
bahwa semua riwayat Imam
Malik yang
menggunakan kata balagha atau diriwayatkan dari orang yang terpercaya
berarti termasuk hadis musnad dari jalur selain Imam Malik kecuali empat hadis.[52]
a.
Pertama pada bab amal dalam kitab al-sahwi
مَالِكٌ،
أَنَّهُ
بَلَغَهُ؛
أَنَّ
رَسُولَ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم
قَالَ:
«إِنِّي
لأَنْسَى
أَوْ
أُنَسَّى
لِأَسُنَّ»[53]
Bahwasanya ada
seseorang yang telah menyampaikan kepadanya bahwa Rasulullah saw telah
bersabda: aku lupa atau aku telah lupa karena itu mungkin yang aku kerjakan
adalah sunah.[54]
b.
Terdapat di bab datangnya Lailah
al-qadr dalam kitab al-I‘tikaf
مَالِكٌ؛
أَنَّهُ
سَمِعَ
مَنْ
يَثِقُ
بِهِ
مِنْ
أَهْلِ
الْعِلْمِ
يَقُولُ:
إِنَّ
رَسُولَ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم
أُرِيَ
أَعْمَارَ
النَّاسِ
قَبْلَهُ.
أَوْ
مَا
شَاءَ
اللهُ
مِنْ
ذلِكَ.
فَكَأَنَّهُ
تَقَاصَرَ
أَعْمَارَ
أُمَّتِهِ
أَنْ
لاَ
يَبْلُغُوا
مِنَ
الْعَمَلِ،
مِثْلَ
الَّذِي
بَلَغَ
غَيْرُهُمْ
فِي
طُولِ
الْعُمْرِ
فَأَعْطَاهُ
اللهُ
لَيْلَةَ
الْقَدْرِ،
خَيْرٌ
مِنْ
أَلْفِ
شَهْرٍ[55]
Dari malik
bahwasanya dia mendengar dari orang yenag terpercaya di antara ulamam berkata
Rasulullah tellah diperlihatkan umur orang yang mati sebelumnya atau apa yang
telah Allah kehendaki tentang itu dan itu menjadikan seakan-akan kehidupan
umatnya terlalu pendek bagi mereka untuk melakukan perbuatan baik sebagaimana
orang-orang sebelum mereka dapa melakukannya dengan usia mereka yang panjang,
maka Allah memberikan kepadanya Lailah al-qadr yang lebih baik dari
seribu bulan.[56]
c.
Terdapat dalam kitab al-jami‘
مَالِكٌ؛
أَنَّ
مُعَاذَ
بْنَ
جَبَلٍ
قَالَ:
آخِرُ
مَا
أَوْصَانِي
بِهِ
رَسُولُ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم
حِينَ
وَضَعْتُ
رِجْلِي
فِي
الْغَرْزِ،
أَنْ
قَالَ:
«أَحْسِنْ
خُلُقَكَ
لِلنَّاسِ،
مُعَاذُ
بْنَ
جَبَلٍ[57]
Dari Malik bahwasanya Muadh Ibn Jabal berkata: petunjuk akhir dari Rasulullah saw telah
disampaikan kepadaku ketika aku meletakkan kaki di Sanggurdi, ia berkata:
berkelakuan baiklah kepada orang hai Muadh
Ibn Jabal.[58]
d.
Terdapat dalam bab al-istimtar bi al-nujum
مَالِكٌ؛
أَنَّهُ
بَلَغَهُ
أَنَّ
رَسُولَ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم
كَانَ
يَقُولُ
إِذَا
أَنْشَأَتْ
بَحْرِيَّةً
،
ثُمَّ
تَشَاءَمَتْ؛
فَتِلْكَ
عَيْنٌ
غُدَيْقَةٌ[59]
Dari Malik bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Rasul bersabda ketika awan muncul dari arah laut dan pergi menuju syiria akan turun hujan besar.[60]
6.
Kitab-kitab sharh al-Muwatta’
Banyak ulama yang
telah men-sharh kitab al-Muwatta’, diantaranya:
a.
Al-Tamhid lima fi al-Muwatta’ min al-Ma‘ani wa al-Asanid karya Abu ‘Umar ibn ‘Abd al-Barr al-Namiri al-Qurtubi (w. 463 H)
b.
Al-Istidhkar fi Sharh Madhahib ‘Ulama’ al-Amsar karya Ibn ‘Abd al-Barr (w. 436 H)
c.
Kashf al-Mughti fi Sharh al-Muwatta’ karya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H)
d.
Tanwir al-Hawalik karya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H)
e.
Sharh al-Ta‘liq al-Mumajjad ‘ala Muwatta’ Imam Muhammad karya al-Hayy ibn Muhammad al-Laknawy
al-Hindi
f.
Al-Maswa karya al-Dahlawy al-Hanafi (w. 1176 H)
g.
Sharh al-Zarqany karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H).[61]
h.
Aujaz al-Masalik ila Muwatta’ Malik karya Muhammad Zakariya
al-Kandahlawi (w. 1402 H).[62]
i. Al-Muntaqa karya Abu walid al-Bajdi (w. 474 H).[63]
7.
Pendapat ulama
tentang al-Muwatta’
Diantara ulama
yang memberi penilaian terhadap al-Muwatta’ Imam Malik adalah:
a.
Al-Shafi‘i: di dunia ini tidak ada kitab yang lebih
sahih daripada al-Muwatta’
setelah Alquran.
b.
Al-hafiz al-Mughlati al-Hanafi: al-Muwatta’ karya Imam Malik adalah kitab sahih yang pertama kali.
c.
Waliyullah al-Dahlawi mengatakan
bahwa al-Muwatta’ adalah kitab
yang sahih, mashhur dan paling
terdahulu pengumpulannya.[64]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah dan meninggal pada tanggal 14 Rabi‘ al-Awal 179 H. Ia
meninggalkan tiga orang putra dan seorang putri. Ia tidak pernah melakukan
perjalanan keluar Madinah untuk belajar hadis karena kota Madinah adalah pusat
ilmu pengetahuan dan banyak orang yang berdatangan ke Madinah untuk belajar.
2. Imam Malik menulis kitab al-Muwatta’ sejak masa Khalifah al-Mansur 137 H-159 H dan selesai pada masa al-Mahdi 159 H-169 H. Ketika pemerintahan Khalifah Harun al-Rashid 170 H-194 H, ia berusaha menjadikan kitab al-Muwatta’ sebagai kitab hukum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ketiga khalifah ini meminta kepada Imam Malik untuk menjadikannya kitab Negara namun, Imam Malik menolaknya. Nama al-Muwatta’ adalah ide dari Imam Malik sendiri.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
[1] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Terj. A. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.
[2] Nurun Najwah “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), 17-19.
[3] Shamsu al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad ibn ‘Uthman ibn Qaimaz al-Dzahaby, Siyaru A‘lam al-Nubala’, juz. 8 (t.t: Mu’assasah al-Risalah: 1985), 48.
[4] ‘Abd al-Ghafur Sulaiman al-Bandary, Mausu‘ah Rijal al-Kutub al-Tis‘ah, juz. 3 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 494.
[5] Muhammad Muhamma Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1378 H), 288.
[6] Muhammad ibn ‘Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqany al-Misry al-Azhary, Sharh al-Zarqany ‘ala Muwatta’ al-Imam Malik, juz. 1 (Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyah, 2003), 53.
[7] Abu al-Fadl al-Qadi ‘Iyad ibn Musa al-Yahsaby, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, juz. 1 (al-Maghrib: Matba‘ah Fadalah, t. th), 113.
[8] Al-Azhary, Sharh al-Zarqany, 57.
[9] Abu Zakariya Muhyi ibn Sharf al-Nawawy, Tahdhib al-Asma’ wa al-Lughat, juz. 2 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 75.
[10] Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 288.
[11] al-Dzahaby, Siyaru A‘lam, 49.
[12] Abi ‘Umar Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Barr, Mausu‘ah Shuruh al-Muwatta’, juz. 1 (Kairo: t.p, 2005), 14.
[13] Abu ‘Amr Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Barr ibn ‘Asim al-Namiry al-QAurtuby, al-Intiqa’ fi Fada’il al-Thalathah al-Aimmah al-Fuqaha’ Malik wa al-Shafi‘y wa Abi Hanifah (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 10.
[14] Al-Nawawy, Tahdhib al-Asma’, 79.
[15] Ibid.
[16] Al-Azhary, Sharh al-Zarqany, 57.
[17] al-Barr, Mausu‘ah Shuruh, 15.
[18] Moenawar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 110.
[19] Najwah, Studi Kitab, 4.
[20] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 254.
[21] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: alMuna, 2010), 56-57.
[22] al-Nawawy, Tahdhib al-Asma’, 78.
[23] Hadis musnad adalah hadis yang sanadnya bersambung dan marfu’ kepada Rasulullah saw. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 363.
[24] Hadis mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw oleh seorang tabiin dengan mengatakan “Rasulullah saw berkata…” baik tabiin besar atau tabiin kecil. ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 387.
[25] Amin al-Khulli, Malik ibn Anas (Bairut: Dar al-Fikr, t. th), 65.
[26] Ibid.
[27] Muhammad Hamid Husain, Kitab al-Muwatta’, “Muqaddimah” (t.t: Dar Kutub al-Islamiyyah, t. th), ba’-jim.
[28] al-Khulli, Malik ibn Anas, 96-97.
[29] al-Nawawy, Tahdhib al-Asma’, 75.
[30] Najwah, Studi Kitab, 6.
[31] Azra, Ensiklopedi Islam, 254.
[32] Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), 59.
[33] Najwah, Studi Kitab, 8.
[34] Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 246.
[35] Najwah, Studi Kitab, 8. Lihat pula Muhammad Abu al-Laith al-Khaira ‘Abadi, ‘Ulum al-Hadith;Aasiluha wa Mu‘ashiruha (Malaysia: Dar al-Shakir, 2011), 80.
[36] Jalal al-Din al-Suyuty, Tanwir al-Hawalik Sharh al-Muwatta’, juz. 1 (Bairut: Dar Ihya’ Kutub al-‘Arabiyyah, t. th), 9. Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 249.
[37] Muhammad Abu al-Laith al-Khaira ‘Abadi, ‘Ulum al-Hadith; Asiluha wa Mu‘ashiruha (Malysia: Dar al-Shakir, 2011), 80.
[38] Muhammad Zakariya ibn Muhammad Yahya al-Kandahlawy, Muqaddimah Aujaz al-Masalik ila Muwatta’ Malik (India: Matba‘ah al-Sa’adah, 1973), 36-39.
[39] Malik ibn Anas ibn Malik ibn ‘Amir al-Asbahy al-Madany, Muwatta’ al-Imam Malik (Bairut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, 1985), 2.
[40] Najwah, Studi Kitab, 12.
[41] Hadis marfu‘ adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat. Lihat Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (al-Iskandariyyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 97.
[42] Hadis yang disandarkan kepada sahabat baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan, al-Tahhan, Taisir Mustalah, 98.
[43] Hadis yang disandarkan kepada al-tabi‘in atau tabi‘ al-tabi‘in. al-Tahhan, Taisir Mustalah, 101.
[44] Mustafa Ali Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 76.
[45] Najwah, Studi Kitab, 14.
[46] Ahmad asy-Syarbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 104.
[47] al-Suyuty, Tanwir al-Hawalik, 9.
[48] Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 247.
[49] al-Suyuty, Tanwir al-Hawalik, 9.
[50] Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat yang tidak sampai kepada Nabi Muhammad saw. ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, 338.
[51] al-Kandahlawy, Muqaddimah Aujaz, 44.
[52] Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 247.
[53] Malik ibn Anas ibn Malik ibn ‘Amir al-Asbahy al-Madany, al-Muwatta’, juz. 2 (t.t: Mu’assasah Zaid ibn Sultan Ali Nahyan li al-A‘mal al-Khairiyah wa al-Insaniyah, 2004), 138.
[54] Najwah, Studi Kitab, 15.
[55] al-Madany, al-Muwatta’, juz. 3, 462. Lihat pula ‘Abadi, ‘Ulum al-Hadith, 80-81.
[56] Najwah, Studi Kitab, 15-16.
[57] al-Madany, al-Muwatta’, juz. 5, 1327.
[58] Najwah, Studi Kitab, 16.
[59] al-Madany, al-Muwatta’, Juz. 2, 269.
[60] Najwah, Studi Kitab, 16.
[61] Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 250-251.
[62] ‘Abadi, ‘Ulum al-Hadith, 82.
[63] Shamsu al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad ibn ‘Uthman ibn Qaimaz al-Dzahaby, Siyaru A‘lam al-Nubala’, juz. 7 (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), 174.
[64] al-Kandahlawy, Muqaddimah Aujaz, 23-24.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abadi,
Muhammad Abu al-Laith al-Khaira. ‘Ulum al-Hadith; Asiluha wa Mu‘ashiruha.
Malysia:
Dar al-Shakir. 2011.
Azhari (al), Muhammad
ibn ‘Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqany al-Misry. Sharh al-Zarqany ‘ala Muwatta’
al-Imam Malik. juz. 1. Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyah. 2003.
Bandari (al),
‘Abd al-Ghafur Sulaiman. Mausu‘ah Rijal al-Kutub al-Tis‘ah. juz. 3. Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1993.
Barr (al), Abi
‘Umar Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd. Mausu‘ah Shuruh al-Muwatta’. juz. 1. Kairo: t.p. 2005.
Cholil, Moenawar. Biografi Empat
Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Coulson, Noel J. Hukum Islam
dalam Perspektif Sejarah. terj. Hamid Ahmad. Jakarta: P3M, 1987.
Dzahabi (al), Shamsu
al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad ibn ‘Uthman ibn Qaimaz. Siyaru A‘lam
al-Nubala’. juz. 8. t.t: Mu’assasah al-Risalah: 1985.
Husain, Muhammad
Hamid. Kitab al-Muwatta’. “Muqaddimah”. t.t: Dar Kutub al-Islamiyyah. t.
th.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. terj.
Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014.
Kandahlawi (al),
Muhammad Zakariya ibn Muhammad Yahya. Muqaddimah Aujaz al-Masalik ila Muwatta’
Malik. India: Matba‘ah al-Sa’adah, 1973.
al-Khathib, M. Ajaj, Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. A. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.
Madani (al), Malik ibn
Anas ibn Malik ibn ‘Amir al-Asbahy. al-Muwatta’. juz. 2. t.t: Mu’assasah
Zaid ibn Sultan Ali Nahyan li al-A‘mal al-Khairiyah wa al-Insaniyah. 2004.
, Muwatta’ al-Imam Malik. Bairut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby. 1985.
Nawawi (al),
Abu Zakariya Muhyi ibn Sharf. Tahdhib al-Asma’ wa al-Lughat. juz. 2. Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.
Najwah, Nurun. “Kitab al-Muwatta’
Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
2009.
Qurtuby (al), Abu ‘Amr Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Barr ibn
‘Asim al-Namiry. al-Intiqa’ fi Fada’il al-Thalathah al-Aimmah al-Fuqaha’
Malik wa al-Shafi‘y wa Abi Hanifah. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.
Suyuty (al),Jalal
al-Din. Tanwir al-Hawalik Sharh al-Muwatta’. juz. 1. Bairut: Dar Ihya’
Kutub al-‘Arabiyyah. t. th.
asy-Syarbasyi, Ahmad. Sejarah dan
Biografi Empat Imam Madzhab. terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi. Jakarta: Bumi
Aksara. 1992.
Tahhan (al),
Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. al-Iskandariyyah: Markaz al-Huda li
al-Dirasat. 1405 H.
Yahsabi
(al), Abu al-Fadl al-Qadi ‘Iyad ibn Musa. Tartib al-Madarik
wa Taqrib al-Masalik.
juz. 1. al-Maghrib: Matba‘ah Fadalah. t. th.
Ya’qub, Mustafa
Ali. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.
Zahw, Muhammad
Muhamma Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.
1378 H.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. t. th.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar