HOME

02 April, 2022

HADIS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

 

BAB I

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

            Allah telah melimpahkan karunia dan nikmatnya  secara tuntas kedalam agama Islam, dan Allah rela Islam dijadikan sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia[1]

Kalau ajaran Islam sesuai dengan segala waktu dan tempat dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti dalam Islam ada ajaran yang berlaku tidak terikat waktu dan tempat, disamping ada ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu. Jadi, dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal, ada yang temporal, dan ada juga yang lokal[2].

Disinilah letak pemahaman hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual itu menjadi penting. Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual(, sedang hadis tertentu lainnya lebih dapat dipahami secara tersirat (tekstual).

Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetapi menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat).[3]

            Beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadis :

A.      Memahami hadis sesuai petunjuk al-Quran

Untuk memahami hadis dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran, yaitu, dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Jika al-Quran merupakan dasar yang pertama dan utama, maka hadis adalah penjelasan terperinci tentang isi konstitusi tersebut.[4]

Misalnya hadis mengenai hukum rajam yang memang pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi Muhammad, jika diteliti lebih lanjut, materi hadis-hadis rajam itu sendiri dikaitkan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran, ternyata hal itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan al-Quran. Hadis rajam memuat ketentuan hukuman bagi laki-laki dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu atau sejenisnya sampai mati).

Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan  surat al-Nisa ayat 25 yang berisi hukum hamba wanita yang telah kawin dan berbuat zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka yang telah menikah. Maka ketentuan hukum rajam (mati) bagi hamba wanita tidak mungkin dilakukan, bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua. Akan tetapi, jika surat al-Nisa ayat 25 dikaitkan dengan surat al-Nur ayat 2 (yang menerangkan bahwa hukuman bagi pezina adalah masing-masing didera 100 kali) maka dapat diperoleh hasil yakni 100 kali dera bagi wanita merdeka dan 50 dera bagi wanita hamba sahaya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa, meskipun hadis rajam sahih dan pelaksanaannya pernah diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadis tersebut telah dimansukh oleh Al-Quran surat al-Nur ayat 2. Sehingga hadis ini tidak bisa diberlakukan lagi[5].

B.       Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama

Untuk berhasil di dalam memahami sunnah atau hadis secara benar, kita harus menghimpun hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu dapatlah dimengerti maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.[6] Seringkali Nabi menelurkan sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang yang menanyakan. Misal tentang perbuatan terbaik dan disukai Allah, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya. Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:

1.    Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya

2.    Amal yang paling baik dan disukai Allah adalah membaca al-Quran sepanjang waktu

3.    Amal yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia

4.    Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya

5.    Amal yang paling baik adalah memberi makan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada siapa saja[7].

Dari kelima arti matan hadis yang dikutip di atas dapatlah dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baru itu ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula dipahami bahwa untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya berbeda-berbeda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat substansif. Yang substantif adalah relevasi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan.

Dengan demikian, jawaban Nabi atas pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya kondisional. Dan bukan universal[8].

C.       Penghubungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan.

Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diadakan dengan adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja . bukan dalam kenyataan yang hakiki.

Apabila penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama dari pada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan mengutamakan yang lain[9].

Misalnya, hadis yang berisi larangan buang hajat menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Namun dalam hadis yang lain dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual petunjuk kedua hadis tampak bertentangan.

Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-jam’u.

Dengan demikian, secara kontekstual kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan dan kebolehan yang dikemukakan oleh masing-masing hadis bersifat temporal ataupun lokal[10].


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


D.      Memahami hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika ciptakan.

Adakalanya suatu hadis berkaitan erat dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut tidak termuat dalam matan hadis yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus tetang pemahaman hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau berkembang, berikut ini dikemukakan contoh matan hadis.

Misalnya, hadis tentang melukis yang bunyinya

اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ

(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن مسعود)

“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah pelukis.”

Secara tekstual hadis tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadis lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya[11].

       Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat Islam telepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.

Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[12]

E.       Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat kiasan.

Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan dari pada ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadis-hadisnya beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan[13]

Kata “kontekstual” barasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman hadis.[14]

Di lihat dari segi bentuk matan nya, hadis Nabi ada yang berupa jami’ Al-Kalim (Jamaknya : Jawami’ al-Kalim, yakni ungkapan yang singkat, namun padat makna), Tamthil (perumpamaan), bahasa simbolik (Ramzi), bahasa percakapan (dialog), Ungkapan analogi (Qiyasi), dan lain lain. Matan hadis yang berbentuk Jawami’ al-Kalim adakalanya juga berbentuk Tamthil, dialog, ataupun lainya.

Klasifikasi yang terlepas dari keadaan yang tumpang tindih memang sering sulit di hindari dalam pembagian hadis di lihat dari segi segi tertentunya. Oleh karena itu, pembagian matan hadis di lihat dari bentunya perlu di kemukakan dengan maksud untuk menjelaskan salah satu ke khususan yang di miliki oleh hadis Nabi.

 

I.          Jawami’ al-Kalim,

Kemampuan Nabi Muhammad SAW mengemukakan Jawami’ al-Kalim,

Nabi SAW bersabda :

 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ فَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ الْأَرْضِ فَوُضِعَتْ فِي يَدِي قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَقَدْ ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتُمْ تَنْتَثِلُونَهَا[15]

            Saya diutus oleh Allah dengan kemampuan untuk menyatakan ungkapan ungkapan yang singkat, namun padat makna. (HR. Bukhari Muslim).

           

            Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut maka tidaklah mengherankan  bila banyak di jumpai matan hadis Nabi yang berbentuk Jawami’ al-Kalim[16],. Hal itu merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki oleh sabda-sabda Nabi SAW.

 

            Berikut ini akan kami kemukakan beberapa macam matan hadis yang berbentuk Jawami’ al-Kalim tersebut.

1.      Perang itu siasat

Nabi SAW bersabda :

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلَكَ كِسْرَى ثُمَّ لَا يَكُونُ كِسْرَى بَعْدَهُ وَقَيْصَرٌ لَيَهْلِكَنَّ ثُمَّ لَا يَكُونُ قَيْصَرٌ بَعْدَهُ وَلَتُقْسَمَنَّ كُنُوزُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَسَمَّى الْحَرْبَ خَدْعَة[17]ً

 

            “Perang itu siasat” (HR. Bukhari Muslim).

 

            Pemahaman terhadap petunjuk hadis hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara  Universal, sebab tidak terkait oleh tempat dan waktu  tertentu. Perang yang di lakukan dengan cara dan alat apapun pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.

 

2.      Minuman Khamar

Nabi bersabda :

حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ[18]

Setiap (minuman) yang memabukkan adalah Khamar, dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram. (HR. Imam Muslim)

Hadis tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman Khamar tidak terkait oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya dalam kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang orang tertentu yang di bolehkan untuk sementara waktu meminum Khamar memang ada sebagaimana yang dapat di pahami dari proses keharaman Khamar dalam Al-Quran.[19] Dispensari itu untuk masa sekarang dapat di terapkan, misalnya pada seorang yang baru saja masuk Islam, sedang ia sebelum masuk Islam telah terbiasa meminum Khamar . Dia di perkenankan untuk tidak sekaligus pada saat memeluk Islam menghentikan kebiasaanya itu, dia di perkenankan untuk secara bertahap, tetapi pasti, berusaha menghentikan kebiasaan meminum Khamar[20].

Dengan pemahaman yang demikian itu, maka dapatlah dinyatakan bahwa khamar adalah minumah haram, namun secara temporal, kepada orang orang tertentu, meminum khamar di bolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah.

 

3.      Mahram karena Susuan

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنْ الْوِلَادَةِ[21]

“Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran (keturunan). (HR.Bukhari Muslim)

 

Teks hadi tersebut merupakan penjelasan terhadap ketentuan Al-Quran Surat al-Nisa’: 23. Nabi Muhammad melalui hadis nya menjelaskan bahwa ke-mahram-an atas dasar Susuan berkedudukan sama dengan ke-mahram-an atas dasar keturunan. Ketentuan itu bersifat Universal. Dengan demikian sekiranya ada pihak tertentu bank Asi (air susu ibu), maka faktor ke-mahram-an harus di jadikan bahan pertimbangan utama.

Dari beberapa kutipan hadis Nabi di atas dapatlah di nyatakan bahwa pada umumnya, hadis-hadis Nabi yang berbentuk Jawami’ al-Kalim tersebut, ada juga yang dapat di lakukan pemahaman secara kontekstual dan menunjukkan adanya bagian ajaran Islam yang bersifat temporal, di samping yang Universal[22].

 

II.              Bahasa Tamthil

Cukup banyak hadis Nabi yang berbentuk Tamthil, berikut ini akan kami kemukakan beberapa di antaranya.

    1.      Persaudaraan Atas Dasar Iman

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَه[23]

“Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainya” (HR.Imam Muslim)

 

Hadis Nabi tersebut mengemukakan Tamthil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamthil  tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat  oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian bagianya berfungsi memperkokoh bagian bagian lainya, orang orang yang beriman begitu pula seharusnya yakni yang satu memperkuat yang lainya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.

 

    2.       Kembali Dari Haji Seperti Bayi

Nabi SAW bersabda :

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ[24]

“Barang siapa yang melakukan ibadah haji  karena Allah semata, lalu (selama melaksanakan ibadah haji itu ) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia di lahirkan oleh ibunya. (HR. Imam Bukhari)

 

Secara tekstual, hadis tersebut mengbaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji, menurut petunjuk syariah sebagai hari yang dia itu baru saja di lahirkan oleh ibu nya.

Tegasnya, dia itu sperti bayi yang baru di lahirkan oleh ibu nya.

Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut ialah bahwa   bagi orang ang berhasil menuaikn ibadah haji, menurut petunjuk syariah maka dia di ampuni segala dosanya  dan di maafkan segala kesalahanya oleh Allah, sehingga ia seperti tatkala baru di lahirka oleh Ibunya.

 

    3.      Dunia Bagaikan Penjara

Nabi SAW bersabda :

 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ[25]

“Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir” (HR Imam Muslim)

 

Teks hadis tersebut dapat di pahami sebagai bentuk Tamthil  dan dapat pula di pahami sebagai bukan berbentuk Tamthil. Kedua pemahaman itu dapat saling melengkapi.

Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya, selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan. Kebahagiaan hidup barulah di rasakan oleh orang yang beriman tatkala sudah berada dalam Surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir hidup di dunia ini adalah surga. Di akhirat orang kafir berada dalam neraka.[26]

Penilaian yang demikian itu wajar timbul karena pemahaman yang di gunakan adalah dengan pemahaman secara tekstual. Padahal, matan hadis tersebut sangat di mungkinkan untuk di pahami secara kontekstual.[27]

 Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas  adalah pemahaman secara kontekstual, yakni kata penjara dalam hadis tersebut memberi petunjuk perintah  berupa kewajiban dan anjuran, di samping adanya larangan berupa hukum haram dan hukum makruh. Bagi orang yang beriman, kegiatan hidup di dunia ini tidak bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka dia di batasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga sebab dalam menempuh hidup dia bebas dari perintah dan larangan tersebut.

Dari pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis yang berbentuk Tamthil sebagaimana yang telah di kutip di atas dapatlah disimpulakn bahwa ajaran Islam yang dikemukakanya bersifat Universal.

 

III.            Ungkapan Simbolik

Sebagaiman halnya dalam Al-Quran, dalam hadis Nabi juga di kenal juga dengan adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan suatu ayat ataupun suatu hadis berbentuk simbolik adakalanya mengandung perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada pernyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai simbolik.

       Berikut akan kami cantumkan contoh hadis yang mengandung ungkapan simbolik

1.      Tuhan “Turun” ke langit Dunia

Nabi SAW bersabda :

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرِّ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ

يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَه[28]    

            “Tuhan kita (Allah) Tabaraka Wata’ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir, Allah berfirman, “Barang siapa yang berdoa kepada ku, niscaya aku kabulkan doanya itu, barang siapa meminta sesuatu kepada ku, niscaya aku memberinya, dan barang siapa minta ampun kepada ku niscaya aku mengampuninya. (HR.Imam Malik fil Muwatta’)

            Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis tersebut berkualitas lemah (dha’if), bahkan palsu, sebab Allah di gambarkan sebagai naik turun ke langit dunia. Itu berarti Allah di samakan dengan makhluk.[29] Padahal matah hadis tersebut berkualitas sahih bila di fahami secara kontekstual.

            Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmadnya. Malam sepertiga akhir di pilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyu’ dalam berdoa dan shlata. Dalam keadaan yang penuh kekhusyuan itu maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah di peroleh[30].

            Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti bahwa rahmad Allah tidak turun di luar sepertiga malam akhir. Nabi menyebut waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjukkan kekhususanya.

 

BAB II

PENUTUP 

A.    KESIMPULAN

1.      Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya misalnya, latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan atau tekstual.

2.      Pemahaman dan penerapan hadis dilakukan secra kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks sesuai hadis, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana yang tekstual (tersurat) namun harus dimaknai secara kontekstual (tersirat).

3.      Beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadis:

a.       Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Quran

b.      Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama

c.       Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan

d.      Memahami hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diucapkan

e.       Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya yang bersifat majas/tamsil/kiasan.

f.       Memahami hadis Nabi yang berupa ungkapan simbolik

g.      Memahami hadis dengan mempertimbangkan sebab secara khusus (asbabul wurudnya) jika ada.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


Daftar Pustaka

Al-Sina, Bakar Bin Abu, al-Ijaz Wa Jawami’ Al-Kalim Min Al-Sunan al-Ma’thurah.

Bukhari, Sahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah.

Dedikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka, 1998.

Ismail, Suhudi. Metodologi penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan bintang ,1992.

 ----------------, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual, “Tela’ah Ma’ani  al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Alaudin Ujung Pandang ,1994.

Mustaqim, Said Agil Husain Munawwar dan Abdul, Asbabul Wurud Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio Historis Kontekstual. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2001.

Shalih, Abu Bakr Satid, al-Adhwa’ al-Quraniyyah fi Ikhtishah fi al-Hadith al-Israiliyyat.


[1]al-Quran, 5: 3.

[2]Syuhudi Islam, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,( PT. Bulan Bintang: Jakarta. 1994), 3.

[3] Ibid., 6.

[4]Yusuf al-Qardawi, Bagian Memahami Hadis SAW, (Bandung: Kharisma, 1993), 92.

[5]Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta: EESAD, 2001), 84-85.

[6] Yusuf al-Qardawi, 92.

[7] Hasbi Ash Shiddiqi, Problematika Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (Jakarta; Bulan Bintang, 1964), 43.

[8].Syuhudi Ismail, 25-26.

[9] Yusuf al-Qardawi, 93.

[10] Syuhudi Ismail, 75-76.

[11] Said Agil Husain Dkk, 32-33.

[12] Syuhudi Ismail, 36.

[13] Yusuf al-Qardawi, 94.

[14] Dedikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1998), 245.

[15] (Shahih Bukhari- (ج 10 / ص 145

[16] Abu Bakar Bin al-Sina, al-Ijaz Wa Jawami’ al-Kalim Min al-Sunan al-Ma’thurah.

[17] (Shahih Bukhari- (ج 10 / ص 227

 

[18] (صحيح مسلم - (ج 10 / ص 258

[19] Lihat surat al-Baqarah:219, al-Nisa’: 43, al-Ma’idah: 90 beserta penjelasan ulama dalam berbagai kitab tafsir untuk ayat-ayat tersebut.

[20] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual, “Tela’ah Ma’ani  al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal” Pidato Pengukuhan Guru Besar (IAIN Alaudin Ujung Pandang ,1994) Hal, 7.

[21] Shahih Bukhari- (ج 9 / ص 125

[22] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual. 8.

[23] Shahih Bukhari- (ج 2 / ص 289

[24] Shahih Bukhari, Vol. V, 400.

[25] صحيح مسلم - (ج 14 / ص 205

[26] Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual Dan Kontekstual, 11.

[27] Ibid., 11.

[28] موطأ مالك - (ج 2 / ص 148

[29] Sayyid Shalih Abu Bakr, al-Adhwa’ al-Quraniyyah fi Ikhtishah fi al-Hadih al-Israiliyyat Jilid 2, 161-165.

[30] Suhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis Nabi (Jakarta :Bulan bintang ,1992), 155-158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...