a.
Hadis pada masa Rasulullah SAW
Sejarah
perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode Rasulullah SAW,
periode sahabat dan periode tabi‘in. Para ulama
menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling istimewa
karena, para sahabat bisa langsung menanyakan seluruh permasalahannya sendiri
maupun masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi.
Semua yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah
dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para
sahabat.[1]
Berkembangnya
hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika Rasulullah
menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan kandungan ayat
tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis karena apa-apa
yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu diketahui bagaimana
Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya.
1)
Cara menyampaikan
hadis kepada para sahabat
Adapun metode yang ditempuh Rasulullah
dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:
a)
para sahabat melakukan dialog langsung dengan Rasulullah SAW.
b)
Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
c)
Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasulullah SAW.
d)
Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW
atau sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.[2]
Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadith
wa al-Muhaddithun.[3]
Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu
Hadis,
hanya saja ia menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut.[4] M ‘Ajaj al-Khathib dalam kitab Ushul
al-Hadits-nya
meringkas metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai
berikut:[5]
a)
Pengajaran secara bertahap
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT memiliki kewajiban untuk menyampaikan
risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun
dengan bertahap agar para sahabat mudah memahami kandungannya. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan
penjelasan dalam segala hal yang merupakan Sunnah.
b)
Pusat pengajaran
Dar al-Arqam ibn ‘Abdi Manaf yang ada di Makkah atau yang lebih
dikenal dengan Dar al-Islam
adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi
ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah. Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan
Rasulullah SAW untuk belajar dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh
karenanya rumah Rasulullah SAW menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik
belajar al-Qur’an maupun hadis. selain belajar di tempat tersebut, sahabat
sering berdiskusi dimanapun mereka berada. Hal ini menunjukkan bahwa para
sahabat sudah mempelajari serta menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[6]
Masjid menjadi
tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam, menghafal al-Qur’an dan
menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya di dalam masjid
Rasulullah SAW memberikan fatwa.
Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh waktu.
Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[7]
c)
pendidikan dan pengajaran yang efektif
Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan fatwa selalu ia lakukan
dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur, namun ia tetap rendah
hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sebelum mengajarkan
suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan kata-kata yang
menyenangkan hati pendengarnya.[8] Selain menggunakan kata-kata yang
halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat jelas hingga sahabat bisa
memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[9]
d)
Menggunakan metode
yang menyenangkan
Cara mengajar Rasulullah selalu
bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan untuk
mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling
efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan. Misalnya memberi
jeda waktu belajar.[10]
e)
memberikan contoh praktis
Rasulullah tidak lupa untuk memberikan
contoh praktis kepada para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat
menangkap maksud dari hukum yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat
dipahami apabila disertai dengan praktek.[11]
Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari “kami datang kepada Nabi dan kami masih berusia setengah baya. Lalu kami tinggal selama
dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan keluarga kami dan
menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian beliau bersabda:
ارْجِعُوا
إِلَى
أَهْلِيكُمْ،
فَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ،
وَصَلُّوا
كَمَا
رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي،
وَإِذَا
حَضَرَتِ
الصَّلاَةُ،
فَلْيُؤَذِّنْ
لَكُمْ
أَحَدُكُمْ،
ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ[12]
“Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu
ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku
mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari
kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling tua
diantara kalian menjadi imam”. (H. R. Al-Bukhari)
f)
mempertimbangkan
kecerdasan para sahabat
Rasulullah SAW sangat memperhatikan keadaaan
sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya tangkap mereka. Hal ini perlu
diketahui oleh para pengajar agar apa yag disampaikannya bisa dipahami oleh
pendengar. Rasulullah selalu melihat para sahabat yang hadir apakah mereka
orang pedalaman atau orang kota karena keduanya memiliki karakter yang berbeda.[13]
g)
Pengajaran yang
tidak menakutkan
Hukum-hukum yang disebarkan oleh
Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang yang sangat toleran tetapi, beliau tidak lupa memberi
ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering melarang sahabat yang
berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[14]
h)
pengajaran bagi wanita
Rasulullah SAW tidak
membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau memberikan waktu khusus
kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita
enggan untuk datang ke majlis rasul yang diikuti oleh kaum laki-laki.
2)
Cara sahabat
menerima hadis dari Rasulullah SAW
Para sahabat
menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri tentang mukjizat yang
diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak tergoyahkan. Mereka
tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah SAW.
Adapun cara sahabat mendapatkan hadis:
a)
Majlis Rasulullah
SAW
b)
Peristiwa yang
terjadi pada diri Rasulullah SAW
c)
Peristiwa yang
terjadi pada kaum muslimin
d)
Peristiwa yang
disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya
3)
Cara sahabat
memelihara hadis Rasulullah SAW
Selama dua puluh
tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui banyak cara. Dalam kurun
waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak hal-hal yang telah
disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus gigih dalam
mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman. Adapun cara yag
ditempuh sahabat adalah:
Pertama, menghafal. Orang arab dikenal dengan
kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa menghafal ayat
al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan dengan
keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka mereka
juga menghafalnya.[15]
Kedua, dengan tulisan tetapi tidak
semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka ketika mendengar hadis dari Nabi
SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[16]
4)
Cara sahabat
menyampaikan hadis
Para sahabat dalam
menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak menghadiri majlis
ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka menyampaikan
ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak bisa diubah baik
secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak persis dengan lafazh
yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa dilakukan dengan dua
cara:
Pertama,
diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan kepada yang lain
menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan hafalan mereka yang
kuat. Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan
menggunakan lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah
SAW tetapi memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah
bi al-ma‘na.
[17]
5)
Sebab-sebab tidak
sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis
Para sahabat
Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang berbeda. Begitu pula
dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini dikarenakan beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dibawah ini:[18]
a)
Tempat tinggal
yang jauh
b)
Kesibukan
sehari-hari
c)
Intelektual dan
kecakapan
d)
Keakraban dalam
bergaul dengan Nabi
e)
Masa cepat atau
lambatnya masuk Islam
6)
Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW
Hadis Nabi tidak akan sampai kepada
generasi berikutnya jika para sahabat tidak memeliharanya. Selain dengan
menghafal atau menulis dalam rangka menjaga keutuhan hadis adapula faktor yang menyebabkan tersebar luasnya
hadis Nabi SAW. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[19]
1)
Karena semangat dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam
berdakwah.
2)
Karakter Islam dan norma-norma barunya membuat orang
penasaran dan ingin mempelajarinya.
3)
Semangat belajar para sahabat, kegigihannya dalam menghafal
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
4)
Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga
ikut andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan.
5)
Para sahabat wanita juga ikut aktif dan semangat untuk
menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam masalah wanita dan
hubungan suami istri.
6)
Para delegasi dan pejabat Rasulullah
juga tak mau kalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
7)
Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah).
8)
Peristiwa haji wada’ menjadi salah satu hal yang besar
karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang berbagai persoalan.
9)
Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada
Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam.
b.
Masa sahabat (al-khulafa’ al-rashidun)
Para sahabat sangat semangat dalam
mempelajari sunah Rasulullah SAW. Mereka juga giat menyebarkan hadis sejak
Rasulullah masih hidup lebih-lebih kepada sahabat yang tidak menghadiri majlis
ta’lim Rasul. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyampaikan apa yang
telah diajarkan Rasul kepada generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan mereka
mengindahkan sabda Rasulullah SAW:
نَضَّرَ اللَّهُ
امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ
فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيه[20]
Mudah-mudahan
Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan
dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar
karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya lebih paham
daripada yang mendengarnya sendiri. (H. R. Abu Daud)
Banyak peristiwa yang membuktikan
bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Misalnya ketika Abu
Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan hak warisnya. Karena beliau tidak
menemukannya dalam Kitabullah ia bertanya kepada sahabat yang lain. Al-Mughirah
ibn Syu’bah menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW menentukan bagian
seperenam untuk nenek. Khalifah Abu Bakar tidak serta merta menerima hadis
tersebut, ia menanyakan adanya saksi. Dengan adanya saksi itulah akhirnya Abu
Bakar memutuskan hak waris bagi nenek tersebut.[21]
Pada masa Abu Bakar al-Siddiq lebih
konsen terhadap al-Qur’an dan khawatir kepada orang yang banyak meriwayatkan
hadis akan mudah tergelincir sehingga mereka berdusta atas nama Nabi Muhammad
SAW.[22] Jadi pada masa khalifah yang
pertama ini tidak banyak terjadi periwayatan hadis. Begitu pula pada masa
khalifah kedua, Umar ibn Khattab karena keduanya sangat ketat dalam masalah
periwayatan.[23]
Para sahabat, terutama sahabat kecil
mulai melakukan perjalanan dalam rangka mencari hadis. hal ini terjadi ketika
masa khalifah Usman ibn Affan karena beliau memberi kebebasan kepada para
sahabat untuk mempelajari hadis. banyak sahabat yang keluar dari Madinah dan
bertempat tinggal di kota yang baru ditaklukkan oleh orang Islam. Maka
keberadaan seorang sahabat menarik bagi tabi’in dalam belajar al-Qur’an hadis.[24]
c.
Masa sahabat kecil dan
tabi‘in besar
Bab
sebelumnya telah dijelaskan bahwa ketika pemerintahan dibawah kedali khalifah
Usman ibn Affan, maka para sahabat bebas untuk mempelajari, meriwayatkan hadis.
banyak sahabat berpindah tempat demi untuk mencari hadis. pada masa ini ada
beberapa sahabat yang dijuluki bendaharawan hadis seperti Abu Hurairah, Aishah, Anas ibn Malik, dll.[25]
Pada
akhir kepemimpinan Usman ibn Affan timbulah fitnah dan menjadi awal perpecahan umat
Islam. Umat Islam saat itu terbagi menjadi tiga kelompok; pertama golongan yang
membela ‘Ali ibn Talib yang dinamakan golongan shi‘ah. Kedua, golongan khawarij
yang menentang ‘Ali dan Mu‘awiyah, terakhir golongan jumhur (golongan yang pro
terhadap pemerintahan). Sejak munculnya golongan-gologan inilah kemudian muncul
hadis-hadis palsu. Kemunculan hadis palsu ini sebagai penguat golongannya dan
untuk mencari dukungan kepada masyarakat. Tahun 40 H adalah pembatas antara
munculnya pemalsuan hadis dan terlepas dari pemalsuan.[26]
d.
Hadis pada masa penulisan
dan kodifikasi
Penulisan
hadis sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW meskipun tidak menyeluruh. Begitu
pula ketika masa sahabat, bahkan periwayatan hadis sangat sedikit pada masa
ini. Pada masa Rasulullah hingga sahabat masih mengandalkan hafalan. Baru pada
akhir abad pertama, sejak dinobatkannya khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 H)
diumumkannya penulisan dan dibukukannya secara resmi oleh khalifah. Kemudian ia
meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammadibn Amr ibn Hazm untuk
menulis hadis yang ada di salah satu murid Aisyah yakni Amrah binti Abd Rahman
ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades (120 H).[27]
Selain
kepada gubernur Madinah, ia juga mengirim surat kepada gubernur-gubernur yang
ada di wilayah kekuasaannya agar membukukan hadis dari ulama yang ada di
daerahnya masing-masing. Diantara ulama yang menulis adalah Abu Bakar Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry. Pada masa ini para ulama
berlomba-lomba menulis hadis tanpa menyaring antara hadis dan fatwa sahabat
tetapi telah dipisah antara tafsir dan hadis, dan antara hadis sirah dan
maghazinya. Pertama kali yang memisahkan hadis sirah ialah Muhammad ibn Ishaq
ibn Yassar al-Mutaliby (151 H).[28]
Pada
abad kedua ini pulalah pemalsuan hadis semakin meluas sehingga muncullah
golongan zindiq (pura-pura Islam). Karena banyaknya muncul hadis palsu kemudian
para ulama terdorong untuk mempelajari keadaan perawinya.[29]
e.
Pada masa awal-akhir abad
ke III
Abad
sebelumnya telah melakukan pembukuan hadis meskipun masih bercampur dengan
fatwa sahabat. Maka pada abad ketiga ini pembukuan hadis diperbaiki dengan
memisahkan hadis dan fatwa sahabat. Hadis yang ditulis masih bercampur antara
yang sahih dan yang da‘if. Pada masa ini pula perluasan daerah guna mencari
hadis dilakukan pertama kali oleh Imam al-Bukhary yang sebelumnya tak banyak
yang melakukannya. Cara mereka menerima hadis sama seperti sebelumnya, ia
mendengar lalu menulisnya tanpa mengaji perawi. Dengan pesatnya orang yang
ingin mengacaukan pembukuan hadis akhirnya ulama mulai mengadakan penelitian
terhadap rawi.[30]
Pertama
kali yang terdorong untuk memisahkan hadis yang sahih dan tidak adalah Imam Ishaq
Ruhawaih yang kemudian disempurnakan oleh Imam al-bukhary. Kemudian diikuti
oleh Imam Muslim, begitu pula seterusnya seperti Imam Abu Daud, al-Tirmidhy,
al-Nasa’iy yang dikenal dengan al-usul al-khamsah.[31]
f.
Pada abad IV-pertengahan
abad VII
Ulama
pada abad ke-2 dan ke-3 disebut ulama mutaqaddimin. Mereka mencari hadis dengan
melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menemui para penghafalnya. Pada
abad ke-4 disebut ulama mutaakhkhirin. Pada abad ii sudah jarang ulama
melakukan perjalanan untuk mencari hadis. Kebanyakan dari mereka hanya menukil dari kitab sebelumnya. Pada
abad ini juga sudah dianggap terkumpul semua hadis Rasulullah SAW. Maka pada
abad ke-5 menitikberatkan pada memperbaiki susunan, mengumpulkan hadis-hadis
dalam satu kitab besar.[32]
g.
Pada masa pertengahan abad
VII-sekarang
Kegiatan perkembangan hadis kemudia
berpusat di Mesir dan Idia setelah Hulagu Khan menghancurkan Baghdad. Maka
banyak kitab hadis yang diterbitkan atas usaha ulama India. Mereka pulalah yang
telah menerbitkan kitan ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim. Pada abad ketujuh ini
adalah masa penertiban isi kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab takhrij.
Selain itu para ulama membuat kitab jami‘, kitab yang mengumpulkan hadis-hadis
hukum , mentakhrij hadis yang ada di dalam beberapa kitab hadis dan menyusun
kitab atraf.[33]
Pada abad ini ulama mulai mengumpulkan
hadis yang tidak ada dalam kitab sebelumnya yang disebut kitab zawa’id seperti
kitab zawa’id sunan Ibnu Majah. Selain itu mereka juga mengumpulkan hadis dari
beberapa kitab kedalam kitab khusus semisal kitab jami‘ al-masanid wa sunan
al-hadi li aqwam sanan karya Ibnu Kathir.
Pada abad ketujuh bermunculan kitab
hadis seperti al-targhib karya Abd al-‘Azim ibn Abd al-Qawi ibn Abd al-Mundhiry
(656 H). pada abad selanjutanya masih bermunculan kitab-kitab hadis sampai abad
kesepuluh seperti yang dijelaskan Hasbi ash-Shiddieqy.[34]
- Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, & Atsar
- Pengertian & Bentuk-Bentuk Hadist
- Hadist Tentang Keringanan Siksa Abu Lahab Setiap Hari Senin
- Perang Khandaq
- Tata Cara Ruqyah
- Cara Menyikapi Hadis Rasulullah SAW
- Teori Kesahihan Hadist
- Argumentasi Kehujjahan Hadis
- Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur'an
- Sejarah Perkembangan Hadis
- Pengertian, Objek, Dan Kegunaan Ilmu Hadist
- Pembagian & Cabang Ilmu Hadist
- Sejarah Pertumbuhan & Penghimpunan Ilmu Hadist
- Kitab-Kitab Ilmu Hadist
[1] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.
[2] Sumbulah, Kajian Kritis, 39.
[3] Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun, 53.
[4] Sulaiman PL, Antologi Ilmu, 54-55.
[5] M. ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 49.
[6] Ibid., 49-50.
[7] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16.
[8] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.
[9] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.
[10] Ibid.
[11] Ibid., 51-52.
[12] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, 9.
[13] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.
[14] Ibid., 54-55.
[15] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 75-76.
[16] Ibid., 76.
[17] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.
[18] Ibid., 60-61.
[19] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), 99-105.
[20] al-Sijistany, Sunan Abi, 658.
[21] Azami, Hadis Nabawi, 33.
[22] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul hadis, Terj. Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 42.
[23] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 38.
[24] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 34.
[25] Ash-Siddieqy, Sejarah & Pengantar, 45-47.
[26] Ibid., 50.
[27] Ibid., 52.
[28] Ibid., 55.
[29] Ibid., 58.
[30] Ibid., 59-60.
[31] Ibid., 61.
[32] Ibid., 79-81.
[33] Ibid., 88.
[34] Ibid., 88-93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar