HOME

26 Februari, 2022

Sejarah Perkembangan Hadis


a.    Hadis pada masa Rasulullah SAW

Sejarah perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode Rasulullah SAW, periode sahabat dan periode tabiin. Para ulama menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling istimewa karena, para sahabat bisa langsung menanyakan seluruh permasalahannya sendiri maupun masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi. Semua yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para sahabat.[1]

Berkembangnya hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika Rasulullah menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan kandungan ayat tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis karena apa-apa yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu diketahui bagaimana Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya.

1)   Cara menyampaikan hadis kepada para sahabat

Adapun metode yang ditempuh Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:

a)    para sahabat melakukan dialog langsung dengan Rasulullah SAW.

b)   Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.

c)    Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.

d)   Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW atau sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.[2]

Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadith wa al-Muhaddithun.[3] Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu Hadis, hanya saja ia menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut.[4] M ‘Ajaj al-Khathib dalam kitab Ushul al-Hadits-nya meringkas metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai berikut:[5]

a)    Pengajaran secara bertahap

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT memiliki kewajiban untuk menyampaikan risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun dengan bertahap agar para sahabat mudah memahami kandungannya. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan penjelasan dalam segala hal yang merupakan Sunnah.

b)   Pusat pengajaran

Dar al-Arqam ibn Abdi Manaf yang ada di Makkah atau yang lebih dikenal dengan Dar al-Islam adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah. Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah SAW untuk belajar dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh karenanya rumah Rasulullah SAW menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik belajar al-Qur’an maupun hadis. selain belajar di tempat tersebut, sahabat sering berdiskusi dimanapun mereka berada. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sudah mempelajari serta menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[6]

Masjid menjadi tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam, menghafal al-Qur’an dan menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya di dalam masjid Rasulullah SAW memberikan fatwa. Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh waktu. Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[7]

c)    pendidikan dan pengajaran  yang efektif

Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan fatwa selalu ia lakukan dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur, namun ia tetap rendah hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sebelum mengajarkan suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan kata-kata yang menyenangkan hati pendengarnya.[8] Selain menggunakan kata-kata yang halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat jelas hingga sahabat bisa memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[9]

d)   Menggunakan metode yang menyenangkan

Cara mengajar Rasulullah selalu bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan untuk mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan. Misalnya memberi jeda waktu belajar.[10]

e)    memberikan contoh praktis

Rasulullah tidak lupa untuk memberikan contoh praktis kepada para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat menangkap maksud dari hukum yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat dipahami apabila disertai dengan praktek.[11] Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari kami datang kepada Nabi dan kami masih berusia setengah baya. Lalu kami tinggal selama dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan keluarga kami dan menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian beliau bersabda:

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ، وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[12]

Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam. (H. R. Al-Bukhari)

 

f)    mempertimbangkan kecerdasan para sahabat

Rasulullah SAW sangat memperhatikan keadaaan sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya tangkap mereka. Hal ini perlu diketahui oleh para pengajar agar apa yag disampaikannya bisa dipahami oleh pendengar. Rasulullah selalu melihat para sahabat yang hadir apakah mereka orang pedalaman atau orang kota karena keduanya memiliki karakter yang berbeda.[13]

g)   Pengajaran yang tidak menakutkan

Hukum-hukum yang disebarkan oleh Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang yang sangat toleran tetapi, beliau tidak lupa memberi ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering melarang sahabat yang berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[14]

 

h)   pengajaran bagi wanita

Rasulullah SAW tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau memberikan waktu khusus kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita enggan untuk datang ke majlis rasul yang diikuti oleh kaum laki-laki.

2)   Cara sahabat menerima hadis dari Rasulullah SAW

Para sahabat menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri tentang mukjizat yang diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak tergoyahkan. Mereka tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah SAW. Adapun cara sahabat mendapatkan hadis:

a)    Majlis Rasulullah SAW

b)   Peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW

c)    Peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin

d)   Peristiwa yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya

3)   Cara sahabat memelihara hadis Rasulullah SAW

Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui banyak cara. Dalam kurun waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak hal-hal yang telah disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus gigih dalam mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman. Adapun cara yag ditempuh sahabat adalah:

Pertama, menghafal. Orang arab dikenal dengan kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa menghafal ayat al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan dengan keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka mereka juga menghafalnya.[15]

Kedua, dengan tulisan tetapi tidak semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka ketika mendengar hadis dari Nabi SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[16] 

4)   Cara sahabat menyampaikan hadis

Para sahabat dalam menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak menghadiri majlis ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka menyampaikan ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak bisa diubah baik secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak persis dengan lafazh yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa dilakukan dengan dua cara:

Pertama, diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan kepada yang lain menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan hafalan mereka yang kuat. Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan menggunakan lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah SAW tetapi memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah bi al-mana. [17]

5)   Sebab-sebab tidak sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis

Para sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang berbeda. Begitu pula dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dibawah ini:[18]

a)    Tempat tinggal yang jauh

b)   Kesibukan sehari-hari

c)    Intelektual dan kecakapan

d)   Keakraban dalam bergaul dengan Nabi

e)    Masa cepat atau lambatnya masuk Islam

6)   Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW

Hadis Nabi tidak akan sampai kepada generasi berikutnya jika para sahabat tidak memeliharanya. Selain dengan menghafal atau menulis dalam rangka menjaga keutuhan hadis adapula faktor yang menyebabkan tersebar luasnya hadis Nabi SAW. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[19]

1)   Karena semangat dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam berdakwah.

2)   Karakter Islam dan norma-norma barunya membuat orang penasaran dan ingin mempelajarinya.

3)   Semangat belajar para sahabat, kegigihannya dalam menghafal al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

4)   Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga ikut andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan.

5)   Para sahabat wanita juga ikut aktif dan semangat untuk menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam masalah wanita dan hubungan suami istri.

6)   Para delegasi dan pejabat Rasulullah juga tak mau kalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.

7)   Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah).

8)   Peristiwa haji wada’ menjadi salah satu hal yang besar karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang berbagai persoalan.

9)   Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam.

 

b.    Masa sahabat (al-khulafa’ al-rashidun)

Para sahabat sangat semangat dalam mempelajari sunah Rasulullah SAW. Mereka juga giat menyebarkan hadis sejak Rasulullah masih hidup lebih-lebih kepada sahabat yang tidak menghadiri majlis ta’lim Rasul. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyampaikan apa yang telah diajarkan Rasul kepada generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan mereka mengindahkan sabda Rasulullah SAW:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيه[20]

Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya lebih paham daripada yang mendengarnya sendiri. (H. R. Abu Daud)

 

Banyak peristiwa yang membuktikan bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Misalnya ketika Abu Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan hak warisnya. Karena beliau tidak menemukannya dalam Kitabullah ia bertanya kepada sahabat yang lain. Al-Mughirah ibn Syu’bah menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW menentukan bagian seperenam untuk nenek. Khalifah Abu Bakar tidak serta merta menerima hadis tersebut, ia menanyakan adanya saksi. Dengan adanya saksi itulah akhirnya Abu Bakar memutuskan hak waris bagi nenek tersebut.[21]

Pada masa Abu Bakar al-Siddiq lebih konsen terhadap al-Qur’an dan khawatir kepada orang yang banyak meriwayatkan hadis akan mudah tergelincir sehingga mereka berdusta atas nama Nabi Muhammad SAW.[22] Jadi pada masa khalifah yang pertama ini tidak banyak terjadi periwayatan hadis. Begitu pula pada masa khalifah kedua, Umar ibn Khattab karena keduanya sangat ketat dalam masalah periwayatan.[23] 

Para sahabat, terutama sahabat kecil mulai melakukan perjalanan dalam rangka mencari hadis. hal ini terjadi ketika masa khalifah Usman ibn Affan karena beliau memberi kebebasan kepada para sahabat untuk mempelajari hadis. banyak sahabat yang keluar dari Madinah dan bertempat tinggal di kota yang baru ditaklukkan oleh orang Islam. Maka keberadaan seorang sahabat menarik bagi tabi’in dalam belajar al-Qur’an hadis.[24]

 

c.    Masa sahabat kecil dan tabi‘in besar

Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa ketika pemerintahan dibawah kedali khalifah Usman ibn Affan, maka para sahabat bebas untuk mempelajari, meriwayatkan hadis. banyak sahabat berpindah tempat demi untuk mencari hadis. pada masa ini ada beberapa sahabat yang dijuluki bendaharawan hadis seperti  Abu Hurairah, Aishah, Anas ibn Malik, dll.[25]

Pada akhir kepemimpinan Usman ibn Affan timbulah fitnah dan menjadi awal perpecahan umat Islam. Umat Islam saat itu terbagi menjadi tiga kelompok; pertama golongan yang membela ‘Ali ibn Talib yang dinamakan golongan shi‘ah. Kedua, golongan khawarij yang menentang ‘Ali dan Mu‘awiyah, terakhir golongan jumhur (golongan yang pro terhadap pemerintahan). Sejak munculnya golongan-gologan inilah kemudian muncul hadis-hadis palsu. Kemunculan hadis palsu ini sebagai penguat golongannya dan untuk mencari dukungan kepada masyarakat. Tahun 40 H adalah pembatas antara munculnya pemalsuan hadis dan terlepas dari pemalsuan.[26]

 

d.    Hadis pada masa penulisan dan kodifikasi

Penulisan hadis sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW meskipun tidak menyeluruh. Begitu pula ketika masa sahabat, bahkan periwayatan hadis sangat sedikit pada masa ini. Pada masa Rasulullah hingga sahabat masih mengandalkan hafalan. Baru pada akhir abad pertama, sejak dinobatkannya khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 H) diumumkannya penulisan dan dibukukannya secara resmi oleh khalifah. Kemudian ia meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammadibn Amr ibn Hazm untuk menulis hadis yang ada di salah satu murid Aisyah yakni Amrah binti Abd Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades (120 H).[27]

Selain kepada gubernur Madinah, ia juga mengirim surat kepada gubernur-gubernur yang ada di wilayah kekuasaannya agar membukukan hadis dari ulama yang ada di daerahnya masing-masing. Diantara ulama yang menulis adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry. Pada masa ini para ulama berlomba-lomba menulis hadis tanpa menyaring antara hadis dan fatwa sahabat tetapi telah dipisah antara tafsir dan hadis, dan antara hadis sirah dan maghazinya. Pertama kali yang memisahkan hadis sirah ialah Muhammad ibn Ishaq ibn Yassar al-Mutaliby (151 H).[28]

Pada abad kedua ini pulalah pemalsuan hadis semakin meluas sehingga muncullah golongan zindiq (pura-pura Islam). Karena banyaknya muncul hadis palsu kemudian para ulama terdorong untuk mempelajari keadaan perawinya.[29]

 

e.    Pada masa awal-akhir abad ke III

Abad sebelumnya telah melakukan pembukuan hadis meskipun masih bercampur dengan fatwa sahabat. Maka pada abad ketiga ini pembukuan hadis diperbaiki dengan memisahkan hadis dan fatwa sahabat. Hadis yang ditulis masih bercampur antara yang sahih dan yang da‘if. Pada masa ini pula perluasan daerah guna mencari hadis dilakukan pertama kali oleh Imam al-Bukhary yang sebelumnya tak banyak yang melakukannya. Cara mereka menerima hadis sama seperti sebelumnya, ia mendengar lalu menulisnya tanpa mengaji perawi. Dengan pesatnya orang yang ingin mengacaukan pembukuan hadis akhirnya ulama mulai mengadakan penelitian terhadap rawi.[30]

Pertama kali yang terdorong untuk memisahkan hadis yang sahih dan tidak adalah Imam Ishaq Ruhawaih yang kemudian disempurnakan oleh Imam al-bukhary. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, begitu pula seterusnya seperti Imam Abu Daud, al-Tirmidhy, al-Nasa’iy yang dikenal dengan al-usul al-khamsah.[31]

 

f.     Pada abad IV-pertengahan abad VII

Ulama pada abad ke-2 dan ke-3 disebut ulama mutaqaddimin. Mereka mencari hadis dengan melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menemui para penghafalnya. Pada abad ke-4 disebut ulama mutaakhkhirin. Pada abad ii sudah jarang ulama melakukan perjalanan untuk mencari hadis. Kebanyakan dari mereka  hanya menukil dari kitab sebelumnya. Pada abad ini juga sudah dianggap terkumpul semua hadis Rasulullah SAW. Maka pada abad ke-5 menitikberatkan pada memperbaiki susunan, mengumpulkan hadis-hadis dalam satu kitab besar.[32]

 

g.    Pada masa pertengahan abad VII-sekarang

Kegiatan perkembangan hadis kemudia berpusat di Mesir dan Idia setelah Hulagu Khan menghancurkan Baghdad. Maka banyak kitab hadis yang diterbitkan atas usaha ulama India. Mereka pulalah yang telah menerbitkan kitan ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim. Pada abad ketujuh ini adalah masa penertiban isi kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab takhrij. Selain itu para ulama membuat kitab jami‘, kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum , mentakhrij hadis yang ada di dalam beberapa kitab hadis dan menyusun kitab atraf.[33]

Pada abad ini ulama mulai mengumpulkan hadis yang tidak ada dalam kitab sebelumnya yang disebut kitab zawa’id seperti kitab zawa’id sunan Ibnu Majah. Selain itu mereka juga mengumpulkan hadis dari beberapa kitab kedalam kitab khusus semisal kitab jami‘ al-masanid wa sunan al-hadi li aqwam sanan karya Ibnu Kathir.

Pada abad ketujuh bermunculan kitab hadis seperti al-targhib karya Abd al-‘Azim ibn Abd al-Qawi ibn Abd al-Mundhiry (656 H). pada abad selanjutanya masih bermunculan kitab-kitab hadis sampai abad kesepuluh seperti yang dijelaskan Hasbi ash-Shiddieqy.[34]

Baca juga artikel yang lainya:

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Mustafa Ali Yaqub. tt: Pustaka Firdaus,             2000.
Metodologi Kritik Hadis, Terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Bukhary (al), Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhary. Juz. 8. tk: Dar Tuq al-Najah,         1442 H.
al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H.
Hamadah, ‘Abbas Mutawalli. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘. Kairo: Dar al-                Qawmiyyah, t.th.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul hadis. Terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Izzan, Ahmad, dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Kahlany (al), Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany. Subul al-Salam. Juz. 2. t.t:         Dar al-Hadith, t.th.
Khathib (al), M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani             Press, 1999.
Khathib (al), M. ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terj. M. Qodirun dan Ahmad                 Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Naisabury (al), Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy. Sahih Muslim. Riyadh: Dar Taibah,             2006.
PL, M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Sijistany (al), Abi Daud Sulaiman Ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li al-            Nashri wa al-Tauzi‘, t.th.
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka                 Rizki Putra, 2009.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Qardhawi, Yusuf. Studi Kritik as-Sunah. Terj. Bahrun Abu bakar. Cet. 1. Bandung: Trigenda Karya,                 1995.
Qazwini (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan ibn Majah. juz. II. tt: Dar Ihya’ al-Kutub             al-‘Arabiyah. t.th.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Matba‘ah Misra, t.th.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,             2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-                    Qur’an, t.th.

[1] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.

[2] Sumbulah, Kajian Kritis, 39.

[3] Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun, 53.

[4] Sulaiman PL, Antologi Ilmu, 54-55.

[5] M. ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 49.

[6] Ibid., 49-50.

[7] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16.

[8] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.

[9] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.

[10] Ibid.

[11] Ibid., 51-52.

[12] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, 9.

[13] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.

[14] Ibid., 54-55.

[15] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 75-76.

[16] Ibid., 76.

[17] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.

[18] Ibid., 60-61.

[19] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), 99-105.

[20]  al-Sijistany, Sunan Abi, 658.

[21] Azami, Hadis Nabawi, 33.

[22] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul hadis, Terj. Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 42.

[23] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 38.

[24] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 34.

[25] Ash-Siddieqy, Sejarah & Pengantar, 45-47.

[26] Ibid., 50.

[27] Ibid., 52.

[28] Ibid., 55.

[29] Ibid., 58.

[30] Ibid., 59-60.

[31] Ibid., 61.

[32] Ibid., 79-81.

[33] Ibid., 88.

[34] Ibid., 88-93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...