HOME

06 Maret, 2022

HADIS DHA‘IF DAN PROBLEMATIKANYA

BAB I

PENDAHULUAN 

A.  Latar Belakang

Ilmu Hadis adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika di tengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim. Karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan Hadis demi Hadis untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu Hadis ini, yaitu Hadis dha’if . Banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa Hadis dha’if tidak bisa dijadikan hujjah apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari Hadis dha’if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.

 

B.   Rumusan Masalah

1.    Definisi dan Kriteria-kriteria Hadis Dha’if

2.    Macam-macam Hadis dha’if

3.    Kehujjahan Hadis dha’if

 

C.  Tujuan

            1.      Memahami makna Hadis dha’if  beserta kriterianya

            2.      Mengerti macam-macam Hadis dha’if

            3.      Mengetahui apakah Hadis dha’if dapat dijadikan hujjah atau tidak

 

BAB II

PEMBAHASAN 

    A.    Definisi Hadis Dha’if

Hadis sudah kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah. Sedangkan dha’if secara bahasa diambil dariالضَّعْفُ  atau الضُّعْفُ yang berarti lemah atau mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ الْقُوَّة yaitu lawan kata kuat. Sedangkan menurut istilah, Hadis dha’if adalah Hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat diterimanya Hadis. Dapat dikatakan pula Hadis dha’if  termasuk Hadis yang mardud.[1]

Menurut Imam Nawawi, Hadis dha’if adalah Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadis shahih dan syarat-syarat Hadis hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam mendefinisikan Hadis dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nuruddin ‘Itr, beliau berpendapat Hadis dha’if adalah Hadis yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat Hadis maqbul Hadis yang sahih atau Hadis yang hasan.[2]

Hadis dha’if menurut istilah adalah “Hadis yang di dalamnya tidak didapati syarat Hadis sahih dan tidak pula didapati syarat Hadis hasan”. Karena syarat diterimanya suatu Hadis  sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya Hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih.[3]

 

Kriteria-kriteria Hadis Dha’if

Para ulama memberikan batasan bagi Hadis dha’if yaitu:

اَلْحَدِيْثُ الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ الْحَدِيْثِ الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الْحَدِ يْثِ

 Hadis dha’if adalah Hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat sahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat Hadis hasan”.

Kriteria Hadis dha’if yaitu Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai Hadis shahih dan hasan. Dengan demikian, Hadis dha’if itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat Hadis shahih ataupun tidak memenuhi persyaratan Hadis-Hadis hasan. Terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Kehati-hatian dari para ahli Hadis dalam menerima Hadis sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian Hadis itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak Hadis dan menghukuminya sebagai Hadis dha’if . Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian Hadis itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan Hadis. Seperti kedha’if an Hadis yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu Hadis, padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan Hadis yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi. karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan Hadis yang dimaksud maka mereka menetapkan untuk menolaknya.

Demikian pula kedha’if an suatu Hadis karena tidak bersambungnya sanad. Hadis yang demikian dihukumi dha’if  karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dha’if . Seandainya ia rawi yang dha’if , maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu Hadis. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.[4]

Maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria Hadis dha’if adalah sebagai berikut:

    1.      Sanadnya terputus

    2.      Rawinya kurang adl

    3.      Rawinya kurang dhabit

    4.      Adanya shadh

    5.    Adanya illat atau ada penyebab samar dan tersembunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu Hadis  meski secara lahir terlihat bebas dari cacat.

 

    B.     Macam-macam Hadis Dha’if

            Ada banyak sekali macam-macam Hadis dha’if , sehingga harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari sisi sanad

a.       Hadis Mu’allaq مُعَلَّق adalah Hadis yang perawinya digugurkan seorang atau lebih mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya secara beruntun atau membuang sanadnya kecuali sahabat atau sahabat dan tabi’in secara bersama. Seperti rawi langsung mengatakan:

 قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَذَا[5]

“Rasulullah SAW bersabda: Begini….”

b.      Hadis Munqathi’ مُنْقَطِع adalah Hadis yang mata rantai sanadnya digugurkan di satu tempat atau lebih atau pada matarantai sanadnya disebutkan nama seorang perawi yang namanya tidak dikenal atau diragukan. Seperti contoh Hadis riwayat Ibn Majah dan Tirmidhi yang gugur sanadnya berupa perawi sebelum sahabat yang berbunyi:

انَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ بِسْمِ اللهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[6]

“Sesungguhnya Rasulullah SAW bila memasuki masjid mengucapkan: Dengan Nama Allah, Sholawat dan salam atas Rasulullah, Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu rahmatMu.”

c.       Hadis Mu’dhal مُعْضَل adalah Hadis yang dari para perawinya gugur secara berurutan baik dua orang atau lebih, baik sahabat bersama-sama tabi’in maupun tabi’in dan tabi’it tabi’in, atau dua orang sebelumnya. Seperti Hadis riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatha’nya langsung dari Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda:

....لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَ كِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ لاَ يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يَطِيْقُ....[7]

d.      Hadis mursal مُرْسَل adalah Hadis yang sanadnya gugur setelah tabi’in. Seperti ketika tabi’in mengatakan:

 قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا[8]

“Rasulullah SAW bersabda: begini….”

e.       Hadis Mudallas مُدَلَّس dibagi menjadi dua yaitu:

                                           I.            Tadlis al-Isnad yaitu Hadis yang diriwayatkan dari perawi yang mengaku mendengar Hadis dari seseorang yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak pernah mendengar Hadis tersebut darinya agar disangka bahwa dia pernah mendengarnya. Seperti contoh Hadis riwayat Abu Dawud. Dari Ibn Umar beliau berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ

“Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang diantara kalian mengantuk dalam masjid ketika sholat jumat, hendaknya berpindah dari tempat duduknya ke tempat yang lain.”

 

Dalam mata rantai sanad Hadis Ibn Umar ini ditemukan seorang perawi yang mudallis bernama Muhammad bin Ishaq dan ia telah membuat periwayatannya dengan menggunakan kode yang biasa dipakai dalam Hadis ‘an’anah

                                        II.            Tadlis al-Shuyukh yaitu perawi menyebutkan gurunya namun tidak dengan sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak dikenal. Seperti perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa “Muhammad bin Sanad” menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[9]

2. Dilihat Dari Segi Perawi Hadis

a.       Hadis Matruk مَتْرُوْك adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya seperti dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya. Atau suatu Hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang. Seperti riwayat Umar bin Shamr. Dari Jabir, dari Harith, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul Hadis.[10]

b.      Hadis Munkar مُنْكَر adalah Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi ketsiqahannya. Perbandingannya adalah Hadis ma’ruf مَعْرُوْف , yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi thiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah. Seperti Hadis riwayat Ibn Abi Hatim dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq, dari al-‘Izar bin Huraith, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:

مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa, dan menjamu tamu akan masuk surga”

            Ibn Abi Hatim berkata: Hadis ini munkar karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[11]

c.       Hadis Mudraj مُدْرَج adalah Hadis yang menampakkan suatu tambahan baik dari segi sanad atau matannya, karena diduga bahwa tambahan tersebut termasuk bagian dari Hadis itu. Seperti Hadis riwayat Tirmidhi:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ

                  “Aku bertanya: Ya Rasulullah dosa apa yg paling besar?”

Hadis ini dapat dilihat dari dua jalur yaitu:

I.       Jalur Ibn Mahdi dari al-Thaury dari Wasil al-Ahdab dari Manshur.

II.     Jalur al-A’masy dari Abi Wa’il dari Amr bin Surahby dari Ibn Mas’ud.

  Dalam meriwayatkan Hadis ini, Washil al-Ahdab tidak menyebutkan Umar bin Surahbil tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang menerima langsung dari Ibn Mas’ud. Jadi penyebutan Umar bin Shurahbil merupakan sisipan tadrij pada riwayat Manshur dan al-A’masy.[12]

d.      Hadis Maqlub مَقْلُوْب adalah Hadis yang diganti lafalnya dengan lafal lain di dalam sanadnya atau matannya, dengan mendahulukan atau mengakhirkan atau semisalnya. Seperti Hadis riwayat Hammad an-Nashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah Hadis Marfu’:

إِذَا لَقِيْتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ طَرِيْقٍ فَلَا تَبْدَأُوْهُمْ بِالسَّلَامِ

“Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik dijalan, janganlah mengucapkan salam”

            Hadis ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Salih dengan al-A’masy.[13]

e.       Hadis  Mudtarib مُضْطَرِب adalah Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi tersebut sama di dalam kekuatannya. Sekira ada pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan ditarjih.[14] seperti Hadis riwayat Tirmidhi dari jalur Abu Bakar. Sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ شِبْتَ؟ قَالَ: شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَ أَخَوَاتُهَا

            Menurut Daruqutniy, Hadis ini termasuk Hadis mudtarib. Sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur mata rantai sanad yaitu Abu Ishaq. Tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam mata rantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa:

I.       Hadis tersebut diriwayatkan secara muttasil.

II.    Hadis tersebut diriwayatkan secara mursal.

            Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang berhubungan dengan mata rantai sanad. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa:

1)            Hadis tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari jalur ini bisa dilihat dari beberapa jalur yang bervariatif, di antaranya adalah:

  - Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.

  - Dari al-Barra’, dari Abu Bakar.

  - Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.

  - Dari ‘Alqamah, dari Abu Bakar.

2)              Hadis tersebut bersumber dari musnad Sa’ad.

3)              Hadis tersebut bersumber dari musnad Aisyah dan sebagainya.

            Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya. Bahkan untuk mengkompromikan saja dianggap tidak beralasan ma’dzur.[15]

f.       Hadis Mushahhaf مُصَحَّف Hadis yang terjadi perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya.[16]seperti contoh Hadis:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan 6 hari pada bulan syawwal maka puasanya seperti puasa sepanjang masa.”

            Kemudian Hadis tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Suuliyu pada lafadz سِتًّا menjadi شَيْأ. [17]

g.      Hadis Muharraf مُحَرَّف adalah Hadis yang terjadi perubahan shakl di dalamnya atau di dalam sanadnya. Maksudnya terjadi perubahan pada harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya.[18] Seperti pada Hadis:

رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْإِحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

Hadis tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan أُبَيٌّ menjadi أَبِيْ [19]


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


3.    Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan

a.       Hadis Syadz شَاذ adalah Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima namun bertentangan dengan perawi lain yang lebih utama darinya. Seperti Hadis:

أَنَّ رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى أَعْتَقَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟ فَقَالُوْا لاَ. إِلاَّ غُلَامٌ أَعْتَقَهُ. فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ

Seseorang telah meninggal di zaman Rasulullah Saw dan tidak meninggalkan ahli waris kecuali hamba yang dimerdekakan. Bersabda Nabi SAW: “Apakah dia mempunyai saudara?” Mereka menjawab: Tidak, kecuali budak yang dimerdekakannya”. Dan Nabi SAW menjadikannya sebagai pewarisnya.

Ada dua jalur periwayatan mengenai Hadis tersebut yaitu:

I.             Jalur periwayatan Tirmidhi yang bersanad Ibn Uyainah. Dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibn Abbas. Jalur ini merupakan matarantai sanad Hadis mahfudh. Sebab di samping memiliki perawi-perawi yang tsiqah, juga mempunyai muttabi’ yaitu Ibn Juraij dan lainnya.

II.          Jalur periwayatan Ashab as-Sunan. Dapat dilihat dari dua periwayatan yaitu :

1)      Dari Hammad, dari ‘Amr bin Dinnar, dari ‘Ausajah adalah Hadis mursal. Sebab ‘Ausajah meriwayatkan Hadis ini tanpa melalui sahabat Ibn Abbas.

2)      Dari Hammad bin Zaid termasuk muhaddits thiqqah. Tetapi dalam periwayatannya berlawanan dengan periwayatan Ibn Uyainah yang lebih utama. Sebab sanadnya muttasil dan ada muttabi’nya. Maka dari itu Hadis Tirmidhi melalui jalur periwayatan Ibn Uyainah disebut Hadis mahfuz.

Dari kenyataan di atas, periwayatan Tirmidhi melalui sanad Ibn Uyainah yang lebih utama disebut Hadis mahfudh. Sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut shadh.[20]

b.      Hadis Mu’allal مُعَلَّل adalah Hadis yang secara lahiriyahnya tidak ada kecacatan namun setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di dalam sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya. Seperti contoh:

...اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...

Antara penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih) selama belum berpisah

Ada dua jalur periwayatan yaitu:

I.       Jalur Ya’la bin Ubaid. Dari Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibn Umar

II.    Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im. ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury. Dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar

 

       Dari penyajian dua jalur di atas dapat dinyatakan bahwa Hadis yang dari jalur periwayatan Ya’la terdapat unsur kecacatan dan Hadisnya dinamakan Hadis mu’allal sebab ia menyandarkan Hadisnya pada ‘Amr bin Dinar. Padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar. Sekalipun demikian, Hadis Ya’la tetap bisa dikatakan sahih pada matannya sebab redaksinya sama dengan yang lain[21]

4.    Dilihat dari Sisi Matan

a.       Hadis Mauquf مَوْقُوْف adalah Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah Hadis yang hanya disandarkan pada sahabat saja. Seperti contoh:

يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Jika datang waktu petang, janganlah menunggu pagi, jika datang waktu pagi, janganlah menunggu sore. Dan gunakan waktu sehatmu sebelum sakit, dan waktu hidupmu sebelum datang matimu.”

Hadis riwayat Bukhari tersebut adalah Hadis mauquf, sebab matannya berasal dari perkataan Ibn ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan bahwa Hadis tersebut adalah perkataan Nabi SAW.[22]

b.      Hadis Maqthu’ مَقْطُوْع adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang dimauqufkan kepada tabi’in baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti perkataan Haram bin Jubair seorang tabi’in besar yaitu:

 اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[23]

Seorang mukmin jika mengenal Tuhannya azza wa jalla niscaya akan mencintaiNya, dan jika ia mencintaiNya maka Allah menerimanya.

 

    C.    Kehujjahan Hadis Dha’if

            Hadis dha’if termasuk Hadis yang dihukumi mardud atau ditolaknya hujjah darinya dengan memandang hukum aslinya.[24] Setelah dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam menjadikan Hadis ini sebagai hujjah :

1.   Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama. Seperti al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji, Ahmad Shakir penulis Syarkh Nazhm Alfiyah al-Suyuthi, Nasiruddin al-Albani Muhaddis Salafi Wahabi dan lain-lain.

2.   Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan Hanafiyah lebih memprioritaskan Hadis dha’if daripada qiyas. Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan Hadis mursal, munqati’, mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.

3.   Kondisional menurut mayoritas ulama; jika berkaitan dengan akidah dan hukum halal haram, maka tidak boleh. Sedangkan bila berkaitan dengan keutamaan amal, menakut-nakuti dan memotifasi amal, tafsir dan cerita maka diperbolehkan.[25]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

BAB III

PENUTUP 

Hadis dha’if adalah Hadis yang tidak memenuhi kriteria Hadis sahih atau hasan. Pada Hadis dha’if  banyak dugaan bahwa Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah disebabkan ada kecacatan pada perawi ketika meriwayatkan Hadis tersebut. Tetapi bukan berarti Hadis tersebut tidak benar.

Hadis dha’if terbagi menjadi beberapa macam. Seperti “Shadh, Mudtarib, Maqlu>b, Mu’allal, Munqati’, mu’dal, dan lain sebagainya.”Hadis dha’if masuk dalam kategori Hadis yang mardud. Artinya menurut hukum asal, Hadis dha’if tidak bisa dijadikan hujah. Namun terjadi perbedaan pandangan di dalam mengamalkannya. Perbedaan tersebut meliputi:

        1.      Mutlak mengharamkan

        2.      Mutlak memperbolehkan

3.      Kondisional, bila dalam masalah fada’ilul a’mal, targhib, tarhib maka boleh digunakan asal masuk pada asal yang bisa diamalkan. Bila berkenaan dengan hukum halal haram dan akidah, maka ulama sepakat untuk tidak memperbolehkannya sebagai hujjah.

DAFTAR PUSTAKA 

Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadits, Yogyakarta: Sultan Amai Press, 2008.

Ashiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.

Hadi, Saeful, Ulumul Hadits. Cet. XII, Kulon Progo: Sabda Media, 2002.

Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1987.

Itr, Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.

Maliki(al), Muhammad Alawi, al-Minhal al-Lathiif, tt. : Dar al-Rohmah al-Islamiyah, 1992
_______________________, Ilmu Ulumul Hadits. cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. 

Mas’udi(al), Hasan, Minhat al-Mughith, Surabaya: Andalas. t.th

Mudasir, Ilmu Hadis. Cet. V, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010. 

Muhammad, Nur Hidayat, Hujjah Nahdliyah. Cet.I, Surabaya: Khalista, 2012.

Qattan(al), Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. 

Thahhan(al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, Surabaya: al-Hidayah, 1995

Zein, Muhammad Ma’shum, Ulumul Hadits & Mustalah Hadits, Cet. I Jombang: Darul Hikmah, 2008. 

[1] Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif (tt: Dar al-Rohmah al-Islamiyah, 1992),  51.

[2] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010),  156-157.

[3] Syaikh Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005),  129.

[4] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63-64.

[5] Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Mustalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 125.

[6] Ibid., 128-129.

[7] Ibid., 131.

[8] al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, 82.

[9] Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughith  (Surabaya: Andalas, t.th),  43

[10] al-Maliki, al-Minhal al-Lathif..., 114-116.

[11] Ibid., 93-94.

[12] Mudasir, Ilmu Hadis..., 166.

[13] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah, 1995),  107-108

[14] al-Maliki, al-Minhal al-Lathif..., 102.

[15] Zein, Ulumul Hadits...,154-155.

[16] al-Mas’udi, Minhah al-Mughith..., 53.

[17] al-Maliki, al-Minhal al-Lathif..., 93-94.

[18] al-Mas’udi, Minhah al-Mughits..., 53-54.

[19] al-Maliki, al-Minhal al-Lathif..., 108-109.

[20] Zein, Ulumul Hadits..., 161-162.

[21] Ibid., 45.

[22] Ibid., 168-169.

[23] Ibid., 168-169.

[24] Saeful Hadi, Ulumul Hadits, (Kulon Progo: Sabda Media, 2002),  172.

[25] Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, (Surabaya: Khalista, 2012),  11-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...