BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Hadis adalah
ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika di tengah-tengah umat,
juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh
segenap kaum muslim. Karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang
yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam
bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan Hadis demi Hadis
untuk menjustifikasi apa yang
dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya
bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu Hadis ini, yaitu Hadis
dha’if . Banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng
aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa Hadis dha’if tidak bisa
dijadikan hujjah apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka
dari itu, sangat penting untuk mempelajari Hadis dha’if agar
tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan
menurut disiplinnya.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi dan
Kriteria-kriteria Hadis Dha’if
2. Macam-macam Hadis dha’if
3. Kehujjahan
Hadis dha’if
C. Tujuan
1.
Memahami makna Hadis dha’if
beserta kriterianya
2.
Mengerti macam-macam Hadis dha’if
3.
Mengetahui apakah Hadis dha’if dapat dijadikan hujjah atau
tidak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hadis Dha’if
Hadis sudah
kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah. Sedangkan dha’if secara
bahasa diambil dariالضَّعْفُ atau الضُّعْفُ yang berarti lemah atau mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ
الْقُوَّة yaitu lawan kata kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadis dha’if adalah Hadis yang
tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat diterimanya Hadis. Dapat
dikatakan pula Hadis dha’if termasuk Hadis yang mardud.[1]
Menurut
Imam Nawawi, Hadis dha’if adalah Hadis yang di dalamnya
tidak terdapat syarat-syarat Hadis shahih dan syarat-syarat Hadis
hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam
mendefinisikan Hadis dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya
Nuruddin ‘Itr, beliau berpendapat Hadis dha’if adalah Hadis
yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat Hadis maqbul
Hadis yang sahih atau Hadis yang hasan.[2]
Hadis dha’if menurut istilah adalah “Hadis yang
di dalamnya tidak didapati syarat Hadis sahih dan
tidak pula didapati syarat Hadis hasan”. Karena
syarat diterimanya suatu Hadis sangat banyak
sekali, sedangkan lemahnya Hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau
bahkan lebih.[3]
Kriteria-kriteria
Hadis Dha’if
Para ulama memberikan batasan bagi Hadis dha’if yaitu:
اَلْحَدِيْثُ
الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ الْحَدِيْثِ
الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الْحَدِ يْثِ
“Hadis dha’if
adalah Hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat sahih dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat Hadis hasan”.
Kriteria Hadis dha’if yaitu Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai Hadis shahih dan hasan.
Dengan demikian, Hadis dha’if itu
bukan tidak memenuhi syarat-syarat Hadis shahih ataupun tidak memenuhi persyaratan Hadis-Hadis hasan.
Terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan
untuk menetapkan Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli Hadis dalam menerima Hadis
sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian Hadis itu
sebagai alasan yang cukup untuk menolak Hadis dan menghukuminya sebagai Hadis
dha’if . Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian Hadis itu
bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan
Hadis. Seperti kedha’if an Hadis yang disebabkan rendahnya
daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan
suatu Hadis, padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini
tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan Hadis
yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia
benar. Akan tetapi. karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan Hadis yang
dimaksud maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedha’if an suatu Hadis
karena tidak bersambungnya sanad. Hadis yang demikian dihukumi dha’if
karena identitas rawi yang
tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi
yang dha’if . Seandainya ia rawi yang dha’if , maka boleh
jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para
muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan
itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat
diterimanya suatu Hadis. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang
kritis dan ilmiah.[4]
Maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria Hadis
dha’if adalah sebagai berikut:
1.
Sanadnya
terputus
2.
Rawinya
kurang ‘adl
3.
Rawinya
kurang dhabit
4.
Adanya shadh
5. Adanya ‘illat atau ada penyebab samar dan
tersembunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu Hadis meski secara lahir terlihat bebas dari cacat.
B.
Macam-macam
Hadis Dha’if
Ada banyak sekali macam-macam Hadis
dha’if , sehingga harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya
adalah sebagai berikut:
1.
Dilihat dari sisi sanad
a. Hadis Mu’allaq مُعَلَّق adalah Hadis yang perawinya digugurkan seorang
atau lebih mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya secara
beruntun atau membuang sanadnya kecuali sahabat atau sahabat dan tabi’in
secara bersama. Seperti rawi langsung mengatakan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَذَا[5]
“Rasulullah SAW bersabda: Begini….”
b.
Hadis Munqathi’ مُنْقَطِع
adalah Hadis yang mata rantai sanadnya digugurkan di satu tempat atau
lebih atau pada matarantai sanadnya disebutkan nama seorang perawi
yang namanya tidak dikenal atau diragukan. Seperti contoh Hadis riwayat Ibn
Majah dan Tirmidhi yang
gugur sanadnya berupa perawi sebelum sahabat yang berbunyi:
انَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ
بِسْمِ اللهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ. اَللّٰهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[6]
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bila memasuki masjid mengucapkan: Dengan Nama Allah, Sholawat dan salam atas Rasulullah, Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu rahmatMu.”
c.
Hadis Mu’dhal مُعْضَل
adalah Hadis yang dari para perawinya gugur secara berurutan baik
dua orang atau lebih, baik sahabat bersama-sama tabi’in maupun tabi’in dan
tabi’it tabi’in, atau dua orang sebelumnya. Seperti Hadis riwayat Imam
Malik dalam kitab Muwatha’nya langsung dari Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda:
....لِلْمَمْلُوْكِ
طَعَامُهُ وَ كِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ لاَ يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ
مَا يَطِيْقُ....[7]
d.
Hadis mursal
مُرْسَل adalah Hadis yang sanadnya gugur setelah tabi’in.
Seperti ketika tabi’in mengatakan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا[8]
“Rasulullah SAW bersabda: begini….”
e.
Hadis Mudallas
مُدَلَّس dibagi menjadi dua yaitu:
I.
Tadlis al-Isnad yaitu Hadis
yang diriwayatkan dari perawi yang mengaku mendengar Hadis
dari seseorang yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak pernah
mendengar Hadis tersebut darinya agar disangka bahwa dia pernah
mendengarnya. Seperti contoh Hadis riwayat Abu Dawud. Dari Ibn
Umar beliau berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ
“Rasulullah
SAW bersabda: jika seseorang diantara kalian mengantuk dalam masjid ketika
sholat jumat, hendaknya berpindah dari tempat duduknya ke tempat yang lain.”
Dalam mata rantai sanad Hadis Ibn
Umar ini ditemukan seorang perawi yang mudallis bernama Muhammad
bin Ishaq dan ia telah membuat periwayatannya dengan menggunakan kode
yang biasa dipakai dalam Hadis ‘an’anah
II. Tadlis al-Shuyukh yaitu perawi menyebutkan gurunya namun tidak dengan sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak dikenal. Seperti perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa “Muhammad bin Sanad” menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[9]
2.
Dilihat Dari Segi Perawi Hadis
a.
Hadis Matruk
مَتْرُوْك adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang disepakati atas kelemahannya seperti dicurigai berdusta, dicurigai
kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya. Atau suatu Hadis hanya diriwayatkan
oleh satu orang. Seperti riwayat Umar bin Shamr. Dari Jabir, dari Harith,
dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul Hadis.[10]
b.
Hadis Munkar
مُنْكَر adalah Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah
yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi
ketsiqahannya. Perbandingannya adalah Hadis ma’ruf مَعْرُوْف , yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
thiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah. Seperti Hadis
riwayat Ibn Abi Hatim dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq,
dari al-‘Izar bin Huraith, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:
مَنْ أَقَامَ
الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ
الجَنَّةَ
“Barangsiapa mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa, dan
menjamu tamu akan masuk surga”
Ibn
Abi Hatim berkata: Hadis ini munkar karena terdapat rawi yang
kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[11]
c.
Hadis Mudraj
مُدْرَج adalah Hadis yang
menampakkan suatu tambahan baik dari segi sanad atau matannya, karena
diduga bahwa tambahan tersebut termasuk bagian dari Hadis itu. Seperti Hadis
riwayat Tirmidhi:
قُلْتُ:
يَا رَسُوْلَ الله أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ
“Aku bertanya: Ya Rasulullah
dosa apa yg paling besar?”
Hadis ini dapat dilihat dari dua
jalur yaitu:
I.
Jalur Ibn Mahdi dari al-Thaury
dari Wasil al-Ahdab dari Manshur.
II.
Jalur al-A’masy dari Abi Wa’il dari Amr bin
Surahby dari Ibn Mas’ud.
Dalam
meriwayatkan Hadis ini, Washil al-Ahdab tidak menyebutkan Umar
bin Surahbil tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang menerima
langsung dari Ibn Mas’ud. Jadi penyebutan Umar bin Shurahbil merupakan sisipan tadrij
pada riwayat Manshur dan al-A’masy.[12]
d.
Hadis Maqlub مَقْلُوْب
adalah Hadis yang diganti lafalnya dengan lafal lain di dalam sanadnya
atau matannya, dengan mendahulukan atau mengakhirkan atau semisalnya. Seperti Hadis riwayat Hammad
an-Nashiby, dari
al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah Hadis Marfu’:
إِذَا
لَقِيْتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ طَرِيْقٍ فَلَا تَبْدَأُوْهُمْ بِالسَّلَامِ
“Jika
kalian bertemu dengan orang-orang musyrik dijalan, janganlah mengucapkan salam”
Hadis
ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Salih dengan
al-A’masy.[13]
e.
Hadis Mudtarib مُضْطَرِب adalah Hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang berbeda-beda akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi
tersebut sama di dalam kekuatannya. Sekira ada pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan
ditarjih.[14] seperti
Hadis riwayat Tirmidhi dari jalur Abu Bakar. Sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ شِبْتَ؟ قَالَ: شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَ أَخَوَاتُهَا
Menurut Daruqutniy, Hadis ini termasuk Hadis
mudtarib. Sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur mata rantai sanad
yaitu Abu Ishaq. Tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam
mata rantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi. Di
antaranya ada yang mengatakan bahwa:
I.
Hadis
tersebut diriwayatkan secara muttasil.
II.
Hadis
tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang
berhubungan dengan mata rantai sanad. Di antaranya ada yang mengatakan
bahwa:
1)
Hadis
tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari jalur ini bisa
dilihat dari beberapa jalur yang bervariatif, di antaranya adalah:
- Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.
- Dari al-Barra’, dari Abu Bakar.
- Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.
- Dari ‘Alqamah, dari Abu Bakar.
2)
Hadis tersebut bersumber dari musnad
Sa’ad.
3)
Hadis tersebut bersumber dari musnad
Aisyah dan sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah
sehingga tidak memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya. Bahkan untuk
mengkompromikan saja dianggap tidak beralasan ma’dzur.[15]
f.
Hadis Mushahhaf مُصَحَّف Hadis yang
terjadi perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya.[16]seperti
contoh Hadis:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan 6 hari pada bulan syawwal maka
puasanya seperti puasa sepanjang masa.”
Kemudian
Hadis tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Suuliyu pada lafadz سِتًّا menjadi شَيْأ. [17]
g.
Hadis Muharraf مُحَرَّف adalah Hadis yang terjadi perubahan shakl di
dalamnya atau di dalam sanadnya. Maksudnya terjadi perubahan pada
harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya.[18]
Seperti pada Hadis:
رُمِيَ
أُبَيٌّ يَوْمَ الْإِحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Hadis tersebut ditahrif
oleh Ghundar dengan melafalkan أُبَيٌّ menjadi أَبِيْ [19]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
3. Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan
a.
Hadis Syadz شَاذ adalah Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat
diterima namun bertentangan dengan perawi lain yang lebih utama darinya.
Seperti Hadis:
أَنَّ
رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى أَعْتَقَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟ فَقَالُوْا لاَ. إِلاَّ غُلَامٌ
أَعْتَقَهُ. فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ
Seseorang
telah meninggal di zaman Rasulullah Saw dan tidak meninggalkan ahli waris
kecuali hamba yang dimerdekakan. Bersabda Nabi SAW: “Apakah dia mempunyai
saudara?” Mereka menjawab: Tidak, kecuali budak yang dimerdekakannya”. Dan Nabi
SAW menjadikannya sebagai pewarisnya.
Ada dua jalur periwayatan mengenai Hadis
tersebut yaitu:
I.
Jalur periwayatan
Tirmidhi yang bersanad Ibn Uyainah. Dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah,
dari Ibn Abbas. Jalur ini merupakan matarantai sanad Hadis mahfudh.
Sebab di samping memiliki perawi-perawi yang tsiqah, juga
mempunyai muttabi’ yaitu Ibn Juraij dan lainnya.
II.
Jalur periwayatan Ashab
as-Sunan. Dapat dilihat dari dua periwayatan yaitu :
1)
Dari Hammad, dari ‘Amr bin
Dinnar, dari ‘Ausajah adalah Hadis mursal. Sebab ‘Ausajah meriwayatkan
Hadis ini tanpa melalui sahabat Ibn Abbas.
2)
Dari Hammad bin Zaid termasuk muhaddits thiqqah. Tetapi dalam periwayatannya berlawanan dengan periwayatan
Ibn Uyainah yang lebih utama. Sebab sanadnya muttasil dan ada muttabi’nya.
Maka dari itu Hadis Tirmidhi melalui jalur periwayatan Ibn
Uyainah disebut Hadis mahfuz.
Dari kenyataan di atas, periwayatan
Tirmidhi melalui sanad Ibn Uyainah yang lebih utama disebut Hadis
mahfudh. Sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut shadh.[20]
b.
Hadis Mu’allal
مُعَلَّل
adalah Hadis yang secara lahiriyahnya tidak ada
kecacatan namun setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di
dalam sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya. Seperti contoh:
...اَلْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
Antara
penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih) selama belum berpisah
Ada dua jalur periwayatan yaitu:
I.
Jalur Ya’la bin Ubaid. Dari
Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibn Umar
II.
Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im. ketiganya dari Tsufyan
ats-Tsaury. Dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar
Dari
penyajian dua jalur di atas dapat dinyatakan bahwa Hadis yang dari jalur
periwayatan Ya’la terdapat unsur kecacatan dan Hadisnya dinamakan
Hadis mu’allal sebab ia menyandarkan Hadisnya pada ‘Amr
bin Dinar. Padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar. Sekalipun
demikian, Hadis Ya’la tetap bisa dikatakan sahih pada matannya sebab
redaksinya sama dengan yang lain[21]
4. Dilihat dari Sisi Matan
a. Hadis Mauquf مَوْقُوْف adalah Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya
adalah Hadis yang hanya disandarkan pada sahabat saja. Seperti contoh:
يَقُوْلُ:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ
تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ
لِمَوْتِكَ
“Jika
datang waktu petang, janganlah menunggu pagi, jika datang waktu pagi, janganlah
menunggu sore. Dan gunakan waktu sehatmu sebelum sakit, dan waktu hidupmu
sebelum datang matimu.”
Hadis riwayat Bukhari
tersebut adalah Hadis mauquf, sebab matannya berasal dari
perkataan Ibn ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan bahwa Hadis
tersebut adalah perkataan Nabi SAW.[22]
b.
Hadis Maqthu’
مَقْطُوْع
adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang dimauqufkan
kepada tabi’in baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti perkataan
Haram bin Jubair seorang tabi’in besar yaitu:
اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ
عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[23]
Seorang
mukmin jika mengenal Tuhannya azza wa jalla niscaya akan mencintaiNya, dan jika
ia mencintaiNya maka Allah menerimanya.
C.
Kehujjahan
Hadis Dha’if
Hadis dha’if termasuk
Hadis yang dihukumi mardud atau ditolaknya hujjah darinya dengan
memandang hukum aslinya.[24]
Setelah dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam menjadikan Hadis
ini sebagai hujjah :
1.
Haram secara mutlak menurut
sebagian kecil ulama. Seperti al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm,
Syihab al-Khafaji, Ahmad Shakir penulis Syarkh Nazhm Alfiyah al-Suyuthi,
Nasiruddin al-Albani Muhaddis Salafi Wahabi dan lain-lain.
2.
Boleh secara mutlak menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan
Hanafiyah lebih memprioritaskan Hadis dha’if daripada qiyas.
Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan Hadis mursal, munqati’,
mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
3.
Kondisional menurut mayoritas
ulama; jika berkaitan dengan akidah dan hukum halal haram, maka tidak boleh.
Sedangkan bila berkaitan dengan keutamaan amal, menakut-nakuti dan memotifasi
amal, tafsir dan cerita maka diperbolehkan.[25]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB III
PENUTUP
Hadis dha’if adalah Hadis yang tidak memenuhi kriteria Hadis
sahih atau hasan. Pada Hadis dha’if banyak dugaan
bahwa Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah disebabkan ada
kecacatan pada perawi ketika meriwayatkan
Hadis tersebut. Tetapi bukan berarti Hadis tersebut tidak benar.
Hadis dha’if terbagi menjadi beberapa macam. Seperti “Shadh,
Mudtarib, Maqlu>b, Mu’allal, Munqati’, mu’dal, dan lain sebagainya.”Hadis
dha’if masuk dalam kategori Hadis yang mardud. Artinya menurut hukum asal, Hadis dha’if
tidak bisa dijadikan hujah. Namun terjadi perbedaan
pandangan di dalam mengamalkannya. Perbedaan tersebut meliputi:
1.
Mutlak mengharamkan
2.
Mutlak memperbolehkan
3.
Kondisional, bila dalam
masalah fada’ilul a’mal, targhib, tarhib maka boleh
digunakan asal masuk pada asal yang bisa diamalkan. Bila berkenaan dengan hukum
halal haram dan akidah, maka ulama sepakat untuk tidak memperbolehkannya
sebagai hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Muhammadiyah, Ilmu Hadits, Yogyakarta: Sultan Amai Press, 2008.
Ashiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Hadi, Saeful, Ulumul Hadits.
Cet. XII, Kulon Progo: Sabda Media, 2002.
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar
Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1987.
Itr, Nuruddin, Ulumul
Hadits, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
Mas’udi(al), Hasan, Minhat al-Mughith, Surabaya:
Andalas. t.th.
Mudasir, Ilmu Hadis.
Cet. V, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Muhammad, Nur Hidayat, Hujjah
Nahdliyah. Cet.I, Surabaya: Khalista, 2012.
Qattan(al), Syaikh Manna’, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Thahhan(al), Mahmud,
Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, Surabaya: al-Hidayah, 1995.
[1] Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal
al-Latif (tt: Dar al-Rohmah al-Islamiyah, 1992), 51.
[2] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2010), 156-157.
[3] Syaikh Manna’ al-Qattan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005), 129.
[4] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63-64.
[5] Muhammad
Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Mustalah Hadits, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), 125.
[6] Ibid., 128-129.
[7] Ibid., 131.
[8] al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif, 82.
[9] Hasan
al-Mas’udi, Minhat al-Mughith (Surabaya: Andalas, t.th), 43
[10] al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif..., 114-116.
[11] Ibid., 93-94.
[12] Mudasir, Ilmu
Hadis..., 166.
[13] Mahmud
ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah, 1995), 107-108
[14] al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif..., 102.
[15] Zein, Ulumul
Hadits...,154-155.
[16] al-Mas’udi, Minhah
al-Mughith..., 53.
[17] al-Maliki,
al-Minhal al-Lathif..., 93-94.
[18] al-Mas’udi, Minhah
al-Mughits..., 53-54.
[19] al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif..., 108-109.
[20] Zein, Ulumul
Hadits..., 161-162.
[21] Ibid., 45.
[22] Ibid., 168-169.
[23] Ibid.,
168-169.
[24] Saeful Hadi,
Ulumul Hadits, (Kulon Progo: Sabda Media, 2002), 172.
[25] Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, (Surabaya: Khalista, 2012), 11-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar