A.
Pengertian
Mukhtalif al-Hadith
Istilah
ini tersusun dari dua buah kata, “Mukhtalif” dan “al-Hadith ”.
Maka sebelum memasuki pengertiannya yang bersifat teknis dalam Ilmu Hadis, ada
baiknya jika kita telaah terlebih dahulu pengertian kebahasaannya.
Mukhtalif merupakan Ism Fa’il [bentuk subjek] yang diambil dari kata kerja Ikhtilaf. Kata ini memiliki tiga huruf dasar kha-lam-fa [k-l-f]. Ibn Manzur mengutip Laits dan Ibn Sidah mengatakan khalfu [dengan sukun pada lam] berarti kebalikan arah depan [belakang]. Khalafa-Yakhlufu [shara khalfahu, berada di belakang], ikhtalafahu [akhadzahu min khalfih, mengambil sesuatu dari belakang], ikhtalafahu, khallafahu, wa akhlafahu [ja’alahu khalfahu, memposisikan di belakang]. Takhalluf [ta’akkhur, tertinggal di belakang]. Kata yang diderivasikan dari tiga huruf dasar ini selalu menyimpan pengertian ‘belakang’, yang kadang secara tidak langsung melibatkan pengertian ‘depan’ [lawannya] sebagai makna oposisi yang harus selalu terkait dengannya. Kata-kata turunannya seringkali menunjukkan terlibatnya ‘depan’, dalam percaturan makna derivatifnya. Sehingga dalam hal ini timbul pengertian biner antara dua hal; depan-belakang.[1] Posisi biner semacam ini meniscayakan ketidaksamaan [‘adam al-ittifaq wa al-tasawi] antara dua hal itu, keragaman [tanawwu’], dan bahkan adanya saling pertentangan satu sama lainnya. Ini dapat dilihat pada redaksi QS. al-An’am: 141, “Wa al-nakhla wa al-zar’a mukhtalifan ukuluh” [Pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya]. Mukhtalif dalam ayat ini bermakna bermacam-macam. Yang disebut bermacam-macam tidak lain merupakan dua hal atau lebih yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Contoh lain, Ikhtalafa al-Qaum [kaum itu berbeda pendapat], yang memiliki pengertian sebagian di antara mereka mengambil pilihan yang tidak sama [berbeda] dengan pilihan yang lain. Demikian sekilas pengertian ikhtilaf.
Hadis
pada mulanya berarti lawan dari ‘yang lama’ [baru]. Perkataan disebut Hadis
[Muhadathah untuk pembicaraan] karena ia diwujudkan dengan cara
diucapkan, sehingga dari yang tadinya tidak ada menjadi ada. Kajian hadis
memiliki pengertian sendiri dalam hal ini. yakni setiap yang disandarkan kepada
Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, kesaksian [taqrir], ciri
fisik, karakter perilaku, sejarah, baik sebelum atau setelah diutus sebagai
rasul.[2]
Sedangkan
Mukhtalif al-Hadith menurut
pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Hakim Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat
‘Ulum al-Hadith , sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan
tertua dalam Ulum al-Hadith
, bahwa Mukhtalif
al-Hadith adalah,
سُنَنٌ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَارِضُهَا مِثْلَهَا فَيَحْتَجُ
أَصْحَابُ الْمَذَاهِبُ بِأَحِدِهِمَا وَهُمَا فِيْ الصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ سِيَانٍ
Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.[3]
Sedangkan
Nawawi [w. 676 H.], yang
hidup beberapa abad setelahnya, mendefinisikannya
dengan,
أَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثَانِ مُتَضَادَانِ
فِيْ اْلمَعْنَى ظَاهِرًا فَيُوَافِقُ بَيْنَهُمَا أَوْ يُرَجِّحُ أَحَدُهُمَا
Dua hadis yang secara
lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah
satunya.[4]
Pada
beberapa abad berikutnya, Suyuti [w. 911
H.] mendefinisikan
dengan :
حَدِيْثٌ قَدْ أَبَاهُ أَخَرُ# فَالْجَمْعُ
إِنْ أَمْكَنَ لَايُنَافِرُ
Hadis yang ditolak oleh
hadis lain, yang bila mungkin hendaknya dikompromikan [jam’u].[5]
Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki
beberapa titik persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1]
adanya pertentangan antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang
ditawarkan. Menurut definisi Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus
memiliki kesetaraan dalam kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak
dapat disebut sebagai hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan.
Semisal hadis sahih bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan
antara hadis sahih dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan
hadis lemah lainnyalah yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini
tentu saja tidak didapatkan dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam
ini tentu akan berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer
Mahmud T{ahhan seperti akan dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu
harus maqbul [diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga
pertentangan yang terjadi antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [da’if-gairu
maqbul] tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi Hakim yang
masih memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah
umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah.
Sedangkan dari definisi Nawawi dapat ditarik pemahaman
tentang bentuk pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak
mungkin dipertemukan [tadadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi
menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat dipertemukan.
Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq
atau tarjih. Sedangkan definisi Suyuti terkesan lebih luas karena
tidak menjelaskan kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk
pertentangannya. Dengan demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua
hadis yang berbeda status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat
hakiki. Bukan sekadar lahiriahnya. Hal ini berkonsekuensi pada dimasukkan hadis
Mudtarib dalam kategori Mukhtalif. Karena, ketika kontradiksi
antara dua hadis bersifat hakiki tentu saja akan meniscayakan ketidakmungkinan jam’u.
Untuk penyelesaian, di sini Suyuti hanya menawarkan satu cara. Yakni melalui
metode jam’u. Untuk cara penyelesaian akan diuraikan dalam pembahasan
tersendiri.
Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian
di atas, pakar hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif.
Mahmud T{ahhan mengatakan :
الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ
بِمِثْلِهِ مَعَ إِمْكَانِ الْجَمْعِ
Hadis yang diterima yang
dipertentangkan dengan sesamanya disertai adanya kemungkinan jam’u.[6]
Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian,
اْلعِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي اْلأَحَادِيْثُ
الَّتِي ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيَزِيْلُ تَعَارِضُهَا أُوْ يُوَافِقُ بَيْنَهُمَا
كَمَا يَبْحَثُ فِي اْلاَحَادِيْثِ الَّتِي يُشْكِلُ فَهْمَهَا أَوْتَصْوِرَهَا فَيَدْفَعُ
إِشْكَالُهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas
hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi
pertentangannya atau di-taufiq antara
keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran
atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat
sebenarnya.[7]
Pengertian yang diberikan T{ahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan sisi
diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung menunjukkan
kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu saja dalam
hal ini mengecualikan hadis Mudtarib, karena tidak menyisakan ruang
untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya. Sekalipun demikian,
pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi yang melarang
dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan. Solusi
merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek kajian
kita. Atas
dasar inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud T{ahhan di atas
sebagai cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadith.
Sedangkan Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif
al-Hadith sebagai sebuah ilmu.
Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya.
Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung
olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu. Ajjaj juga membedakan Mukhtalif
al-Hadith dari Mushkil al-Hadith
. Di mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan yang timbul dari
proses memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan
hakikat yang
dimaksud darinya. Pengertian yang dibawakan
Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi yang ditawarkan Suyuthi
dan Nawawi yang tidak membedakan derajat kesahihan.
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
[1] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 184-185.
[2] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1983), 19.
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-H{akim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977), 122.
[4] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Dar al-Hadith, 2004), 467.
[5] Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dhawi al-Nazar Sharh Manzumat ‘ilmi al-Athar, (Surabaya: Haramain, t.th), 208.
[6] Mahmud T{ahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Haramain, t.th), 56.
[7]Al-Khathib, Usul al-Hadith, 283.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar