HOME

10 Maret, 2022

Mukhtalif Al-Hadith

 

     A.    Pengertian Mukhtalif al-Hadith

Istilah ini tersusun dari dua buah kata, “Mukhtalif” dan “al-Hadith ”. Maka sebelum memasuki pengertiannya yang bersifat teknis dalam Ilmu Hadis, ada baiknya jika kita telaah terlebih dahulu pengertian kebahasaannya.

Mukhtalif  merupakan Ism Fa’il [bentuk subjek] yang diambil dari kata kerja Ikhtilaf. Kata ini memiliki tiga huruf dasar kha-lam-fa [k-l-f]. Ibn Manzur mengutip Laits dan Ibn Sidah mengatakan khalfu [dengan sukun pada lam] berarti kebalikan arah depan [belakang]. Khalafa-Yakhlufu [shara khalfahu, berada di belakang], ikhtalafahu [akhadzahu min khalfih, mengambil sesuatu dari belakang], ikhtalafahu, khallafahu, wa akhlafahu [ja’alahu khalfahu, memposisikan di belakang]. Takhalluf [ta’akkhur, tertinggal di belakang]. Kata yang diderivasikan dari tiga huruf dasar ini selalu menyimpan pengertian ‘belakang’, yang kadang secara tidak langsung melibatkan pengertian ‘depan’ [lawannya] sebagai makna oposisi yang harus selalu terkait dengannya. Kata-kata turunannya seringkali menunjukkan terlibatnya ‘depan’, dalam percaturan makna derivatifnya. Sehingga dalam hal ini timbul pengertian biner antara dua hal; depan-belakang.[1] Posisi biner semacam ini meniscayakan ketidaksamaan [‘adam al-ittifaq wa al-tasawi] antara dua hal itu, keragaman [tanawwu’], dan bahkan adanya saling pertentangan satu sama lainnya. Ini dapat dilihat pada redaksi QS. al-An’am: 141, “Wa al-nakhla wa al-zar’a mukhtalifan ukuluh” [Pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya]. Mukhtalif dalam ayat ini bermakna bermacam-macam. Yang disebut bermacam-macam tidak lain merupakan dua hal atau lebih yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Contoh lain, Ikhtalafa al-Qaum [kaum itu berbeda pendapat], yang memiliki pengertian sebagian di antara mereka mengambil pilihan yang tidak sama [berbeda] dengan pilihan yang lain. Demikian sekilas pengertian ikhtilaf.

Hadis pada mulanya berarti lawan dari ‘yang lama’ [baru]. Perkataan disebut Hadis [Muhadathah untuk pembicaraan] karena ia diwujudkan dengan cara diucapkan, sehingga dari yang tadinya tidak ada menjadi ada. Kajian hadis memiliki pengertian sendiri dalam hal ini. yakni setiap yang disandarkan kepada Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, kesaksian [taqrir], ciri fisik, karakter perilaku, sejarah, baik sebelum atau setelah diutus sebagai rasul.[2]

Sedangkan Mukhtalif al-Hadith  menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Hakim Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith , sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadith , bahwa Mukhtalif al-Hadith  adalah,

سُنَنٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَارِضُهَا مِثْلَهَا فَيَحْتَجُ أَصْحَابُ الْمَذَاهِبُ بِأَحِدِهِمَا وَهُمَا فِيْ الصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ سِيَانٍ

Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.[3]

Sedangkan Nawawi [w. 676 H.], yang hidup beberapa abad setelahnya, mendefinisikannya dengan,

أَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثَانِ مُتَضَادَانِ فِيْ اْلمَعْنَى ظَاهِرًا فَيُوَافِقُ بَيْنَهُمَا أَوْ يُرَجِّحُ أَحَدُهُمَا

Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.[4]

 

Pada beberapa abad berikutnya, Suyuti [w. 911 H.] mendefinisikan dengan :

حَدِيْثٌ قَدْ أَبَاهُ أَخَرُ# فَالْجَمْعُ إِنْ أَمْكَنَ لَايُنَافِرُ

Hadis yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya dikompromikan [jam’u].[5]

Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki beberapa titik persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1] adanya pertentangan antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang ditawarkan. Menurut definisi Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak dapat disebut sebagai hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan. Semisal hadis sahih bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan antara hadis sahih dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan hadis lemah lainnyalah yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini tentu saja tidak didapatkan dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam ini tentu akan berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud T{ahhan seperti akan dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu harus maqbul [diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga pertentangan yang terjadi antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [da’if-gairu maqbul] tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi Hakim yang masih memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah.

Sedangkan dari definisi Nawawi dapat ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan [tadadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih. Sedangkan definisi Suyuti terkesan lebih luas karena tidak menjelaskan kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk pertentangannya. Dengan demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua hadis yang berbeda status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat hakiki. Bukan sekadar lahiriahnya. Hal ini berkonsekuensi pada dimasukkan hadis Mudtarib dalam kategori Mukhtalif. Karena, ketika kontradiksi antara dua hadis bersifat hakiki tentu saja akan meniscayakan ketidakmungkinan jam’u. Untuk penyelesaian, di sini Suyuti hanya menawarkan satu cara. Yakni melalui metode jam’u. Untuk cara penyelesaian akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri.

Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian di atas, pakar hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif. Mahmud T{ahhan mengatakan :

الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ إِمْكَانِ الْجَمْعِ

Hadis yang diterima yang dipertentangkan dengan sesamanya disertai adanya kemungkinan jam’u.[6]

 

Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian,

اْلعِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي اْلأَحَادِيْثُ الَّتِي ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيَزِيْلُ تَعَارِضُهَا أُوْ يُوَافِقُ بَيْنَهُمَا كَمَا يَبْحَثُ فِي اْلاَحَادِيْثِ الَّتِي يُشْكِلُ فَهْمَهَا أَوْتَصْوِرَهَا فَيَدْفَعُ إِشْكَالُهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.[7]

 

Pengertian yang diberikan T{ahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan sisi diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung menunjukkan kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu saja dalam hal ini mengecualikan hadis Mudtarib, karena tidak menyisakan ruang untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya. Sekalipun demikian, pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi yang melarang dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan. Solusi merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek kajian kita. Atas dasar inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud T{ahhan di atas sebagai cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadith

Sedangkan Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadith  sebagai sebuah ilmu. Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu. Ajjaj juga membedakan Mukhtalif al-Hadith  dari Mushkil al-Hadith . Di mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan yang timbul dari proses memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan hakikat yang dimaksud darinya. Pengertian yang dibawakan Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi yang ditawarkan Suyuthi dan Nawawi yang tidak membedakan derajat kesahihan.

Baca artikel tentang Hadis lainya :


[1] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 184-185.

[2] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1983), 19.

[3] Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-H{akim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977), 122.

[4] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Dar al-Hadith, 2004), 467.

[5] Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dhawi al-Nazar Sharh Manzumat ‘ilmi al-Athar, (Surabaya: Haramain, t.th),  208.

[6] Mahmud T{ahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Haramain, t.th), 56.

[7]Al-Khathib, Usul al-Hadith, 283.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...