Sebagaimana sabab al-nuzul,
diturunkan sebuah ayat adakalanya untuk merespon suatu hal atau turun dengan
sendirinya., juga terjadi pada sabda Nabi. Hadis-hadis yang datang untuk
merespon suatu hal memiliki beberapa bagian:
a.
Hadis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Maksudnya adalah sebuah hadis menjadi
penjelas dari kandungan suatu ayat. Ayat yang dijelaskan adakalanya bersifat
umum yang memerlukan pengkhususan, bahasa yang asing ditelinga sahabat dan lain
sebagainya. Misalnya ayat 82 dalam surat al-An‘am:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Sebagian sahabat memahami kata al-zalm
dengan pengertian kesewenang-wenangan dan tindakan-tindakan yang melampaui
batas, tetapi ada sahabat yang tidak setuju dengan makna tersebut sehingga
mereka mengadukannya kepada Rasulullah. Rasulullah memberitahukan bahwa yang
dimaksud al-zalm adalah al-Shirk. Jawaban Nabi tersebut
diindikasikan ketika turunnya ayat di atas yang membuat sahabat merasa
keberatan kemudian bertanya kepada Rasul, siapakah kita yang tidak pernah
mencampuradukan iman dengan dhalim. Rasulullah SAW menjawab bukan
begitu maksudnya, tidakkah kalian memperhatikan perkataan Lukman kepada anaknya
“ان الشرك لظلم عظيم.[1]
b.
Berhubungan dengan hadis itu sendiri (hadith mushkil).
Maksudnya adalah kebingungan para sahabat dalam
memahami hadis Nabi, sehingga Nabi Muhammad harus memberikan penjelasan dengan
hadis lain. Adapun penyebab dari ke-mushkil-an ini ada dua:[2]
1)
Karena adanya penyebutan sebab.
Maksudnya adalah hadis-hadis yang didalamnya telah disebutkan kronologinya. Misalnya saat Nabi ditanya tentang masalah air di padang pasir yang sering
dilewati oleh rombongan-rombongan dan hewan-hewan melata, kemudian beliau
menjawab "ketika debit air sudah sampai pada jumlah dua qullah maka
ia bebas dari terbilang kotor (najis)".[3]
2)
Karena tidak adanya penyebutan sebab.
Maksudnya adalah hadis Nabi yang
kroonologinya tidak disebutkan dalam hadis tersebut. Misalnya hadis yang
diriwayatkan oleh Zaid bin Thabit "paling utamanya seseorang melaksanakan
shalat yaitu ketika dilakukan didalam rumahnya kecuali shalat wajib (maktubah)".[4] Sebagian
mukharrij
al-hadith beranggapan bahwa hadis ini memerlukan kronologi
kemunculannya.[5]
c.
Hadis yang berhubungan dengan sahabat.
Misalnya tentang kejadian Sharid bin Suwaid al-Thaqafi yang datang kepada Nabi ketika
hari penaklukan Makkah lalu berkata kepada Rasul sesungguhnya saya telah bernazar jika
Allah SWT memberikan kemenangan atas engkau (Nabi [dalam penaklukan kota Makkah]) maka saya akan melaksanakan
shalat di Bait al-Maqdis. Rasulullah SAW berkata kepadanya, di tempat ini yang
paling utama. Kemudian beliau bersabda, demi Dzat yang diriku berada di
kekuasaanya jika kamu shalat di tempat ini maka kamu akan mendapatkan balasan.
Lalu beliau melanjutkan lagi, shalat di masjid ini lebih utama dari pada
seratus ribu kali shalat di masjid lain.[6]
Poin C ini sebenarnya sama dengan maksud poin B yakni datangnya hadis disertai dengan kronologinya atau tidak tetapi, pada poin ini kronologinya berhubungan dengan salah satu sahabat.
Sebab munculnya suatu hadis hanya bisa diketahui dengan adanya riwayat dan berpegang pada kutipan yang terpercaya dari sahabat. Sebab munculnya hadis tidak boleh didasarkan pada perkiraan dan penalaran logika semata. Pendekatan yang mutlak dilakukan adalah mengkaji dan menganalisis mata rantai transmisi penyampaiannya, sebagaimana yang juga berlaku persyaratan terhadap pentransmisian sebuah hadis.
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
[1]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 18.
[2]Ibid.
[3] al-Quzwaini, Sunan Ibnu, 172. Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah. Sunan Ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.
[4]Ahmad bin Shu‘aib Abu ‘Abdur Rahman al-Nasa´i, Sunan al-Nasa´i al-Kubra, Juz I (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991), 408.
[5]Latar belakang hadis tentang shalat yang lebih utama ada yang dimulai dengan pertanyaan sahabat, "Rasulullah ditanya oleh sahabat, dimanakah yang lebih utama melakukan shalat di rumahku atau di masjid, Nabi menjawab sesungguhnya rumahku dekat dengan masjid namun aku lebih suka shalat di rumahku kecuali shalat lima waktu (maktubah). (al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Juz II, 439). Selain itu, ada riwayat lain yakni, "sesungguhnya Rasulullah SAW berada di dalam kamarnya yang di dekat masjid, lalu berkumpulah para sahabat di masjid seraya mengecilkan suaranya, mereka menyangka kalau Nabi telah istirahat. Kemudian mereka berdehem agar supaya Rasul keluar menemui mereka. Rasul bersabda, aku terus menerus melihat kalian selalu bertindak (berkumpul setiap malam) seperti ini sehingga aku khawatir aktivitas ini menjadi wajib atas kalian, dan jika diwajibkan maka kalian tidak akan kuat melaksanakannya (terus menerus). Maka wahai kalian, shalatlah shalatlah di rumah kalian masing-masing, karena sesungguhnya shalat yang paling utama…" (Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra , Juz III [Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994], 109).
[6]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 19; Abu Bakar ‘Abdur Razaq bin Hammam al-San‘ani, Musannif ‘Abdur Razaq, Juz V (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1403 H,), 122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar