HOME

06 Maret, 2022

Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita

 

1.    Hadis marfu’. Pembahasan tentang hadis marfu’ sudah dijelaskan pada klasifikasi hadis dari segi ketersambungan sanad.

2.    Hadis mauquf

a.       Definisi hadis mauquf

Secara etimologi mauquf adalah isim maf’ul dari kata الوقف (berhenti) seakan-akan perawi meriwayatkan hadis hanya berhenti pada jenjang sahabat tidak sampai kepada Rasulullah saw.

Secara terminologi marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dari segi perkataan, perbuatan, dan ketetapan.[1]

b.      Contoh hadis mauquf

1)      Mauquf dari segi perkataan, seorang perawi mengatakan “قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: حدثوا الناس بما يعرفون، أتريدون أن يكذب الله ورسوله؟

“Ali ibn Abi Thalib RA. berkata: berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang mereka pahami, apakah kalian ingin berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya?” 

2)      Mauquf dari segi perbuatan, seperti riwayat Sa’id “إن ابن عباس أصاب من جاريته، وأنه تيمّم فصلى بهم وهو متيمم

“sesungguhnya Ibn ‘Abbas menyentuh dengan budak perempuannya dan ia dalam keadaan bertayammum, kemudian ia sholat dengan mereka dalam keadaan bertayammum”

3)      Mauquf dari segi ketetapan, seperti riwayat Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Yusuf ibn Mahik “أن عيبد بن عمير رأى علي بن عمر قَمَلَةً في المسجد، فأخذها فدفنها، وابن عمر ينظر عليه ولم ينكر عليه ذلك[2]

“Sesungguhnya ‘Ubaid ibn ‘Umair meliahat Ali ibn Umar (membunuh) kutu rambut didalam masjid, kemuadian ia mengambilnya untuk dikubur,  sedangkan Ibnu Umar meliahat hal itu dan tidak mengingkarinya”

c.       Mauquf secara lafadz, marfu’ secara hukum

Ada beberapa kondisi hadis mauquf/ disandarkan kepada sahabat tetapi mempunyai hukum marfu’ sebagaimana pembagian hadis marfu’ pada pembahasan sebelumnya, yaitu:

1)      Seorang sahabat mengatakan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya seperti cerita israiliyyat, berita masa lalu (awal penciptaan dana cerita para Nabi), shalat gerhana yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Talib yang setiap rakaatnya lebih dari dua ruku’.

2)      Perkataan sahabat “كنا نقول كذا، كنا نفعل كذا، كنا لانرى بأسا بكذا”. Hal ini terjadi dalam dua kemungkinan:

a)      Jika disandarkan pada zaman Nabi, maka hadis tersebut dikatakan marfu’ seperti perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم”, berbeda dengan jumhur, Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan hal tersebut mauquf.

b)      Jika tidak disandarkan pada zaman Nabi, jumhur seperti al-Hakim, al-Nawawi, al-‘Iraqi, Ibn Hajar, dan al-Suyuti menghukuminya dengan marfu’, sebagian yang lain seperti Ibn  Salah dan al-Khatib al-Baghdadi menghukuminya dengan mauquf seperti perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا إذا صعدنا كبّرنا، وإذا نزلنا سبحنا”.

3)      Perkataan sahabat “أمرنا بكذا، نهينا عن كذا، من السنة كذا” seperti perkataan sebagian sahabat “أُمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة

4)      Periwayatan sahabat tentang asbab al-nuzul dari sebuah ayat seperti perkataan Jabir “كانت اليهود تقول: من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول، فأنزل الله تعالى: نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم

5)      Perkataan perawi di akhir hadis ketika menyebutkan nama sahabat “يرفعه، ينميه، يبلغ به، رواية” sebagai tanda kinayah bahwa sahabat tersebut memarfu’kan hadis pada Nabi saw. seperti riwayat al-Bukhari dari jalur Shu’bah dari Abi ‘Imran al-Juwani “عن أنس يرفعه: أن الله يقول لأهون أهل النار عذابا: لو أن لك ما في الأرض من شيء كنت تقتدي به؟ قال: نعم. قال: فقد سألتك ما هو أهون من هذا وأنت في صلب آدم، أن لا تشرك بي فأبيت إلا الشرك[3]

“Dari Anas, (dalam sebuah hadis) yang ia marfu’-kan kepada nabi bahwasanya Allah SWT. berkata kepada ahli neraka paling rendah siksaannya: seandainya engkau mendapati di bumi (sesuatu yang bisa kamu ikuti) apakah kamu kamu akan mengikutinya?, ahli neraka itu menjawab: iya. Kemudian Allah SWT. berkata: Sungguh aku telah menanyakan kepada kamu tentang sesuatu yang lebih ringan dari ini ketika kamu masih dalam kandungan, yaitu agar kamu tidak menyekutukanku, namun kamu menganaikannya (dengan menyekutukanku)”.    

d.      Kehujjahan hadis mauquf

Hadis mauquf terkadang hukum hadisnya sahih, hasan, atau da’if. Hadis mauquf yang tidak mempunyai hukum marfu’, pada dasarnya tidak bisa dijadikan hujjah karena hanya merupakan perkataan dan perbuatan sahabat. Akan tetapi, jika hadis mauquf tersebut hukumnya dapat diterima (sahih atau hasan), maka bisa menguatkan hadis yang da’if karena keberadaan sahabat adalah sebagai pelaku dari sunnah.[4]

3.    Hadis maqtu’

a.    Definisi hadis maqtu’

Secara etimologi hadis maqtu’ adalah isim maf’ul dari قطع (terputus) lawan dari kata وصل (bersambung).

Secara terminologi adalah sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau yang di bawahnya berupa perkataan atau perbuatan.[5]

Sebagian ulama hadis seperti al-Shafi’i dan al-Tabrani memaknai hadis maqtu’ sebagai hadis munqati’ yang sanadnya tidak bersambung, namun istilah ini tidaklah masyhur. Al-Shafi’i menggunakan istilah tersebut sebelum munqati’ dijadikan sebuah istilah dalam ilmu hadis.[6]

b.    Contoh hadis maqtu’

1)      Hadis maqtu’ dari segi perkataan, seperti perkataan al-Hasan al-Basri tentang pembuat bid’ah yang menjadi imam shalat “صل وعليه بدعته

2)       Hadis maqtu’ dari segi perbuatan, seperti perkataan Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntashir “كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله، ويقبل على صلاته ويخليهم ودنياهم[7]

c.    Kehujjahan hadis maqtu’

Hadis maqtu’walaupun sahih tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syariat karena hadis tersebut adalah perkataan atau perbuatan salah seorang muslim. Akan tetapi, jika ada qorinah (tanda) yang menandakan hadis itu marfu’, maka dapat dihukumi hadis marfu’ yang mursal seperti perkataan tabi’in “يرفعه”.[8]

d.   Kitab yang memuat hadis maqtu’         

Beberapa kitab yang memuat hadis maqtu’ adalah Musannaf Ibn Abi? Shaibah, Musannaf Abdurrazzaq,[9] kitab karangan Ibn Abi al-Dunya, Hilyah al-Auliya’ karya Abi Nu’aim, Tafsir Ibn Jarir, Tafsir Ibn Abi Hatim, al-Durr al-Manthur karya al-Suyuti.[10]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA 

Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Media Group, 2010

Khaira Abadi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu .  Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Suyuti (al), Abd al-Rahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, vol.2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah

Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr

Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.

[1] Ibid. Hal. 107

[2] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha , 125

[3] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 126-128

[4] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 109

[5] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis , 110

[7] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

[8] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 110

[9] Ibid., 110

[10] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadith Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...