1.
Hadis marfu’.
Pembahasan tentang hadis marfu’ sudah dijelaskan pada klasifikasi
hadis dari segi ketersambungan sanad.
2.
Hadis mauquf
a.
Definisi hadis
mauquf
Secara etimologi mauquf adalah isim maf’ul
dari kata الوقف (berhenti)
seakan-akan perawi meriwayatkan hadis hanya berhenti pada jenjang
sahabat tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Secara terminologi
marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dari segi
perkataan, perbuatan, dan ketetapan.[1]
b.
Contoh hadis
mauquf
1)
Mauquf dari segi
perkataan, seorang perawi mengatakan “قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: حدثوا الناس بما يعرفون،
أتريدون أن يكذب الله ورسوله؟”
“Ali
ibn Abi Thalib RA. berkata: berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang
mereka pahami, apakah kalian ingin berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya?”
2)
Mauquf dari segi
perbuatan, seperti riwayat Sa’id “إن ابن عباس أصاب من جاريته، وأنه تيمّم فصلى بهم وهو متيمم”
“sesungguhnya
Ibn ‘Abbas menyentuh dengan budak perempuannya dan ia dalam keadaan
bertayammum, kemudian ia sholat dengan mereka dalam keadaan bertayammum”
3)
Mauquf dari segi
ketetapan, seperti riwayat Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Ayyub dari
Yusuf ibn Mahik “أن عيبد بن عمير رأى علي بن عمر قَمَلَةً في المسجد، فأخذها فدفنها، وابن عمر
ينظر عليه ولم ينكر عليه ذلك”[2]
“Sesungguhnya ‘Ubaid ibn ‘Umair
meliahat Ali ibn Umar (membunuh) kutu rambut didalam masjid, kemuadian ia mengambilnya
untuk dikubur, sedangkan Ibnu Umar
meliahat hal itu dan tidak mengingkarinya”
c.
Mauquf secara lafadz, marfu’
secara hukum
Ada beberapa kondisi hadis mauquf/
disandarkan kepada sahabat tetapi mempunyai hukum marfu’ sebagaimana
pembagian hadis marfu’ pada pembahasan sebelumnya, yaitu:
1)
Seorang sahabat
mengatakan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang
ijtihad di dalamnya seperti cerita israiliyyat, berita masa lalu (awal
penciptaan dana cerita para Nabi), shalat gerhana yang dilakukan ‘Ali ibn Abi
Talib yang setiap rakaatnya lebih dari dua ruku’.
2)
Perkataan sahabat
“كنا نقول كذا،
كنا نفعل كذا، كنا لانرى بأسا بكذا”.
Hal ini terjadi dalam dua kemungkinan:
a)
Jika disandarkan
pada zaman Nabi, maka hadis tersebut dikatakan marfu’ seperti
perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم”,
berbeda dengan jumhur, Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan hal tersebut mauquf.
b)
Jika tidak
disandarkan pada zaman Nabi, jumhur seperti al-Hakim, al-Nawawi, al-‘Iraqi, Ibn
Hajar, dan al-Suyuti menghukuminya dengan marfu’, sebagian yang lain
seperti Ibn Salah dan al-Khatib
al-Baghdadi menghukuminya dengan mauquf seperti perkataan Jabir ibn
Abdullah “كنا إذا صعدنا
كبّرنا، وإذا نزلنا سبحنا”.
3)
Perkataan sahabat
“أمرنا بكذا،
نهينا عن كذا، من السنة كذا”
seperti perkataan sebagian sahabat “أُمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة”
4)
Periwayatan
sahabat tentang asbab al-nuzul dari sebuah ayat seperti perkataan Jabir
“كانت اليهود
تقول: من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول، فأنزل الله تعالى: نساءكم
حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم”
5)
Perkataan perawi
di akhir hadis ketika menyebutkan nama sahabat “يرفعه، ينميه، يبلغ به، رواية”
sebagai tanda kinayah bahwa sahabat tersebut memarfu’kan hadis
pada Nabi saw. seperti riwayat al-Bukhari dari jalur Shu’bah dari Abi
‘Imran al-Juwani “عن أنس يرفعه: أن الله يقول لأهون أهل النار عذابا: لو أن لك ما في الأرض من
شيء كنت تقتدي به؟ قال: نعم. قال: فقد سألتك ما هو أهون من هذا وأنت في صلب آدم،
أن لا تشرك بي فأبيت إلا الشرك”[3]
“Dari Anas, (dalam sebuah hadis) yang
ia marfu’-kan kepada nabi bahwasanya Allah SWT. berkata kepada ahli neraka
paling rendah siksaannya: seandainya engkau mendapati di bumi (sesuatu yang
bisa kamu ikuti) apakah kamu kamu akan mengikutinya?, ahli neraka itu menjawab:
iya. Kemudian Allah SWT. berkata: Sungguh aku telah menanyakan kepada kamu
tentang sesuatu yang lebih ringan dari ini ketika kamu masih dalam kandungan,
yaitu agar kamu tidak menyekutukanku, namun kamu menganaikannya (dengan
menyekutukanku)”.
d.
Kehujjahan hadis
mauquf
Hadis mauquf
terkadang hukum hadisnya sahih, hasan, atau da’if. Hadis mauquf
yang tidak mempunyai hukum marfu’, pada dasarnya tidak bisa dijadikan
hujjah karena hanya merupakan perkataan dan perbuatan sahabat. Akan tetapi,
jika hadis mauquf tersebut hukumnya dapat diterima (sahih
atau hasan), maka bisa menguatkan hadis yang da’if karena
keberadaan sahabat adalah sebagai pelaku dari sunnah.[4]
3.
Hadis maqtu’
a.
Definisi hadis
maqtu’
Secara etimologi hadis maqtu’
adalah isim maf’ul dari قطع
(terputus) lawan dari kata وصل (bersambung).
Secara terminologi adalah sesuatu yang
disandarkan kepada tabi’in atau yang di bawahnya berupa perkataan atau
perbuatan.[5]
Sebagian ulama hadis seperti
al-Shafi’i dan al-Tabrani memaknai hadis maqtu’ sebagai hadis
munqati’ yang sanadnya tidak bersambung, namun istilah ini
tidaklah masyhur. Al-Shafi’i menggunakan istilah tersebut sebelum munqati’
dijadikan sebuah istilah dalam ilmu hadis.[6]
b.
Contoh hadis
maqtu’
1)
Hadis maqtu’
dari segi perkataan, seperti perkataan al-Hasan al-Basri tentang pembuat bid’ah
yang menjadi imam shalat “صل وعليه بدعته”
2)
Hadis maqtu’ dari segi
perbuatan, seperti perkataan Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntashir “كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله، ويقبل على صلاته
ويخليهم ودنياهم”[7]
c.
Kehujjahan hadis
maqtu’
Hadis maqtu’walaupun sahih tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syariat karena hadis tersebut adalah perkataan atau perbuatan salah seorang muslim. Akan tetapi, jika ada qorinah (tanda) yang menandakan hadis itu marfu’, maka dapat dihukumi hadis marfu’ yang mursal seperti perkataan tabi’in “يرفعه”.[8]
d.
Kitab yang memuat hadis maqtu’
Beberapa
kitab yang memuat hadis maqtu’ adalah Musannaf Ibn Abi? Shaibah,
Musannaf Abdurrazzaq,[9]
kitab karangan Ibn Abi al-Dunya, Hilyah al-Auliya’ karya Abi Nu’aim,
Tafsir Ibn Jarir, Tafsir Ibn Abi Hatim, al-Durr al-Manthur
karya al-Suyuti.[10]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan
- Macam-Macam Hadis Hasan
- Kehujjahan Hadis Hasan
- Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis Hasan
- Pengertian Hadis Dha'if & Kriteriannya
- Macam-Macam Hadis Dha'if
- Kehujjahan Hadis Dha’if
- Hadis Mutawattir
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Kuantitasnya
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Posisinya Dalam Hujjah
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Ketersambungan Sanad
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita
- Hadis Qudsi
- Definisi Hadis Ahad
- Hukum Mengamalkan Hadis Ahad
- Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab
DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Media Group, 2010
Khaira Abadi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu . Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Suyuti (al), Abd al-Rahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, vol.2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah
Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr
Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.[1] Ibid. Hal. 107
[2] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha , 125
[3] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 126-128
[4] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 109
[5] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis , 110
[7] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
[8] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 110
[9] Ibid., 110
[10] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadith Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar