Tidak
diragukan bahwa al-Qur’an dari aspek thubut-nya seluruhnya bernilai qat’iyyah
al-thubut, sementara hadis hanya sebagian kecil yang berstatus qat’iyyah
al-thubut yaitu hadis mutawatir. Mayoritas hadis bernilai ahad.
Namun keduanya, baik al-Qur’an maupun hadis, sama-sama memiliki dimensi zanniyah
dari aspek dilalah (indikasi makna).[1]
Sisi inilah yang memungkinkan terjadinya ta’arud zahiry.
Sebab
terjadinya ta’arud, antara lain:
1.
Adanya sebagian nash
yang maknanya berindikasi umum dan yang lain khusus, ada yang bersifat mutlak
dan ada yang muqayyad, atau pengecualian (istithna’), dll. Bagi
sebagian orang menilai kondisi teks-teks semacam ini kontradiktif (ta’arud).
2.
Ketidaktahuan tentang
keluasan makna bahasa Arab yang menjadi bahasa media teks.
3.
Adanya pemalsuan terhadap
hadis. Dengan demikian, hadis-hadis yang bertentangan ternyata palsu.
4.
Ketidaktahuan tentang konsep nasikh
dan mansukh antara dalil
dalam masalah hukum.[2]
Solusi Hadis Kontradiktif
Seperti al-Qur’an, terkadang Nabi menggunakan redaksi
general dengan pengertian general, namun tidak sedikit yang memakai ungkapan
general dengan maksud yang spesifik. Hadis tidak boleh dialihkan dari
pengertian literal dan generalnya sebelum didapatkan informasi yang bersumber
dari Nabi yang mengarahkan ke sana. Jika terdapat pertentangan maka sikap yang
diambil adalah tidak membuang salah satu hadis, dan selama memungkinkan
hendaknya diupayakan pengamalan keduanya [al-Jam’u bi I’malihima]. al-Shafi’i menegaskan :
“Selama dua hadis [yang bertentangan] masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan. Tanpa menelantarkan salah satunya sebagaimana dalam kajian terhadap ayat al-Quran sebelumnya.”[3]
Prinsip
semacam inilah yang pada akhirnya disebut dengan teori Jam’u [diambil dari kata jama’a yang berarti
mengumpulkan]. Yakni mengumpulkan dua dalil dengan cara mengamalkan keduanya
tanpa membuang salah satunya. Selain digunakan untuk menyelesaikan kontradiksi
yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, prinsip ini juga dipakai dalam
mendekati kontradiksi dalam hadis. Seperti dalam kasus perang terhadap kaum
musyrik, apakah seluruhnya diberi pilihan Islam-bunuh? Atau ada pilihan lain,
seperti Islam-bunuh-jizyah. Ketika sebagian ayat memberikan pilihan
Islam-bunuh, ayat lain menawarkan Islam-Jizyah. Kedua bentuk pilihan
tidak harus saling menggugurkan. Karena konteks penerapannya berbeda. Di mana
Islam-bunuh ditujukan kepada kaum musyrik penyembah berhala, sedangkan Islam-Jizyah
diperuntukkan kaum musyrik ahli kitab. Sikap semacam ini meniscayakan
pemberlakuan dua ayat yang saling bertentangan tersebut.
Pendekatan
kedua yang dipakai al-Shafi’i adalah nasakh
[pengubahan, penggantian]. al-Shafi’i
mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan
perintah yang telah diturunkan sebelumnya. Hal ini dapat dipahami dari
penjelasan al-Shafi’i tentang dalil
yang me-nasakh, “Perintah yang diturunkan dan bertentangan dengan
perintah lain yang turun sebelumnya.”[4]
al-Shafi’i mensyaratkan keseimbangan
antara dalil yang me-nasakh dan
yang di-nasakh. Syarat
ini meniscayakan ketidakbolehan pe-nasakh-an al-Qur’an menggunakan hadis. Hadis memiliki
beragam tingkat kekuatan. Sebagian berstatus mutawatir yang setara dengan
al-Quran, namun sangat sedikit, dan sebagian lagi berstatus ahad. Yang terakhir
inilah yang banyak. Sekalipun mutawatir, bagi al-Shafi’i hadis hanya menempati posisi kedua di bawah al-Qur’an.
Hadis hanya berhak menjelaskan, tidak menghapus atau mengganti hukum yang telah
ditetapkan al-Qur’an.
Berangkat
dari syarat ini pula, suatu hadis dapat me-nasakh hadis yang lain. Yakni
jika tidak dimungkinkan rekonsiliasi melalui pendekatan jam’u. Nasakh
dapat dilakukan jika terdapat teks mendukung. Dalil dapat berupa informasi dari
Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi apapun
yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.[5]
Berikutnya,
al-Shafi’i menawarkan konsep ikhtilaf min jihat mubah sebagai
salah satu perspektif untuk menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif. Prinsip ini
ingin mengatakan bahwa perbedaan antara dua hadis bukan perbedaan yang saling
menegasikan. Masing-masing hadis ketika diamalkan, tidak berakibat pada
penegasian fungsi hadis yang lain. Umat Islam diperbolehkan memilih salah
satunya.
al-Shafi’i juga mengenalkan metode
penyelesaian lain, yakni melalui prinsip persesuaian [munasabah] dengan
dalil lain. Yakni persesuaian dengan al-Qur’an, tradisi Nabi [sunan al-Nabi],
atau persesuaian dengan Qiyas. Dua hadis yang saling bertentangan ditimbang
sisi persesuaiannya dengan sumber-sumber di atas. Dengan adanya persesuaian
itu, salah satu hadis menjadi lebih kuat untuk diterima. Karena memiliki
penguat [‘adid].
Hadis-hadis
yang bertentangan terkadang salah satunya berbentuk mujmal sedang yang
lain mufassar. Jika demikian, pada dasarnya hal ini bukan sebuah
kontradiksi, tapi lebih menunjukkan cara beretorika orang Arab yang orientasi
pembicaraannya khusus namun menggunakan redaksi umum. Jika demikian, maka kedua
hadis harus diamalkan melalui metode jam’u.
Terakhir,
al-Shafi’i menawarkan teori tarjih
al-riwayah. Jika
salah satu hadis diriwayatkan melalui jalur yang kuat, sedang yang lain tidak,
maka hadis yang kuat itulah yang diamalkan. Pendekatan terakhir meniscayakan
penilaian hadis dari sisi sanadnya. Di sini kritik sanad bekerja untuk
menentukan apakah sebuah hadis thabit [diakui validitasnya] atau
tidak. Hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang majhul dianggap tidak thabit. Demikian seterusnya.
Contoh Kontradiksi hadis dengan
al-Qur’an dan Solusinya
Hadis
yang terdapat di dalam Kitab al-T{ibb (76) bab as-Sihr (50) nomor 5766
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ
الشَّىْءَ وَمَا فَعَلَهُ ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهْوَ عِنْدِى دَعَا
اللَّهَ وَدَعَاهُ ، ثُمَّ قَالَ « أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِى
فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ » . قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «
جَاءَنِى رَجُلاَنِ ، فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِى وَالآخَرُ عِنْدَ رِجْلَىَّ
، ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ . قَالَ
وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ ، الْيَهُودِىُّ مِنْ بَنِى زُرَيْقٍ
. قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِى مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ ، وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ . قَالَ
فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِى بِئْرِ ذِى أَرْوَانَ » . قَالَ فَذَهَبَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – فِى أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ ، فَنَظَرَ إِلَيْهَا
وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ « وَاللَّهِ لَكَأَنَّ
مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ »
. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ « لاَ ، أَمَّا أَنَا فَقَدْ
عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى ، وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا
» . وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ .[6]
Telah menceritakan kepada
kami ‘Ubaid bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam
dari Ayahnya dari Aisyah dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disihir
hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau
tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdo’a
kepada Allah dan selalu berdo’a, kemudian beliau bersabda: “Wahai ‘Aishah,
apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi)
dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; “Apa itu wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu
salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku.
Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; “Menderita sakit apakah laki-laki
ini?” temannya menjawab; “Terkena sihir.’ salah seorang darinya bertanya;
“Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Lubid bin Al A’sam seorang
Yahudi dari Bani Zuraiq.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia
menyihir?” temannya menjawab; “Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan
seludang mayang kurma.” Salah seorang darinya bertanya; “Di manakah benda itu
di letakkan?” temannya menjawab; “Di dalam sumur Dhi Arwan.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama
beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya
terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui ‘Aishah bersabda: “Wahai
‘Aishah! seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau
seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan.” Aku bertanya; “Wahai
Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya?” beliau menjawab: “Tidak,
sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan
kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Kemudian beliau
memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu
menguburnya.”
Untuk
diketahui hadis tentang disihirnya Nabi tersebut dicantumkan dalam tiga tempat
oleh Bukhari dalam S{ahihnya. Menurut penelitian, Muqbil bin Hady al-Wad’y
ada 14 (empat belas) jalur periwayatan hadis tersebut dari Hisyam bin ‘Urwah
dari Bapaknya dari ‘Aishah ra. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama
hadis selain Bukhari seperti Muslim, Nasai, Ahmad, Ibn Hibban, Baihaqy, Ibn Abi
Shaibah, dll. Disamping itu terdapat shawahid dari hadis riwayat Ahmad, Nasai,
Ibn Abi Syaibah, T{abrany, Ibn Sa’ad, dll.[7]
Kesahihan
hadis ini diakui dan ditetapkan oleh para ulama senior baik dari aspek riwayat
maupun dirayah-nya. Di antara ulama tersebut adalah Khattaby, Qadhi ‘Iyadh, Ibn
Taimiyah, Ibn Qoyyim, Ibn Kathir, Nawawy, Ibn Hajar, Qurtuby, Alusi, dll.[8]
Muhammad
Abduh, Mahmud Abu Rayyah,[9]
dan Muhibbin dalam disertasi doktoralnya menolak kesahihan hadis Nabi
disihir dengan klaim bahwa hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an. Di
antara ayat yang bertentangan dengan hadis di atas adalah:
1- Surat
al-Furqan ayat 8 :
أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ
لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا
رَجُلًا مَسْحُورًا [10]
Dan orang-orang yang zalim
itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang
kena sihir.
Hadis di atas dianggap membenarkan tuduhan
orang-orang musyrik bahwa Nabi adalah adalah orang gila di bawah pengaruh
sihir. Dengan demikian dapat menyebabkan adanya keraguan terhadap kebenaran
ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW, karena mungkin saja Nabi terkena pengaruh
sihir pada saat menerima wahyu.
2. Surat
Al-Hijr ayat 42:[11]
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ
سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ [12]
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku
tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut
kamu, yaitu orang-orang yang sesat.
Hadis di atas bertentangan dengan ayat ini
karena apabila sihir merupakan
perbuatan setan, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas hamba Allah. Apalagi
kekuasaan atas diri seorang Rasul Allah.
3. Surat
al-Maidah ayat 67:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ[13]
Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Hadis di atas bertentangan dengan jaminan perlindungan (ismah) Allah kepada Nabi SAW.
Hal
pertama yang perlu dilakukan adalah menelaah ulang apakah pertentangan itu
benar-benar terbukti atau tidak. Apakah bisa diaplikasikan metode Jam’u
antara hadis di atas dengan ayat yang diklaim kontradiktif?
1.
Firman Allah dalam surat
Al-Furqan ayat 8 menjelaskan maksud orang-orang musyrik dengan perkataan meraka
bahwa setanlah yang membisikkan ajaran-ajarannya kepada Rasulullah dan
dituliskan untuknya, sebagaimana siyaq as-sibaq dari ayat sebelumnya di
ayat 5: “Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu,
dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap
pagi dan petang.”
Mashuura artinya telah disihir sampai kerasukan seperti
orang gila yang hilang dan rusak akalnya dan tidak menyadari apa yang
dikatakannya sehingga tidak pantas untuk diikuti. Hal ini selaras dengan
tuduhan mereka yang termaktub di ayat lain
ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا
مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ
Kemudian mereka berpaling
daripadanya dan berkata: “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang
lain) lagi pula seorang yang gila.[14]
Tuduhan orang kafir dalam
ayat dimaksud akibat sihir yang membuat gila, merancau dalam perkataan yang
diklaim wahyu tidak sesuai dengan konteks makna hadis di atas yang menunjukkan
bahwa akibat disihir itu berupa kondisi sakit yang menimpa fisik.[15]
Pengaruh maksimal dari sihir yang dialami oleh Nabi—menurut
keterangan Sufyan bin
‘Uyainah yang menjadi salah seorang perawi hadis itu—hanya berbentuk
halusinasi. Jadi, bukan dalam bentuk lepas kontrol kesadaran diri dan itupun
hanya berkaitan dengan kondisi ketika beliau berinteraksi khusus dengan istri
beliau sebagaimana disebutkan dalam hadis (كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ).[16]
Tidak ada data sejarah dan riwayat yang menjelaskan bahwa akibat sihir yang
menimpa Nabi tersebut berpengaruh negatif terhadap aktivitas Nabi dalam
penerimaan dan penyampaian wahyu, risalah, beribadah, berdakwah, tabligh,
menyampaikan sunnah dan tashri’.
Ibn Hajar menyebutkan bahwa
peristiwa yang menimpa Rasulullah saw berupa sihir adalah bentuk musibah sakit
yang bersifat manusiawi yang bisa dialami oleh manusia biasa. Musibah yang
menimpa beliau bersifat sementara dan tidak berkaitan dengan wahyu dan risalah.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebgai bentuk sakit yaitu bagian akhir
hadits menyebutkan: “أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى” (adapun saya telah Allah sembuhkan). Dalil ini diperkuat
oleh hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’id : “Rasulullah SAW sakit
dan terhalang dari menggauli istri-istrinya dan dari makan dan minum, maka dua
Malaikat pun turun menemui beliau”.[17]
Demikian pula, upaya membenturkan hadis di atas dengan ayat dalam
surat al-Furqan tersebut kurang relevan karena ayat dan surat tesebut adalah Makkiyah sementara hadis tersebut madany
sehingga ada kesenjangan (gap) dalam konteks dan momentum.
2.
Maksud dari “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada
kekuasaan bagimu terhadap mereka” adalah dalam konteks penyesatan. Kekuasaan
yang diberikan kepada setan adalah kemampuan untuk melakukan
aktivitas-aktivitas penyesatan dengan memperindah perbuatan buruk
sehingga tampak baik dan sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr
: 39-40.[18]
Dengan demikian, ayat ini tidak sesuai dengan realitas pada diri Nabi SAW.
Adapun jika aktivitas setan yang berdampak negatif bagi fisik
menimpa hamba yang sholeh tidak dinafikan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an
menunjukkan terjadinya hal itu dalam kisah Nabi Ayyub AS.
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى
رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
Dan ingatlah akan hamba Kami
Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan
kepayahan dan siksaan.[19]
Demikian pula, pengaruh
sihir dalam bentuk halusinasi pernah dialami oleh Nabi Musa AS sebagai Nabi ulul
‘azmi ketika tukang sihir Fir’aun yang melempar tali-temali kemudian
terlihat hidup seperti ular.
قَالَ بَلْ أَلْقُوا
فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
(66) فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى (67)
Berkata Musa: “Silahkan kamu
sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka,
terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (66)
Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67)[20]
Bentuk pengaruh sihir yang terjadi pada Nabi Musa berupa halusinasi tersebut serupa dengan yang terjadi atas diri Rasulullah SAW. Pengaruh sihir pada para nabi tersebut tidak berdampak pada penerimaan wahyu, pengamalan dan penyampaiannya. Interaksi di alam sadar Nabi Musa dengan wahyu walau ada pengaruh sihir ini secara eksplisit ditegaskan dalam lanjutan ayat dari surat Thaha di atas: “Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang) (68) Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (69).
Hadis tentang Nabi disihir tidaklah bertentangan dengan ayat ismah karena konteks jaminan penjagaan dimaksud adalah dari pembunuhan, bukan dalam bentuk gangguan fisik. Sebab gangguan fisik dari orang-orang kafir sering kali menimpa Nabi sejak Nabi berdakwah di Makkah dan dalam berbagai peperangan seperti dalam perang Uhud. Hal ini diperkuat dengan data dari konteks asbab al-nuzul dari surat al-Maidah: 67 yang berkaitan dengan pengawalan khusus yang dilakukan oleh para sahabat terhadap rumah Nabi SAW dan ditiadakan setelah turunnya ayat tersebut.[21]
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
DAFTAR PUSTAKA
Bukhari(al). al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq
Muhibuddin al-Khatib. Juz 4. Kairo: al-Maktabah
al-Salafiyah, 1400.
Hadithi(al), Abdullah Hasan. Athar
al-H{adith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2005.
Hasan, Uthman Ali.
Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad. Riyadh: Dar al-Watn, 1413
H.
Khon, Abdul Majid.
Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis. Jakarta: Kencana,
2011.
Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadith Ulumuhu
Wa Mushtalahuhu. Beirut; Dar-al Fikr, 1983.
Manzur, Ibn. Lisan al-Arab. Kairo: Darul Hadits,
2003.
Naisaburi, Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Hakim. Ma‘rifat
‘Ulum al-Hadith. Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977.
Suyuti, Jalaluddin. Tadrib al-Rawi Sharh Taqrib
al-Nawawi,. Kairo: Darul Hadits, 2004.
Shafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf al-Hadith. Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1986.
Shinqity, Muhammad Amin.
Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi
al-Qur’an, vol. 4. Jeddah:
Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp.
Suhbah, Muhammad Muhammad Abu. Difa’
‘an al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, t.th.
Turmusi, Mahfud. Manhaj Dzawi al-Nazhar Syarah
Manzhumat ‘ilmi al-Atsar. Surabaya: Haramain, tt.
T{ahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith.
Surabaya: Haramain, t.th.
Utsman, Ibn S{alah, Abu ‘Amr.
‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah), ed. Nur al-Din ‘Itr. Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H.
Wad’y, Muqbil bin Hady.
Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi
Hadith al-Sihr. S{an’a: Dar al-Athar, 1999.
Wahidy, Abu al-Hasan. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Zuhaily, Wahbah. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.
[1] Wahbah al-Zuhaily. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 37.
[2] Uthman Ali H{asan, Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad (Riyadh: Dar al-Watn, 1413 H), 53
[3] Muhammad bin Idris al-Shafi‘i, Ikhtilaf al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 39.
[4] Ibid., 31.
[5] Ibid., 40.
[6] al-Bukhari. al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq Muhib al-Din al-Khatib. Juz 4 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 49.
[7] Muqbil bin Hady al-Wad’y. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi Hadith al-Sihr, Cet. 2 (S{an’a: Dar al-Athar, 1999), 87-96.
[8] Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa’ ‘an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, t.th), 362-364.
[9] Ibid., 223.
[10] al-Qur’an, 25: 8.
[11] Ayat yang semakna terdapat dalam QS. al-Nahl : 99, al-Isra’ : 65, Saba’ : 21.
[12] al-Qur’an, 15: 42.
[13] Ibid., 5: 67.
[14] al-Qur’an, 44: 14
[15]Muhammad al-Amin al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4 (Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.th), 587.
[16] al-Bukhari. al-Jami’ al-Sahih Vol. 4, 48-49. Hadis nomor 5765. Pengaruh sihir dalam kehidupan suami-istri semacam ini telah ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 102.
[17] al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan..., 583-586.
[18] Ibid., 82-83.
[19] al-Qur’an, 38: 41.
[20] Ibid., 20: 66-67.
[21] Abu al-Hasan al-Wahidy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar