HOME

06 Maret, 2022

Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab

 

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih wajib diamalkan dan bisa menjadi hujjah atu dalil. Namun mereka berbeda pendapat tentang kondisi dan situasi dimana hadis ahad tersebut bisa dijadikan hujjah khususnya dalam dijadikan hujjah atau dasar dalam menetapkan suatu hukum. Berikut adalah pendapat ulama empat mazhab tentang kehujjahan hadis ahad dalam menetapkan sebuah hukum.

1.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab hanafi

Para ulama mazhab hanafi memberikan beberapa syarat untuk hadis ahad agar bisa dijadikan pijakan atau dalil dalam menetapkan hukum. Berikut adalah penjelasannya:

a.       Perawi hadis ahad tersebut tidak boleh menyalahi hadis yang diriwayatkannya. Apa bila ia mengamalkan suatu amalan atau perbuatan yang bertentangan dengan hadis ahad yang diriwayatkannya sendiri, maka hadisnya tidak berlaku, karena ada kemungkinan ia tidak mengamalkan hadis tersebut karena adanya hadis yang menasakh.[1] Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis Abu Hurairah tentang wajibnya membasuh tempat yang terkena jilatan anjing sebanyak tujuh kali basuhan, karena pada riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni, Abu Hurairah hanya mencukupkan pada tiga basuhan.[2]  

b.      Substansi atau kandungan hadis ahad yang diriwayatkan bukanlah  termasuk dalam kategori yang jangkauannya bersifat umum dan menyeluruh (ta’ummu bihi al-Balwa).[3]

Menurut mereka, hadis yang demikian seharusnya diriwayatkan secara mutawatir bukan ahad. oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dalam shalat, karena jalur periwayatannya ahad, sedangkan shalat merupakan ahal yang bersifat umum dan dilakukan oleh banyak orang.[4]   

c.       Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan. Dalam hal ini mereka men-syaratkan perawi hadis ahad harus orang yang ahli fiqh.[5]

2.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab maliki

Ulama mazhab maliki memberikan beberapa persyaratan bagi hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah, di antaranya:

a.       Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan amalan (perbuatan) ahli (penduduk) Madinah. Menurut mereka, amalan ahli madinah sama kedudukannya dengan hadis mutawatir. Menurut mereka, amalan penduduk Madinah merupakan warisan dari para pendahulu, sampai kepada Rasulullah SAW.[6] Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang khiyar al-majlis karena hal itu tidak dikenal di kalangan penduduk Madinah.[7]

b.      Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan dan disepakati oleh ulama. Hanya saja mereka berbeda dengan ulama mazhab hanafi dimana mereka tidak men-syaratkan perawi hadis tersebut harus ahli fiqh.[8]

3.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab Syafi’i

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah membuat satu bab khusus tentang hadis ahad. dimana beliau ketika ditanya tentang hadis ahad dan diminta untuk memberikan penjelasan tentang syarat hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah, beliau menjawab: “(hadis ahad) adalah periwayatan satu orang dari satu orang sampai berhenti kepada Nabi atau kepada rawi pada tingkatan di bawahnya (sahabat)”.[9]  

Kemudian imam Syafi’i menerangkan bahwa hadis ahad bisa dijadikan hujjah apabila perawinya memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

a.       Perawinya harus thiqah

b.      Harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam meriwayatkan hadis

c.       Harus memahami apa yang diriwayatkan

d.      Harus mengerti makna dari lafal hadis yang diriwayatkan

e.       Tidak meriwayatkan hadis dengan makna

f.       Harus kuat hafalannya

g.      Bukan perawi yang suka meriwayatkan hadis dengan tadlis.[10]   

Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama yang pertama kali menetapkan kehujjahan hadis ahad. hal ini tidak terlapas dari peran beliau dalam membela al-Sunnah, di mana pada masa beliau hidup banyak para pengingkar sunnah bermunculan, dan beliau berhasil mematahkan argumen mereka. Sehingga penduduk Mekkah memberika gelar kepada beliau sebagai “Nasir al-Sunnah” (pembela sunnah).[11]

4.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab hanbali

Imam Ahmad tidak memberikan syarat dalam mengamalkan dan menjadikan hadis ahad hujjah kecuali hadis tersebut harus sahih sanadnya. Dalam hal ini, beliau sama dengan imam Syafi’i dalam menyikapi hadis ahad. Beliau tidak membedakan antara hadis mutawatir dan hadis ahad selagi sanadnya sahih dan bersambung kepada Rasulullah SAW. hanya saja beliau mempunyai pendapat bahwa hadis dha’if didahulukan atas fatwa sahabat.[12]

Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa Imam Ahmad  jika menemukan hadis sahih, maka beliau akan berfatwa dengannya dan tidak akan berpaling dan terpengaruh dengan pendapat orang yang bertentangan dengan hadis tersebut. Oleh karena itu beliau tidak mengikuti pendapat Umar ibn Khattab dalam perkara pembagian harta waris bagi sorang nenek, karena bertentangan dengan hadis Fatimah binti Qais.[13]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw , Muhammad, al-Hadith wal al-Muhaddithun. Riyad: tp, 1984.

Bayanuni (al), Muhammad Abu al-Fath, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Salam, 1983.

Hashim , Ahmad Umar, Qawa’id Usul al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr, tt).

Jauziyah (al), Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘A<lamin, Juz 1, Beirut: Dar al-Jil, 1973.

Khaira A<<badi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011

Khalaf , Abd al-Wahhab, Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978

Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.

Shafi’i (al), Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah, Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt.

Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr

Zaidan , Abd al-Karim, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah, 1993.

Zuhaili (al), Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004.

Zurqani (al), Muhammad ibn Abd al-Baqi, Sharh al-Manzumah al-Baiquniyyah, Beirut: Dar al-Mashari’, 2001. 


[1] Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004), 470.

[2] Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1983), 70.

[3] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah, 1993), 177.

[4] Ibid

[5] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid

[6] Abd al-Karim, al-Wajiz, 176.

[7] Wahbah, Usul al-Fiqh, 472.

[8] Abd al-Karim, al-Wajiz, Ibid

[9] Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah (Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), 369-370.

[10] al-Shafi’i, al-Risalah, 308.

[11] Ahmad Muhammad Shakir dalam pengantarnya dalam kitab al-Risalah (Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), 5-6

[12] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid

[13] Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1973), 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...