Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih
wajib diamalkan dan bisa menjadi hujjah atu dalil. Namun mereka
berbeda pendapat tentang kondisi dan situasi dimana hadis ahad
tersebut bisa dijadikan hujjah khususnya dalam dijadikan hujjah
atau dasar dalam menetapkan suatu hukum. Berikut adalah pendapat ulama empat
mazhab tentang kehujjahan hadis ahad dalam menetapkan
sebuah hukum.
1. Kehujjahan
hadis ahad menurut ulama mazhab hanafi
Para ulama mazhab hanafi
memberikan beberapa syarat untuk hadis ahad agar bisa dijadikan
pijakan atau dalil dalam menetapkan hukum. Berikut adalah penjelasannya:
a. Perawi hadis
ahad tersebut tidak boleh menyalahi hadis yang diriwayatkannya.
Apa bila ia mengamalkan suatu amalan atau perbuatan yang bertentangan dengan hadis
ahad yang diriwayatkannya sendiri, maka hadisnya tidak berlaku,
karena ada kemungkinan ia tidak mengamalkan hadis tersebut karena adanya
hadis yang menasakh.[1]
Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis Abu Hurairah tentang
wajibnya membasuh tempat yang terkena jilatan anjing sebanyak tujuh kali
basuhan, karena pada riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni, Abu
Hurairah hanya mencukupkan pada tiga basuhan.[2]
b. Substansi
atau kandungan hadis ahad yang diriwayatkan bukanlah termasuk dalam kategori yang jangkauannya bersifat
umum dan menyeluruh (ta’ummu bihi al-Balwa).[3]
Menurut mereka, hadis
yang demikian seharusnya diriwayatkan secara mutawatir bukan ahad.
oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang mengangkat kedua
tangan ketika ruku’ dalam shalat, karena jalur periwayatannya ahad, sedangkan
shalat merupakan ahal yang bersifat umum dan dilakukan oleh banyak orang.[4]
c. Hadis ahad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah
mapan. Dalam hal ini mereka men-syaratkan perawi hadis ahad harus
orang yang ahli fiqh.[5]
2. Kehujjahan
hadis ahad menurut ulama mazhab maliki
Ulama mazhab maliki memberikan
beberapa persyaratan bagi hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah,
di antaranya:
a. Hadis ahad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan amalan (perbuatan) ahli (penduduk) Madinah. Menurut
mereka, amalan ahli madinah sama kedudukannya dengan hadis mutawatir.
Menurut mereka, amalan penduduk Madinah merupakan warisan dari para pendahulu,
sampai kepada Rasulullah SAW.[6]
Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang khiyar
al-majlis karena hal itu tidak dikenal di kalangan penduduk Madinah.[7]
b. Hadis ahad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan dan
disepakati oleh ulama. Hanya saja mereka berbeda dengan ulama mazhab hanafi
dimana mereka tidak men-syaratkan perawi hadis tersebut harus
ahli fiqh.[8]
3. Kehujjahan
hadis ahad menurut ulama mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah
membuat satu bab khusus tentang hadis ahad. dimana beliau
ketika ditanya tentang hadis ahad dan diminta untuk memberikan
penjelasan tentang syarat hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah,
beliau menjawab: “(hadis ahad) adalah periwayatan satu orang dari
satu orang sampai berhenti kepada Nabi atau kepada rawi pada tingkatan di
bawahnya (sahabat)”.[9]
Kemudian imam Syafi’i
menerangkan bahwa hadis ahad bisa dijadikan hujjah apabila
perawinya memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Perawinya
harus thiqah
b. Harus
dikenal sebagai orang yang jujur dalam meriwayatkan hadis
c. Harus
memahami apa yang diriwayatkan
d. Harus
mengerti makna dari lafal hadis yang diriwayatkan
e. Tidak
meriwayatkan hadis dengan makna
f. Harus kuat
hafalannya
g. Bukan
perawi yang suka meriwayatkan hadis dengan tadlis.[10]
Imam Syafi’i dianggap sebagai
ulama yang pertama kali menetapkan kehujjahan hadis ahad.
hal ini tidak terlapas dari peran beliau dalam membela al-Sunnah, di
mana pada masa beliau hidup banyak para pengingkar sunnah bermunculan, dan
beliau berhasil mematahkan argumen mereka. Sehingga penduduk Mekkah memberika
gelar kepada beliau sebagai “Nasir al-Sunnah” (pembela sunnah).[11]
4. Kehujjahan
hadis ahad menurut ulama mazhab hanbali
Imam Ahmad tidak memberikan
syarat dalam mengamalkan dan menjadikan hadis ahad hujjah
kecuali hadis tersebut harus sahih sanadnya. Dalam hal ini, beliau sama
dengan imam Syafi’i dalam menyikapi hadis ahad. Beliau tidak membedakan
antara hadis mutawatir dan hadis ahad selagi sanadnya
sahih dan bersambung kepada Rasulullah SAW. hanya saja beliau mempunyai
pendapat bahwa hadis dha’if didahulukan atas fatwa sahabat.[12]
Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa Imam Ahmad jika menemukan hadis sahih, maka beliau akan berfatwa dengannya dan tidak akan berpaling dan terpengaruh dengan pendapat orang yang bertentangan dengan hadis tersebut. Oleh karena itu beliau tidak mengikuti pendapat Umar ibn Khattab dalam perkara pembagian harta waris bagi sorang nenek, karena bertentangan dengan hadis Fatimah binti Qais.[13]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan
- Macam-Macam Hadis Hasan
- Kehujjahan Hadis Hasan
- Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis Hasan
- Pengertian Hadis Dha'if & Kriteriannya
- Macam-Macam Hadis Dha'if
- Kehujjahan Hadis Dha’if
- Hadis Mutawattir
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Kuantitasnya
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Posisinya Dalam Hujjah
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Ketersambungan Sanad
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita
- Hadis Qudsi
- Definisi Hadis Ahad
- Hukum Mengamalkan Hadis Ahad
- Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zahw , Muhammad, al-Hadith wal al-Muhaddithun. Riyad: tp, 1984.
Bayanuni (al), Muhammad Abu
al-Fath, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar
al-Salam, 1983.
Hashim , Ahmad Umar, Qawa’id
Usul al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Jauziyah (al),
Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb
al-‘A<lamin, Juz 1, Beirut: Dar al-Jil, 1973.
Khaira
A<<badi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa
Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011
Khalaf , Abd al-Wahhab, Ilm
Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978
Maliki
(al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal
al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Salih
(al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li
al-Malayin, 1984.
Shafi’i (al), Muhammad
ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah, Beirut, al-Maktabah
al-Ilmiyyah, tt.
Tahhan
(al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr
Zaidan , Abd al-Karim, al-Wajiz
fi Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah,
1993.
Zuhaili (al), Wahbah, Usul
al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004.
Zurqani (al), Muhammad ibn
Abd al-Baqi, Sharh al-Manzumah al-Baiquniyyah, Beirut: Dar
al-Mashari’, 2001.
[1] Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004), 470.
[2] Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, Dirasat
fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1983), 70.
[3] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul
al-Fiqh (Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah, 1993), 177.
[4] Ibid
[5] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid
[6] Abd al-Karim, al-Wajiz, 176.
[7] Wahbah, Usul al-Fiqh, 472.
[8] Abd al-Karim, al-Wajiz, Ibid
[9] Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah
(Beirut, al-Maktabah
al-Ilmiyyah, tt), 369-370.
[10] al-Shafi’i, al-Risalah, 308.
[11] Ahmad Muhammad Shakir dalam pengantarnya dalam
kitab al-Risalah (Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), 5-6
[12] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid
[13]
Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 1
(Beirut: Dar al-Jil, 1973), 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar