BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam setiap dekade kehidupan, waktu terus berputar bagai roda, bagian yang bawah kadang ke atas dan sebaliknya. Begitu juga dengan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam.
Sepeninggal Rasulullah SAW. Islam sudah tersebar di seantero Jazirah Arab, Islam terus melakukan ekspansi di bawah kendali pada al-Khalifa’ al-Rasyidun dan selanjutnya dilanjutkan oleh rezim Umayyah kemudian rezim ‘Abbasiyah, di akhir pemerintahan ‘Abbasiyah Islam semakin merosot selama beberapa abad.
Di tengah-tengah keterrpurukan Islam muncullah tiga kerajaan besar, Kerajaan Turki ‘Uthmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pembahasan tentang Kerajaan Safawi, dari awal kemunculannya, kemajuan peradabannya hingga keruntuhan kerajaan tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kemuculan Dinasti Safawi?
2.
Bagaimana
kemajuan peradaban Dinasti Safawi?
3.
Bagaimana
keruntuhan Dinasti Safawi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kemunculan
Dinasti Safawi
Dinasti Safawi didirikan oleh Shah
Isma’il Safawi pada tahun 907 H/ 1501 M di Tabriz. Kerajaan Safawi adalah salah
satu dari tiga kerajaan besar di dunia Islam pada Abad Pertengahan. Dua yang
lainnya adalah Kerajaan ‘Uthmani
di Turki dan Kerajaan Mughal di India.[1]
Berbeda
dari dua kerajaan besar Islam lainnya (‘Uthmani dan Mughal), Kerajaan Safawi
menyatakan, shi’ah sebagai ideologi negara. Karena itu, kerajaan ini dianggap
sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.[2]
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan ‘Uthmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Shaikh Safi al-Din al-Ardabili yang hidup antara tahun 1252-1334 M dan nama Safawi itu terus dipertahankan samapai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[3]
Safi
al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Shi’ah yang keenam, Musa al-Kadhim.[4] Dia
belajar tasawuf dari seorang sufi yang bernama Shaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi
-yang dikenal dengan julukan Zahid al-Ghilani- yang hidup antara tahun
1218-1301 M di Jilan, dekat Laut Kaspia.[5]
Shaikh
Safi al-Din menikahi putri gurunya, dan setelah gurunya meninggal dunia dia
menggantikan kedudukan sang guru. Shaikh Safi al-Din menjadi guru tarekat
Safawiyah yang berpusat di Ardabil. Dia dikenal sebagai seorang sufi besar dan
dianggap keramat oleh para pengikutnya. Di bawah kepemimpinannya, tarekat ini
berkembang menjadi gerakan keagamaan yang berpengaruh di Persia, Suriah, dan
Anatolia, dan bahkan kemudian menjadi gerakan politik. Gerakan inilah yang
melahirkan Dinasti Safawi, yang berkuasa di Persia selama beberapa abad.[6]
Menurut
beberapa ahli sejarah, seperti Husen Muins, gerakan Safawiyah dapat dibedakan
menjadi dua fase, yaitu fase tarekat dan fase politik. Pada fase tarekat,
gerakan Safawiyah mempunyai dua corak, yaitu corak Sunni pada masa kepemimpinan
Safi al-Din dan Sadar al-din Musa bin Safi al-Din; dan corak Shi’ah pada masa
kepemimpinan cucu Safi al-Din, Khawaja ‘Ali dan Ibrahim.[7]
Pada fase
gerakan politik, gerakan Safawiyah berubah menjadi gerakan yang ingin membentuk
pemerintahan sendiri. Perubahan gerakan tarekat Safawiyah menjadi gerakan
politik terjadi pada masa kepemimpinan Junaid bin Ibrahim (1447-1460 M). Pada
saat itu, ada dua dinasti yang berasal dari bangsa Turki yang berkuasa di Persia,
yaitu Dinasti Kara Koyunlu yang dikenal dengan Black Sheep (Domba Hitam),
beraliran Shi’ah, dan berkuasa di bagian timur- dan Dinasti AK Koyunlu–yang
dikenal dengan White Sheep (Domba
Putih) beraliran Sunni, dan berkuasa di sebelah barat.[8]
Ketika
kegiatan politik Safawiyah mendapat tekanan dari Dinasti Kara Koyunlu, Junaid
pun meninggalkan Ardabil dan meminta suaka politik kepada raja Dinasti AK
Koyunlu yang bernama Uzun Hasan yang memerintah dari tahun 857-882 H/ 1453-1477
M. Keduanya menjalin persahabatan dan semakin akrab setelah Uzun Hasan
menikahkan adik perempuannya dengan Junaid. Setelah itu, keduanya bersekutu
menghadapi Dinasti Kara Koyunlu. Namun, sebelum cita-cita itu tercapai, Junaid
meninggal dunia, dan digantikan oleh putranya, Haidar (1460-1494 M). Pada masa
kepemimpinan Haidar, para pengikut Safawiyah memiliki atribut berupa serban
merah yang berumbai dua belas yang disebut Qizilbas (Kepala Merah).
Rumbai dua belas ini melambangkan Shi’ah Dua Belas dan berpengaruh menumbuhkan
fanatisme dan militansi para pengikut Shi’ah.[9]
Perjuangan
politik Safawiyah baru berhasil pada masa kepemimpinan Isma’il Safawi, putra
Haidar. Selama 5 tahun, dari tahun 1494-1499 M, Isma’il dan para pengikutnya
menghimpun kekuatan di Jilan untuk menaklukkan al-Koyunlu, yang berhasil
mengalahkan Kara Koyunlu.
Persekutuan
antara gerakan Safawiyah dengan AK Koyunlu pecah akibat persaingan politik.
Haidar terbunuh dalam suatu pertempuran di Syirwan. Perjuangannya kemudian
dilanjutkan oleh Isma’il (1501-1524 M) dan bersama pasukan Qizilbas-nya
berhasil menaklukkan Syirwan. Setelah itu, Isma’il menuju ke wilayah
al-Koyunlu. Dalam suatu pertempuran yang sengit di Sarur, dekat Nakchivan, pada
tahun 1501 M, Isma’il berhasil memenangkan peperangan dan memasuki Tabriz,
ibukota al-Koyunlu. Pada tahun itu juga dia memproklamasikan berdirinya Dinasti
Safawi dan menyatakan dirinya sebagai Shah (raja) yang pertama. Ia disebut juga Isma’il
I. Para pengikutnya menganggapnya sebagai manifestasi Tuhan di permukaan bumi.[10]
Shah
Isma’il Safawi adalah satu penguasa Dinasti Safawi yang terbesar. Dia
memerintah selama 23 tahun, dari tahun 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama
ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa
kekuatan AK Koyunlu di Hamdana (1503 M), menguasai Propinsi Kaspia di
Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakir (1505-1507 M), Baghdad dan
daerah barat daya Persia (1508 M) dan Sirwan (1509 M). Pada tahun 1510 M
terjadi peperangan antara Isma’il dan Shaihak Khan, keturunan Jengiz Khan yang
menyerbu Khurasan untuk kedua kalinya. Dalam peperangan ini Isma’il keluar sebagai pemenang dan berhasil
menguasai Khurasan, Herat, dan Merv. Dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah
kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile
Crescent), yaitu sebuah wilayah yang
membentang dari Laut Tengah hingga ke Teluk Persia, melewati Sungai Tigris dan
Sungai Eufrat.[11]
Tidak
sampai di situ, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap
menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki ‘Uthmani. Namun, Isma’il
bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci
golongan Shi’ah. Peperangan dengan Turki ‘Uthmani terjadi pada 6 September 1514
M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan militer Kerajaan ‘Uthmani,
dalam peperangan ini Isma’il I mengalami kekalahan, malah Turki ‘Uthmani di
bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi
terselamatkan dengan pulangnya Sultan Salim ke Turki karena terjadi perpecahan
militer di negerinya.[12]
Kekalahan
tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan Isma’il. Akibatnya, kehidupan
Isma’il I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan
berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negatif bagi Kerajaan Safawi, yaitu
terjadinya persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat
keturunan Persia, dan Qizilbas dalam merebut pengaruh untuk memimpin
kerajaan Safawi. Isma’il meninggal dunia pada tahun 1524 M dan digantikan oleh
anaknya, Tahmasp I (1524-1576 M). [13]
Rasa
permusuhan dengan kerajaan ‘Uthmani terus berlangsung sepeninggal Isma’il I.
Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali
pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M), dan
Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa raja tersebut, kerajaan Safawi
dalam keadaan lemah. Di samping karena sering terjadi peperangan melawan kerajaan
‘Uthmani yang lebih kuat, juga karena sering terjadi pertentangan antara
kelompok-kelompok di dalam negeri.[14]
Kondisi
memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah Shah ‘Abbas I naik tahta. Ia
memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh
oleh ‘Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah[15];
1. Berusaha
menghilangkan dominasi pasukan Qizilbas atas Kerajaan Safawi dengan cara
membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari
tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Shah
Tahmasp I.
2. Mengadakan
perjanjian damai dengan Turki ‘Uthmani. Untuk memenuhi ‘Abbas I terpaksa harus
menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan.
3. Berjanji
tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan ‘Uthman bin ‘Affan) dalam khotbah-khotbah Jumat.
Sebagai
jaminan atas syarat-syarat itu, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza
sebagai sandera di Istanbul. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut berhasil
membuat kerajaan Safawi kembali.
Berikut
adalah daftar para penguasa Kerajaan Safawi dan masa pemerintahannya.[16]
NO. |
NAMA |
TAHUN |
|
Isma’il
I |
1501-1524
M |
|
Tahmasp
I |
1524-1576
M |
|
Isma’il
II |
1576-1577
M |
|
Muhammad
Khudabanda |
1577-1587
M |
|
‘Abbas
I |
1588-1628
M |
|
Safi
Mirza |
1628-1642 M |
|
‘Abbas II |
1642-1667 M |
|
Sulaiman |
1667-1694 M |
|
Husein I |
1694-1722 M |
|
Tahmasp II |
1722-1732 M |
|
‘Abbas III |
1732-1736 M |
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
- DINASTI ABBASIYAH
- ISLAM DI SPANYOL
- DINASTI FATIMIYAH
- TURKI UTSMANI
- DINASTI SAFAWI DI PERSIA
- DINASTI MUGHAL
- ERA PENJAJAHAN DUNIA ISLAM
- ISLAM DI INDONESIA
B.
Kemajuan
Peradaban Dinasti Safawi
Ragam kemajuan yang telah diraih
pada masa Dinasti Safawiyah adalah
sebagai berikut:[17]
1.
Bidang
Politik
Pada
masa kekuasaan ‘Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi, ia mampu
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara
dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan
lain pada masa raja-raja sebelumnya.
2.
Bidang
Ekonomi
Stabilitas
politik Dinasti Safawi pada masa ‘Abbas I telah memacu perekonomian. Terlebih
setelah kepulauan Hormuz dikuasai dan Pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar
‘Abbas. Dengan dikuasai Bandar ini, maka salah satu jalur dagang laut antara
Timur dan Barat, yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis,
sepenuhnya menjadi milik Dinasti Safawi. Selain di bidang perdagangan, Dinasti
Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah Bulan
Sabit Subur.
3.
Bidang
Arsitektur
Penguasa
Safawi berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan, menjadi kota yang sangat
indah. Di kota ini berdiri bangunan-bangunan besar dengan arsitektur bernilai
tinggi dan indah, seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di
atas Zende Rud, dan Istana Chihil Sutun.
4.
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Beberapa
ilmuwan yang terkenal pada masa itu antara lain Baha’ al-Din Shairazi, seorang
generalis ilmu pengetahuan; dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad, seorang
filsuf, ahli sejarah, teolog, dan saintis –yang
pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, Dinasti Safawi
lebih maju dari kerajaan lainnya pada masa yang sama.[18]
5.
Bidang
Kesenian
Di
bidang kesenan, dinasti safawi juga mengalami kemajuan yang sangat pesat,
antara lain seni kerajian tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tenun,
dan tembikar. Seni lukis mulai dirintis pada masa Tahmasp I. Menurut catatan,
Isma’il I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis Timur bernama Bizhad ke
Tabriz.[19]
C.
Keruntuhan
Dinasti Safawi
Ada beberapa penyebab kemunduran
dan keruntuhan Dinasti (Kerajaan) Safawiyah, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya
konflik yang berkepanjangan dengan Kerajaan Turki ‘Uthmani. Berdirinya Kerajaan
Safawi bermadhab Shi’ah menjadi ancaman bagi Kerajaan Turki ‘Uthmani.
2.
Pasukan
Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh ‘Abbas I tidak mempunyai
semangat perjuangan yang tinggi.
3.
Sering
kali terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan
keluarga istana.
4.
Lemahnya
para sultan. Ini sebagai akibat dari tidak adanya sistem pengkaderan yang
terencana bagi calon penerus kekuasaan, lantaran dikhawatirkan menjadi bumerang
bagi raja yang mengkadernya, sekaligus mengambil alih kepemimpinan sebelum
waktunya. Sedangkan penyebab lainnya dari kelemahan mereka adalah disibukkan
oleh urusan kemewahan dan mabuk-mabukan.[20]
5.
Lemahnya
ekonomi. Penyebab lainnya ialah ketamakan para sultan dalam mendapatkan meriam
Eropa, sehingga mereka membebaskan niagawan Eropa dari bea masuk dan keluar
bagi komoditas Eropa serta Safawiyah. Akibatnya, pemasukan negara berkurang.
Selain itu, penggunaan uang negara demi mendukung kehidupan mewah kelauarga
raja juga mengurangi kas negara dalam jumlah banyak, sehingga gaji tentara juga
tidak terbayarkan.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota
di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu
yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan ‘Uthmani.
2. Kerajaan
Safawi menyatakan shi’ah sebagai ideologi negara, karena itu, kerajaan ini
dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.
3. Puncak
kejayaan Dinasti Safawi ketik dipimpin oleh Shah ‘Abbas I.
4. Kemunduran Safawi terjadi karena setelah
Abbas I tidak ada lagi pemimpin Safawi yang secakap Abbas I dalam hal
kepemimpinan dan terjadi konflik internal di dalam Kerajaan Safawi sendiri, di
tambah lagi konflik dengan Turki ‘Uthmani.
DAFTAR
PUSTAKA
Aized,
Rizem. Sejarah Peradaban
Islam Terlengkap, Yogyakarta: Diva Press, 2015.
Antonio,
Muhammad Syafii, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.
Brockelmann, Carl. Tarikh
al-Syu’ub al-Islamiyah, Beirut, Dar al-‘Ilm, 1974.
Hamka. Sejarah
Umat Islam, Vol. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hodgson, Marshal G. S. Hodgson. The Venture of Islam, Chicago: The University of Chicago Press,
1981.
[1] Muhammad Syafii
Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, (Jakarta: Tazkia
Publishing, 2012), 48.
[2] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 138.
[3] Ibid.
[4] Rizem Aized, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), 326.
[5] Muhammad Syafii
Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 50.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Hamka, Sejarah Umat Islam,
Vol. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 60.
[9] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 138.
[10] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia
Peradaban Islam, Vol. 8, 51.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 141.
[12] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia
Peradaban Islam, Vol. 8, 54.
[13] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, 142.
[14] Ibid.
[15] Carl Brockelmann, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, (Beirut,
Dar al-‘Ilm, 1974), 494.
[16] Carl Brockelmann, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, 495.
[17] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 55.
[18] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia
Peradaban Islam, Vol. 8, 55.
[19] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1981), 40.
[20] Rizem Aized, Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap, 333.
[21] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar