HOME

30 Maret, 2022

DINASTI SAFAWI DI PERSIA

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.     Latar Belakang

Dalam setiap dekade kehidupan, waktu terus berputar bagai roda, bagian yang bawah kadang ke atas dan sebaliknya. Begitu juga dengan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam.

Sepeninggal Rasulullah SAW. Islam sudah tersebar di seantero Jazirah Arab, Islam terus melakukan ekspansi di bawah kendali pada al-Khalifa’ al-Rasyidun dan selanjutnya dilanjutkan oleh rezim Umayyah kemudian rezim ‘Abbasiyah, di akhir pemerintahan ‘Abbasiyah Islam semakin merosot selama beberapa abad.

Di tengah-tengah keterrpurukan Islam muncullah tiga kerajaan besar, Kerajaan Turki ‘Uthmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pembahasan tentang Kerajaan Safawi, dari awal kemunculannya, kemajuan peradabannya hingga keruntuhan kerajaan tersebut.

 

    B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kemuculan Dinasti Safawi?

2.      Bagaimana kemajuan peradaban Dinasti Safawi?

3.      Bagaimana keruntuhan Dinasti Safawi?

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Kemunculan Dinasti Safawi

Dinasti Safawi didirikan oleh Shah Isma’il Safawi pada tahun 907 H/ 1501 M di Tabriz. Kerajaan Safawi adalah salah satu dari tiga kerajaan besar di dunia Islam pada Abad Pertengahan. Dua yang lainnya adalah Kerajaan ‘Uthmani di Turki dan Kerajaan Mughal di India.[1]

Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (‘Uthmani dan Mughal), Kerajaan Safawi menyatakan, shi’ah sebagai ideologi negara. Karena itu, kerajaan ini dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.[2]

Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan ‘Uthmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Shaikh Safi al-Din al-Ardabili yang hidup antara tahun 1252-1334 M dan nama Safawi itu terus dipertahankan samapai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[3]

Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Shi’ah yang keenam, Musa al-Kadhim.[4] Dia belajar tasawuf dari seorang sufi yang bernama Shaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi -yang dikenal dengan julukan Zahid al-Ghilani- yang hidup antara tahun 1218-1301 M di Jilan, dekat Laut Kaspia.[5]

Shaikh Safi al-Din menikahi putri gurunya, dan setelah gurunya meninggal dunia dia menggantikan kedudukan sang guru. Shaikh Safi al-Din menjadi guru tarekat Safawiyah yang berpusat di Ardabil. Dia dikenal sebagai seorang sufi besar dan dianggap keramat oleh para pengikutnya. Di bawah kepemimpinannya, tarekat ini berkembang menjadi gerakan keagamaan yang berpengaruh di Persia, Suriah, dan Anatolia, dan bahkan kemudian menjadi gerakan politik. Gerakan inilah yang melahirkan Dinasti Safawi, yang berkuasa di Persia selama beberapa abad.[6]

Menurut beberapa ahli sejarah, seperti Husen Muins, gerakan Safawiyah dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu fase tarekat dan fase politik. Pada fase tarekat, gerakan Safawiyah mempunyai dua corak, yaitu corak Sunni pada masa kepemimpinan Safi al-Din dan Sadar al-din Musa bin Safi al-Din; dan corak Shi’ah pada masa kepemimpinan cucu Safi al-Din, Khawaja ‘Ali dan Ibrahim.[7]

Pada fase gerakan politik, gerakan Safawiyah berubah menjadi gerakan yang ingin membentuk pemerintahan sendiri. Perubahan gerakan tarekat Safawiyah menjadi gerakan politik terjadi pada masa kepemimpinan Junaid bin Ibrahim (1447-1460 M). Pada saat itu, ada dua dinasti yang berasal dari bangsa Turki yang berkuasa di Persia, yaitu Dinasti Kara Koyunlu yang dikenal dengan Black Sheep (Domba Hitam), beraliran Shi’ah, dan berkuasa di bagian timur- dan Dinasti AK Koyunlu–yang dikenal dengan White Sheep  (Domba Putih) beraliran Sunni, dan berkuasa di sebelah barat.[8]

Ketika kegiatan politik Safawiyah mendapat tekanan dari Dinasti Kara Koyunlu, Junaid pun meninggalkan Ardabil dan meminta suaka politik kepada raja Dinasti AK Koyunlu yang bernama Uzun Hasan yang memerintah dari tahun 857-882 H/ 1453-1477 M. Keduanya menjalin persahabatan dan semakin akrab setelah Uzun Hasan menikahkan adik perempuannya dengan Junaid. Setelah itu, keduanya bersekutu menghadapi Dinasti Kara Koyunlu. Namun, sebelum cita-cita itu tercapai, Junaid meninggal dunia, dan digantikan oleh putranya, Haidar (1460-1494 M). Pada masa kepemimpinan Haidar, para pengikut Safawiyah memiliki atribut berupa serban merah yang berumbai dua belas yang disebut Qizilbas (Kepala Merah). Rumbai dua belas ini melambangkan Shi’ah Dua Belas dan berpengaruh menumbuhkan fanatisme dan militansi para pengikut Shi’ah.[9]

Perjuangan politik Safawiyah baru berhasil pada masa kepemimpinan Isma’il Safawi, putra Haidar. Selama 5 tahun, dari tahun 1494-1499 M, Isma’il dan para pengikutnya menghimpun kekuatan di Jilan untuk menaklukkan al-Koyunlu, yang berhasil mengalahkan Kara Koyunlu.

Persekutuan antara gerakan Safawiyah dengan AK Koyunlu pecah akibat persaingan politik. Haidar terbunuh dalam suatu pertempuran di Syirwan. Perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh Isma’il (1501-1524 M) dan bersama pasukan Qizilbas-nya berhasil menaklukkan Syirwan. Setelah itu, Isma’il menuju ke wilayah al-Koyunlu. Dalam suatu pertempuran yang sengit di Sarur, dekat Nakchivan, pada tahun 1501 M, Isma’il berhasil memenangkan peperangan dan memasuki Tabriz, ibukota al-Koyunlu. Pada tahun itu juga dia memproklamasikan berdirinya Dinasti Safawi dan menyatakan dirinya sebagai Shah (raja) yang pertama. Ia disebut juga Isma’il I. Para pengikutnya menganggapnya sebagai manifestasi Tuhan di permukaan bumi.[10]

Shah Isma’il Safawi adalah satu penguasa Dinasti Safawi yang terbesar. Dia memerintah selama 23 tahun, dari tahun 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamdana (1503 M), menguasai Propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakir (1505-1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508 M) dan Sirwan (1509 M). Pada tahun 1510 M terjadi peperangan antara Isma’il dan Shaihak Khan, keturunan Jengiz Khan yang menyerbu Khurasan untuk kedua kalinya. Dalam peperangan ini Isma’il  keluar sebagai pemenang dan berhasil menguasai Khurasan, Herat, dan Merv. Dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent),  yaitu sebuah wilayah yang membentang dari Laut Tengah hingga ke Teluk Persia, melewati Sungai Tigris dan Sungai Eufrat.[11]

Tidak sampai di situ, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki ‘Uthmani. Namun, Isma’il bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Shi’ah. Peperangan dengan Turki ‘Uthmani terjadi pada 6 September 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan militer Kerajaan ‘Uthmani, dalam peperangan ini Isma’il I mengalami kekalahan, malah Turki ‘Uthmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Salim ke Turki karena terjadi perpecahan militer di negerinya.[12]

Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan Isma’il. Akibatnya, kehidupan Isma’il I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negatif bagi Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbas dalam merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Safawi. Isma’il meninggal dunia pada tahun 1524 M dan digantikan oleh anaknya, Tahmasp I (1524-1576 M). [13]

Rasa permusuhan dengan kerajaan ‘Uthmani terus berlangsung sepeninggal Isma’il I. Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa raja tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah. Di samping karena sering terjadi peperangan melawan kerajaan ‘Uthmani yang lebih kuat, juga karena sering terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok di dalam negeri.[14]

Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah Shah ‘Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh oleh ‘Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah[15];

1.      Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbas atas Kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Shah Tahmasp I.

2.      Mengadakan perjanjian damai dengan Turki ‘Uthmani. Untuk memenuhi ‘Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan.

3.      Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan ‘Uthman bin ‘Affan) dalam khotbah-khotbah Jumat.

Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kembali.

Berikut adalah daftar para penguasa Kerajaan Safawi dan masa  pemerintahannya.[16]

NO.

NAMA

TAHUN

      1

Isma’il I

1501-1524 M

       2

Tahmasp I

1524-1576 M

       3

Isma’il II

1576-1577 M

       4

Muhammad Khudabanda

1577-1587 M

       5

‘Abbas I

1588-1628 M

       6

Safi Mirza

1628-1642 M

       7

Abbas II

1642-1667 M

       8

Sulaiman

1667-1694 M

       9

Husein I

1694-1722 M

       10

Tahmasp II

1722-1732 M

       11

Abbas III

1732-1736 M

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


    B.     Kemajuan Peradaban Dinasti Safawi

Ragam kemajuan yang telah diraih pada  masa Dinasti Safawiyah adalah sebagai berikut:[17]

    1.      Bidang Politik

Pada masa kekuasaan ‘Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi, ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.

    2.      Bidang Ekonomi

Stabilitas politik Dinasti Safawi pada masa ‘Abbas I telah memacu perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hormuz dikuasai dan Pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar ‘Abbas. Dengan dikuasai Bandar ini, maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat, yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sepenuhnya menjadi milik Dinasti Safawi. Selain di bidang perdagangan, Dinasti Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah Bulan Sabit Subur.

    3.      Bidang Arsitektur

Penguasa Safawi berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota ini berdiri bangunan-bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah, seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan Istana Chihil Sutun.

    4.      Bidang Ilmu Pengetahuan

Beberapa ilmuwan yang terkenal pada masa itu antara lain Baha’ al-Din Shairazi, seorang generalis ilmu pengetahuan; dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad, seorang filsuf, ahli sejarah, teolog, dan saintis –yang  pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, Dinasti Safawi lebih maju dari kerajaan lainnya pada masa yang sama.[18]

    5.      Bidang Kesenian

Di bidang kesenan, dinasti safawi juga mengalami kemajuan yang sangat pesat, antara lain seni kerajian tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tenun, dan tembikar. Seni lukis mulai dirintis pada masa Tahmasp I. Menurut catatan, Isma’il I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis Timur bernama Bizhad ke Tabriz.[19]

    C.    Keruntuhan Dinasti Safawi

Ada beberapa penyebab kemunduran dan keruntuhan Dinasti (Kerajaan) Safawiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:

    1.      Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Kerajaan Turki ‘Uthmani. Berdirinya Kerajaan Safawi bermadhab Shi’ah menjadi ancaman bagi Kerajaan Turki ‘Uthmani.

    2.      Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh ‘Abbas I tidak mempunyai semangat perjuangan yang tinggi.

    3.      Sering kali terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

    4.      Lemahnya para sultan. Ini sebagai akibat dari tidak adanya sistem pengkaderan yang terencana bagi calon penerus kekuasaan, lantaran dikhawatirkan menjadi bumerang bagi raja yang mengkadernya, sekaligus mengambil alih kepemimpinan sebelum waktunya. Sedangkan penyebab lainnya dari kelemahan mereka adalah disibukkan oleh urusan kemewahan dan mabuk-mabukan.[20]

    5.      Lemahnya ekonomi. Penyebab lainnya ialah ketamakan para sultan dalam mendapatkan meriam Eropa, sehingga mereka membebaskan niagawan Eropa dari bea masuk dan keluar bagi komoditas Eropa serta Safawiyah. Akibatnya, pemasukan negara berkurang. Selain itu, penggunaan uang negara demi mendukung kehidupan mewah kelauarga raja juga mengurangi kas negara dalam jumlah banyak, sehingga gaji tentara juga tidak terbayarkan.[21]

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan ‘Uthmani.

2.   Kerajaan Safawi menyatakan shi’ah sebagai ideologi negara, karena itu, kerajaan ini dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.

3.      Puncak kejayaan Dinasti Safawi ketik dipimpin oleh Shah ‘Abbas I.

4.  Kemunduran Safawi terjadi karena setelah Abbas I tidak ada lagi pemimpin Safawi yang secakap Abbas I dalam hal kepemimpinan dan terjadi konflik internal di dalam Kerajaan Safawi sendiri, di tambah lagi konflik dengan Turki ‘Uthmani.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Aized, Rizem. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta: Diva Press, 2015. 

Antonio, Muhammad Syafii, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.

Brockelmann, Carl. Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, Beirut, Dar al-‘Ilm, 1974.

Hamka. Sejarah Umat Islam, Vol. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hodgson, Marshal G. S. Hodgson. The Venture of Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1981.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.


[1] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), 48.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 138.

[3] Ibid.

[4] Rizem Aized, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), 326.

[5] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 50.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Hamka, Sejarah Umat Islam, Vol. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 60.

[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 138.

[10] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 51.

[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 141.

[12] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 54.

[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 142.

[14] Ibid.

[15] Carl Brockelmann, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, (Beirut, Dar al-‘Ilm, 1974), 494.

[16] Carl Brockelmann, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, 495.

[17] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 55.

[18] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, Vol. 8, 55.

[19] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), 40.

[20] Rizem Aized, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, 333.

[21] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...