SUMPAH-SUMPAH DALAM AL-QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Alquran
adalah firman Allah yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi
petunjuk bagi seluruh manusia. Secara Istilah, Alquran adalah firman
Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad,
ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan menjadi ibadah dengan
membacanya.
Nabi
Muhammad sebagai penerima dan penyampai Alquran adalah Nabi terakhir sebagaimana dalam Surat al-Ahzab ayat 34:
وَاذْكُرْنَ
مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu).[1]
Tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelahnya. Ini artinya tidak
akan ada lagi kitab samawi lain yang diturunkan. Alquran adalah kitab samawi
terakhir yang diturunkan oleh Allah sampai akhir zaman.
Alquran
yang merupakan kumpulan dari firman-firman Allah berperan sebagai pembeda
antara hak dan yang bathil al-furqan:
هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ
لِلْمُتَّقِينَ
“Alquran ini adalah penerangan bagi
seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran
bagiorang-oangyangbekerja”.[2]
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa
Alquran mempunyai cakupan yang sangat luas, baik untuk
kehidupan dunia maupun akhirat.Tetapi keluasan cakupan masalah yang dibahas
ini tidak didukung dengan metode pembahasan yang sistematis. Suatu masalah yang dibahas di berbagai
tempat, bukan pada satu ayat atau surat. Meminjam istilah Quraish Syihab, Alquran
tidak menggunakan metode sebagai mana metode penyusunan karya-karya
ilmiah.Buku-buku ilmiah yang membahas suatu masalah pasti menggunakan metode
tertentu, dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat dalam
Alquran yang didalamnya terdapat permasalahan induk silih berganti
diterangkan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah /2:216-221
yang berisi tentang pengaturan hukum perang dalam asyhur-al-hurum, tetapi
secara berurutan dibahas juga hukuman minuman keras, perjudian, persoalan anak
yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Berbagai masalah
yang dibicarakan dalam Alquran diantaranya adalah sumpah Allah. Orang boleh
saja heran, mengapa Allah banyak bersumpah dalam Alquran.Keheranan tersebut
muncul karena mereka tidak mengerti tentang idiom dalam Alquran serta perbedaan
kesiapan individu dalam menerima kebenaran firman Tuhan.
Kesiapan
jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahaya itu
berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternoda kejahatan akan
segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta
berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas
kilas.
Sedang
jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebatilan tidak akan
tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yamg
kuat lagi kokoh, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya itu.
Qasam (sumpah) dalam pembicaraan, termasuk salah satu uslub pengukuhan
kalimat yang diselingi dengan bukti konkrit dan dapat menyeret lawan untuk
mengakui apa yang diingkarinya.
Makalah
ini akan memberikan sedikit gambaran tentang pengertian ilmu aqsamul Qur’an,
macam-macam qasam, unsur-unsur qasam dan ungkapan, serta faedah qasam
dalam Alquran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi Aqsamul Qur’an dan bentuk-bentuknya?
2.
Apakah definisi Muqsam Bih?
3.
Apakah definisi Muqsam Alaih?
3.
Apakah Macam-macam Qasam/atau
sumpah dalam Alquran?
4.
Apakah faedah yang terdapat dalam
aqsamul Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aqsamul Qur’an dan Bentuk-bentuknya
Secara
etimologi kata Aqsama merupakan bentuk jamak dari Qasama yang
artinya sumpah. Adapun kata yang memiliki makna sama dengan kata qasama adalah yamin atau al-h}alf. Tentang yamin, Ibrahim Anis
dkk seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution mengatakan bahwa qasam
sama dengan yamin yang bermakna sumpah. Qasam dan yamin
adalah dua kata sinonim yang berarti sama. Qasam didefinisikan sebagai
“mengikat hati jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan
suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu.
Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan) karena orang arab
ketika bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya. Selain Qasam sama
dengan yamin, Qasam juga sama dengan h}alf.[3]
Sedangkan
secara terminologi ilmu Aqsam Alquran adalah ilmu yang membicarakan
tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam Alquran. Kemudian yang dimaksud sumpah sendiri
adalah sesuatu yang digunakan untuk menguatkan pembicaraan. Menurut al-Jurjani
seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution sumpah adalah sesuatu yang
dikemukakan untuk menguatkan salah satu dari dua berita dengan menyebutkan nama
Allah atau sifatnya.
Adapun
bentuk-bentuk Aqsam Alquran adalah sebagai berikut:
1. Bentuk
pertama
Sebagaimana sudah disebutkan, bahwa sighat (bentuk) yang asli dalam sumpah itu ialah bentuk yang terdiri dari tiga unsur, yaitu fi’il sumpah yang di-muta’addi-kan dengan “ba” muqsam bih dan muqsam alaih. Kemudian fi’il yang dijadikan sumpah itu bisa lafal aqsamu, ah}lifu atau ashhidu yang semuanya berarti “bersumpah”. Contohnya seperti dalam ayat 53 surat al-Nur:
وَاَقْسَمُوْا بالله جَهْدَ اَيْمَانِهِمْ (النور:53 )
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah
sekuat-kuat sumpah”.[4]
Bahkan terkadang huruf ba’ itupun diganti dengan wau, seperti surat al-Lail ayat 1:
والّيْلِ اِذَا يَغْشى (اليل: 1)
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”.[5]
Atau diganti dengan huruf ta’, seperti dalam surat al-Anbiya’ ayat 57:
تَالله لاَ كَيْدَنَّ اَصْنَامَكُمْ (الانبياء:57)
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”.[6]
2. Bentuk
kedua: ditambah huruf la.
Kebiasaan orang yang bersumpah itu memakai berbagai macam bentuk, yang berarti merupakan sighat-sighat yang tidak asli lagi. Begitu pula di dalam Alquran, banyak terdapat juga sighat-sighat sumpah lain, disamping yang asli. Misalnya sighat yang ditambah huruf “la” di depan fi’il qasam-nya. Contohnya seperti dalam surat al-Inshiqaq ayat 16:
فلاَ اُقْسمُ بِالشَّفَقَ (الانشقاق:16)
3. Bentuk
ketiga: ditambah kata Qul Bala (قل بلي)
Sighat ini adalah untuk membantah atau menyanggah
keterangan yang tidak benar. Tambahan “Qul Bala” itu adalah untuk
melengkapi ungkapan kalimat yang sebelumnya, yang berisi keterangan yang tidak
betul, yaitu kalimat:
كَفَرُوْا لاَ ثَاءْثِيْنَ السَّاعَة الَّذِيْنَ وَقَالَ
“Dan
orang-orang yang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada
kami”.[7]
Sehingga Allah memerintahkan
supaya dijawab dengan positif bahwa pasti datang hari kiamat itu. Seperti dalam surat Saba’ ayat 3:
قُلْ بَلي وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ
“Katakanlah: Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib”.[8]
4. Bentuk keempat: ditambah kata-kata Qul Iiy (قل اِيْ)
Kadang-kadang sumpah dalam Alquran itu ditambah dengan kata-kata “ Qul Iiy” yang berarti benar. Seperti dalam surat Yunus ayat 53:
قُلْ اِيْ وَرَبِّي اِنَّهُ لَحَقْ (يونس:53)
“Katakanlah: Ya, demi Tuhanku,
sesungguhnya azab itu adalah benar”.[9]
B.
Muqsam Bih
Muqsam bih
adalah lafad yang terletak sesudah adat qasam yang dijadikan sebagai
sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat. Muqsam bih atau
mah}luf bih, maksudnya adalah sesuatu yang dengannya sumpah dilakukan. Misalnya
Allah bersumpah dengan Allah sendiri atau dengan sebagian makhluk-Nya.[10]
Allah dalam Alquran bersumpah dengan Dzatnya sendiri Yang
Maha Suci atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya Yang Maha Besar.
Contoh Allah bersumpah
dengan dzat-Nya sendiri:
قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (التغابون: 7)
“Katakanlah: Memang,
demi Tuhanku benar-benar engkau akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[11]
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu
menunjukkan pada Pencipta-Nya, yaitu Allah di samping menunjukkan pula akan
keutamaan dan kemanfaatan makluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi
manusia.
Contoh Allah bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya:
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا (الشمس: 1)
“Demi matahari dan
cahanya di pagi hari.”[12]
Baca artikel lain yang berkaitan;
C.
Muqsam
‘Alaih
Muqsam ‘alaih
adalah bentuk jawaban dari syarat yang telah disebutkan sebelumnya (muqsam
bih). Posisi Muqsam ‘alaih terkadang bisa menjadi taukid,
sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam
adalah untuk men-taukidi muqsam ‘alaih dan men-tahkik-annya.[13]
Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan, namun terkadang ada juga yang dihilangkan,
sebagaimana jawab “lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah:
كَلَّا
لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (التكاثر)
”Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin”.[14]
Penghilangan
seperti ini merupakan bentuk/ uslub penghilangan yang
paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya. Dan takdir ayat ini
adalah: “Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin,
tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya”.
Penghilangan jawab qasam, misalnya:
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ
“ Demi fajar, dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil.”[15]
Jawab qasam terkadang dihilangkan
karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan sesudahnya seperti:
لَا
أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
(القيامة: 1-2)
“Tidak aku bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela”.[16]
Jawab qasam disini sudah
dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya yaitu:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ
نَجْمَعَ عِظَامَهُ (القيامة: 3)
“Apakah manusia
mengira bahwa Kami tidak akan menggumpulkan kembali tulang belulangnya?”.[17]
Takdirnya adalah : Sungguh kamu akan dibangkitkan dan
dihisab.
Untuk fi’il mad}i yang muttas}arif yang tidak didahului ma’mul, maka
jawab qasam-nya sering kali
menggunakan “lam” atau “qad”
Contoh:
يَقُولُ
الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ (القيامة: 10)
“Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”.[18]
D.
Macam-Macam Qasam
Qasam itu adakalanya zahir
(jelas,tegas) dan adakalanya mudmar (tidak jelas, tersirat).[19]
1. Zahir adalah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il
qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasam-nya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf
jar, berupa “ba”, “wau”, dan “ta”. Di beberapa tempat, fi’il qasam
terkadang didahului (dimasuki) “la” nafy, seperti:
لَا
أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
(القيامة: 1-2)
“Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.[20]
Dikatakan “la” di dua tempat ini adalah “la” nafi yang berarti tidak, untuk me-nafi-kan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan takdir (perkiraan arti) nya adalah: “Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada”. Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: “Aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”. Dikatakan pula bahwa “la” tersebut untuk me-nafi-kan qasam, seakan-akan Ia mengatakan: “Aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi aku bertanya kepadanya tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Sungguh masalahnya teramat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah”, tetapi dikatakan pula, “la” tersebut zaidah (tambahan). Pernyataan jawab qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan tetapi telah ditunjukkan oleh perkataan yang sesudahnya. Takdirnya adalah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.
2.
Mud}mar adalah sumpah yang didalamnya tidak
dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia
ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk ke dalam jawab qasam,
seperti firman Allah:
لَتُبْلَوُنَّ فِي اَمْوَلِكَمْ وَ اَنْفُسِكُمْ (ال
عمران:186 )
“ Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan
dirimu”.[21]
E. Faedah Qasam Dalam Alquran
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa
kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai
tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam
ilmu ma’ani disebut adrub
al-khabar al-thalasah atau tiga macam pola
penggunaan kakimat berita, ibtida’i, t}alabi, dan ingkari.
Mukhatab terkadang seorang yang berhati kosong
(khaliyuz zhanni) sama saekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan
(hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya
tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian
dinamakan ibtida’i.[22]
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan
yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya
diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya.Perkataan yang
demikian dinamakan t}alabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Maka
pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai dengan kadar keingkarannya,
kuat atau lemah. Pernyataan demikian dinamakan inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Alquran diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.
Baca artikel lain yang berkaitan;
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, ‘Amir Abdul. Dirasat fi Ulumil
Qur’an, Beirut: Dar al-Furqan, 1983.
Departemen Agama, Alquran dan
Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.
Nasution, Hasan
Mansur. Rahasia Sumpah Allah, Bandung:
Mizan, 1992.
Qathan, Manna’ Khalil.
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka
Lentera Antar Nusa, 2010.
Syadzali, Ahmad. Ulumul
Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia, 2000.
[1] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 418.
[2] Ibid., 50.
[3] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2010), 123.
[4] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 418.
[5] Ibid., 595.
[6] Ibid., 322.
[7] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 428.
[8] Ibid.
[9] Ibid., 208.
[10] ‘Amir Abdul Aziz, Dirasat fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Dar al-Furqan, 1983), 350.
[11] Departemen Agama, Alquran dan
Terjemahannya, 556.
[12] Ibid., 595.
[13] Ahmad Syadzali, Ulumul
Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 131.
[14] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 600.
[15] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 593.
[16] Ibid., 577.
[17] Ibid.
[18] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 577.
[19] Manna’ Khalil Qathan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Lentera Antar
Nusa, 2010), 125.
[20] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 577.
[21] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 50.
[22] Hasan
Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah, (Bandung: Mizan, 1992), 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar