HOME

11 Maret, 2022

SANAD DAN MATAN HADIS


 

 
BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang Masalah

Autentisitas, memang menjadi wacana yang terlalu penting untuk dilewatkan dalam kajian hadis. Hadis sebagai pedoman yang cukup menginspirasi manusia dalam dinamika kehidupannya, pula sebagai bekal serta sokongan bagi orang yang tengah mengejar nilai-nilai kebenaran, kini tengah dipertanyakan banyak orang keotentikannya bila dihadapkan pada realita sejarah. Realita historis peradaban Islam yang tak pernah bisa lepas dari noda hitam sepanjang perjalanannya banyak mengundang rasa skeptis berhimpun di benak para pengkaji intelektual.

            Bukan lagi mempersoalkan tentang posisi hadis dalam bingkai keagamaan, karena terlalu gegabah untuk diabaikan dalam kehidupan beragama.

!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ [1] 

Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

 

Namun yang lebih diperhitungkan adalah, bagaimana upaya purifikasi dengan mengandalkan pertolongan dari kenyataan sejarah ini, berhasil membuktikan autentisitas teks agama dan sejauh mana otoritas elemen-elemen di dalamnya bernilai akurat.

            Disini, transmisi menjadi poin pertama yang perlu ditinjau lebih mendalam, karena berhubungan erat dengan keabsahan historis, tanpa melupakan tinjauan esensi atau Matan hadis. Proses transmisi teraplikasikan melalui sistem sanad. Aplikasinya mirip dengan rantai, saling sambung menyambung, hingga pada akhirnya jika terdapat seseorang yang meriwayatkan sebuah hadis, bisa ditelusuri balik ke belakang hingga rantai dapat terpautkan kepada Nabi SAW. Sekali lagi, guna mencapai tingkat kebenaran yang tak lagi samar. Sehingga sudah barang pasti, hadis tak akan eksis sampai kini tanpa keberadaan sanad dan Matan. Karena keduanya merupakan komponen vital yang tak bisa dipisahkan.

 Pembahasan dalam disiplin ilmu hadis pun tak pernah lepas dari kedua hal ini. Sanad menjadi materi utama penelitian muhadisin dan lebih di dahulukan daripada Matan. Hal itu terjadi karena muhadisin berpendapat jika sanad sebuah hadis sudah lulus verifikasi, maka sangat kecil kemungkinan adanya kecacatan atau kepalsuan pada Matan.

Untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut tentang sanad dan Matan hadis, dalam makalah ini penulis akan memaparkan definisi serta unsur-unsur sanad dan Matan. Membahas peran sanad dalam dokumentasi hadis. Menelaah lebih lanjut metode penulisan keduanya jika dilihat dari segi kelengkapan, sumber berita dan penilaian sanad dan Matan hadis. Juga mencoba menelisik kandungan Matan secara umum.

  

    B.  Rumusan Masalah

1.    Apakah yang dimaksud dengan sanad dan Matan? Jelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam sanad dan Matan!

2.    Bagaimana peran sanad terhadap dokumentasi hadis?

3.    Bagaimana metode penulisan sanad dan Matan bila dilihat dari segi kelengkapan sanad, segi sumber berita sanad dan segi penilaian sanad dan Matan?

4.    Seperti apa kandungan Matan secara umum?       

 

    C.  Tujuan Penelitian

1.    Mengetahui definisi dan unsur-unsur sanad dan Matan

2.    Mengetahui korelasi antara sanad dan dokumentasi hadis

3.    Mengetahui metode penulisan sanad dan Matan hadis dilihat dari segi kelengkapan sanad, sumber berita sanad dan penilaian sanad dan Matan hadis

4.    Mengerti kandungan Matan secara umum

 

    D.  Kegunaan Penelitian

1.    Memberikan wawasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan sanad dan Matan bagi penulis dan pembaca makalah.

2.    Untuk menjelaskan lebih spesifik tentang korelasi sanad dengan dokumentasi hadis, beserta metode penulisannya dilihat dari beberapa sisi.

 

    E.  Kerangka Makalah

Bab I:  Pendahuluan

a.       Latar belakang masalah

b.      Rumusan masalah

c.       Tujuan penelitian

d.      Kegunaan Penelitian

e.       Kerangka Makalah

Bab II: Pembahasan

a.    Studi terminologi sanad dan Matan

1.      Definisi sanad dan Matan

2.      Unsur-unsur sanad dan Matan

b.    Antara sanad dan dokumentasi hadis

1.      Dokumentasi sanad hadis

2.      Peran sanad dalam dokumentasi hadis

c.    Metode penulisan sanad dan Matan hadis

1.      Menurut kelengkapan sanad

d.   Kandungan Matan hadis secara umum

Bab IV: Penutup

Daftar pustaka


BAB II

PEMBAHASAN 

    A.    STUDI TERMINOLOGI SANAD DAN MATAN

1.      Definisi Sanad dan Matan

Secara bahasa, sanad berasal dari kata sanada yasnudu sunudan.[2] Sanad berarti

ماارتفع من الأرض في قبل الجبل أو الوادي[3]

       “Tanah yang tinggi di muka/bukit gunung atau wadi.”[4] 

Tidak jauh berbeda, menurut Ibn Jama‘ah ia berarti

ما ارتفع و علا من سفح الجبل

“Tanah yang muncul naik dan meninggi di kaki bukit”

 

Dalam bahasa Arab, dikatakan si fulan sanad atau dalam kata lain mu’tamad yang berarti ia menjadi sandaran, pegangan ataupun pedoman.[5] Dengan kata lain sanad secara bahasa berarti pedoman dan sandaran. Ia juga berarti tinggi, karena sanad meninggikan atau mengangkat hadis ke atas menuju sumbernya dalam hal ini adalah Nabi SAW.

Sedangkan isnad secara bahasa mempunyai arti menyandarkan, mengangkat, mengasalkan. Maksudnya

رفع الحديث إلى قائله

       “Menyandarkan hadis kepada orang yang  mengatakannya”

maupun


عزو الحديث إلى قائله

       “Mengasalkan hadis kepada orang yang mengatakannya.”[6]

Menurut al-Tibby makna sanad dan isnad berdekatan, hampir sama, melihat berpegangnya muhadisin kepada keduanya dalam penelitian keabsahan hadis. Bahkan Ibn Jama‘ah menegaskan bahwa muhadisin menggunakan kedua istilah tersebut untuk satu hal yang sama.[7]

Sementara, sanad secara terminologis adalah

سلسلة الرجال الموصلة للمتن[8]

       “Rangkaian mata rantai para perawi yang menghubungkan ke Matan hadis.”

Sedangkan menurut Ibn Jama‘ah

الإخبار عن طريق المتن

       “Berita tentang jalan Matan

Disebut demikian, karena muhadisin berpegang dan bersandar pada jalan-jalan Matan, yakni sanad dalam meneliti keabsahan hadis. Sementara Ibn Hajar dalam Sharh Nukhbah mengatakan definisi sanad atau isnad adalah

الطريق الموصلة إلى المتن

       “Jalan yang menghubungkan ke Matan.”[9]

 

Kiranya bagi penulis, berbagai pendapat ulama ini tidak jauh berbeda, kesemuanya sepakat bahwa sanad adalah sarana ataupun jalan untuk menuju ke substansi hadis. Jalan tersebut berisi rangkaian para perawi dari setiap zaman yang meriwayatkan Matan dari Rasulullah SAW. Yang kemudian, jalan ini menjadi sandaran para muhadis untuk menilai keotentikan substansi hadis.

Beralih ke Matan, Matan secara umum adalah esensi dari hadis nabawi. Matan berisi pesan-pesan agama beserta pedoman dalam hidup dan beragama. Secara bahasa al-matn berarti

ما صلب من الأرض وارتفع

“tanah yang keras dan tinggi”[10]

Sementara al-matanah mempunyai makna kuat dan keras. Jamak dari Matan adalah mutun. kata matin termasuk asma Allah bermakna Yang sangat amat kuat, tidak lelah dalam melakukan apapun. Disebut juga dalam Al-Qur’an

¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rèŒ Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ[11]  

       “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai          kekuatan lagi sangat kokoh.”    

 

Matan secara terminologis adalah

ألفاظ الحديث التي تتقوم بها المعاني

       “ Lafal-lafal hadis yang mengandung berbagai makna”[12]

 

Begitulah perspektif al-Tibby sebagaimana yang diungkapkan Suyuti dalam Tadrib Al-Rawi. Berbeda dengan Ibn Hajar dan Ibn Jama‘ah. Kedua ulama ini hampir sama dalam mendefinisikan Matan. Menurut kedua ulama tersebut Matan ialah

ما ينتهي إليه غاية السند من الكلام

       “Perkataan yang menjadi ujung sanad.”[13]

 

Bila diperhatikan, terdapat korelasi antara makna secara bahasa dan terminologi. Matan tidak hanya sekedar berisi lafal-lafal hadis yang merupakan substansi dan inti dari hadis, namun lebih dari itu. Berkat sokongan dari sanad, yang telah mengangkat Matan ke para perawi yang membawanya, sampai menuju ke sumber aslinya. ia menjadi bernilai tinggi, keabsahan teruji, otoritasnya pun kuat, padat sebagaimana tanah yang meninggi dan mengeras padat. Matan pun pada akhirnya menjadi suatu hal yang tidak gampang dijatuhkan otoritasnya, apalagi diragukan kandungannya. 

al-Tibby memaparkan dalam al-Khulasah miliknya, Matan selanjutnya diperdebatkan oleh para ulama. Apakah ia perkataan sahabat dari Rasulullah SAW tentang ini itu, ataukah ia adalah sabda Rasulullah SAW semata? al-Tibby berpendapat bahwa pendapat pertama yang lebih tepat, karena telah disepakati bersama bahwa sunah mencakup ucapan, tindakan dan statement. Terlebih ulama salaf menyatakan bahwa hadis mencakup perkataan sahabat dan tabiin, jejak maupun fatwa-fatwa mereka. Melihat hal ini, Nampak al-Tibby menganut pendapat mayoritas ulama hadis bahwa hadis dan khabar  sama, tidak berbeda. Ia tidak termasuk golongan yang mempunyai perspektif bahwa hadis adalah yang bersumber dari Nabi SAW, sedang tidak begitu dengan khabar. Dikatakan khabar bila berasal dari selain Nabi SAW, seperti sahabat. Ditambah, dirinya juga menegaskan bahwa hadis lebih umum dari sekedar yang sabda, tindakan, statement yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. [14]

Penulis pun mengamini perkataan al-Tibby, mengingat pengkerucutan Matan hanya pada sabda Rasulullah SAW saja, menyebabkan perkataan maupun tindakan sahabat dan tabiin tidak bisa masuk dalam kategori Matan. Padahal, dalam kaidah disiplin ilmu hadis terdapat macam-macam hadis seperti hadis mauquf dan maqtu yang notabene bersumber dari sahabat dan tabiin. Sehingga apabila pendapat kedua menjadi panutan, tak ayal hal terburuk yang akan terjadi ialah, kaidah dalam disiplin ilmu hadis menjadi tumpang tindih dan rancu.

            Dengan demikian, setelah membaca semua penjelasan diatas, apabila terdapat sebuah hadis, misalnya

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه (أخرَجَه البُخَارِي)[15] 

Maka yang disebut sanad dari hadis tersebut ialah

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ.

Dan bagian yang disebut Matan adalah

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه


2.      Unsur-unsur sanad dan Matan

Dari contoh hadis diatas, bisa dilihat sanad dan Matan dalam sebuah hadis terdiri atas beberapa unsur :

        a.       Lambang periwayatan

        b.      Perawi dan mukharrij

        c.       Esensi hadis

 

    a.       Lambang Periwayatan

Lambang periwayatan yang dimaksud adalah seperti lafal حَدَّثَنَا,  أخْبَرَنِى  ,   سَمِعْتُ. Yakni, ungkapan-ungkapan yang menjelaskan keterkaitan, berupa pertemuan antar perawi hadis. Dalam meriwayatkan hadis, setiap perawi akan menyandarkan berita yang mereka bawa dengan menggunakan ungkapan seperti diatas, untuk melambangkan bertemu langsung dengan perawi sebelumnya atau tidak.[16] Sehingga, bisa dikatakan lambang periwayatan adalah bentuk pertanggung jawaban seorang perawi ketika meriwayatkan sebuah hadis. Karena perawi diharuskan memakai ungkapan yang mewakili kondisinya ketika menerima hadis tersebut dari pendahulunya.

Dari segi bahasa, ungkapan haddathana, akhbarana, mempunyai arti yang sama: diberitakan kepada kami. Namun, makna implisit dari kedua ungkapan tidak sesederhana itu. Keduanya tidak sama karena mengandung metodologi yang berbeda. Begitu juga dengan ungkapan ‘an, secara kasat mata memang berarti diriwayatkan dari sebelumnya, seperti halnya lafal-lafal yang lain yang mempunyai inti makna tersebut. Akan tetapi dalam disiplin ilmu hadis, tepatnya dalam wacana tahammul wa al-‘ada’, tiap lambang periwayatan mendeksripsikan kondisi yang beraneka ragam. Diantaranya :

        1.      حَدَّثَنَا / حَدَّثَنِي / سَمِعْتُ : Ketiga lambang tersebut mendeskripsikan bahwa seorang perawi mendapat hadis dengan metode al-sama‘, dimana ia sebagai murid mendengarkan guru meriwayatkan hadis kepadanya secara langsung. Abdul Majid Khon mengatakan dalam kondisi ini, guru memang terlihat lebih aktif, karena guru membaca, murid tinggal mendengarkan saja. Namun, sebenarnya murid pun dituntut lebih aktif, karena ia dituntut untuk mampu menirukan, menghafal sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Selanjutnya, bila seorang murid ini mendapatkan hadis dari gurunya ketika bersamaan dengan murid-murid yang lain, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنَا. Sedangkan, bila dirinya hanya sendirian ketika itu, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنِي. Sanad yang menggunakan salah satu lambang periwayatan diatas di segala tingkatan dihukumi muttasil (bersambung).[17]     

        2.      أخْبَرَنِى / أخْبَرَنا /قرأتُ عَلَيْهِ : Inilah lambang periwayatan yang menunjukkan metode al-‘ard atau al-qira’ah. Dimana seorang perawi sebagai murid membaca di hadapan gurunya. Guru hanya mengiyakan apabila bacaan hadisnya benar dan menyalahkan jika bacaannya salah lalu membetulkannya. Bisa juga dikatakan metode al-‘ard jika murid lain membaca hadis di hadapan gurunya dan perawi hadis ini turut menyimak dan mendengarkan. Metode ini serupa dengan metode pengajaran di pesantren yang lebih dikenal dengan istilah sorogan. Lambang periwayatan ini juga masih dihukumi muttasil.[18]

        3.      أَنْبَأنَا / أَنْبَأنِي : Dipakai untuk mewakili metode al-ijazah. Dalam metode ini guru memberikan izin kepada muridnya. Murid diberi hak untuk meriwayatkan hadis yang terdapat dalam kitab gurunya. Dengan demikian hadis yang disampaikan lewat metode ini ialah hadis-hadis yang telah terhimpun dalam naskah atau kitab. Disamping itu, guru pun dapat memberikan ijazah atau perizinan untuk satu kitab saja maupun lebih. Semua kembali kepada kehendak guru, dengan melihat kapabelitas muridnya.  Metode ini resmi teraplikasikan ketika guru mengatakan “ajaztu laka kadza” kepada si murid. Lalu murid menjawabnya dengan ungkapan “qabilna”. Begitulah bentuk ijab kabul dalam metode al-ijazah.[19]  Sehingga, untuk menilai sanad dengan lambang periwayatan ini, pakar ilmu hadis perlu melihat kembali kualitas periwayatan antara guru dengan murid beserta naskah/kitab yang diijazahkan.  

        4.      قَالَ لِي  / ذَكَرَ لِي  : Qala liy (ia berkata kepadaku) atau dhakara liy (ia menyebutkan kepadaku) digunakan perawi bila ia berada dalam kondisi al-sama‘ al-mudzakarah. Yakni, guru membacakan hadis dan murid mendengar dalam konteks mengajar, bukan bermaksud berada dalam konteks meriwayatkan. Tentunya kedua belah pihak tidak siap dan optimal bila dianggap sebagai proses periwayatan. Berbeda bila kedua belah pihak berada dalam konteks periwayatan. Pastinya, guru dan murid telah siap untuk memberi atau menyampaikan hadis dan menerimanya. Lambang periwayatan ini masih diperselisihkan para ulama, apakah ia termasuk dihukumi muttasil sebagaimana al-sama‘.

Sebagian ulama berpendapat bahwa lafal qala liy menunjukkan metode al-sama‘ bila tidak mengandung unsur-unsur tadlis (pemalsuan). Bahkan dalam muqaddimah Sahih Bukhari yang diambil dari Ibn Mulqan dipaparkan bahwa lambang periwayatan diatas dalam kitab Sahih berarti muttasil meskipun Abu Ja‘far bin Hamdan mengatakan al-ard atau munawalah.[20] Munawalah adalah metode dimana guru memberikan kitab kepada muridnya sambil berkata “inilah hadisku atau riwayatku dari Fulan”. Dan biasanya metode ini dibarengi dengan metode al-ijazah. Begitu juga Ibn Mundih yang menyatakan lafal tersebut menunjukkan al-ijazah.[21]  

        5.      عَنْ : Hadis yang terdapat lambang periwayatan ‘an disebut hadis mu‘an‘an. Biasanya dalam suatu sanad disebutkan dalam bentuk "عَنْ فُلاَن" . Ada juga hadis mu’an’an yang mempunyai hukum serupa dengan mu‘an ‘an . Biasanya disebutkan dalam sanad menggunakan ungkapan " أَنَّ فُلاَن ". Lambang periwayatan ini dapat dinilai muttasil, bahwa perawi mendengar langsung dari pendahulunya (metode al-sama‘) dengan beberapa syarat. Pertama, perawi tidak boleh seorang pemalsu hadis (mudallis). Kedua, perawi yang meriwayatkan hadis haruslah hidup sezaman dengan perawi sebelumnya. Sehingga, bisa dipastikan pertemuan diantara kedua belah pihak.[22]

Nuruddin ‘Itr dalam Sharh Nukhbah Ibn Hajar berkomentar, kita dapat memastikan pertemuan antar  perawi satu dengan sebelumnya dengan menelisik kedua biografi perawi dan mendapati bahwa keduanya pernah menempati daerah tertentu. Sehingga, tidak cukup dengan alas an hidup sezaman semata sebagai dasar dari adanya pertemuan. Selanjutnya, agar benar-benar mengetahui kedua perawi ini bertemu atau tidak, kita bisa bersandar pada beberapa hal. Diantaranya, pengakuan perawi sendiri bahwa dirinya telah bertemu syaikh perawi sebelumnya. Atau penegasan dari salah seorang ulama hadis bahwa si perawi memang telah bertemu dengan perawi sebelumnya.

Sementara para ulama berselisih pendapat dalam masalah menentukan bersambungnya sanad dengan alasan hidup sezaman dan kemungkinan adanya pertemuan asalkan perawi bukan mudallis. Ali bin al-Madiny menolak perspektif tersebut beserta beberapa muhadisin yang lain. Sedangkan, perspektif Muslim sejalan dengan pendapat di atas. Karena perawi yang bukan mudallis tidak akan meriwayatkan apapun dari orang yang hidup sezamannya menggunakan lafal ‘an, bila ia belum bertemu dengan orang tersebut. Sehingga, Muslim sepakat bilamana perawi yang menggunakan lafal ‘an kemungkinan memang telah pernah bertemu dengan perawi sebelumnya yang hidup sezaman dengan dirinya, walaupun ia tidak pernah menyebutkan pertemuan tersebut.

Nuruddin ‘itr pun juga menyalahkan persepsi orang-orang masa kini yang menganggap bahwa perawi yang hidup sezaman dengan perawi sebelumnya tidak perlu mendengarkan langsung darinya bila ingin menggunakan lafal ‘an. Hidup sezaman semata sudah cukup menjadi sandaran. Nuruddin membantah hal tersebut, karena yang dibahas Muslim bukan perlu tidaknya pertemuan. Namun ada tidaknya kemungkinan pertemuan antar kedua belah pihak, melihat perawi yang bukan mudallis tidak meriwayatkan dengan lafal ‘an untuk orang belum pernah ia temui meskipun hidup sezaman.

Sementara Ibn Hajar sendiri lebih cenderung kepada kelompok pertama yang lebih memperketat syarat-syarat hadis mu‘an‘an yang dihukumi muttasil.  Adapula sebagian pakar hadis seperti Bukhari, Ali bin al-Madiniy yang mengharuskan adanya kepastian pertemuan antara perawi dengan shaikhnya ataupun dengan perawi tingkat sebelumnya, meskipun pertemuan mereka hanya sekali.[23]

Pernyataan Ibn Hajar yang mencantumkan Bukhari termasuk dalam kelompok Ali bin al-Madiny perlu ditelaah lebih lanjut menurut Nuruddin Itr, karena Muslim adalah murid Bukhari yang sangat terkenal dengan pribadinya yang amat sangat hormat sekali  kepada sang guru. Sehingga tidak pantas dan sesuai kiranya bila pendapat Bukhari ini menjadi lawan dan pembantai utama pendapat muridnya. Namun, penulis melihat ketidakcocokan atau perbedaan pendapat antara guru dan murid bisa saja terjadi. Buktinya, dalam mencanangkan klasifikasi perawi dalam sanad untuk kedua masterpiece mereka, mereka mempunyai klasifikasi yang berbeda-beda.

Para perawi yang berada di kategori yang kedua, yakni orang-orang yang mempunyai sifat amanah serta kecermatan dan kecerdasan tinggi namun tak terlalu sering menemani al-Zuhri dibandingkan dengan kategori pertama, seperti ‘Auza‘i dan Laith bin Sa‘ad, riwayat orang-orang tersebut tidak banyak diambil oleh Bukhari, kalaupun dirinya mengambil hadis dari kategori kedua ini, ia tidak mengambil hadis tersebut sebagai hadis pokok kitab sahihnya. Berbeda dengan Muslim yang masih menjadikan orang-orang tersebut sandaran dalam periwayatan hadis di kitab sahihnya. Tidak hanya sekedar hidup sezaman. Hal tersebut dicanangkan supaya keselamatan dan keamanan hadis lebih terjaga dari hadis mursal khafiy.  Namun bila kedua syarat diatas tidak mampu dipenuhi maka hadis mu‘an‘an mau tidak mau dihukumi mursal atau munqati‘.[24]

Ibn Hajar sendiri membuat tingkatan lambang periwayatan dilihat dari sisi kualitas metode periwayatannya. Tingkatannya dimulai dari yang tertinggi.

1.      حَدَّثَنَا , حَدَّثَنِي , سَمِعْتُ  [25]

2.      أخْبَرَنِى , قرأتُ عَلَيْه  [26]

3.      قُرِئ عَلَيه وَ أَنَا أَسْمَع  [27]

4.      أَنْبَأَنِي [28]

5.      نَاوَلَني [29]

6.      شَافهَنِي أي بالإِجَازَة [30]

7.      كَتَبَ إلَيَّ أي بالإِجَازَة [31]

8.      عَن, قَالَ, رَوى ,ذَكَرَ [32]

Secara bahasa حَدَّثَنِي dan أخْبَرَنِى mengandung arti yang tidak jauh berbeda. Keduanya berarti memberitakan kepadaku. Namun ketika para ulama di kemudian hari menjadikan lafal-lafal tersebut sebagai istilah tertentu dalam disiplin ilmu hadis, maka lafal tersebut lebih dikenal dengan artian istilah yang sudah ditentukan oleh para ulama ketimbang dipahami secara hakikat bahasa. Sementara yang perlu diketahui bahwa istilah haddathana hanya sering dipakai dan terkenal bagi ulama-ulama timur. Sedangkan mayoritas ulama-ulama barat belum menggunakan istilah haddathana, mereka masih menganggap kedua lafal itu tidak ada bedanya. Dengan demikian penulis merasa kurang tepat kiranya bila kita langsung mengambil kesimpulan bahwa sanad yang memakai lambang periwayatan akhbarana nilainya lebih rendah dibanding sanad haddathana, baiknya ditelaah lebih lanjut, apakah para perawinya termasuk ulama barat atau timur, menimbang kenyataan yang terjadi dahulu kala dimana muhadisin yang bermukim didaerah barat Islam belum membedakan kedua istilah tersebut.[33]

Kemudian, apabila perawi menggunakan jamak dalam lambang periwayatannya, yakni berakhiran na seperti haddathana, akhbarana, anba’ana mengartikan bahwa dalam proses penerimaan riwayat hadis, perawi bersama para perawi yang lain, ia tidak sendirian. Namun, kemungkinan pula ia berarti sendirian bila ia membahasakan dirinya dengan kami.[34] Ada beberapa orang di berbagai daerah yang mempunyai kebiasaan menyebut dirinya dengan kami, bukan saya ketika berbicara. Hal itu dilakukan oleh sebagian orang yang menganggap ungkapan kami menandakan lebih sopan. Sehingga tak menutup kemungkinan bila maksud dari lambang periwayatan tersebut adalah hanya perawi itu sendiri meskipun menggunakan kata jamak.

Begitupula dengan lafal anba’ana wa akhbarana, menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu) tak ada beda antar keduanya. Namun menurut ulama muta’akhirin (masa kini) anba’ana mempunyai arti seperti ‘an yang didapat melalui metode ijazah. Anba’ana pun dipakai untuk lafal yang mewakili metode ijazah.[35]

Selanjutnya, lambang periwayatan yang menggunakan ungkapan aktif seperti قَالَ, أَمَرَ, ذَكَرَ (dia berkata, dia perintah, dia menyebutkan) secara garis besar bernilai sahih bila berada dalam kedua kitab Sahih, seperti yang dijelaskan Mahmud Tahhan. Sedangkan ungkapan pasif seperti يُرْوى, رُوِيَ, ذُكِرَ, يُذْكَر, يُحْكَى, حُكِيَ ( diriwayatkan, disebutkan, diceritakan) tidak bisa dihukumi sahih sekalipun berada dalam kedua kitab Sahih, dan kenyataannya memang tidak ada dalam kedua buku tersebut.[36]

Penulis kurang sepakat bila dikatakan tidak ada lambang periwayatan dengan ungkapan pasif di kedua kitab Sahih. Sebab kenyataannya ungkapan pasif terdapat dalam hadis mu‘allaq di kitab Sahih Bukhary, dan hal itu memang tertulis dalam mukadimah. Hanya saja mereka menyebutnya dengan sighah al-tamrid. Sebagaimana yang telah diketahui, hadis-hadis yang menggunakan sighah tersebut ada yang bernilai sahih, adapula yang daif. Namun, hadis-hadis di dalam Sahih Bukhary yang menggunakan ungkapan pasif  bersifat sahih menurut syarat Bukhari, meskipun kuantitasnya hanya sedikit. Bukhari menggunakan lambang periwayatan tersebut karena ia meriwayatkan secara maknawi atau ia bermaksud untuk merangkumnya.


     b.      Perawi dan mukharrij

Perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayah, yang berarti menukilkan atau memindahkan. Secara terminologis sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis lengkap dengan sanadnya, yang ia dengar dari gurunya dan ia sampaikan kepada muridnya.[37]

Sedangkan Abdul Majid Khon mendefinisikan perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis atau menyampaikan periwayatan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang terhimpun ke dalam buku hadis. Kiranya bagi penulis definisi yang ditawarkan Abdul Majid lebih tepat untuk mukharrij, seperti Bukhari dan Muslim. Mengingat perawi menurut ulama bermacam-macam tipe dan tingkatan. Bila perawi mencapai tingkat musnid, berarti ia perawi yang hanya sekedar meriwayatkan. Bila muhaddith, tingkatnya lebih tinggi dari musnid. Berarti ia juga hafal Matan hadis dan mengetahui kapabelitas masing-masing orang di dalam sanad. Bahkan Ibn Sam‘ani mengatakan bahwa perawi adalah orang yang tidak memahami Matan juga  sanad. Hanya sekedar meriwayatkan.

 Terlebih Utang Ranu juga menjelaskan bahwa terdapat dua perbedaan mengenai istilah rawi, ada sebagian yang memandang perawi ini sebagai orang-orang yang disebutkan dalam sanad sebelum Matan, sehingga tak heran bila rawi dianggap orang yang menerima dan menyampaikan hadis saja sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Hadi dan ada juga yang memahami perawi dalam konteks pembukuan hadis, sehingga sesorang disebut rawi apabila menerima hadis dan menghimpunnya dalam suatu kitab, persis dengan mudawwin (penyusun dan penghimpun hadis). Rawi dalam konteks ini disebut pula mudawwin atau mukharrij.

مَنْ ينقل الحديث بإِسْنَادِهِ يَسْمَعُهُ مِنْ شُيُوْخِهِ وَيُحَدِّثُ بِهِ تَلاَمِذِهِ [38]

Sementara Nuruddin ‘Itr menjelaskan definisi rawi adalah orang yang menerima hadis dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya (dengan salah satu lambang periwayatan).[39]

Sedangkan mukharrij berasal dari kata takhrij, istikhraj dan ikhraj yang berarti menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Realitanya, pekerjaan seorang mukharrij memang mengeluarkan hadis (menyebut hadis) dengan sanadnya sendiri dari dalam kitab-kitab himpunan hadis. al-Muhdi memaparkan definisi mukharrij ialah penyebut periwayatan seperti Bukhari.[40]

المخرج هُو ذَاكِرُ الرِّوايَة كالبُخَارِى       

Bisa dilihat dalam contoh hadis tentang niat, di akhir hadis tertulis أخرَجَه البُخَارِي yang menandakan mukharrij dalam hadis tersebut adalah Bukhari. Terkadang juga memakai lafal رَوَاهُ, kandungan artinya tetap sama dengan lafal أخرَجَه.[41]

Kembali lagi kepada perawi, yang dimaksud dengan perawi dalam sebuah hadis di sini adalah orang-orang yang berada dalam sanad, orang-orang yang memakai lambang periwayatan dalam sanad (rijal al-sanad). al-rawi atau perawi adalah orang yang hanya sekedar meriwayatkan. Ia tidak mengetahui tentang seluk beluk ilmu riwayah maupun dirayah, tidak tahu tentang ilmu jarh dan ta‘dil, apalagi tentang nilai sahih dan lemahnya hadis. Yang dilakukannya hanyalah menyampaikan hadis semata dari satu daerah ke daerah lain, dari satu generasike generasi yang lain. Ia hanya sebatas mendengar dan menerima hadis lalu meriwayatkannya.

Disamping itu, rawi juga mempunyai kriteria-kriteria khusus, tidak sembarang orang bisa menjadi rawi. Kriteria tersebut terhimpun dalam dua poin, kesalehan dan kecerdasan (kecermatan dan hafalan yang kuat) yang dalam bahasa disiplin ilmu hadis disebut ‘adalah dan dabit. ‘adalah yakni suatu sifat dan watak yang sangat kuat yang mampu mengarahkan pribadinya pada ketakwaan, menjauhi segala sesuatu yang mungkar dan segala sesuatu yang dapat merusak harga dirinya (muru’ah). Poin ‘adalah mencakup beberapa faktor, meliputi: Islam, balig, berakal sehat dan takwa.[42]

Sementara dabit ialah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalannya bila dirinya meriwayatkan hadis berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila ia meriwayatkan berdasarkan tulisannya. Sementara, bila ia meriwayatkan hadis secara maknawi maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[43]

Contoh perawi sangat banyak sekali. Di antaranya Habib bin ‘Abdullah Al-Azadi Al-Yuhmidi, Abu Dawud meriwayatkan satu hadis darinya di bab Saum (puasa). Riwayatnya tidak ditemukan dalam kutub al-sittah kecuali satu hadis tersebut. Abu Hatim menyebutnya majhul. Kedua, ‘Uthman bin Harb Al-Bahily, dirinya pernah meriwayatkan beberapa riwayat yang tidak terlalu banyak dari para tabiin.[44]Ada beberapa klasifikasi bagi para perawi hadis dan ulamanya. Di antaranya:

1.      Al-Musnid, Al-Talib dan Al-Mubtadi’

Ini adalah gelar untuk ulama hadis, tingkatannya sederajat dengan Al-Rawi, hanya sekedar meriwayatkan.

2.      Al-Muhaddith

Seorang yang menghafal banyak hadis, dan memahami sepenuhnya tentang sanad-sanad yang ada didalamnya. Lebih jelasnya, seseorang itu haruslah hafal hadis-hadis yang ada dalam kutub al-sittah, dan lainnya seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Ma‘ajim Tabrani, Sunan Baihaqi, serta mengetahui para perawi berikut sanad yang ada di dalamnya. Dengan kata lain ia harus menghafal sekitar 20.000 hadis lengkap dengan sanad dan memahami kapabelitas perawinya. Contohnya Abu Bakar bin Muhammad bin Ismail al-Muhandis (w. 385) berasal dari Mesir dan Abu al-Husain Ahmad bin Hamzah bin Abi al-Hasan Ali al-Muwaziny al-Sulamy al-Dimashqi (w. 585) seorang muhaddith dari Damaskus beserta Muhammad Murtada al-Zabidy (penyusun Sharh Ihya’ Ulum Al-Din).

3.      Al-Hafiz

Ulama hadis terdahulu menyamakan antara al-hafiz dengan al-muhaddith, sementara ulama hadis akhir-akhir masa ini membedakannya. Gelar ini diberikan kepada ahli hadis yang mampu menghafal sebagian besar hadis nabawi dan mengetahui penuh tentang ilmu sanadnya beserta Matan hadis. Menurut sebagian pendapat, ia harus menghafal 100.000 -300.000 hadis. Al-Hafiz berada ditingkat yang lebih tinggi dari gelar kedua. Contohnya seperti Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463) dan Ibn Hajar al-Asqalani (w.852).

4.      Al-Hujjah

Gelar ini diberikan kepada ahli hadis yang hafalan hadisnya dan kedalaman ilmunya dalam memahami sanad dan Matan hadis bisa dijadikan hujah, pedoman dan referensi bagi penghafal yang lain. Sebagian pendapat mengharuskan ahli hadis tersebut harus menghafal 300.000 hadis. Contohnya: al-Hasan al-Basri (w. 110), ‘Urwah bin Zubair ( w. 94), Qatadah (w. 118) dan ‘Amru bin Dinar (w. 126). ‘Abdul Mahdi menjelaskan bahwa ‘Amru bin Dinar termasuk golongan Al-Hujjah, sementara Abdul Majid Khon memasukkannya dalam kategori Al-Hakim.

Penulis juga masih belum mengetahui apa dasar keduanya dalam  mengklafisikan ‘Amru bin Dinar sebagai gelar keempat atau kelima. Hanya saja dalam Tahdzib Al-Tahdzib, banyak muhadisin yang memuji kualitasnya, banyak yang menyebutnya thiqah, bahkan thiqah thabat. Dinilai lebih baik daripada Qatadah, dan lebih alim dan fakih daripada Mujahid dan ‘Ata’. Sehingga penulis pribadi sedikit lebih cenderung kepada Abdul Majid Khon, sebab telah dikatakan ‘Amru bin Dinar lebih tinggi kualitasnya dibandingkan Qatadah, sayangnya penulis belum menemukan jumlah hafalan hadis dari yang bersangkutan apakah memenuhi kriteria gelar Al-Hakim atau tidak .[45]

5.      Al-Hakim

Sebagian ulama hadis tidak menganggapnya sebagai gelar muhadisin, gelar ini sama saja dengan al-Hujjah. Namun, yang lain berpendapat Al-Hakim masih termasuk gelar unttuk muhadisin, dan mereka menganggap gelar ini berada diantara al-Hujjah dan Amirul Mukminin. Mereka mendefinisikannya sebagai ahli hadis yang mengetahui semua hadis, mengetahui tentang semua hal yang berhubungan dengan sanad-sanadnya berikut Matan. Juga menghafal sekitar 800.000 hadis. Seperti Ibn Jarir al-Tabari (w.310) dan Ibn al-Bayyi‘(w. 405).

6.      Amirul Mukminin

Merupakan gelar puncak bagi ahli hadis yang ilmunya dirayah dan riwayatnya melebihi dari kualitas semua gelar sebelumnya di setiap masa. Para ulama mutaqaddimin yang menerima gelar ini adalah Ibn Shihab al-Zuhri (w. 124), Sufyan al-Thauri (w. 161), Bukhari (w. 256), Malik bin Anas (w. 179).[46]  

Dalam sanad juga ada istilah lainnya, seperti awal sanad, akhir sanad, awal rawi dan akhir rawi. Semuanya memiliki maksud yang berlawanan. Awal sanad berarti akhir rawi. Begitupula sebaliknya. Bila menilik kembali pada contoh hadis tentang niat diatas kita dapatkan silsilah sanad sebagai berikut:

Al-Humaidy ‘Abdullah bin Al-Zubair            : awal sanad dan akhir rawi

Sufyan                                                             : awsat sanad (sanad tengah)

                                                                          dan awsat rawi (rawi tengah)

Yahya bin Sa‘id al-Ansary                              : awsat sanad dan awsat rawi

Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy                 : awsat sanad dan awsat rawi

‘Alqamah bin Waqas al-Laithi                        : awsat sanad dan awsat rawi

‘Umar bin Khattab                                          : akhir sanad dan awal rawi

Perhitungan rawi dimulai dari siapa yang menerima hadis tersebut pertama kali dari Rasulullah SAW. Sedangkan perhitungan sanad dilihat dari siapa yang jaraknya paling dekat dari mukharrij atau siapa yang pertama kali disebut ketika sanad hadis dibaca. Kemudian sebutan awsat entah sanad maupun rawi diperuntukkan bagi semua orang yang urutan namanya terletak diantara awal dan akhir, sanad maupun rawi.[47]

Dalam sanad juga dikenal istilah sanad ‘aly (tinggi) dan sanad nazil (rendah). Sanad aly merupakan sanad yang jumlah perawinya sedikit dan bersambung.[48]  Disebut dengan derajat aly karena sedikitnya kuantitas perawi membuat kemungkinan adanya kecacatan dalam hadisyang diriwayatkan sangat kecil sekali. Ketinggian sanad merupakan salah satu faktor kekuatan sanad. al-Hafiz Abu al-Fadl al-Maqdisi mengatakan ulama hadis dan ahli riwayat sepakat untuk mencari dan memuji ketinggian sanad, karena apabila mereka hanya puas dengan sanad yang rendah (banyak untaian perawinya) niscaya mereka tidak merasa perlu mengadakan ekspedisi guna mencari hadis dari guru yang lebih senior. [49]

Sementara telah diketahui bersama bahwa ulama terdahulu sangat gemar melakukan ekspedisi hadis, bila mereka mendapat informasi bahwa hadis yang mereka dapatkan dari seorang muhadis A berasal dari gurunya yang masih hidup sezaman dengan mereka. Semua ini dilakukan kecintaan mereka terhadap ketinggian sanad, bahkan Ahmad bin Hanbal menceritakan bahwa hal tersebut merupakan sunah orang-orang terdahulu.[50]

Dalam sanad aly juga ada istilah thulathiyyat. Yakni, antara mukharrij dengan Rasulullah SAW hanya tiga perawi saja. Bukhari dalam masterpiecenya memiliki beberapa thulathiyyat. sanad thulathiyyatnya terhitung ada sekitar 5 sanad. Diantaranya riwayat al-Makki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-Akwa’ RA. Dan riwayat Muhammad bin al-Ansari dari Hamid dari Anas RA.[51] Tidak hanya Bukhari yang memiliki thulathiyyat, Ahmad bin Hanbal juga mempunyai thulathiyyat dalam musnadnya. Salah satunya riwayat dari Sufyan dari ‘Amr dari Jabir RA.   

Istilah yang kedua adalah sanad nazil (rendah). Ialah antonim dari sanad ‘aly, yaitu sanad yang jaraknya jauh. Banyak muhadisin yang tidak menyukai sanad ini dibanding ‘aly. Ibn Ma‘in berkata sanad nazil itu bagaikan cacar diwajah. Bahkan Ibn Al-Madiny terang-terangan mengatakan bahwa kerendahan sanad adalah sebuah kecelakaan. Namun muhadisin tidak serta merta menganggap semua sanad ‘aly hadisnya sahih dan sanad nazil hadisnya daif. Melainkan semua kembali pada kualitas pribadi para perawinya. [52]

Sesuai dengan yang Ibn al-Mubarak katakan, kualitas suatu hadis itu tidak ditentukan oleh dekatnya sanad, melainkan ditentukan oleh ke-tsiqat-an (tepercaya) para rawinya. al-Hafiz al-Silafi menambahkan, yang paling menentukan adalah pengambilan dari para ulama. maka hadis nazil dari para ulama itu lebih utama daripada hadis ‘aly dari orang-orang bodoh. Demikian menurut para ahli riwayat. [53]


    c.       Esensi hadis (Matan)

Esensi hadis atau Matan merupakan salah satu dari unsur hadis itu sendiri. Lalu ketika kita menilik unsur yang terdapat dalam Matan hadis, akan kita temukan dua unsur berbeda, atau lebih tepatnya dua bentuk model lafal yang berbeda. Pertama, lafal yang tertera di Matan merupakan sebenar-benarnya lafal yang diucapkan Rasulullah SAW. Dalam hal ini mengartikan bahwa Matan hadis diriwayatkan lafdiyah, sesuai kalam Nabi SAW. Kedua, lafal yang tertera di Matan bukan lafal yang sesuai dengan kalam Nabi SAW, melainkan lafal yang mengandung makna yang sama dengan apa yang diucapkan Nabi SAW. Dalam konteks ini berarti Matan hadis diriwayatkan rawi secara maknawi. Dengan demikian, Matan memiliki dua unsur : lafdiyah dan maknawi.

Contoh dari Matan lafdiyah bisa kita lihat hadis di atas tentang niat. Selanjutnya, di bawah ini merupakan contoh dari Matan maknawi.

حَدّثَنَا عَمْرو بن عَلِي حَدّثَنَا يَحيَى حَدّثَنَا هِشَام حَدّثَنَا مُحَمَّد عَن أبِي هُرَيْرة رضي الله عنه قال نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا  [54]

Tentang periwayatan secara maknawi, terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Akan tetapi telah disepakati bahwa periwayatan secara maknawi diterima validitasnya oleh ulama, asalkan perawi tidak mengurangi atau menambah isi hadis, dan memahami betul esensi dari hadis yang bersangkutan serta mampu mengutarakannya dengan kata-kata yang tepat.[55] Dan periwayatan maknawi ini diperbolehkan bila rawi khawatir tidak kuat atau tidak tepat dengan hafalannya sendiri waktu itu, sedang ia berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan hadis tersebut.[56] Menurut Abi al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy sebaiknya perawi yang meriwayatkan secara maknawi menambahkan lafal كما قال atau نحوه atau شبهه atau ما أشبه هذا .[57]

Bila Matan dilihat dari sumber berita, maka ia mengandung 4 unsur atau 4 macam: Pertama, hadis qudsi yang sumber beritanya dinisbatkan pada Allah SWT meskipun lafalnya dari Nabi SAW.[58] Kedua, hadis nabawi atau yang seringkali disebut marfu’ dalam istilah ilmu hadis, yaitu hadis yang sumber beritanya dinisbatkan kepada nabi Muhammad SAW. Ketiga, hadis mauquf yang rawinya berujung pada sahabat dan disandarkan pula Matan hadis padanya. Yang terakhir, hadis maqtu‘ yang dinisbatkan kepada tabiin. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan lebih jelas lagi dipembahasan selanjutnya.


    B.     ANTARA SANAD DAN DOKUMENTASI HADIS

        1.      Dokumentasi Sanad Hadis

Sanad merupakan salah satu ciri khas umat Islam yang tidak dimiliki siapapun. Lebih spesifik lagi, bisa dikatakan sanad merupakan ciri khas muhadisin, hanya milik disiplin ilmu hadis, bukan disiplin ilmu yang lain. Ia juga salah satu tiang penguat agama.[59]

Dokumentasi sanad dimulai bersamaan dengan dokumentasi hadis, Utang Ranu menjelaskan salah satu keistimewaan hadis dari dokumen sejarah yang ada di dunia adalah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadis tersebut, yang disebut dengan sanad.[60]

Mengenai penulisan hadis sendiri, sebenarnya sudah dimulai sejak masa Nabi SAW. Dimana tidak sedikit dari sahabat yang menulis hadis nabawi di pelbagai media, seperti pelepah kurma, kulit-kulit kayu, tulang hewan. Sebagaimana yang telah dilakukan Abdullah bin ‘Amru bin ‘A<s. Tulisan-tulisannya disebut al-Sahifah al-Sadiqah. Begitu juga dengan Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary pemilik Sahifah Jabir, Ali bin Abi Thalib, dsb.[61]

Hanya saja penulis berasumsi kemungkinan sanad telah ditulis bersamaan dengan penulisan hadis di zaman ini sangatlah kecil. Sebab, kemungkinan besar perawi yakni sahabat mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Tanpa adanya perantara, tak ayal sanad tak perlu ditulis ketika itu. Sehingga, sekali lagi penulis berasumsi kemungkinan sanad mulai ditulis pasca masa sahabat. ketika hadis mengalami proses penghimpunan resmi atau masa kodifikasi yang direalisasikan oleh Ibn Shihab al-Zuhri. Terlebih, Ibn Sirrin mengatakan bahwa pasca fitnah orang mulai menanyakan isnad, dan menyuruh perawi menyebutkan sanad miliknya ketika meriwayatkan hadis.[62] Meskipun tidak menutup kemungkinan bila sanad telah ditulis sebelum masa kodifikasi resmi. Hanya saja yang disayangkan penulis belum menemukan data yang menunjukkan hal tersebut.

Yang pasti, bukti dokumentasi sanad hadis ini bisa kita saksikan dalam kutub al-sittah. Jika ingin menilik masterpiece yang lebih tua lagi umurnya, kita bisa menelisik kitab Muwatta’ Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dan tentunya masih banyak kitab lainnya. Dalam buku-buku tersebut, sanad hadis terdokumentasikan sangat apik dan tertib. Menunjukkan ketelitian, keuletan, kesabaran serta profesionalisme muhadisin terdahulu.[63] Karena, di zaman yang masih terbatas sarana dan pra sarana, mereka telah sadar penuh akan urgensitas sanad sebagai salah satu disiplin keilmuan.

Dalam kitab-kitab hadis  mukharrij mendokumentasikan segala bentuk sanad. Mencakup hadis yang mempunyai banyak jalan sanad seperti mutawatir dan mashhur , maupun jalan sanadnya sedikit seperti ahad. Pada zaman selanjutnya, dokumentasi sanad hadis mengalami perkembangan. Para ulama mencurahkan perhatian mereka pada sanad, sampai-sampai muncul kitab-kitab yang sengaja khusus membahas tentang sanad, para rawi yang terdapat dalam sanad dari berbagai generasi. Tidak hanya nama yang mereka cantumkan, namun segala hal yang berhubungan dengan kualitas dan personalitas tiap rawi. Bahkan, penilaian muhadisin tentang pribadi rawi tersebut dalam hal kesalehan dan kecerdasan, kekuatan daya hafalnya juga dibahas disini. Pembahasan mereka dalam konteks ini kemudian menjadi pedoman pakar hadis sesudahnya dalam menilai keabsahan hadis. Kitab yang membahas demikian disebut kitab Al-Rijal, contohnya banyak sekali, diantaranya: al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah karya Ibn Hajar, Mizan I‘tidal karya al-Dhahabi, Usud al-Ghabah fi Asma’i al-Sahabah milik Ibn al- Athir, dan lain lain.[64]


    2.      Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadis

Telah dikatakan sebelumnya, sanad adalah ciri khas umat Islam dan ia merupakan salah satu tiang kekuatan agama.[65] Jumhur ulama pun sepakat akan urgensitas sanad dalam agama Islam, bahkan mereka sangat memuji unsur hadis tersebut. “ilmu menghilang dengan menghilangnya sanad” sebagaimana Shu‘bah bin Hajjaj katakan. Rasanya, yang ia katakan benar adanya, mengingat tidak semua Matan hadis bisa diterima oleh umat, kecuali bila terdapat sanad lengkap dan berkualitas. Bila tidak ada sanad, walaupun Matan hadis benar hakikatnya, maka dengan berat hati hal tersebut tidak dapat diakui keabsahannya. Dan bila hal itu terjadi, maka melayanglah suatu ilmu dari muka bumi ini berbarengan dengan melayangnya sanad yang mendampingi Matan tersebut.

Peranan sanad secara umum tidak bisa dinafikan begitu saja dari keilmuan. Menurut Thauri, ia senjata para mukmin. Bila mukmin kehilangan eksistensinya maka dengan mudah mukmin diserang. Sehingga sanad, bukan hanya unsur yang tak lepas dari hadis. Lebih dari itu, sanad tidak bisa dipisahkan dari agama para mukmin. Abdullah bin Mubarak mengungkapkan sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena isnad, orang akan berkata sekehendak hatinya. Namun ketika ditanya dari mana engkau mendapatkannya, orang tersebut hanya terdiam tak berkutik.[66]

 Ibn Sirrin juga bercerita bahwa sebelum terjadi tragedi fitnah, umat muslim tidak mempertanyakan sanad, namun pasca tragedi orang-orang mulai mempertanyakannya. Bila sanadnya diketahui berasal dari ahli sunah maka hadisnya diterima. Tetapi bila berasal dari ahli bid‘ah, maka hadisnya tidak dapat diterima. Ungkapan Ibn Sirrin diatas bukan mengartikan bahwa eksistensi sanad baru muncul usai fitnah. Mempertanyakan sanad telah ada sebelum fitnah terjadi, hanya saja sedikit orang yang melakukannya. Sadar atau tidak disadari oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah perawi hadis telah muncul pada zaman Nabi SAW. Dimana, tidak semua sahabat menghadiri setiap majelis ilmiah Rasulullah SAW karena sibuk dengan urusan pemerintahan, perniagaan, pertanian. Sehingga, setiap ada sahabat yang hadir, ia akan menyampaikan hadis nabawi kepada temannya yang belum bisa hadir.[67]

Ditambah, ketika itu mereka tidak berbohong atas apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahkan Barra’ bin ‘A<zib mengatakan mereka tidak mengenal apa itu dusta kala itu. Tak heran, Anas bin Malik marah ketika dikatakan padanya “apakah anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?” ia langsung menjawab tidak ada dari kami yang saling berdusta satu sama lain. Dengan demikian tragedi fitnah menjadi garis pembatas yang jelas bagi awal mula umat bertanya soal isnad. Sementara sebelumnya umat belum mempertanyakannya. Atau dengan kata lain tragedi fitnah menjadi pembatas antara kejernihan sunah sebelum kejadian dengan kondisi sunah yang telah terkontaminasi dengan polusi kepentingan setelah kejadian fitnah.[68]  

Masa setelah fitnah, hadis banyak ditumpangi kepentingan-kepentingan. Ia dijadikan alat penyokong mazhab batil dan aliran ahli bid‘ah. Orang-orang menciptakan sanad-sanad sendiri, malah ada yang sengaja menggunakan sanad ‘aly untuk memperkokoh pemikirannya. Sehingga pemalsuan tak elak terjadi dan merajalela di khalayak masyarakat.

Oleh sebab itu ulama hadis terdahulu merasa terpanggil untuk memelihara hadis, mereka kemudian mengadakan beberapa upaya, diantaranya mencari sanad hadis dan meneliti karateristik para rawinya, apakah ia terkena polusi kepentingan seperti ahli bid‘ah atau tidak, meskipun sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis. Kedua, mereka mengimbau khalayak untuk berhati-hati dalam menerima hadis. Tersebar kaidah dikalangan mereka “hadis-hadis ini tiada lain adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya”. Dari sini lahirlah bibit-bibit ilmu jarh wa ta‘dil. Ketiga, mereka melakukan ekspekdisi pencarian sanad yang lebih tinggi.[69]

Dengan demikian, melihat faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas, maka peranan sanad dalam dokumentasi hadis ialah: pertama, memelihara keontetikan Matan hadis agar tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis di luar sana. Kedua, menjaga hadis agar tidak mudah diserang oleh hadis-hadis palsu. Ketika esensi hadis palsu menyerang dan berlawanan 180 derajat dengan hadis yang asli. Hadis yang asli bisa menangkisnya dengan memaparkan sanad sebagai pondasi kekuatannya beserta memaparkan kapabelitas rawi yang ada didalamnya. Ketiga, untuk penelitian kualitas hadis satu persatu secara terperinci.[70] Poin ketiga ini kiranya teraplikasikan pada ilmu takhrij hadis. Dan yang keempat, peran sanad secara umum adalah mempelopori munculnya ilmu jarh wa ta‘dil dalam hadis sebagai satu disiplin ilmu.

 

    C.    METODE PENULISAN SANAD DAN MATAN

        1.      Menurut Kelengkapan Sanad dan Matan

Menurut kelengkapan sanad dan Matan dalam penulisan sebuah hadis, bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, sanad yang tertulis secara lengkap, begitupula dengan Matannya. Kedua, penulisan sanad atau Matan yang tidak lengkap. Pertama, sanad yang tertulis secara lengkap begitu juga Matannya. Jenis yang seperti banyak sekali ditemukan di kitab-kitab hadis. Ada juga kondisi di mana beberapa Matan hadis yang sama diulang secara lengkap, baik Matan tersebut sama lafalnya ataupun hanya sekedar sama maknanya. Sedang sanad-sanad dari Matan tersebut berbeda-beda, namun meskipun begitu sanadnya juga ditulis secara lengkap.[71]

Untuk poin kedua, bentuk atau kondisinya bermacam-macam. Di antaranya Idri memaparkan pertama, ada metode tahwil dengan menggunakan huruf ح sebagai kodenya. Menurut al-Nawawi, bila hadis memiliki dua sanad atau lebih, maka ketika dikemukakan perpindahan sanad dari yang satu kepada yang lain biasanya diberi kode ح yang merupakan singkatan dari التحويل من اسناد الى اسناد   (perpindahan dari sanad yang satu kepada sanad yang lain).[72] Penggunaan metode ini digunakan oleh Ibn al-Jawzi, ia mengikuti ulama sebelumnya seperti Muslim bin Hajjaj dalam kitab Sahihnya beserta Tirmidhi dalam al-Jami‘ atau yang lebih dikenal dengan Sunan Tirmidhi.[73]

Kedua, metode penambahan sanad lain dengan menyebutkan Matan dari sanad pertama, dengan menambahkan kata فذكره  (lalu menyebutkannya) atau kata فذكر مثله  (lalu menyebutkan serupa hadis itu) pada sanad kedua dan seterusnya. Kata-kata tersebut menggantikan Matan hadis yang sama secara lafal dengan Matan sebelumnya.[74] Muslim dan Bukhari pun menggunakan cara tersebut, hanya saja lafal yang mereka gunakan berbeda. Bukhari dalam Sahihnya memakai lafal بهذا الحديث  (dengan hadis ini) dan فقال مثل ذالك   (Nabi bersabda seperti itu). Sementara Muslim menggunakan lafal بمثل هذا الحديث   (dengan yang serupa hadis ini), يقول مثله سواء   (Nabi bersabda sama dengan itu) dan بمثله  (dengan yang serupa itu). [75]

Ketiga, menambahkan sanad lain dengan menyebutkan Matan dari sanad pertama, kemudian setelah sanad kedua dan seterusnya dicantumkan kata نحوه (seperti hadis itu) atau kata نحو الحديث الذى قبله  (seperti hadis sebelumnya). Maksudnya ialah Matan hadis dengan sanad belakangan tersebut, memiliki makna yang sama dengan Matan hadis sebelumnya. Imam Muslim seringkali menggunakan cara ini.

Metode penulisan selanjutnya terdapat sanad hadis –yang dalam hal ini adalah hadis maudu’ disebut sebagian saja, sementara Matan hadisnya disebutkan secara lengkap. Untuk contoh, Idri mengambil sampel dari kitab al-Mauduat hadis riwayat Jabir tentang aroma Rasulullah.

و أما حديث جابر رواه أحمد بن يحيى من حمزة من حديث جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أراد أن يشم رائحتي فليشم رائحة الورد

Adapun hadis Jabir diriwayatkan oleh Ahmad bin Yahya dari Hamzat dari hadis Jabir berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa ingin mencium bauku, maka hendaklah ia mencium bau bunga mawar”.

Pada sanad di atas hanya ada tiga perawi, padahal seharusnya terdapat banyak perawi, karena jarak masa hidup Ibn al-Jauzi dengan Nabi sangatlah jauh. Apabila hadis ini tidak palsu maka hukumnya mu‘allaq. Yakni, hadis yang seorang perawi atau lebih di awal sanadnya digugurkan. Tapi karena hadis di atas maudu, maka hadis kategori ini disebut dengan sanad yang tidak lengkap (disebutkan sebagian saja).[76]  

 

    D.    KANDUNGAN MATAN HADIS SECARA UMUM

Kandungan Matan secara umum bisa kita lihat dalam kitab-kitab hadis yang bertipe Al- Jami‘. Sebab, diantara tipologi kitab-kitab hadis, kiranya esensi Al-Jami‘-lah yang lebih mencakup seluruh segi dalam keberlangsungan hidup manusia.  Syuhudi Ismail merangkumnya dalam 4 macam. Seluruh kandungan materi hadis, apabila dihimpun dan diperhatikan maksud dari isinya. Akan ditemukan meliputi empat hal, yaitu:[77]

    1.      Sejarah

Berisi sejarah atau biografi Rasulullah SAW, deskripsi kondisi sahabat dan berbagai upaya yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat pada zamannya.

    2.      Etika

Berisi etika atau akhlak karimah, ajaran tentang budi pekerti yang baik, terpuji sesuai dengan fitrah manusia.

    3.      Akidah

Berisi tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan keyakinan, iman umat muslim. Misalnya, sifat – sifat Allah, rasul-rasul Allah, tentang hal metafisika (gaib), surga, neraka, dsb. Dalam hal akidah, al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasarnya kemudian hadis sahih yang mengokohkan dan menjelaskan. Sehingga apabila terdapat hadis berkenaan tentang akidah yang berlawanan esensinya dengan al-Qur’an dan akal yang sehat, maka dapat dipastikan bila hadis tersebut palsu. Tidak boleh dipakai. Oleh sebab itu mayoritas ulama sepakat bahwa hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir saja yang dapat digunakan dalam menetapkan kaidah dalam akidah. Alasannya, karena akidah harus berdasarkan keyakinan (qat‘iy al-wurud), dan keyakinan yang seperti itu hanya diperoleh dari al-Qur’an dan hadis mutawatir.

    4.      Hukum

Baik mengenai ubudiyah (ritual beribadah) maupun tentang muamalah.   


 Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan sanad dan Matan diatas bisa kita simpulkan beberapa poin:

        1.      Sanad adalah silsilah mata rantai perawi yang menghubungkan pada Matan hadis. dan Matan adalah perkataan yang menjadi ujung sanad. Keduanya adalah unsur hadis yang saling melengkapi, tidak bisa dipisahkan.

        2.      Unsur-unsur dalam sanad meliputi lambang periwayatan seperti haddathana,  perawi beserta mukharij. Sedangkan unsur Matan mencakup dua hal, lafdiyah dan maknawi.

        3.      Peran sanad dalam dokumentasi hadis: Pertama, memelihara keotentikan hadis. Kedua, menjaga esensi hadis dari serangan hadis-hadis palsu. Ketiga, untuk penelitian kualitas hadis secara terperinci. Keempat, pelopor terbentuknya ilmu jarh wa ta‘dil.

        4.      Metode penulisan sanad bila ditelisik dari segi kelengkapannya, akan terbagi menjadi 2 bagian. Yang lengkap dan yang tidak lengkap.

    5.      Kandungan Matan hadis secara umum mencakup 4 unsur. Pertama, sejarah. Kedua, akhlak. Ketiga, akidah dan yang terakhir adalah hukum, entah ubudiyah maupun muamalah

 

DAFTAR PUSTAKA

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. tahkik Ibrahim al-Zaibaq dan ‘A<dil Murshid. Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th.

Bakkar (al), ‘Abd al-Qadir Mahmud. Qawa’id al-Tahdith. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‘fy. al-Jami’ al-Sahih. Kairo: Maktabah Tabary, 2010.

Doi, ‘Abdur Rahman I. Introduction to the Hadith. Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991.

Farisy (al),al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali. Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Hadi (al), ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd. “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin”, Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith al-Sharif. Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.

Idri. “Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at”. Disertasi-- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2004.

Ismail,M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa,1991.

‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. terj. Endang Soetari. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media, 1996.

Sha’ban, ‘Abdullah. al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Suyuti (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawi fiSharh Taqrib al-Nawawy. tahkik Ahmad Ma’bad ‘Abdul Karim dan Tariq bin ‘Aud. Riyadh : Dar al-‘A<simah, 2003.

Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah Hadith. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H.

Tahun, Ratibah Ibrahim Khitab. Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith. Kairo: Azhar University, 2009.

Tibby (al), al-Husain bin Abdullah. al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith. tahkik Subha al-Sahira’i. Beirut: ‘A<lam al-Kitab, 1985.

Zabidy (al), Muhammad Murtada al-Husaini. Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus. tahkik ‘Abd al-Sattar Ahmad Farraj. Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965.


[1] al-Qur’an, 16: 44.

[2] Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidy, Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus, Ed. ‘Abdul al-Sattar Ahmad Farraj, (Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965), 216.

[3] Ibid., 215.

[4]Jalal al-Din Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Ed. Ahmad Ma’bad ‘Abd al-Karim dan Tariq bin ‘Aud (Riyadh : Dar al-‘Asimah, 2003), 40. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith, (Kairo: Azhar University, 2009), 9.

[5]Abdullah Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 26. 

[6]Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[7] Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu, 26.

[8] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah Hadith, (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H), 17.

[9] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 9.

[10] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[11] Al-Qur’an, 51:58.

[12] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 114.

[13] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[14]al-Husain bin Abdullah al-Tibby, al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith, Ed. Subha al-Sahira’i, (Beirut: ‘Alam Al-Kitab, 1985), 33. Bandingkan dengan Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1, 42.

[15] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ju‘fy al-Bukhariyi, al-Jami’ al-Sahih, Nuskhah al-Sultaniyyah Vol I, (Kairo: Maktabah Tabary, 2010), Kitab Bad’i al-Wahyi, Bab 1, no. hadis 1.

[16] Khon, Ulumul Hadis, 110.

[17] Ibid., 110.

[18] Ibid., 111.

[19]Abdul Majid Khon berpendapat tampaknya ijazah dalam metode ini hanya sebagai tali pengikat semata antara guru dan murid. Lihat. Khon, Ulumul Hadis, 111.

[20]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 123.

[21] Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  25. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 111-112.

[22]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 125-126.

[23]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 126. Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  21.

[24] Lihat al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 125.

[25] (Memberitakan kepada kami, memberitakan kepadaku, aku telah mendengar)

[26] (Telah kubacakan kepadanya, mengabariku)

[27] (Dibacakan kepadanya dan aku turut mendengarkan)

[28] (Memberitakan kepadaku)

[29] (Memberikan kepadaku)

[30] (Berbicara kepadaku yakni dengan metode al-ijazah)

[31] (Menuliskan kepadaku atau mengirimiku tulisan/surat dengan metode al-ijazah)

[32] (Telah menyebutkan, telah meriwayatkan, telah berkata,  diriwayatkan dari)

[33] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 124.

[34] Ibid.

[35] Ibid., 125.

[36] Khon, Ulumul Hadis, 112. Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  27.

[37]Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1, 43-44. Lihat juga ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin” dalam Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith Al-Sharif, (Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009), 146. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 114. Bandingkan juga dengan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 95.

[38]‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin, 146.

[39] Nuruddin Itr mengutip definisi tersebut dari kitab al-Manhaj al-Hadith karya Muhammad Al-Simahi. Lihat Nuruddin ‘Itr, Ulum Al-Hadits, terj. Endang Soetari (Bandung:Remaja Rosdakarya,1995)  61.

[40] Khon, Ulumul Hadis, 114.

[41] Ibid.

[42] ‘Abdur Rahman I. Doi mengatakan semua kriteria rawi telah terangkum di Al-Risalah karya Imam Shafi‘i, Lihat lebih lanjut ‘Abdur Rahman I. Doi, Introduction to the Hadith, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991),16. Bandingkan dengan‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol I, 64-66. Bandingkan juga dengan Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 13-16.

[43] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol I, 66.

[44] ‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah, 146-147.

[45]‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah, 149. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116. Lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Ed. Ibrahim al-Zaibaq dan ‘Adil Murshid, Vol.III (Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th), 268-269.

[46] Terdapat perbedaan kembali dimana ‘Abdul Hadi menempatkan Imam Malik di kategori Amirul Mukminin, sedangkan Abdul Majid mencantumkannya di Al-Hakim. Imam Syafi‘i pernah mengatakan bila menyebutkan para ulama, maka Imam Malik lah bintangnya. Tak ayal bila ‘Abdul Hadi menempatkannya di kategori Amirul Mukminin. Lihat Lihat ‘Abdul Hadi, Al-Alqab Al-‘Ilmiyah, 162. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116.

[47] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa,1991), 18.

[48] Secara terminologis, sanad aly adalah sebuah sanad yang sedikit jumlah rawinya dan bersambung.  

الإِسْنَاد العَالِي هُو الذى قَلَّ عَدَد رِجَالُهُ مَعَ الاتصَال  

Lihat ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol II, 139.

[49] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol II, 140.

[50] Ibid.

[51] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, 22-23. Bandingkan dengan ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 141.

[52] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 144.

[53] Ibid., 145.

[54] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, Kitab al-Sahwi, Bab al-Khasr fi al-Salah, no. 1220.

[55] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 64-66.

[56] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2008), 85.

[57] al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy, Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul, (Beirut: Dar l-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 121.

[58] Ismail, Pengantar Ilmu, 160, 164, dan 167.

[59] ‘Abd al-Qadir Mahmud al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 27.

[60] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media, 1996), 97.

[61] Ismail, Pengantar Ilmu, 80.

[62] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41.

[63] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 67.

[64] Ibid., 68.

[65] Ciri khas umat Islam yang tidak dimiliki umat lain ada 3. Yakni, isnad, i‘rab dan ansab. (sanad, penguraian kata sesuai gramatikal bahasa Arab, nasab keturunan) sebagaimana yang diungkapkan Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad.  Lihat Al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 29.

[66] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 27.

[67] Ibid., 30.

[68] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 30-31.

[69] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41-42.

[70] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 98.

[71] Idri, Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at, (Disertasi—Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 187.

[72] Ibid., 184.

[73] Ibid., 185.

[74] Ibid., 185.

[75] Ibid., 186.

[76] Ibid., 187.

[77] Ismail, Pengantar Ilmu, 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...