|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Autentisitas, memang menjadi
wacana yang terlalu penting untuk dilewatkan dalam kajian hadis. Hadis
sebagai pedoman yang cukup menginspirasi manusia dalam dinamika kehidupannya,
pula sebagai bekal serta sokongan bagi orang yang tengah mengejar nilai-nilai
kebenaran, kini tengah dipertanyakan banyak orang keotentikannya bila
dihadapkan pada realita sejarah. Realita historis peradaban Islam yang tak
pernah bisa lepas dari noda hitam sepanjang perjalanannya banyak mengundang
rasa skeptis berhimpun di benak para pengkaji intelektual.
Bukan
lagi mempersoalkan tentang posisi hadis dalam bingkai keagamaan, karena
terlalu gegabah untuk diabaikan dalam kehidupan beragama.
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ [1]
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”
Namun yang lebih diperhitungkan adalah, bagaimana upaya purifikasi dengan mengandalkan pertolongan dari kenyataan sejarah ini, berhasil membuktikan autentisitas teks agama dan sejauh mana otoritas elemen-elemen di dalamnya bernilai akurat.
Disini, transmisi menjadi poin pertama yang perlu ditinjau lebih mendalam, karena berhubungan erat dengan keabsahan historis, tanpa melupakan tinjauan esensi atau Matan hadis. Proses transmisi teraplikasikan melalui sistem sanad. Aplikasinya mirip dengan rantai, saling sambung menyambung, hingga pada akhirnya jika terdapat seseorang yang meriwayatkan sebuah hadis, bisa ditelusuri balik ke belakang hingga rantai dapat terpautkan kepada Nabi SAW. Sekali lagi, guna mencapai tingkat kebenaran yang tak lagi samar. Sehingga sudah barang pasti, hadis tak akan eksis sampai kini tanpa keberadaan sanad dan Matan. Karena keduanya merupakan komponen vital yang tak bisa dipisahkan.
Pembahasan dalam disiplin ilmu hadis pun tak pernah lepas dari kedua hal ini. Sanad menjadi materi utama penelitian muhadisin dan lebih di dahulukan daripada Matan. Hal itu terjadi karena muhadisin berpendapat jika sanad sebuah hadis sudah lulus verifikasi, maka sangat kecil kemungkinan adanya kecacatan atau kepalsuan pada Matan.
Untuk mengetahui dan memahami
lebih lanjut tentang sanad dan Matan hadis, dalam makalah
ini penulis akan memaparkan definisi serta unsur-unsur sanad dan Matan.
Membahas peran sanad dalam dokumentasi hadis. Menelaah lebih
lanjut metode penulisan keduanya jika dilihat dari segi kelengkapan, sumber
berita dan penilaian sanad dan Matan hadis. Juga mencoba
menelisik kandungan Matan secara umum.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan sanad dan Matan? Jelaskan unsur-unsur yang
terdapat dalam sanad dan Matan!
2. Bagaimana
peran sanad terhadap dokumentasi hadis?
3. Bagaimana
metode penulisan sanad dan Matan bila dilihat dari segi
kelengkapan sanad, segi sumber berita sanad dan segi penilaian sanad
dan Matan?
4. Seperti apa
kandungan Matan secara umum?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
definisi dan unsur-unsur sanad dan Matan
2. Mengetahui
korelasi antara sanad dan dokumentasi hadis
3. Mengetahui metode
penulisan sanad dan Matan hadis dilihat dari segi
kelengkapan sanad, sumber berita sanad dan penilaian sanad
dan Matan hadis
4. Mengerti
kandungan Matan secara umum
D. Kegunaan
Penelitian
1. Memberikan
wawasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan sanad dan Matan
bagi penulis dan pembaca makalah.
2. Untuk
menjelaskan lebih spesifik tentang korelasi sanad dengan dokumentasi hadis,
beserta metode penulisannya dilihat dari beberapa sisi.
E. Kerangka
Makalah
Bab
I: Pendahuluan
a. Latar
belakang masalah
b. Rumusan
masalah
c. Tujuan
penelitian
d. Kegunaan
Penelitian
e. Kerangka
Makalah
Bab
II: Pembahasan
a. Studi
terminologi sanad dan Matan
1. Definisi sanad
dan Matan
2. Unsur-unsur
sanad dan Matan
b. Antara sanad
dan dokumentasi hadis
1. Dokumentasi
sanad hadis
2. Peran sanad
dalam dokumentasi hadis
c. Metode
penulisan sanad dan Matan hadis
1. Menurut
kelengkapan sanad
d. Kandungan Matan
hadis secara umum
Bab
IV: Penutup
Daftar
pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. STUDI TERMINOLOGI SANAD DAN MATAN
1. Definisi
Sanad dan Matan
Secara bahasa, sanad
berasal dari kata sanada yasnudu sunudan.[2] Sanad
berarti
ماارتفع من
الأرض في قبل الجبل أو الوادي[3]
“Tanah yang tinggi di muka/bukit gunung
atau wadi.”[4]
Tidak jauh
berbeda, menurut Ibn Jama‘ah ia berarti
ما ارتفع و
علا من سفح الجبل
“Tanah yang muncul naik dan meninggi di kaki bukit”
Dalam
bahasa Arab, dikatakan si fulan sanad atau dalam kata lain mu’tamad
yang berarti ia menjadi sandaran, pegangan ataupun pedoman.[5]
Dengan kata lain sanad secara bahasa berarti pedoman dan sandaran. Ia
juga berarti tinggi, karena sanad meninggikan atau mengangkat hadis
ke atas menuju sumbernya dalam hal ini adalah Nabi SAW.
Sedangkan isnad secara
bahasa mempunyai arti menyandarkan, mengangkat, mengasalkan. Maksudnya
رفع الحديث إلى قائله
“Menyandarkan hadis
kepada orang yang mengatakannya”
maupun
عزو الحديث إلى قائله
“Mengasalkan hadis kepada orang
yang mengatakannya.”[6]
Menurut al-Tibby
makna sanad dan isnad berdekatan, hampir sama, melihat berpegangnya
muhadisin kepada keduanya dalam penelitian keabsahan hadis.
Bahkan Ibn Jama‘ah menegaskan bahwa muhadisin menggunakan kedua istilah
tersebut untuk satu hal yang sama.[7]
Sementara,
sanad secara terminologis adalah
سلسلة
الرجال الموصلة للمتن[8]
“Rangkaian
mata rantai para perawi yang menghubungkan ke Matan hadis.”
Sedangkan menurut Ibn Jama‘ah
الإخبار
عن طريق المتن
“Berita
tentang jalan Matan”
Disebut
demikian, karena muhadisin berpegang dan bersandar pada jalan-jalan Matan,
yakni sanad dalam meneliti keabsahan hadis. Sementara Ibn Hajar
dalam Sharh Nukhbah mengatakan definisi sanad atau isnad
adalah
الطريق
الموصلة إلى المتن
“Jalan yang
menghubungkan ke Matan.”[9]
Kiranya
bagi penulis, berbagai pendapat ulama ini tidak jauh berbeda, kesemuanya
sepakat bahwa sanad adalah sarana ataupun jalan untuk menuju ke
substansi hadis. Jalan tersebut berisi rangkaian para perawi dari
setiap zaman yang meriwayatkan Matan dari Rasulullah SAW. Yang kemudian,
jalan ini menjadi sandaran para muhadis untuk menilai keotentikan
substansi hadis.
Beralih
ke Matan, Matan secara umum adalah esensi dari hadis
nabawi. Matan berisi pesan-pesan agama beserta pedoman dalam hidup dan
beragama. Secara bahasa al-matn berarti
ما صلب من الأرض وارتفع
“tanah yang keras dan tinggi”[10]
Sementara
al-matanah mempunyai makna kuat dan keras. Jamak dari Matan
adalah mutun. kata matin termasuk asma Allah bermakna Yang sangat amat
kuat, tidak lelah dalam melakukan apapun. Disebut juga dalam Al-Qur’an
¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rè Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ[11]
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi
rezeki Yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh.”
Matan secara
terminologis adalah
ألفاظ
الحديث التي تتقوم بها المعاني
“ Lafal-lafal hadis
yang mengandung berbagai makna”[12]
Begitulah perspektif al-Tibby
sebagaimana yang diungkapkan Suyuti dalam Tadrib Al-Rawi. Berbeda dengan
Ibn Hajar dan Ibn Jama‘ah. Kedua ulama ini hampir sama dalam mendefinisikan Matan.
Menurut kedua ulama tersebut Matan ialah
ما ينتهي إليه غاية السند من الكلام
“Perkataan yang menjadi ujung sanad.”[13]
Bila diperhatikan,
terdapat korelasi antara makna secara bahasa dan terminologi. Matan
tidak hanya sekedar berisi lafal-lafal hadis yang merupakan substansi
dan inti dari hadis, namun lebih dari itu. Berkat sokongan dari sanad,
yang telah mengangkat Matan ke para perawi yang membawanya,
sampai menuju ke sumber aslinya. ia menjadi bernilai tinggi, keabsahan teruji,
otoritasnya pun kuat, padat sebagaimana tanah yang meninggi dan mengeras padat.
Matan pun pada akhirnya menjadi suatu hal yang tidak gampang dijatuhkan
otoritasnya, apalagi diragukan kandungannya.
al-Tibby
memaparkan dalam al-Khulasah miliknya, Matan selanjutnya
diperdebatkan oleh para ulama. Apakah ia perkataan sahabat dari Rasulullah SAW
tentang ini itu, ataukah ia adalah sabda Rasulullah SAW semata? al-Tibby
berpendapat bahwa pendapat pertama yang lebih tepat, karena telah disepakati
bersama bahwa sunah mencakup ucapan, tindakan dan statement. Terlebih ulama
salaf menyatakan bahwa hadis mencakup perkataan sahabat dan tabiin,
jejak maupun fatwa-fatwa mereka.
Melihat hal ini, Nampak al-Tibby menganut pendapat mayoritas ulama hadis
bahwa hadis dan khabar sama,
tidak berbeda. Ia tidak termasuk golongan yang mempunyai perspektif bahwa hadis
adalah yang bersumber dari Nabi SAW, sedang tidak begitu dengan khabar.
Dikatakan khabar bila berasal dari selain Nabi SAW, seperti sahabat. Ditambah,
dirinya juga menegaskan bahwa hadis lebih umum dari sekedar yang sabda,
tindakan, statement yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. [14]
Penulis
pun mengamini perkataan al-Tibby, mengingat pengkerucutan Matan hanya
pada sabda Rasulullah SAW saja, menyebabkan perkataan maupun tindakan sahabat
dan tabiin tidak bisa masuk dalam kategori Matan. Padahal, dalam kaidah
disiplin ilmu hadis terdapat macam-macam hadis seperti hadis
mauquf dan maqtu yang notabene bersumber dari sahabat dan tabiin.
Sehingga apabila pendapat kedua menjadi panutan, tak ayal hal terburuk yang
akan terjadi ialah, kaidah dalam disiplin ilmu hadis menjadi tumpang
tindih dan rancu.
Dengan
demikian, setelah membaca semua penjelasan diatas, apabila terdapat sebuah hadis,
misalnya
حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ
قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة
بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على
المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى
دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ
إِلَيه (أخرَجَه البُخَارِي)[15]
Maka yang disebut sanad dari hadis
tersebut ialah
حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ
عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى
بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ
أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن
الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ.
Dan bagian yang disebut Matan adalah
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
الى مَاهَاجَرَ إِلَيه
2.
Unsur-unsur
sanad dan Matan
Dari contoh hadis diatas, bisa dilihat sanad
dan Matan dalam sebuah hadis terdiri atas beberapa unsur :
a.
Lambang periwayatan
b.
Perawi dan mukharrij
c.
Esensi hadis
a. Lambang Periwayatan
Lambang periwayatan yang
dimaksud adalah seperti lafal حَدَّثَنَا, أخْبَرَنِى , سَمِعْتُ. Yakni,
ungkapan-ungkapan yang menjelaskan keterkaitan, berupa pertemuan antar perawi
hadis. Dalam meriwayatkan hadis, setiap perawi akan
menyandarkan berita yang mereka bawa dengan menggunakan ungkapan seperti
diatas, untuk melambangkan bertemu langsung dengan perawi sebelumnya
atau tidak.[16]
Sehingga, bisa dikatakan lambang periwayatan adalah bentuk pertanggung jawaban
seorang perawi ketika meriwayatkan sebuah hadis. Karena perawi
diharuskan memakai ungkapan yang mewakili kondisinya ketika menerima hadis
tersebut dari pendahulunya.
Dari
segi bahasa, ungkapan haddathana, akhbarana, mempunyai arti yang
sama: diberitakan kepada kami. Namun, makna implisit dari kedua ungkapan tidak
sesederhana itu. Keduanya tidak sama karena mengandung metodologi yang berbeda.
Begitu juga dengan ungkapan ‘an, secara kasat mata memang berarti
diriwayatkan dari sebelumnya, seperti halnya lafal-lafal yang lain yang
mempunyai inti makna tersebut. Akan tetapi dalam disiplin ilmu hadis,
tepatnya dalam wacana tahammul wa al-‘ada’, tiap lambang periwayatan
mendeksripsikan kondisi yang beraneka ragam. Diantaranya :
1. حَدَّثَنَا / حَدَّثَنِي / سَمِعْتُ : Ketiga lambang tersebut mendeskripsikan bahwa seorang perawi mendapat hadis dengan metode al-sama‘, dimana ia sebagai murid mendengarkan guru meriwayatkan hadis kepadanya secara langsung. Abdul Majid Khon mengatakan dalam kondisi ini, guru memang terlihat lebih aktif, karena guru membaca, murid tinggal mendengarkan saja. Namun, sebenarnya murid pun dituntut lebih aktif, karena ia dituntut untuk mampu menirukan, menghafal sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Selanjutnya, bila seorang murid ini mendapatkan hadis dari gurunya ketika bersamaan dengan murid-murid yang lain, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنَا. Sedangkan, bila dirinya hanya sendirian ketika itu, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنِي. Sanad yang menggunakan salah satu lambang periwayatan diatas di segala tingkatan dihukumi muttasil (bersambung).[17]
2. أخْبَرَنِى / أخْبَرَنا /قرأتُ عَلَيْهِ : Inilah lambang periwayatan yang menunjukkan metode al-‘ard atau al-qira’ah. Dimana seorang perawi sebagai murid membaca di hadapan gurunya. Guru hanya mengiyakan apabila bacaan hadisnya benar dan menyalahkan jika bacaannya salah lalu membetulkannya. Bisa juga dikatakan metode al-‘ard jika murid lain membaca hadis di hadapan gurunya dan perawi hadis ini turut menyimak dan mendengarkan. Metode ini serupa dengan metode pengajaran di pesantren yang lebih dikenal dengan istilah sorogan. Lambang periwayatan ini juga masih dihukumi muttasil.[18]
3. أَنْبَأنَا / أَنْبَأنِي : Dipakai untuk mewakili metode al-ijazah. Dalam metode ini guru memberikan izin kepada muridnya. Murid diberi hak untuk meriwayatkan hadis yang terdapat dalam kitab gurunya. Dengan demikian hadis yang disampaikan lewat metode ini ialah hadis-hadis yang telah terhimpun dalam naskah atau kitab. Disamping itu, guru pun dapat memberikan ijazah atau perizinan untuk satu kitab saja maupun lebih. Semua kembali kepada kehendak guru, dengan melihat kapabelitas muridnya. Metode ini resmi teraplikasikan ketika guru mengatakan “ajaztu laka kadza” kepada si murid. Lalu murid menjawabnya dengan ungkapan “qabilna”. Begitulah bentuk ijab kabul dalam metode al-ijazah.[19] Sehingga, untuk menilai sanad dengan lambang periwayatan ini, pakar ilmu hadis perlu melihat kembali kualitas periwayatan antara guru dengan murid beserta naskah/kitab yang diijazahkan.
4. قَالَ لِي / ذَكَرَ لِي : Qala liy (ia berkata kepadaku) atau dhakara liy (ia menyebutkan kepadaku) digunakan perawi bila ia berada dalam kondisi al-sama‘ al-mudzakarah. Yakni, guru membacakan hadis dan murid mendengar dalam konteks mengajar, bukan bermaksud berada dalam konteks meriwayatkan. Tentunya kedua belah pihak tidak siap dan optimal bila dianggap sebagai proses periwayatan. Berbeda bila kedua belah pihak berada dalam konteks periwayatan. Pastinya, guru dan murid telah siap untuk memberi atau menyampaikan hadis dan menerimanya. Lambang periwayatan ini masih diperselisihkan para ulama, apakah ia termasuk dihukumi muttasil sebagaimana al-sama‘.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafal qala liy menunjukkan metode al-sama‘ bila tidak mengandung unsur-unsur tadlis (pemalsuan). Bahkan dalam muqaddimah Sahih Bukhari yang diambil dari Ibn Mulqan dipaparkan bahwa lambang periwayatan diatas dalam kitab Sahih berarti muttasil meskipun Abu Ja‘far bin Hamdan mengatakan al-ard atau munawalah.[20] Munawalah adalah metode dimana guru memberikan kitab kepada muridnya sambil berkata “inilah hadisku atau riwayatku dari Fulan”. Dan biasanya metode ini dibarengi dengan metode al-ijazah. Begitu juga Ibn Mundih yang menyatakan lafal tersebut menunjukkan al-ijazah.[21]
5. عَنْ : Hadis yang terdapat lambang periwayatan ‘an disebut hadis mu‘an‘an. Biasanya dalam suatu sanad disebutkan dalam bentuk "عَنْ فُلاَن" . Ada juga hadis mu’an’an yang mempunyai hukum serupa dengan mu‘an ‘an . Biasanya disebutkan dalam sanad menggunakan ungkapan " أَنَّ فُلاَن ". Lambang periwayatan ini dapat dinilai muttasil, bahwa perawi mendengar langsung dari pendahulunya (metode al-sama‘) dengan beberapa syarat. Pertama, perawi tidak boleh seorang pemalsu hadis (mudallis). Kedua, perawi yang meriwayatkan hadis haruslah hidup sezaman dengan perawi sebelumnya. Sehingga, bisa dipastikan pertemuan diantara kedua belah pihak.[22]
Nuruddin
‘Itr dalam Sharh Nukhbah Ibn Hajar berkomentar, kita dapat memastikan pertemuan
antar perawi satu dengan
sebelumnya dengan menelisik kedua biografi perawi dan mendapati bahwa
keduanya pernah menempati daerah tertentu. Sehingga, tidak cukup dengan alas an
hidup sezaman semata sebagai dasar dari adanya pertemuan. Selanjutnya, agar
benar-benar mengetahui kedua perawi ini bertemu atau tidak, kita bisa
bersandar pada beberapa hal. Diantaranya, pengakuan perawi sendiri bahwa
dirinya telah bertemu syaikh perawi sebelumnya. Atau penegasan dari
salah seorang ulama hadis bahwa si perawi memang telah bertemu
dengan perawi sebelumnya.
Sementara
para ulama berselisih pendapat dalam masalah menentukan bersambungnya sanad
dengan alasan hidup sezaman dan kemungkinan adanya pertemuan asalkan perawi
bukan mudallis. Ali bin al-Madiny menolak perspektif tersebut beserta beberapa muhadisin
yang lain. Sedangkan, perspektif Muslim sejalan dengan pendapat di atas. Karena
perawi yang bukan mudallis tidak akan meriwayatkan apapun dari orang
yang hidup sezamannya menggunakan lafal ‘an, bila ia belum bertemu
dengan orang tersebut. Sehingga, Muslim sepakat bilamana perawi yang
menggunakan lafal ‘an kemungkinan memang telah pernah bertemu dengan perawi
sebelumnya yang hidup sezaman dengan dirinya, walaupun ia tidak pernah
menyebutkan pertemuan tersebut.
Nuruddin
‘itr pun juga menyalahkan persepsi orang-orang masa kini yang menganggap bahwa perawi
yang hidup sezaman dengan perawi sebelumnya tidak perlu mendengarkan
langsung darinya bila ingin menggunakan lafal ‘an. Hidup sezaman semata
sudah cukup menjadi sandaran. Nuruddin membantah hal tersebut, karena yang
dibahas Muslim bukan perlu tidaknya pertemuan. Namun ada tidaknya kemungkinan
pertemuan antar kedua belah pihak, melihat perawi yang bukan mudallis
tidak meriwayatkan dengan lafal ‘an untuk orang belum pernah ia temui
meskipun hidup sezaman.
Sementara
Ibn Hajar sendiri lebih cenderung kepada kelompok pertama yang lebih
memperketat syarat-syarat hadis mu‘an‘an yang dihukumi muttasil. Adapula sebagian pakar hadis seperti
Bukhari, Ali bin al-Madiniy yang mengharuskan adanya kepastian pertemuan antara
perawi dengan shaikhnya ataupun dengan perawi tingkat sebelumnya,
meskipun pertemuan mereka hanya sekali.[23]
Pernyataan
Ibn Hajar yang mencantumkan Bukhari termasuk dalam kelompok Ali bin al-Madiny
perlu ditelaah lebih lanjut menurut Nuruddin Itr, karena Muslim adalah murid
Bukhari yang sangat terkenal dengan pribadinya yang amat sangat hormat
sekali kepada sang guru. Sehingga tidak
pantas dan sesuai kiranya bila pendapat Bukhari ini menjadi lawan dan pembantai
utama pendapat muridnya. Namun, penulis melihat ketidakcocokan atau perbedaan
pendapat antara guru dan murid bisa saja terjadi. Buktinya, dalam mencanangkan
klasifikasi perawi dalam sanad untuk kedua masterpiece mereka,
mereka mempunyai klasifikasi yang berbeda-beda.
Para
perawi yang berada di kategori yang kedua, yakni orang-orang yang mempunyai
sifat amanah serta kecermatan dan kecerdasan tinggi namun tak terlalu sering
menemani al-Zuhri dibandingkan dengan kategori pertama, seperti ‘Auza‘i dan
Laith bin Sa‘ad, riwayat orang-orang tersebut tidak banyak diambil oleh
Bukhari, kalaupun dirinya mengambil hadis dari kategori kedua ini, ia
tidak mengambil hadis tersebut sebagai hadis pokok kitab sahihnya.
Berbeda dengan Muslim yang masih menjadikan orang-orang tersebut sandaran dalam
periwayatan hadis di kitab sahihnya. Tidak
hanya sekedar hidup sezaman. Hal tersebut dicanangkan supaya keselamatan dan
keamanan hadis lebih terjaga dari hadis mursal khafiy. Namun bila kedua syarat diatas tidak mampu
dipenuhi maka hadis mu‘an‘an mau tidak mau dihukumi mursal
atau munqati‘.[24]
Ibn Hajar sendiri membuat tingkatan lambang
periwayatan dilihat dari sisi kualitas metode periwayatannya. Tingkatannya
dimulai dari yang tertinggi.
1. حَدَّثَنَا , حَدَّثَنِي , سَمِعْتُ [25]
2. أخْبَرَنِى ,
قرأتُ عَلَيْه [26]
3. قُرِئ عَلَيه
وَ أَنَا أَسْمَع [27]
4. أَنْبَأَنِي [28]
5. نَاوَلَني [29]
6. شَافهَنِي أي
بالإِجَازَة [30]
7. كَتَبَ إلَيَّ
أي بالإِجَازَة [31]
8. عَن, قَالَ,
رَوى ,ذَكَرَ [32]
Secara bahasa حَدَّثَنِي dan أخْبَرَنِى mengandung arti yang tidak jauh
berbeda. Keduanya berarti memberitakan kepadaku. Namun ketika para ulama di
kemudian hari menjadikan lafal-lafal tersebut sebagai istilah tertentu dalam
disiplin ilmu hadis, maka lafal tersebut lebih dikenal dengan artian istilah
yang sudah ditentukan oleh para ulama ketimbang dipahami secara hakikat bahasa.
Sementara yang perlu diketahui bahwa istilah haddathana hanya sering
dipakai dan terkenal bagi ulama-ulama timur. Sedangkan mayoritas ulama-ulama
barat belum menggunakan istilah haddathana, mereka masih menganggap
kedua lafal itu tidak ada bedanya. Dengan demikian penulis merasa kurang tepat
kiranya bila kita langsung mengambil kesimpulan bahwa sanad yang memakai
lambang periwayatan akhbarana nilainya lebih rendah dibanding sanad
haddathana, baiknya ditelaah lebih lanjut, apakah para perawinya
termasuk ulama barat atau timur, menimbang kenyataan yang terjadi dahulu kala
dimana muhadisin yang bermukim didaerah barat Islam belum membedakan
kedua istilah tersebut.[33]
Kemudian, apabila perawi menggunakan jamak
dalam lambang periwayatannya, yakni berakhiran na seperti haddathana,
akhbarana, anba’ana mengartikan bahwa dalam proses penerimaan
riwayat hadis, perawi bersama para perawi yang lain, ia
tidak sendirian. Namun, kemungkinan pula ia berarti sendirian bila ia
membahasakan dirinya dengan kami.[34] Ada beberapa orang di berbagai
daerah yang mempunyai kebiasaan menyebut dirinya dengan kami, bukan saya ketika
berbicara. Hal itu dilakukan oleh sebagian orang yang menganggap ungkapan kami
menandakan lebih sopan. Sehingga tak menutup kemungkinan bila maksud dari
lambang periwayatan tersebut adalah hanya perawi itu sendiri meskipun
menggunakan kata jamak.
Begitupula dengan lafal anba’ana wa akhbarana,
menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu) tak ada beda antar keduanya.
Namun menurut ulama muta’akhirin (masa kini) anba’ana mempunyai
arti seperti ‘an yang didapat melalui metode ijazah. Anba’ana pun
dipakai untuk lafal yang mewakili metode ijazah.[35]
Selanjutnya,
lambang periwayatan yang menggunakan ungkapan aktif seperti قَالَ, أَمَرَ, ذَكَرَ (dia berkata, dia perintah, dia menyebutkan) secara garis besar
bernilai sahih bila berada dalam kedua kitab Sahih, seperti yang
dijelaskan Mahmud Tahhan. Sedangkan ungkapan pasif seperti يُرْوى, رُوِيَ, ذُكِرَ, يُذْكَر,
يُحْكَى, حُكِيَ ( diriwayatkan, disebutkan,
diceritakan) tidak bisa dihukumi sahih sekalipun berada dalam kedua
kitab Sahih, dan kenyataannya memang tidak ada dalam kedua buku
tersebut.[36]
Penulis
kurang sepakat bila dikatakan tidak ada lambang periwayatan dengan ungkapan
pasif di kedua kitab Sahih. Sebab kenyataannya ungkapan pasif terdapat
dalam hadis mu‘allaq di kitab Sahih Bukhary, dan hal itu
memang tertulis dalam mukadimah. Hanya saja mereka menyebutnya dengan sighah
al-tamrid. Sebagaimana yang telah diketahui, hadis-hadis yang
menggunakan sighah tersebut ada yang bernilai sahih, adapula yang
daif. Namun, hadis-hadis di dalam Sahih Bukhary
yang menggunakan ungkapan pasif bersifat
sahih menurut syarat Bukhari, meskipun kuantitasnya hanya sedikit.
Bukhari menggunakan lambang periwayatan tersebut karena ia meriwayatkan secara
maknawi atau ia bermaksud untuk merangkumnya.
b.
Perawi dan mukharrij
Perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari
kata riwayah, yang berarti menukilkan atau memindahkan. Secara terminologis
sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, perawi
ialah orang yang meriwayatkan hadis lengkap dengan sanadnya, yang
ia dengar dari gurunya dan ia sampaikan kepada muridnya.[37]
Sedangkan
Abdul Majid Khon mendefinisikan perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis
atau menyampaikan periwayatan hadis dari seorang guru kepada orang lain
yang terhimpun ke dalam buku hadis. Kiranya bagi penulis definisi yang
ditawarkan Abdul Majid lebih tepat untuk mukharrij, seperti Bukhari dan
Muslim. Mengingat perawi menurut ulama bermacam-macam tipe dan
tingkatan. Bila perawi mencapai tingkat musnid, berarti ia perawi
yang hanya sekedar meriwayatkan. Bila muhaddith, tingkatnya lebih tinggi
dari musnid. Berarti ia juga hafal Matan hadis dan
mengetahui kapabelitas masing-masing orang di dalam sanad. Bahkan Ibn
Sam‘ani mengatakan bahwa perawi adalah orang yang tidak memahami Matan
juga sanad. Hanya sekedar
meriwayatkan.
Terlebih Utang Ranu juga menjelaskan bahwa
terdapat dua perbedaan mengenai istilah rawi, ada sebagian yang
memandang perawi ini sebagai orang-orang yang disebutkan dalam sanad
sebelum Matan, sehingga tak heran bila rawi dianggap orang yang
menerima dan menyampaikan hadis saja sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd
al-Hadi dan ada juga yang memahami perawi dalam konteks pembukuan hadis,
sehingga sesorang disebut rawi apabila menerima hadis dan
menghimpunnya dalam suatu kitab, persis dengan mudawwin (penyusun dan
penghimpun hadis). Rawi dalam konteks ini disebut pula mudawwin
atau mukharrij.
مَنْ ينقل الحديث بإِسْنَادِهِ
يَسْمَعُهُ مِنْ شُيُوْخِهِ وَيُحَدِّثُ بِهِ تَلاَمِذِهِ [38]
Sementara Nuruddin ‘Itr menjelaskan definisi rawi
adalah orang yang menerima hadis dan menyampaikannya dengan salah satu
bahasa penyampaiannya (dengan salah satu lambang periwayatan).[39]
Sedangkan mukharrij berasal dari kata takhrij,
istikhraj dan ikhraj yang berarti menampakkan, mengeluarkan dan
menarik. Realitanya, pekerjaan seorang mukharrij memang mengeluarkan hadis
(menyebut hadis) dengan sanadnya sendiri dari dalam kitab-kitab
himpunan hadis. al-Muhdi memaparkan definisi mukharrij ialah
penyebut periwayatan seperti Bukhari.[40]
المخرج هُو ذَاكِرُ الرِّوايَة
كالبُخَارِى
Bisa dilihat dalam contoh hadis tentang niat,
di akhir hadis tertulis أخرَجَه البُخَارِي yang menandakan mukharrij dalam hadis tersebut
adalah Bukhari. Terkadang juga memakai lafal رَوَاهُ, kandungan artinya tetap sama dengan lafal أخرَجَه.[41]
Kembali lagi kepada perawi, yang dimaksud
dengan perawi dalam sebuah hadis di sini adalah orang-orang yang
berada dalam sanad, orang-orang yang memakai lambang periwayatan dalam sanad
(rijal al-sanad). al-rawi atau perawi adalah orang yang
hanya sekedar meriwayatkan. Ia tidak mengetahui tentang seluk beluk ilmu riwayah
maupun dirayah, tidak tahu tentang ilmu jarh dan ta‘dil,
apalagi tentang nilai sahih dan lemahnya hadis. Yang dilakukannya
hanyalah menyampaikan hadis semata dari satu daerah ke daerah lain, dari
satu generasike generasi yang lain. Ia hanya sebatas mendengar dan menerima hadis
lalu meriwayatkannya.
Disamping itu, rawi juga mempunyai
kriteria-kriteria khusus, tidak sembarang orang bisa menjadi rawi.
Kriteria tersebut terhimpun dalam dua poin, kesalehan dan kecerdasan (kecermatan
dan hafalan yang kuat) yang dalam bahasa disiplin ilmu hadis disebut ‘adalah
dan dabit. ‘adalah yakni suatu sifat dan watak yang sangat kuat
yang mampu mengarahkan pribadinya pada ketakwaan, menjauhi segala sesuatu yang
mungkar dan segala sesuatu yang dapat merusak harga dirinya (muru’ah).
Poin ‘adalah mencakup beberapa faktor, meliputi: Islam, balig, berakal
sehat dan takwa.[42]
Sementara dabit ialah sikap penuh kesadaran dan
tidak lalai, kuat hafalannya bila dirinya meriwayatkan hadis berdasarkan
hafalannya, benar tulisannya bila ia meriwayatkan berdasarkan tulisannya.
Sementara, bila ia meriwayatkan hadis secara maknawi maka ia akan tahu
persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[43]
Contoh perawi sangat banyak sekali. Di antaranya
Habib bin ‘Abdullah Al-Azadi Al-Yuhmidi, Abu Dawud meriwayatkan satu hadis
darinya di bab Saum (puasa). Riwayatnya tidak ditemukan dalam kutub
al-sittah kecuali satu hadis tersebut. Abu Hatim menyebutnya majhul.
Kedua, ‘Uthman bin Harb Al-Bahily, dirinya pernah meriwayatkan beberapa riwayat
yang tidak terlalu banyak dari para tabiin.[44]Ada
beberapa klasifikasi bagi para perawi hadis dan ulamanya. Di antaranya:
1. Al-Musnid, Al-Talib dan Al-Mubtadi’
Ini
adalah gelar untuk ulama hadis, tingkatannya sederajat dengan Al-Rawi,
hanya sekedar meriwayatkan.
2.
Al-Muhaddith
Seorang
yang menghafal banyak hadis, dan memahami sepenuhnya tentang sanad-sanad
yang ada didalamnya. Lebih jelasnya, seseorang itu haruslah hafal hadis-hadis
yang ada dalam kutub al-sittah, dan lainnya seperti Musnad Ahmad bin
Hanbal, Ma‘ajim Tabrani, Sunan Baihaqi, serta mengetahui para perawi
berikut sanad yang ada di dalamnya. Dengan kata lain ia harus menghafal
sekitar 20.000 hadis lengkap dengan sanad dan memahami
kapabelitas perawinya. Contohnya Abu Bakar bin Muhammad bin Ismail al-Muhandis
(w. 385) berasal dari Mesir dan Abu al-Husain Ahmad bin Hamzah bin Abi al-Hasan
Ali al-Muwaziny al-Sulamy al-Dimashqi (w. 585) seorang muhaddith dari
Damaskus beserta Muhammad Murtada al-Zabidy (penyusun Sharh Ihya’ Ulum
Al-Din).
3.
Al-Hafiz
Ulama hadis
terdahulu menyamakan antara al-hafiz dengan al-muhaddith, sementara
ulama hadis akhir-akhir masa ini membedakannya. Gelar ini diberikan
kepada ahli hadis yang mampu menghafal sebagian besar hadis
nabawi dan mengetahui penuh tentang ilmu sanadnya beserta Matan hadis.
Menurut sebagian pendapat, ia harus menghafal 100.000 -300.000 hadis.
Al-Hafiz berada ditingkat yang lebih tinggi dari gelar kedua. Contohnya seperti
Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463) dan Ibn Hajar al-Asqalani (w.852).
4.
Al-Hujjah
Gelar
ini diberikan kepada ahli hadis yang hafalan hadisnya dan
kedalaman ilmunya dalam memahami sanad dan Matan hadis
bisa dijadikan hujah, pedoman dan referensi bagi penghafal yang lain. Sebagian
pendapat mengharuskan ahli hadis tersebut harus menghafal 300.000 hadis.
Contohnya: al-Hasan al-Basri (w. 110), ‘Urwah bin Zubair ( w. 94), Qatadah (w.
118) dan ‘Amru bin Dinar (w. 126). ‘Abdul
Mahdi menjelaskan bahwa ‘Amru bin Dinar termasuk golongan Al-Hujjah, sementara
Abdul Majid Khon memasukkannya dalam kategori Al-Hakim.
Penulis juga masih belum
mengetahui apa dasar keduanya dalam
mengklafisikan ‘Amru bin Dinar sebagai gelar keempat atau kelima. Hanya
saja dalam Tahdzib Al-Tahdzib, banyak muhadisin yang memuji kualitasnya,
banyak yang menyebutnya thiqah, bahkan thiqah thabat. Dinilai
lebih baik daripada Qatadah, dan lebih alim dan fakih daripada Mujahid dan
‘Ata’. Sehingga penulis pribadi sedikit lebih cenderung kepada Abdul Majid
Khon, sebab telah dikatakan ‘Amru bin Dinar lebih tinggi kualitasnya
dibandingkan Qatadah, sayangnya penulis belum menemukan jumlah hafalan hadis
dari yang bersangkutan apakah memenuhi kriteria gelar Al-Hakim atau tidak .[45]
5. Al-Hakim
Sebagian
ulama hadis tidak menganggapnya sebagai gelar muhadisin, gelar
ini sama saja dengan al-Hujjah. Namun, yang lain berpendapat Al-Hakim
masih termasuk gelar unttuk muhadisin, dan mereka menganggap gelar ini
berada diantara al-Hujjah dan Amirul Mukminin. Mereka mendefinisikannya
sebagai ahli hadis yang mengetahui semua hadis, mengetahui
tentang semua hal yang berhubungan dengan sanad-sanadnya berikut Matan.
Juga menghafal sekitar 800.000 hadis. Seperti Ibn Jarir al-Tabari
(w.310) dan Ibn al-Bayyi‘(w. 405).
6. Amirul Mukminin
Merupakan
gelar puncak bagi ahli hadis yang ilmunya dirayah dan riwayatnya
melebihi dari kualitas semua gelar sebelumnya di setiap masa. Para ulama
mutaqaddimin yang menerima gelar ini adalah Ibn Shihab al-Zuhri (w. 124),
Sufyan al-Thauri (w. 161), Bukhari (w. 256), Malik bin Anas (w. 179).[46]
Dalam sanad juga ada istilah lainnya, seperti
awal sanad, akhir sanad, awal rawi dan akhir rawi. Semuanya
memiliki maksud yang berlawanan. Awal sanad berarti akhir rawi.
Begitupula sebaliknya. Bila menilik kembali pada contoh hadis tentang
niat diatas kita dapatkan silsilah sanad sebagai berikut:
Al-Humaidy
‘Abdullah bin Al-Zubair : awal sanad
dan akhir rawi
Sufyan :
awsat sanad (sanad tengah)
dan awsat rawi (rawi tengah)
Yahya bin Sa‘id al-Ansary : awsat sanad dan awsat rawi
Muhammad
bin Ibrahim al-Taimiy : awsat
sanad dan awsat rawi
‘Alqamah
bin Waqas al-Laithi :
awsat sanad dan awsat rawi
‘Umar
bin Khattab :
akhir sanad dan awal rawi
Perhitungan rawi dimulai dari siapa yang
menerima hadis tersebut pertama kali dari Rasulullah SAW. Sedangkan
perhitungan sanad dilihat dari siapa yang jaraknya paling dekat dari mukharrij
atau siapa yang pertama kali disebut ketika sanad hadis dibaca. Kemudian
sebutan awsat entah sanad maupun rawi diperuntukkan bagi
semua orang yang urutan namanya terletak diantara awal dan akhir, sanad
maupun rawi.[47]
Dalam sanad juga dikenal istilah sanad ‘aly
(tinggi) dan sanad nazil (rendah). Sanad aly
merupakan sanad yang jumlah perawinya sedikit dan bersambung.[48] Disebut dengan derajat aly karena
sedikitnya kuantitas perawi membuat kemungkinan adanya kecacatan dalam hadisyang
diriwayatkan sangat kecil sekali. Ketinggian sanad merupakan salah satu
faktor kekuatan sanad. al-Hafiz Abu al-Fadl al-Maqdisi mengatakan ulama hadis
dan ahli riwayat sepakat untuk mencari dan memuji ketinggian sanad,
karena apabila mereka hanya puas dengan sanad yang rendah (banyak
untaian perawinya) niscaya mereka tidak merasa perlu mengadakan
ekspedisi guna mencari hadis dari guru yang lebih senior. [49]
Sementara telah diketahui bersama bahwa ulama
terdahulu sangat gemar melakukan ekspedisi hadis, bila mereka mendapat
informasi bahwa hadis yang mereka dapatkan dari seorang muhadis A
berasal dari gurunya yang masih hidup sezaman dengan mereka. Semua ini
dilakukan kecintaan mereka terhadap ketinggian sanad, bahkan Ahmad bin
Hanbal menceritakan bahwa hal tersebut merupakan sunah orang-orang terdahulu.[50]
Dalam sanad aly juga ada istilah thulathiyyat.
Yakni, antara mukharrij dengan Rasulullah SAW hanya tiga perawi
saja. Bukhari dalam masterpiecenya memiliki beberapa thulathiyyat. sanad
thulathiyyatnya terhitung ada sekitar 5 sanad. Diantaranya
riwayat al-Makki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-Akwa’
RA. Dan riwayat Muhammad bin al-Ansari dari Hamid dari Anas RA.[51]
Tidak hanya Bukhari yang memiliki thulathiyyat, Ahmad bin Hanbal juga
mempunyai thulathiyyat dalam musnadnya. Salah satunya riwayat dari
Sufyan dari ‘Amr dari Jabir RA.
Istilah yang kedua adalah sanad nazil
(rendah). Ialah antonim dari sanad ‘aly, yaitu sanad yang
jaraknya jauh. Banyak muhadisin yang tidak menyukai sanad ini
dibanding ‘aly. Ibn Ma‘in berkata sanad nazil itu bagaikan cacar
diwajah. Bahkan Ibn Al-Madiny terang-terangan mengatakan bahwa kerendahan sanad
adalah sebuah kecelakaan. Namun muhadisin tidak serta merta menganggap
semua sanad ‘aly hadisnya sahih dan sanad nazil
hadisnya daif. Melainkan semua kembali pada kualitas pribadi para
perawinya. [52]
Sesuai dengan yang Ibn al-Mubarak katakan, kualitas
suatu hadis itu tidak ditentukan oleh dekatnya sanad, melainkan
ditentukan oleh ke-tsiqat-an (tepercaya) para rawinya. al-Hafiz al-Silafi
menambahkan, yang paling menentukan adalah pengambilan dari para ulama. maka hadis
nazil dari para ulama itu lebih utama daripada hadis ‘aly dari
orang-orang bodoh. Demikian menurut para ahli riwayat. [53]
c.
Esensi hadis (Matan)
Esensi hadis atau Matan merupakan salah
satu dari unsur hadis itu sendiri. Lalu ketika kita menilik unsur yang
terdapat dalam Matan hadis, akan kita temukan dua unsur berbeda,
atau lebih tepatnya dua bentuk model lafal yang berbeda. Pertama, lafal yang
tertera di Matan merupakan sebenar-benarnya lafal yang diucapkan
Rasulullah SAW. Dalam hal ini mengartikan bahwa Matan hadis
diriwayatkan lafdiyah, sesuai kalam Nabi SAW. Kedua, lafal yang tertera
di Matan bukan lafal yang sesuai dengan kalam Nabi SAW, melainkan lafal
yang mengandung makna yang sama dengan apa yang diucapkan Nabi SAW. Dalam
konteks ini berarti Matan hadis diriwayatkan rawi secara
maknawi. Dengan demikian, Matan memiliki dua unsur : lafdiyah dan
maknawi.
Contoh dari Matan lafdiyah bisa kita lihat hadis
di atas tentang niat. Selanjutnya, di bawah ini merupakan contoh dari Matan
maknawi.
حَدّثَنَا عَمْرو بن عَلِي حَدّثَنَا يَحيَى حَدّثَنَا
هِشَام حَدّثَنَا مُحَمَّد عَن أبِي هُرَيْرة رضي الله عنه قال نُهِيَ أَنْ
يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا [54]
Tentang periwayatan secara maknawi, terdapat perbedaan
pendapat antar ulama. Akan tetapi telah disepakati bahwa periwayatan secara
maknawi diterima validitasnya oleh ulama, asalkan perawi tidak
mengurangi atau menambah isi hadis, dan memahami betul esensi dari hadis
yang bersangkutan serta mampu mengutarakannya dengan kata-kata yang tepat.[55]
Dan periwayatan maknawi ini diperbolehkan bila rawi khawatir tidak kuat
atau tidak tepat dengan hafalannya sendiri waktu itu, sedang ia berada dalam
kondisi yang sangat membutuhkan hadis tersebut.[56]
Menurut Abi al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy sebaiknya perawi
yang meriwayatkan secara maknawi menambahkan lafal كما قال atau نحوه atau شبهه atau ما أشبه هذا .[57]
Bila Matan dilihat dari sumber berita, maka ia
mengandung 4 unsur atau 4 macam: Pertama, hadis qudsi yang sumber
beritanya dinisbatkan pada Allah SWT meskipun lafalnya dari Nabi SAW.[58]
Kedua, hadis nabawi atau yang seringkali disebut marfu’ dalam
istilah ilmu hadis, yaitu hadis yang sumber beritanya dinisbatkan
kepada nabi Muhammad SAW. Ketiga, hadis mauquf yang rawinya
berujung pada sahabat dan disandarkan pula Matan hadis padanya.
Yang terakhir, hadis maqtu‘ yang dinisbatkan kepada tabiin. Untuk
lebih jelasnya, akan dipaparkan lebih jelas lagi dipembahasan selanjutnya.
B. ANTARA SANAD DAN DOKUMENTASI HADIS
1.
Dokumentasi
Sanad Hadis
Sanad merupakan salah satu ciri khas umat Islam yang tidak
dimiliki siapapun. Lebih spesifik lagi, bisa dikatakan sanad merupakan
ciri khas muhadisin, hanya milik disiplin ilmu hadis, bukan
disiplin ilmu yang lain. Ia juga salah satu tiang penguat agama.[59]
Dokumentasi sanad dimulai bersamaan dengan
dokumentasi hadis, Utang Ranu menjelaskan salah satu keistimewaan hadis
dari dokumen sejarah yang ada di dunia adalah tertulisnya data orang-orang yang
menerima dan meriwayatkan hadis tersebut, yang disebut dengan sanad.[60]
Mengenai penulisan hadis sendiri, sebenarnya
sudah dimulai sejak masa Nabi SAW. Dimana tidak sedikit dari sahabat yang
menulis hadis nabawi di pelbagai media, seperti pelepah kurma, kulit-kulit
kayu, tulang hewan. Sebagaimana yang telah dilakukan Abdullah bin ‘Amru bin
‘A<s. Tulisan-tulisannya disebut al-Sahifah al-Sadiqah. Begitu juga dengan
Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary pemilik Sahifah Jabir, Ali bin Abi Thalib, dsb.[61]
Hanya saja penulis berasumsi kemungkinan sanad
telah ditulis bersamaan dengan penulisan hadis di zaman ini sangatlah
kecil. Sebab, kemungkinan besar perawi yakni sahabat mendengar hadis
tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Tanpa adanya perantara, tak ayal sanad
tak perlu ditulis ketika itu. Sehingga, sekali lagi penulis berasumsi
kemungkinan sanad mulai ditulis pasca masa sahabat. ketika hadis
mengalami proses penghimpunan resmi atau masa kodifikasi yang direalisasikan
oleh Ibn Shihab al-Zuhri. Terlebih, Ibn Sirrin mengatakan bahwa pasca fitnah
orang mulai menanyakan isnad, dan menyuruh perawi menyebutkan sanad
miliknya ketika meriwayatkan hadis.[62]
Meskipun tidak menutup kemungkinan bila sanad telah ditulis sebelum masa
kodifikasi resmi. Hanya saja yang disayangkan penulis belum menemukan data yang
menunjukkan hal tersebut.
Yang pasti, bukti dokumentasi sanad hadis
ini bisa kita saksikan dalam kutub al-sittah. Jika ingin menilik
masterpiece yang lebih tua lagi umurnya, kita bisa menelisik kitab Muwatta’
Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dan tentunya masih banyak
kitab lainnya. Dalam buku-buku tersebut, sanad hadis
terdokumentasikan sangat apik dan tertib. Menunjukkan ketelitian, keuletan,
kesabaran serta profesionalisme muhadisin terdahulu.[63]
Karena, di zaman yang masih terbatas sarana dan pra sarana, mereka telah sadar
penuh akan urgensitas sanad sebagai salah satu disiplin keilmuan.
Dalam kitab-kitab hadis mukharrij mendokumentasikan segala
bentuk sanad. Mencakup hadis yang mempunyai banyak jalan sanad
seperti mutawatir dan mashhur , maupun jalan sanadnya sedikit
seperti ahad. Pada zaman selanjutnya, dokumentasi sanad hadis
mengalami perkembangan. Para ulama mencurahkan perhatian mereka pada sanad,
sampai-sampai muncul kitab-kitab yang sengaja khusus membahas tentang sanad,
para rawi yang terdapat dalam sanad dari berbagai generasi. Tidak
hanya nama yang mereka cantumkan, namun segala hal yang berhubungan dengan
kualitas dan personalitas tiap rawi. Bahkan, penilaian muhadisin
tentang pribadi rawi tersebut dalam hal kesalehan dan kecerdasan,
kekuatan daya hafalnya juga dibahas disini. Pembahasan mereka dalam konteks ini
kemudian menjadi pedoman pakar hadis sesudahnya dalam menilai keabsahan hadis.
Kitab yang membahas demikian disebut kitab Al-Rijal, contohnya banyak sekali,
diantaranya: al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah karya Ibn Hajar, Mizan I‘tidal
karya al-Dhahabi, Usud al-Ghabah fi Asma’i al-Sahabah milik Ibn al- Athir,
dan lain lain.[64]
2.
Peranan Sanad
dalam Dokumentasi Hadis
Telah dikatakan sebelumnya, sanad adalah ciri
khas umat Islam dan ia merupakan salah satu tiang kekuatan agama.[65]
Jumhur ulama pun sepakat akan urgensitas sanad dalam agama Islam, bahkan
mereka sangat memuji unsur hadis tersebut. “ilmu menghilang dengan
menghilangnya sanad” sebagaimana Shu‘bah bin Hajjaj katakan. Rasanya,
yang ia katakan benar adanya, mengingat tidak semua Matan hadis
bisa diterima oleh umat, kecuali bila terdapat sanad lengkap dan
berkualitas. Bila tidak ada sanad, walaupun Matan hadis
benar hakikatnya, maka dengan berat hati hal tersebut tidak dapat diakui
keabsahannya. Dan bila hal itu terjadi, maka melayanglah suatu ilmu dari muka
bumi ini berbarengan dengan melayangnya sanad yang mendampingi Matan
tersebut.
Peranan sanad secara umum tidak bisa dinafikan
begitu saja dari keilmuan. Menurut Thauri, ia senjata para mukmin. Bila mukmin
kehilangan eksistensinya maka dengan mudah mukmin diserang. Sehingga sanad,
bukan hanya unsur yang tak lepas dari hadis. Lebih dari itu, sanad
tidak bisa dipisahkan dari agama para mukmin. Abdullah bin Mubarak
mengungkapkan sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena isnad,
orang akan berkata sekehendak hatinya. Namun ketika ditanya dari mana engkau
mendapatkannya, orang tersebut hanya terdiam tak berkutik.[66]
Ibn Sirrin juga
bercerita bahwa sebelum terjadi tragedi fitnah, umat muslim tidak
mempertanyakan sanad, namun pasca tragedi orang-orang mulai mempertanyakannya.
Bila sanadnya diketahui berasal dari ahli sunah maka hadisnya
diterima. Tetapi bila berasal dari ahli bid‘ah, maka hadisnya tidak
dapat diterima. Ungkapan Ibn Sirrin diatas bukan mengartikan bahwa eksistensi sanad
baru muncul usai fitnah. Mempertanyakan sanad telah ada sebelum fitnah
terjadi, hanya saja sedikit orang yang melakukannya. Sadar atau tidak disadari
oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah perawi hadis
telah muncul pada zaman Nabi SAW. Dimana, tidak semua sahabat menghadiri setiap
majelis ilmiah Rasulullah SAW karena sibuk dengan urusan pemerintahan,
perniagaan, pertanian. Sehingga, setiap ada sahabat yang hadir, ia akan
menyampaikan hadis nabawi kepada temannya yang belum bisa hadir.[67]
Ditambah, ketika itu mereka tidak berbohong atas apa
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahkan Barra’ bin ‘A<zib mengatakan mereka
tidak mengenal apa itu dusta kala itu. Tak heran, Anas bin Malik marah ketika
dikatakan padanya “apakah anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?” ia
langsung menjawab tidak ada dari kami yang saling berdusta satu sama lain.
Dengan demikian tragedi fitnah menjadi garis pembatas yang jelas bagi awal mula
umat bertanya soal isnad. Sementara sebelumnya umat belum
mempertanyakannya. Atau dengan kata lain tragedi fitnah menjadi pembatas antara
kejernihan sunah sebelum kejadian dengan kondisi sunah yang telah
terkontaminasi dengan polusi kepentingan setelah kejadian fitnah.[68]
Masa setelah fitnah, hadis banyak ditumpangi
kepentingan-kepentingan. Ia dijadikan alat penyokong mazhab batil dan aliran
ahli bid‘ah. Orang-orang menciptakan sanad-sanad sendiri, malah
ada yang sengaja menggunakan sanad ‘aly untuk memperkokoh
pemikirannya. Sehingga pemalsuan tak elak terjadi dan merajalela di khalayak
masyarakat.
Oleh sebab itu ulama hadis terdahulu merasa
terpanggil untuk memelihara hadis, mereka kemudian mengadakan beberapa
upaya, diantaranya mencari sanad hadis dan meneliti karateristik
para rawinya, apakah ia terkena polusi kepentingan seperti ahli bid‘ah
atau tidak, meskipun sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis.
Kedua, mereka mengimbau khalayak untuk berhati-hati dalam menerima hadis.
Tersebar kaidah dikalangan mereka “hadis-hadis ini tiada lain
adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya”. Dari sini
lahirlah bibit-bibit ilmu jarh wa ta‘dil. Ketiga, mereka melakukan
ekspekdisi pencarian sanad yang lebih tinggi.[69]
Dengan demikian, melihat faktor-faktor yang telah
dijelaskan diatas, maka peranan sanad dalam dokumentasi hadis
ialah: pertama, memelihara keontetikan Matan hadis agar tidak
terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis di luar sana. Kedua, menjaga hadis
agar tidak mudah diserang oleh hadis-hadis palsu. Ketika esensi hadis
palsu menyerang dan berlawanan 180 derajat dengan hadis yang asli. Hadis
yang asli bisa menangkisnya dengan memaparkan sanad sebagai pondasi
kekuatannya beserta memaparkan kapabelitas rawi yang ada didalamnya. Ketiga,
untuk penelitian kualitas hadis satu persatu secara terperinci.[70]
Poin ketiga ini kiranya teraplikasikan pada ilmu takhrij hadis. Dan yang
keempat, peran sanad secara umum adalah mempelopori munculnya ilmu jarh
wa ta‘dil dalam hadis sebagai satu disiplin ilmu.
C. METODE PENULISAN SANAD DAN MATAN
1.
Menurut
Kelengkapan Sanad dan Matan
Menurut kelengkapan sanad dan Matan
dalam penulisan sebuah hadis, bisa diklasifikasikan menjadi dua.
Pertama, sanad yang tertulis secara lengkap, begitupula dengan Matannya.
Kedua, penulisan sanad atau Matan yang tidak lengkap. Pertama, sanad
yang tertulis secara lengkap begitu juga Matannya. Jenis yang seperti
banyak sekali ditemukan di kitab-kitab hadis. Ada juga kondisi di mana
beberapa Matan hadis yang sama diulang secara lengkap, baik Matan
tersebut sama lafalnya ataupun hanya sekedar sama maknanya. Sedang sanad-sanad
dari Matan tersebut berbeda-beda, namun meskipun begitu sanadnya
juga ditulis secara lengkap.[71]
Untuk poin kedua, bentuk atau kondisinya
bermacam-macam. Di antaranya Idri memaparkan pertama, ada metode tahwil dengan
menggunakan huruf ح sebagai kodenya. Menurut al-Nawawi,
bila hadis memiliki dua sanad atau lebih, maka ketika dikemukakan
perpindahan sanad dari yang satu kepada yang lain biasanya diberi kode ح yang merupakan singkatan dari التحويل من اسناد الى اسناد (perpindahan dari sanad
yang satu kepada sanad yang lain).[72]
Penggunaan metode ini digunakan oleh Ibn al-Jawzi, ia mengikuti ulama
sebelumnya seperti Muslim bin Hajjaj dalam kitab Sahihnya beserta
Tirmidhi dalam al-Jami‘ atau yang lebih dikenal dengan Sunan Tirmidhi.[73]
Kedua, metode penambahan sanad lain dengan
menyebutkan Matan dari sanad pertama, dengan menambahkan kata فذكره (lalu menyebutkannya)
atau kata فذكر مثله (lalu
menyebutkan serupa hadis itu) pada sanad kedua dan seterusnya.
Kata-kata tersebut menggantikan Matan hadis yang sama secara
lafal dengan Matan sebelumnya.[74]
Muslim dan Bukhari pun menggunakan cara tersebut, hanya saja lafal yang mereka
gunakan berbeda. Bukhari dalam Sahihnya memakai lafal بهذا الحديث (dengan hadis ini)
dan فقال مثل ذالك
(Nabi bersabda seperti itu). Sementara Muslim
menggunakan lafal بمثل هذا الحديث (dengan yang serupa hadis ini), يقول مثله سواء (Nabi
bersabda sama dengan itu) dan بمثله
(dengan yang serupa itu). [75]
Ketiga, menambahkan sanad lain dengan
menyebutkan Matan dari sanad pertama, kemudian setelah sanad
kedua dan seterusnya dicantumkan kata نحوه (seperti hadis itu) atau kata نحو الحديث الذى قبله (seperti hadis
sebelumnya). Maksudnya ialah Matan hadis dengan sanad
belakangan tersebut, memiliki makna yang sama dengan Matan hadis
sebelumnya. Imam Muslim seringkali menggunakan cara ini.
Metode penulisan selanjutnya terdapat sanad hadis
–yang dalam hal ini adalah hadis maudu’ disebut sebagian saja,
sementara Matan hadisnya disebutkan secara lengkap. Untuk contoh,
Idri mengambil sampel dari kitab al-Mauduat hadis riwayat Jabir tentang
aroma Rasulullah.
و أما حديث جابر رواه أحمد بن يحيى من حمزة من حديث جابر
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أراد أن يشم رائحتي فليشم رائحة الورد
Adapun hadis Jabir diriwayatkan oleh Ahmad bin
Yahya dari Hamzat dari hadis Jabir berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa ingin mencium bauku, maka hendaklah ia mencium bau bunga mawar”.
Pada sanad di atas hanya ada tiga perawi,
padahal seharusnya terdapat banyak perawi, karena jarak masa hidup Ibn al-Jauzi
dengan Nabi sangatlah jauh. Apabila hadis ini tidak palsu maka hukumnya mu‘allaq.
Yakni, hadis yang seorang perawi atau lebih di awal sanadnya
digugurkan. Tapi karena hadis di atas maudu, maka hadis
kategori ini disebut dengan sanad yang tidak lengkap (disebutkan sebagian
saja).[76]
D.
KANDUNGAN
MATAN HADIS SECARA UMUM
Kandungan Matan secara umum bisa kita lihat
dalam kitab-kitab hadis yang bertipe Al- Jami‘. Sebab, diantara tipologi
kitab-kitab hadis, kiranya esensi Al-Jami‘-lah yang lebih mencakup
seluruh segi dalam keberlangsungan hidup manusia. Syuhudi Ismail merangkumnya dalam 4 macam.
Seluruh kandungan materi hadis, apabila dihimpun dan diperhatikan maksud
dari isinya. Akan ditemukan meliputi empat hal, yaitu:[77]
1.
Sejarah
Berisi sejarah atau biografi Rasulullah SAW, deskripsi
kondisi sahabat dan berbagai upaya yang dilakukan Rasulullah SAW dan para
sahabat pada zamannya.
2.
Etika
Berisi etika atau akhlak karimah, ajaran tentang budi
pekerti yang baik, terpuji sesuai dengan fitrah manusia.
3.
Akidah
Berisi tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan
keyakinan, iman umat muslim. Misalnya, sifat – sifat Allah, rasul-rasul Allah,
tentang hal metafisika (gaib), surga, neraka, dsb. Dalam hal akidah, al-Qur’an
telah menetapkan dasar-dasarnya kemudian hadis sahih yang
mengokohkan dan menjelaskan. Sehingga apabila terdapat hadis berkenaan
tentang akidah yang berlawanan esensinya dengan al-Qur’an dan akal yang sehat,
maka dapat dipastikan bila hadis tersebut palsu. Tidak boleh dipakai.
Oleh sebab itu mayoritas ulama sepakat bahwa hanya al-Qur’an dan hadis
mutawatir saja yang dapat digunakan dalam menetapkan kaidah dalam akidah. Alasannya,
karena akidah harus berdasarkan keyakinan (qat‘iy al-wurud), dan
keyakinan yang seperti itu hanya diperoleh dari al-Qur’an dan hadis mutawatir.
4.
Hukum
Baik mengenai ubudiyah (ritual beribadah)
maupun tentang muamalah.
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan sanad dan Matan diatas bisa kita simpulkan beberapa
poin:
1.
Sanad adalah
silsilah mata rantai perawi yang menghubungkan pada Matan hadis.
dan Matan adalah perkataan yang menjadi ujung sanad. Keduanya
adalah unsur hadis yang saling melengkapi, tidak bisa dipisahkan.
2.
Unsur-unsur dalam sanad
meliputi lambang periwayatan seperti haddathana, perawi beserta mukharij. Sedangkan
unsur Matan mencakup dua hal, lafdiyah dan maknawi.
3.
Peran sanad dalam
dokumentasi hadis: Pertama, memelihara keotentikan hadis. Kedua,
menjaga esensi hadis dari serangan hadis-hadis palsu.
Ketiga, untuk penelitian kualitas hadis secara terperinci. Keempat,
pelopor terbentuknya ilmu jarh wa ta‘dil.
4.
Metode penulisan sanad
bila ditelisik dari segi kelengkapannya, akan terbagi menjadi 2 bagian. Yang
lengkap dan yang tidak lengkap.
5.
Kandungan Matan hadis
secara umum mencakup 4 unsur. Pertama, sejarah. Kedua, akhlak. Ketiga, akidah
dan yang terakhir adalah hukum, entah ubudiyah maupun muamalah
DAFTAR
PUSTAKA
‘Asqalani
(al), Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. tahkik Ibrahim al-Zaibaq dan ‘A<dil
Murshid. Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th.
Bakkar (al), ‘Abd al-Qadir Mahmud.
Qawa’id al-Tahdith. Kairo: Dar al-Salam, 2008.
Bukhari (al), Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‘fy. al-Jami’ al-Sahih.
Kairo: Maktabah Tabary, 2010.
Doi,
‘Abdur Rahman I. Introduction to the Hadith. Kuala Lumpur: Zafar Sdn.
Bhd, 1991.
Farisy (al),al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali. Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Hadi (al), ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd. “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin”, Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith al-Sharif. Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.
Idri. “Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at”. Disertasi-- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2004.
Ismail,M.
Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa,1991.
‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. terj. Endang Soetari. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Khatib
(al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr,
2008.
Khon, Abdul
Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media, 1996.
Sha’ban,
‘Abdullah. al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin. Kairo: Dar al-Salam,
2008.
Suyuti (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawi fiSharh Taqrib al-Nawawy.
tahkik Ahmad Ma’bad ‘Abdul Karim dan Tariq bin ‘Aud. Riyadh : Dar al-‘A<simah,
2003.
Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah
Hadith. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Tahun, Ratibah Ibrahim Khitab. Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa
al-Hukm ‘ala al-Hadith. Kairo: Azhar University, 2009.
Tibby (al), al-Husain
bin Abdullah. al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith. tahkik Subha al-Sahira’i.
Beirut: ‘A<lam al-Kitab, 1985.
[1] al-Qur’an, 16: 44.
[2] Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidy, Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus, Ed. ‘Abdul al-Sattar Ahmad Farraj, (Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965), 216.
[3]
Ibid., 215.
[4]Jalal al-Din Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Ed. Ahmad Ma’bad ‘Abd al-Karim dan Tariq bin ‘Aud (Riyadh : Dar al-‘Asimah, 2003), 40. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith, (Kairo: Azhar University, 2009), 9.
[5] ‘Abdullah Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu li
Qawaid al-Muhaddithin, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 26.
[6]Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.
[7] Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu,
26.
[8] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah
Hadith, (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H), 17.
[9] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 9.
[10] Tahun, Mabahith
fi Dirasat al-Asanid, 10.
[11] Al-Qur’an, 51:58.
[12] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 114.
[13] Tahun, Mabahith
fi Dirasat al-Asanid, 10.
[14]al-Husain bin Abdullah al-Tibby,
al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith, Ed. Subha al-Sahira’i, (Beirut: ‘Alam
Al-Kitab, 1985), 33. Bandingkan dengan Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1,
42.
[15] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ju‘fy al-Bukhariyi, al-Jami’ al-Sahih, Nuskhah
al-Sultaniyyah Vol I, (Kairo: Maktabah Tabary, 2010), Kitab Bad’i al-Wahyi,
Bab 1, no. hadis 1.
[16] Khon, Ulumul Hadis, 110.
[17] Ibid., 110.
[18] Ibid., 111.
[19]Abdul Majid Khon berpendapat tampaknya
ijazah dalam metode ini hanya sebagai tali pengikat semata antara guru dan
murid. Lihat. Khon, Ulumul Hadis, 111.
[20]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 123.
[21] Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I, 25. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 111-112.
[22]al-Asqalani, Sharh Nukhbah,
125-126.
[23]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 126. Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I, 21.
[24] Lihat al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 125.
[25] (Memberitakan kepada kami,
memberitakan kepadaku, aku telah mendengar)
[26] (Telah kubacakan kepadanya,
mengabariku)
[27] (Dibacakan kepadanya dan aku
turut mendengarkan)
[28] (Memberitakan kepadaku)
[29] (Memberikan kepadaku)
[30] (Berbicara kepadaku yakni dengan metode al-ijazah)
[31] (Menuliskan kepadaku atau
mengirimiku tulisan/surat dengan metode al-ijazah)
[32] (Telah menyebutkan, telah meriwayatkan, telah berkata, diriwayatkan dari)
[33] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 124.
[34]
Ibid.
[35]
Ibid., 125.
[36] Khon, Ulumul Hadis, 112.
Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I, 27.
[37]Suyuti, Tadrib al-Rawi,
Vol. 1, 43-44. Lihat juga ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, “al-Alqab al-‘Ilmiyah
li al-Ruwah wa al-Muhaddithin” dalam Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith Al-Sharif,
(Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009), 146. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 114.
Bandingkan juga dengan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996), 95.
[38]‘Abd al-Hadi,
al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin, 146.
[39] Nuruddin Itr mengutip definisi
tersebut dari kitab al-Manhaj al-Hadith karya Muhammad Al-Simahi. Lihat
Nuruddin ‘Itr, Ulum Al-Hadits, terj. Endang Soetari (Bandung:Remaja
Rosdakarya,1995) 61.
[40] Khon, Ulumul Hadis, 114.
[41]
Ibid.
[42] ‘Abdur Rahman I. Doi mengatakan
semua kriteria rawi telah terangkum di Al-Risalah karya Imam
Shafi‘i, Lihat lebih lanjut ‘Abdur Rahman I. Doi, Introduction to the Hadith,
(Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991),16. Bandingkan dengan‘Itr, Ulum
Al-Hadits, Vol I, 64-66. Bandingkan juga dengan Tahun, Mabahith
fi Dirasat al-Asanid, 13-16.
[43] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol I, 66.
[44] ‘Abd al-Hadi,
al-Alqab al-‘Ilmiyah, 146-147.
[45]‘Abd al-Hadi,
al-Alqab al-‘Ilmiyah, 149. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116.
Lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Ed. Ibrahim
al-Zaibaq dan ‘Adil Murshid, Vol.III (Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th),
268-269.
[46]
Terdapat perbedaan kembali
dimana ‘Abdul Hadi menempatkan Imam Malik di kategori Amirul Mukminin,
sedangkan Abdul Majid mencantumkannya di Al-Hakim. Imam Syafi‘i pernah mengatakan
bila menyebutkan para ulama, maka Imam Malik lah bintangnya. Tak ayal bila
‘Abdul Hadi menempatkannya di kategori Amirul Mukminin. Lihat Lihat ‘Abdul
Hadi, Al-Alqab Al-‘Ilmiyah, 162. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116.
[47] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa,1991), 18.
[48] Secara terminologis, sanad
aly adalah sebuah sanad yang sedikit jumlah rawinya dan
bersambung.
الإِسْنَاد العَالِي هُو الذى قَلَّ
عَدَد رِجَالُهُ مَعَ الاتصَال
Lihat ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol II, 139.
[49] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol
II, 140.
[50] Ibid.
[51] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih,
22-23. Bandingkan dengan ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 141.
[52] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 144.
[53]
Ibid., 145.
[54] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih,
Kitab al-Sahwi, Bab al-Khasr fi al-Salah, no. 1220.
[55]
‘Itr, Ulum al-Hadits,
Vol I, 64-66.
[56] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2008), 85.
[57] al-Faid
Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy, Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul,
(Beirut: Dar l-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 121.
[58] Ismail, Pengantar Ilmu, 160, 164, dan 167.
[59]
‘Abd al-Qadir Mahmud al-Bakkar,
Qawa’id al-Tahdith, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 27.
[60] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media, 1996), 97.
[61] Ismail, Pengantar Ilmu, 80.
[62] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol
I, 41.
[63] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 67.
[64] Ibid., 68.
[65] Ciri khas umat Islam yang tidak
dimiliki umat lain ada 3. Yakni, isnad, i‘rab dan ansab. (sanad,
penguraian kata sesuai gramatikal bahasa Arab, nasab keturunan) sebagaimana
yang diungkapkan Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad. Lihat Al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith,
29.
[66] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 27.
[67] Ibid., 30.
[68] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith,
30-31.
[69] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41-42.
[70] Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
98.
[71] Idri, Kriteria Hadis Mawdu’
oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at,
(Disertasi—Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 187.
[72] Ibid., 184.
[73] Ibid., 185.
[74] Ibid., 185.
[75] Ibid., 186.
[76] Ibid., 187.
[77] Ismail, Pengantar Ilmu,
49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar