BAB I
Hadis merupakan sumber
hukum kedua dalam agama Islam setelah Alquran. Posisi hadis sangat penting
dalam menentukan hukum syariat, karena selain hadis menjadi sumber hukum
tersendiri, hadis juga berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran. Peletak
hukum syariat Islam pertama adalah Allah yang kalam-kalam-Nya termaktub dalam Alquran.
Sedangkan peletak hukum syariat Islam kedua adalah Nabi Muhammad SAW melalui
perkataan, perbuatan, persetujuan, tingkah laku, gerak-gerik dan diamnya yang
disebut hadis. Oleh karenanya, Alquran dan hadis bak dua sisi mata uang yang
tidak mungkin terpisahkan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian
yaitu kitab Allah (Alquran) dan sunah Nabi-Nya (Hadis), bilamana kalian pegang
teguh keduanya, kalian tak akan pernah tersesat.”[1]
Melihat
kedudukan hadis yang sentral, sebagian umat Islam yang dirinya terbuai hawa
nafsu dan memiliki hasrat duniawi serta kefanatikan yang kental, menjadikan
hadis sebagai senjata untuk membela dan membenarkan hasrat mereka. Mereka tak
segan memalsukan hadis hanya untuk mendulang suara politik atau membela
kepentingan kelompok mereka.
Kondisi
seperti ini sangat ironi dan amat disayangkan, sebab hadis yang sejatinya
diperuntukkan untuk hukum syariat, justru dibuat mainan untuk masalah yang tak
ada sangkut-pautnya dengan kehidupan akhirat kelak.
Berkat
pertolongan Allah SWT, hadis-hadis palsu yang dikarang oleh sebagian kelompok
Islam itu, mampu terdeteksi oleh ulama-ulama hadis. Sehingga umat Islam
setelahnya bisa memilah dan memilih antara hadis yang benar-benar bersumber
dari Rasulullah SAW, para Sahabat dan tabiin, dengan hadis-hadis yang sengaja
diciptakan oleh beberapa kelompok Islam dengan tujuan kenikmatan duniawi dan
fanatisme buta.
1.
Apa pengertian kelompok Islam Khawarij?
2.
Bagaimana sejarah munculnya kelompok
Khawarij?
3.
Apa karakteristik utama kelompok
Khawarij?
4.
Apa pengertian kelompok Islam Syiah?
5.
Bagaimana sejarah munculnya kelompok Syiah?
6.
Apa pengertian hadis palsu atau Hadith
Maudu’?
7.
Bagaimana sejarah munculnya hadis palsu
dan peran Khawarij dan Syiah saat itu?
8.
Apa faktor penyebab munculnya hadis
palsu?
9.
Bagaimana kaedah mengetahui hadis
palsu?
10.
Apa peran ulama dalam upaya
menyelamatkan hadis dari pemalsuan?
11.
Bagaimana hukum hadis palsu?
12.
Apa saja buku-buku yang memaparkan
hadis-hadis palsu?
1.
Memahami pengertian kelompok Islam
Khawarij.
2.
Mengerti sejarah munculnya kelompok
Khawarij.
3.
Mengetahui karakteristik utama kelompok
Khawarij.
4.
Memahami pengertian kelompok Islam Syiah.
5.
Mengerti sejarah munculnya kelompok Syiah.
6.
Memahami pengertian hadis palsu atau Hadith
Maudu’.
7.
Memahami sejarah munculnya hadis palsu
dan peran Khawarij dan Syiah saat itu.
8.
Mengetahui faktor penyebab munculnya
hadis palsu.
9.
Mengerti kaedah mengetahui hadis palsu.
10.
Mengerti peran ulama dalam upaya
menyelamatkan hadis dari pemalsuan.
11.
Mengetahui hukum hadis palsu.
12.
Mengetahui buku-buku yang memaparkan
hadis-hadis palsu.
1.
Bagi penulis, makalah ini akan menambah
wawasan dalam memahami istilah, definisi kelompok Khawarij dan hadis palsu
beserta sejarahnya.
2. Bagi pembaca, makalah ini bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui dan memahami sejarah singkat kelompok Khawarij dan hadis palsu.
BAB II
A. Nama dan Pengertian Khawarij
Ada beberapa sebutan
atau nama Khawarij, di antaranya:[2]
1.
Muhakkamah,
disebut Muhakkamah karena mereka selalu membawa jargon La Hukma illa
lillah, tidak ada hukum yang bisa diterapkan selain hukum Allah.[3]
2.
Al-Haruriyah,
dinamakan al-Haruriyah sebab dinisbatkan ke daerah Harura, sebuah daerah
di dekat Kufah. Khawarij muncul pertama kali dari daerah ini.
3.
Al-Shurat,
yang berarti menjual. Menurut
mereka, mereka menjual diri mereka untuk menggapai rida Allah SWT.
Namun nama yang paling
tenar untuk kelompok ini adalah Khawarij yang tercetak dari kata Kharij
atau Kharijiyah yang berarti orang atau golongan yang keluar. Secara
isilah mereka adalah kelompok keluar dari barisan ‘Ali dan Mu’awiyah.[4]
Al-Shahrastani
mengatakan setiap orang yang keluar dari pemerintahan yang benar, legal dan
disetujui oleh mayoritas masyarakat disebut Kharijiyan.[5]
‘Ali
Muhammad Al-Salabi mendefinisian Khawarij sebagai kelompok yang memberontak
terhadap ‘Ali bin Abi Talib setelah ia mengambil kebijakan Al-Tahkim
dalam perang siffin.[6]
Kelompok Khawarij muncul bersamaan
dengan kelompok Syiah, pada awalnya pengikut kedua kelompok ini adalah pengikut
‘Ali. Namun pemikiran
kelompok Khawarij lebih dahulu muncul dari pada Syiah. Khawarij muncul pertama kali
saat memuncaknya peperangan antara pasukan ‘Ali dan Mu’awiyah, saat mereka
berdua merencanakan untuk Tahkim atau Arbitrase dengan mengirim
‘Amr bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Ash’ari dari pihak ‘Ali.
Upaya Tahkim akhirnya memutuskan menurunkan ‘Ali dari jabatan khalifah
dan mengukuhkan Mu’awiyah sebagai khalifah yang baru. Anehnya, kelompok yang
pada mulanya memaksa ‘Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk Abu Musa justru
menilai bahwa tahkim adalah sebuah dosa dan mereka menuntut ‘Ali untuk
bertaubat. Semboyan yang selalu mereka koarkan adalah tidak ada hukum yang
pantas untuk diterapkan selain hukum Allah.[7]
Sebenarnya cikal-bakal pemikiran
Khawarij sudah ada pada masa Rasulullah SAW seperti yang tertera pada sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, ia bercerita:[8]
‘Ali
bin Abi Thalib menyerahkan emas dari Yaman kepada Rasulullah SAW di dalam
kantong kulit yang disamak dengan daun Qarazh, yang tidak dapat diperoleh dari
tanahnya.
Kemudian Rasulullah SAW membagi-baginya
kepada empat orang, yaitu ‘Uyainah bin Hisn, al-Aqra bin Habis, Zaid al-Khail,
dan yang keempat antara ‘Alqamah bin Alatsah atau ‘Amir bin Thufail. Melihat
ini, salah seorang yang hadir melakukan protes dengan berkata, “Kami lebih
berhak atas emas itu dari mereka.”
Selanjutnya protes ini disampaikan
kepada Rasulullah SAW. Beliau pun bersabda, “Tidakkah kalian mempercayaiku
padahal aku adalah orang kepercayaan penduduk langit yang menyampaikan kabar
langit kepadaku pagi dan petang?”
Lantas seorang lelaki bermata cekung,
berpipi merah, berkening tinggi, berjenggot tebal, berkepala plontos, dan
berkain sarung terlipat berkata, “Wahai Rasulullah, bertakwalah pada Allah!”
Rasulullah SAW pun bersabda, “Celakalah engkau, bukankah aku penduduk bumi
yang paling pantas untuk bertakwa pada Allah?”
Lalu lelaki itu pergi. Khalid bin Walid
angkat bicara, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memenggal lehernya?” Rasulullah
SAW menjawab, “Jangan, barang kali ia masih shalat.” Khalid pun menukas, “Betapa banyaknya orang
shalat yang mengucapkan dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati
manusia ataupun membelah dada mereka.”
Beliau memandangi lelaki yang sedang
pergi itu, dan bersabda, “Dari sumber lelaki itu akan keluar sekelompok
orang yang membaca Kitabullah dengan kering; tidak sampai melewati tenggorokan
mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembus keluar dari
tubuh binatang yang dipanah.”
Aku yakin beliau bersabda, “Kalaulah
aku mendapati mereka (selagi aku masih hidup), niscaya kutumpas mereka seperti
tumpasnya kaum Tsamud.”
Demikianlah sejarah singkat cikal-bakal
dan munculnya kelompok Khawarij dalam sejarah Islam.
C. Karakteristik Utama Khawarij
‘Ali Muhammad al-Salabi
dalam Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
menyebutkan terdapat beberapa karakteristik utama kelompok Khawarij yang
menonjol, berikut beberapa ciri tersebut:[9]
1.
Berlebih-lebihan
dalam Beragama
Ciri pertama dan paling
utama yang sangat melekat pada kelompok Khawarij adalah berlebih-lebihan dalam
beragama. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan seluruh ajaran
Islam. Mereka berpuasa, mendirikan salat, membaca Alquran, namun mereka
melampaui batas normal sampai ke tingkatan berlebihan dan ekstrim. Sikap
ekstrim inilah yang membuat mereka justru melanggar agama; misalnya
mengkafirkan pelaku dosa besar, bahkan sebagian mereka ada yang mengkafirkan
pelaku dosa kecil dan menganggapnya kafir dan kelak bertempat kekal di neraka.
Sikap yang berlebihan
ini, menurut penulis, akan menganggap diri mereka suci dan bersih dari dosa dan
kesalahan. Juga akan menggiring mereka bersifat sombong karena hanya merekalah
yang beribadah dengan tekun, puasa mereka tidak ada yang menandingi, salat
mereka tak ada yang menyaingi dan tak ada seorang pun yang mampu mengalahkan
bacaan Alquran mereka.
Khawarij sangatlah
bangga dengan ciri-ciri simbolik, Ibnu ‘Abbas menuturkan, “Aku menemui
sekelompok orang yang belum pernah aku lihat ada yang lebih keras
kesungguhannya daripada mereka; dahi mereka terluka (berwarna hitam) akibat
banyak sujud; tangan mereka bagaikan lutut onta (kulitnya tebal); kemeja mereka
selalu dicuci dan muka mereka pucat karena selalu begadang.”
Selain dahi yang
menghitam, ciri-ciri lain yang sering penulis temukan, yaitu jenggot yang lebat
dan terkesan kurang rapi, terlepas perbedaan hukum menumbuhkan jenggot di
kalangan para ulama, menurut penulis Islam adalah agama yang rapi, bersih, dan
enak dipandang.
Salah satu tanda yang paling
menonjol juga dari kelompok Khawarij adalah mereka bodoh dan tak tahu apa-apa
soal agama. Pemahaman mereka sangat buruk, mereka kurang merenung serta
memikirkan dan tidak menggunakan teks-teks Alquran dan hadis sesuai dengan yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat.
‘Abdullah bin ‘Umar
berkata, “Mereka mengemukakan ayat-ayat yang sejatinya diturunkan untuk
orang-orang kafir, mereka tujukan untuk orang-orang mukmin.” Bahkan setiap
ditanya perihal Khawarij, Ibnu ‘Umar selalu menjawab, “Mereka mengkafirkan
orang-orang mukmin dan menghalalkan darah dan harta benda mereka.”
Ibnu Taimiyah juga
mengomentari salah satu ciri Khawarij ini, “Mereka adalah orang-orang bodoh
yang memisahkan diri dari al-Sunnah dan jamaah karena kebodohan mereka.”
3.
Mengkafirkan
Pelaku Dosa dan Menghalalkan Darahnya
Kelompok Khawarij
memiliki kerangka berpikir sendiri dalam beragama yang memisahkan mereka dengan
umat Islam yang lainnya. Bahkan mereka meyakini kerangka berpikir mereka adalah
satu-satunya yang sesuai dengan kehendak Allah dan siapapun yang tidak sesuai
kerangka berpikir mereka dinyatakan keluar dari Islam.
Salah satu kerangka
berpikir mereka adalah mengkafirkan pelaku dosa dan menghalalkan darah serta
hartanya. Hal ini dikuatkan dengan penyataan Ibnu Taimiyah, bahwa kelompok
Khawarij senang mengkafirkan pelaku dosa besar dan kecil. Konsekuensinya,
mereka menghalalkan darah dan harta mereka.”
4.
Meremehkan
dan Mengklaim Orang Lain Sesat
Salah satu ciri
kelompok Khawarij ialah menganggap remeh orang lain dan mengklaim tindakan
orang lain sesat dan hanya kelompok mereka yang benar. Mereka dengan lantang
menentang ‘Ali bin Abi Talib, sahabat Nabi yang terkenal dengan keluasan
ilmunya. Mereka tak ragu memisahkan diri dari ‘Ali bin Abi Talib dan menuduhnya
dengan tidak menjalankan syariat Islam.
Dengan terlalu
kerasnya mereka dalam beragama ini, akhirnya mereka dengan mudahnya mengklaim sesat kepada orang lain. Bahkan
dialog Dhu
al-Khuwaisir dengan Rasulullah SAW menjadi
cikal-bakal ciri menonjol kelompok Khawarij. Dhul Khuwaisir
dengan tak tahu malunya mengatakan, “Berbuat adillah, wahai Muhammad!”
5.
Keras
terhadap Kaum Muslimin
Berperangai
keras, beringas dan kaku adalah salah satu krakteristik kelompok Khawarij.
Mereka tidak segan meneror dan membunuh kaum muslimin. Khawarij justru
memperlakukan orang-orang kafir dengan lembut dan simpatik.
D.
Nama dan
Pengertian Syiah
Muhammad Zakariya al-Nadaf dalam Masail al-I’tiqad ‘inda al-Shi’ah al-Ithna ‘Ashariyah mengutip pendapat Ibn Mandzur perihal makna Syiah secara bahasa. Syiah secara bahasa ialah pengikut seseorang atau pendukungnya.[10]
Pengertian Syiah secara istilah tidak bisa
disepakati karena antara pihak Syiah dan Sunni berbeda dalam mendefinisikannya.
Syiah mengartikan kata “Syiah” secara istilah adalah orang-orang yang dekat dan
mendukung ‘Ali bin Abi Talib baik pada zaman Rasulullah SAW maupun setelah
kewafatan beliau.[11] Sedangkan menurut Sunni, Syiah secara
istilah ialah mereka yang mendukung ‘Ali bin Abi Talib dan lebih
memprioritaskannya dari seluruh sahabat nabi yang lainnya.[12]
E. Sejarah Munculnya Kelompok Syiah
Sebenarnya pemikiran Syiah sudah muncul saat
wafatnya Rasulullah SAW. Selepas Rasulullah wafat, ada sebagian kaum muslimin
saat itu berpendapat bahwa keluarga beliaulah yang pantas menggantikan beliau
sebagai khalifah.[13]
Ada yang berasumsi Syiah muncul pada akhir
masa pemerintahan ‘Uthman bin ‘Affan atau pada awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi
Talib.[14] Pada masa ini, Syiah hanyalah sebagai
dukungan politik kepada ‘Ali bin Abi Talib. Ada juga pendapat yang menyebutkan Syiah
muncul setelah terjadinya arbitrase. Keputusan yang dihasilkan arbitrase tidak
menguntungkan pihak ‘Ali bin Abi Talib, sehingga sebagian pendukungnya keluar
(dan kelompok inilah yang dinamakan Khawarij) dan sebagian besar yang lain
masih mendukung ‘Ali dan semakin bertambah kefanatikannya.[15]
Menurut Al-Tabataba’i, Syiah muncul karena
kritik dan protes besar terhadap dua masalah dasar dalam Islam yaitu
pemerintahan Islam dan pengetahuan keagamaan yang menurut Syiah adalah
kewenangan keluarga Rasulullah SAW.[16]
Kemunculan Syiah hampir bersamaan dengan
Khawarij karena kedua kelompok ini pada mulanya muncul dikarenakan sikap
politik, namun karena hawa nafsu dan kebodohan aliran politik mereka berubah
menjadi aliran ideologi dan saling menafsirkan Alquran seusai kehendak mereka
sendiri, bahkan mereka tidak ragu memalsukan hadis demi kepentingan fanatisme
belaka.
F. Pengertian Hadis Palsu atau Hadist Maudu’
Secara bahasa hadis adalah antonim dari kata qadim
yang berarti lama.[17]Jadi
hadis secara bahasa berarti baru.Hadis juga berati sebuah kabar atau berita.[18]
Hadis secara istilah segala sesuatu yang dinisbatkan atau
bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan,
sifat, dan biografi.[19]
Adapun Maudu’ adalah
isim maf’ul dari kata Wada’a yang memiliki beberapa arti, di
antaranya menjatuhkan, meninggalkan, atau memalsukan.[20]
Secara istilah, hadith
maudu’ adalah segala sesuatu, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan cara berbohong atau mengelabuhi,
sedangkan Rasulullah SAW tidak pernah mengatakan, melakukan, dan menyetujui hal
itu.[21]
G. Sejarah Munculnya Hadis Palsu dan Peran Khawarij dan Syiah.
Terjadinya konflik dan perpecahan
politik pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin ‘Affan adalah awal mula
munculnya pemalsuan hadis. Konflik tersebut juga memicu pertumpahan darah
antara pasukan ‘Ali dan pasukan Mu’awiyah. Semenjak saat itulah, kaum muslimin
terpecah ke dalam beberapa golongan. Golongan mayoritas mendukung ‘Ali,
golongan lain mendukung Mu’awiyah, dan golongan lain yang keluar dari golongan ‘Ali
dan Mu’awiyah. Perpecahan yang terjadi di tubuh kaum muslimin disebabkan karena
hasrat politik.[22]
Sangat disayangkan sekali, perpecahan yang
mulanya karena politik itu, menjadi kelompok-kelompok keagamaan. Sehingga
kelompok-kelompok itu tidak lagi memainkan politik untuk kekuasaan namun juga
memainkan agama utama meraih hawa nafsunya tersebut.[23]
Setiap kelompok itu berusaha untuk
mengolah Alquran dan hadis untuk mendulang suara politik mereka. Mulanya mereka
memainkan Alquran dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran. Mereka menafsirkannya
dengan sesuai keinginan politik mereka. Setelah memainkan tafsir ngawurnya,
mereka tak puas sampai di situ, mereka mencoba untuk memainkan hadis dengan
memalsukan hadis yang seakan-akan hadis itu bersumber dari Rasulullah SAW.
Hadis-hadis tersebut mereka buat dengan sengaja untuk dijadikan senjata
mendukung kelompok-kelompok mereka masing-masing.[24]
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib menyataakan
dalam Usulu al-Hadith nya bahwa pemalsuan hadis masih jarang dilakukan
pada abad 1 dan 2 H, karena pada zaman itu, masih banyak sahabat dan tabiin
besar yang selalu mengawal hadis-hadis Rasulullah SAW. Hadis palsu terus
bertambah banyak seiring dengan bertambahnya fitnah dan bid’ah di kalangan kaum
muslimin.[25]
Al-Khatib melanjutkan, bahwa seiring
waktu dan wafatnya para sahabat Nabi dan tabiin besar, maka pemalsuan hadis
semakin gencar dan deras. Generasi setelah para sahabat dan tabiin yang
terbilang bodoh dan gampang terbuai oleh siasat politik, membuat hadis-hadis
palsu semakin bertebaran di telinga kaum muslimin.[26]
Adapun golongan pertama kali yang memalsukan hadis adalah Syiah.[27]
Al-Khatib berpendapat bahwa tidak ada
bukti atau keterangan bahwa kelompok Khawarij memalsukan hadis, karena bagi
mereka berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar kafir. Bahkan Abu
Dawud mengatakan, “Dari beberapa kelompok yang terbuai dengan hawa nafsu, tidak
ada yang lebih sahih dalam meriwayatkan hadis dari kelompok Khawarij.[28]
Musthafa Muhammad Abu ‘Imarah juga
berpendapat sama dengan Al-Khatib, bahwa Khawarij adalah kelompok yang paling
sahih dalam meriwayatkan hadis. Mustafa menukil pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa
Khawarij meskipun ajaran mereka melenceng dan keluar dari agama, akan tetapi
hadis-hadis yang mereka riwayatkan bisa dipercaya dan sangat kredibel.[29]
Muhammad Muhammad Abu Zahwu dalam Al-Hadist
wa al-Muhaddistun menyebutkan beberapa factor mengapa Khawarij sangat
jarang memalsukan hadis, di antaranya ialah:[30]
1.
Berbohong
dalam mazhab Khawarij termasuk dosa besar dan pelakunya divonis kafir. Oleh
karenanya, kelompok Khawarij sangat jarang berbohong.
2.
Dengan kekauan dan jumud nya mereka tidak bias menerima umat lain
seperti bangsa Persi, Yahudi yang terkenal dengan memalsukan hadis.
3.
Khawarij tidak mengenal ajaran Taqiyah[31] yang
menjadi senjata utama kelompok Syiah.
Adapun hadis palsu yang dibuat oleh kelompok Khawarij dan disandarkan kepada Rasulullah SAW, adalah:
إِذَا
أَتَاكُمُ الْحَدِيْثُ عَنِّيْ فَاعْرِضُوْهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ فَإِنْ وَافَقَ
كِتَابَ اللهِ فَأَنَا قُلْتُهُ...[32]
“Jika kamu mendapatkan hadis, maka rujukkanlah hadis
tersebut dengan Alquran. Jika hadis tersebut sesuai dengan Alquran, maka itu
perkataanku…”
H. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadis Palsu
Munzier Suparta dalam Ilmu
Hadis nya menguraikan beberapa penyebab munculnya hadis palsu. Pemalsuan
hadis tidak hanya dilakukan oleh kaum muslimin saja, namun juga oleh
orang-orang non Islam. Berikut beberapa motif mereka memalsukan hadis:[33]
Pertikaian politik
antara kubu ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan merupakan awal mula
perpecahan kaum muslimin. Dengan perpecahan itu, setiap kelompok berusaha
menjadikan Alquran dan hadis sebagai senjata untuk mendukung dan menguatkan
suara politik mereka.
Masing-masing kelompok
berusaha menafsirkan Alquran sesuai dengan hasrat politiknya. Dan tak cukup
sampai situ, mereka juga memalsukan hadis untuk mendulang suara politik mereka.
Contoh hadis palsu
yang dibuat oleh Syiah:
يَاعَلِيُّ إِنَّ اللهَ غَفَرَ
لَكَ وَلِذُرِّيَّتِكَ وَلِوَالِدَيْكَ وَلِأَهْلِكَ وَلِشِيْعَتِكَ وَلِمُحِبِّي
شِيْعَتِكَ
“Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah
telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, keluargamu, pendukungmu,
dan pecinta pendukungmu.”
Contoh hadis palsu yang dibuat oleh pendukung Mu’awiyah:
الأُمَنَاءُ
ثَلاَ ثَةٌ أَناَ وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ أَنْتَ مِنِّيْ ياَ مُعَاوِيَةُ وَ
أَناَ مِنْكَ
“Yang dapat dipercaya ada tiga, yaitu aku, Jibril dan Mu’awiyah. Wahai Mu’awiyah, kau termasuk golonganku dan aku bagian dari kamu.”
Kaum Zindiq adalah golongan yang paling membenci Islam.
Kebenian itu hingga mengarahkan mereka dengan mudahnya memalsukan hadis.
Seorang Zindiq bernama ‘Abd al-Karim bin ‘Auja’ mengaku telah memalsukan hadis
sebanyak 4.000 hadis sebelum ia dihukum mati oleh gubernur Basrah, Muhammad bin
Sulaiman bin ‘Ali. Bahkan Hammad bin Zaid mengatakan kaum zindiq telah
memalsukan 12.000 hadis.
Contoh
hadis yang dipalsukan kaum zindiq:
اَلنَّظَرُ
إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ صَدَقَةٌ
“Melihat wajah cantik termasuk ibadah.”
3.
Fanatisme Kesukuan dan Kebangsaan
Sifat
fanatisme kesukuan, kebangsaan atau kenegaraan membuat sebagian kaum muslimin
memalsukan hadis. Untuk menonjolkan kesukuan, kebangsaan atau kenegaraan
mereka, mereka buat hadis palsu dengan tujuan ingin mengangkat kesukuan atau
kebangsaaan mereka dan menghinakan kesukuan atau kebangsaan orang lain.
Contoh
hadis yang dipalsukan oleh masyarakat Persi:
إِنَ
اللهَ إِذَا غَضِبَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ باِلْعَرَبِيَّةِ وَإِذَا رَضِيَ أَنْزَلَ
الْوَحْيَ بِالْفاَرِسِيَّةِ
“Apabila
Allah murka, Ia akan menurunkan wahyu dengan bahasa Arab. Dan bila senang, Ia
akan menurunkan wahyu dengan bahasa Persi.”
Begitu
juga sebaliknya, orang-orang Arab memalsukan hadis sebaliknya untuk menghina masyarakat Persi,
إِنَ
اللهَ إِذَا غَضِبَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ بِالْفاَرِسِيَّةِ وَإِذَا رَضِيَ أَنْزَلَ
الْوَحْيَ باِلْعَرَبِيَّةِ
“Apabila Allah murka, Ia akan menurunkan wahyu dengan bahasa Persi. Dan bila senang, Ia akan menurunkan wahyu dengan bahasa Arab.”
4.
Bualan Tukang Cerita dan Dai
Sebagian dai dan tukang cerita sengaja membuat hadis palsu guna
mendulang simpatik dan kekaguman dari audiensnya. Hadis yang mereka sampaikan
sangat tidak masuk akal dan berlebihan. Seperti hadis berikut:
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهَ خَلَقَ اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَائِراً مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ
وَوَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجَانٍ
“Barang siapa yang mengucapkan kalimat
tahlil, maka Allah akan menciptakan seekor burung yang paruhnya dari emas dan
bulunya dari marjan di setiap kalimatnya.”
5.
Perselisihan Mazhab Fikih dan Ilmu Kalam
Sebagian hadis-hadis palsu juga bersumber dari para
pengikut mazhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat
fanatik terhadab mazhab mereka. Di antara hadis-hadis palsu itu, sebagai
berikut:
مَنْ
رَفَعَ يَدَيْهِ فِيْ الرُّكُوْعِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
“Barang siapa yang mengangkat tangannya saat rukuk maka salatnya tidak
sah.”
6.
Membangkitkan Gairah Beribadah Tanpa Didasari
Ilmunya
Banyak
di antara para ulama yang memalsukan hadis dengan mengira bahwa tujuan mereka benar
dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Mereka berkata, “Kami memalsukan
hadis bukan untuk menghinakan derajat Rasulullah SAW justru kami memalsukan
hadis untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah SAW.”
Nuh
bin Maryam membuat hadis-hadis palsu tentang fadilah-fadilah setiap surat dalam
Alquran. Dan Ghulam Al-Khail membuat hadis palsu tentang keutamaan zuhud dan tazkiyatu
al-nafs.
Ghiyath
bin Ibrahim salah satu tokoh pemalsu hadis yang bertujuan supaya dekat dan
diberi hadiah oleh penguasa. Ia memalsukan hadis tentang perlombaan merpati.
Setelah memalsukan hadis tersebut, ia pun mendapatkan uang 10.000 dirham dari khalifah
al-Mahdi. Namun sebelum ia keluar dan meninggalkan khalifah, khalifah memanggilnya
dan menegurnya tentang pemalsuan hadis tersebut. Khalifah pun memerintahkan
untuk menyembelih buruh merpatinya.
Para ulama hadis telah
merancang sedemekian rupa tentang kaedah guna melacak dan mengetahui hadis
palsu. Ada dua hal untuk bisa mengidentifikasi apakah sebuah hadis itu palsu
atau benar bersumber dari Rasululullah SAW, yaitu sanad dan matan.
Berikut penjelasan al-Khatib
dalam Usul al-Hadith nya:[34]
Salah satu cara
melacak hadis palsu adalah dengan sanad hadis tersebut. Ada beberapa
kemungkinan sanad bisa menjadi cara jitu mengetahui hadis palsu, di antaranya:
a.
Pengakuan
perawi
Seorang
Zindiq bernama ‘Abd al-Karim bin ‘Auja’ mengaku telah memalsukan hadis sebanyak
4.000 hadis sebelum ia dihukum mati oleh gubernur Basrah, Muhammad bin Sulaiman
bin ‘Ali.
b.
Bukti yang Mendesak Pengakuan Perawi
Sebagian
perawi ada yang tetap tidak mau mengakui
pemalsuan hadisnya. Namun meski demikian, hadis palsunya tetap bisa dilacak
dengan; periwayatannya yang tidak pernah diriwayatkan gurunya, meski ia
memastikan pernah mendengar dari gurunya. Atau perawi hadis palsu tersebut
meriwayatkan dari seorang guru yang menetap di sebuah daerah yang tak pernah ia
kunjungi. Bisa juga periwayatan hadis palsu tersebut dari seorang guru yang
mana wafatnya terlebih dahulu daripada lahirnya perawi hadis tersebut. Atau
saat sang guru meninggal, perawi itu masih balita dan belum sempat bertemu.
c.
Perawi
yang Terkenal dengan Kedustaannya
Hadis palsu bisa juga
diketahui dengan kondisi atau sifat perawinya. Bila perawinya seseorang yang
dikenal sering berbohong dan tidak ada perawi thiqah yang meriwayatkan
hadis darinya, bisa dipastikan bahwa hadis-hadisnya adalah palsu. Apalagi bila
seluruh masyarakat di sekitarnya mengakui bahwa dia memang seorang yang sering
berbohong hingga mayoritas masyarakat mengetahui kebohongannya.
d.
Perawi
Seorang Rafidi dan meriwayatkan hadis-hadis tentang keluarga Nabi Muhammad SAW.[35]
Matan juga menjadi
titik fokus dalam melacak hadis palsu. Ada beberapa tanda yang mencolok dalam
matan hadis untuk bisa mengetahui apakah hadis itu asli atau palsu, di
antaranya:
a.
Kerancuan
Bahasa
Para ulama yang
berkecimpung dalam dunia hadis akan dengan mudah membedakan antara bahasa Nabi
dengan bahasa orang lain. Mendeteksi kerancuan makna ini dilakukan jika perawi
tidak mengaku atas perbuatan pemalsuannya.
b.
Kecataan
Makna
Kecataan makna atau
ketimbangan arti sebuah hadis adalah ciri-ciri yang termudah dalam melacak
apakah hadis tersebut asli atau palsu. Seperti hadis:
البَذِنْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ
كُلِّ دَاءٍ
“Terong adalah obat dari segala
penyakit.”
c.
Menyalahi
Nas Alquran atau Hadis Mutawatir dan Ijma’
Hadis yang
bertentangan dengan Alquran, hadis mutawatir, dan ijma bisa dihukumi bahwa
hadis tersebut palsu seperti hadis yang menjelaskan bahwa umur kehidupan di
dunia ini 7000 tahun,
مِقْدَارُ الدُنْيًا وَأَنَّهَا
سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ
Tentunya
hadis tersebut menyalahi ayat Alquran yang menjelaskan bahwa hari kiamat
hanyalah Allah yang mengetahui.
d.
Hadis yang
Tak Pernah Diriwayatkan Sahabat
Hadis palsu juga berupa hadis yang
diyakini disembunyikan oleh sahabat dan tak pernah diriwayatkan seperti hadis
yang dibuat oleh kelompok Syiah,
هَذَ وَصِيِيِّ وَأَخِيْ
وَالْخَلِيْفَةُ مِنْ بَعْدِيْ
“Ini (‘Ali) adalah
wasiatku dan saudaraku, juga khalifah setelahku.”
e.
Hadis yang
Berlebihan dalam Menjelaskan Pahala
Seperti hadis berikut:
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهَ خَلَقَ اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَائِراً مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبوَوَرِيْشُهُ
مِنْ مَرْجَانٍ
“Barang siapa yang mengucapkan kalimat
tahlil, maka Allah akan menciptakan seekor burung yang paruhnya dari emas dan
bulunya dari marjan di setiap kalimatnya.”
J. Peran Ulama Menyelamatkan Hadis dari Pemalsuan
Untuk bisa
mengidentifikasi sebuah hadis, para ulama merancang kaedah-kaedah yang bisa
diterapkan, apakah sebuah hadis itu asli atau palsu, apakah hadis itu sahih,
hasan, atau dloif. Selain itu, para ulama juga melakukan upaya-upaya
untuk lebih ketat dalam menyeleksi hadis. Berikut di antara upaya-upaya
tersebut yang ditulis oleh Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar dalam Bulughu al-Amal min
Mustalahi al-Hadith wa al-Rijal[36]:
Pada masa Rasulullah
SAW dan kedua khalifah pertama
dan kedua, tidak ada pemalsuan hadis atau kebohongan yang disandarkan kepada
Rasululallah SAW. Setelah masa itu terjadilah fitnah dan pemalsuan-pemalsuan
hadis yang dilakukan sebagian kaum muslimin.
Penyataan Muhammad bin
Sirin yang sangat terkenal adalah:
لَمْ
يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ اْلإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا:
سَمُّوْا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ
وَيَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ.
“Dulu
kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad, namun
saat terjadi fitnah, mereka berkata: Sebutkanlah sanad-sanad
kalian. Jika sanad itu dari ahlu sunnah, maka diterima. Namun jika dari ahli
bidah, maka hadis tersebut ditolak.”
Hisham
bin ‘Urwah berkata,
إِذَا حَدَّثَكَ رَجُلٌ بِحَدِيْثٍ فَقُلْ عَمَّنْ هَذَا
“Jika kau seseorang
meriwayatkan hadis kepadamu, maka tanyalah dari siapa hadis itu.”
Auza’i
berkata,
مَا ذِهَابُ الْعِلْمِ إِلَّا ذِهَابَ
اْلإِسْنَادِ
“Ilmu tidak
akan hilang kecu’ali dengan
hilangnya sanad.”
Ibnu
Al-Mubarak mengatakan,
اَلْإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ
اْلإِسْنَادِ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah sebagian dari
agama, tanpa sanad maka orang-orang akan berkata semaunya.”
2.
Merantau
Mencari Hadis dan Menerapkan Validitas Hadis
Sudah menjadi sebuah
tradisi, para ulama merantau dari daerah ke daerah, dari negeri ke negeri untuk
mencari hadis atau meneliti sebuah hadis. Praktek validasi seperti ini menjadi
sebuah keharusan yang selalu dilakukan oleh para ahli hadis.
Dalam ilmu hadis juga
terdapat proses kritik sanad dan matan. Pada proses itu, sebuah matan atau para
sanad hadis diteliti satu demi satu apakah memenuhi kriteria hadis itu diterima
atau tidak.
Para ulama juga membuat kaedah-kaedah
untuk mengklasifikasikan hadis-hadis Nabi. Apakah hadis itu sahih, hasan, atau da’if? Para ulama juga
merancang kaedah khusus untuk bisa membedakan antara hadis asli dan hadis
palsu.
Haram hukumnya
meriwayatkan hadis palsu kepada siapapun, khususnya masyarakat awam, kecu’ali
meriwayatannya dengan tujuan pembelajaran seperti diberi kalimat “Termasuk dari
hadis palsu adalah ......”[37]
Hukum ini disandarkan
pada sebuah hadis bukhari-muslim,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ
يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ
“Barang siapa yang meriwayatkan
sebuah hadis, dan ia tahu bahwa itu palsu, maka ia termasuk memalsukan hadis
juga.”[38]
L. Daftar Buku-buku Hadis Palsu
Di antara upaya ulama agar umat Islam
setelah mereka mengetahuihadis-hadis palsu adalah mengarang buku-buku hadis
palsu. Muhammad
Mahmud Ahmad Bakkar dalam Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadith wa
al-Rijal menguraikan beberapa buku panduan hadis-hadis palsu, di antaranya:[39]
1.
Tazkiratu
al-Maudu’at, Abu al-Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi
(448-507 H).
2.
Al-Maudu’at
al-Kubra, Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi (508-597 H).
3.
Al-’Aliu
al-Masnu’ah fi al-Ahadist al-Maudu’ah, Al-Hafiz
Jalal al-Din al-Suyuti (849-911 H).
4.
Tazkiratu
al-Maudu’at, Al-Fatani (w. 986)
5.
Al-Fawaid
al-Majmu’ah fi al-Ahadith al-Maudu’at, Al-Shaukani
(1173-1255 H).
6.
Al-Ba’ist
‘ala al-Khalas min Hawadith al-Qassas, Al-Hafiz
Al-‘Iraqi (725-806).
7. Dan lain-lain.
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
1.
Khawarij
secara bahasa tercetak dari kata Kharij atau Kharijiyah yang
berarti orang atau golongan yang keluar. Secara isilah mereka adalah kelompok
keluar dari barisan ‘Ali dan Mu’awiyah.
2.
Kelompok
Khawarij muncul bersamaan dengan kelompok Syiah, pada awalnya pengikut kedua
kelompok ini adalah pengikut ‘Ali. Namun pemikiran kelompok Khawarij lebih
dahulu muncul dari pada Syiah. Khawarij muncul pertama kali saat memuncaknya
peperangan antara pasukan ‘Ali dan Mu’awiyah, saat mereka berdua merencanakan
untuk Tahkim atau Arbitrase dengan mengirim ‘Amr bin Ash dari
pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Ash’ari dari pihak ‘Ali. Upaya Tahkim akhirnya
memutuskan menurunkan ‘Ali dari jabatan khalifahdan mengukuhkan Mu’awiyah
sebagai khalifahyang baru. Anehnya, kelompok yang pada mulanya memaksa ‘Ali
untuk menerima tahkim dan menunjuk Abu Musa justru menilai bahwa tahkim adalah
sebuah dosa dan mereka menuntut ‘Ali untuk bertaubat. Semboyan yang selalu
mereka koarkan adalah tidak ada hukum yang pantas untuk diterapkan selain hukum
Allah.
3.
Karakteristik
kelompok Khawarij adalah berlebihan dlam beragama, tidak tahu agama, merendahan
dan menganggap orang lain sesat, mengkafirkan dan menghalalkan darah umat
Islam.
4.
Hadith
maudu‘’ adalah segala sesuatu, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan cara berbohong atau mengelabuhi,
sedangkan Rasulullah SAW tidak pernah mengatakan, melakukan, dan menyetujui hal
itu.
5.
Pemalsuan
hadis masih jarang dilakukan pada abad 1 dan 2 H, karena pada zaman itu, masih
banyak sahabat dan tabiin besar yang selalu
mengawal hadis-hadis
Rasulullah SAW. Hadis palsu terus bertambah banyak seiring dengan bertambahnya
fitnah dan bidah di kalangan kaum muslimin.
6.
Banyak
faktor penyebab hadis dipalsukan di antaranya konflik politik, menjilat
penguasa, propaganda kaum zindiq, dan lain-lain.
7.
Upaya
para ulama untuk mengidentifikasi hadis-hadis palsu tidak hanya dengan
meletakkan kaedah-kaedah khusus, tapi para ulama juga mengarang buku-buku yang
mengupas dan mengulas hadis-hadis palsu.
8.
Titik
fokus para ulama dalam melacak hadis-hadis palsu adalah sanad dan matan.
Sesuai dengan dengan kesimpulan di atas,
penulis menganjurkan pembaca untuk lebih merujuk buku-buku ilmu hadis dan
hadis-hadis palsu guna mendalami dan lebih mengerti tentang hadis palsu dan
macam-macamnya. Banyak literatur yang sangat lengkap dan apik dalam mengurai
hadis-hadis palsu.
Abu Zahrah,
Muhammad. ‘Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, Terj.
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publishing, 1996.
‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Usul
Al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahatuhu. Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.
Najjar
(al), Amir. ‘Aliran Khawarij, Terj.
Solihin Rasjidi dn Afif Muhammad. Jakarta: Lentera, 1993.
Bakkar, Muhammad Mahmud Ahmad. Bulughu al-Amal min Mushtalah al-Hadis wa al-Rijal. Kairo: Dar As-Salam, 2012.
Fuad, ‘Abd
al-Fattah Ahmad. “Shiah” Mausu’at al-Firaq wa al-Madhahib fi al-‘Alam
al-Islami. Kairo: Wizarat al-Auqaf, 2009.
Jaffal, ‘Ali. Al-Khawarij
Tarikhuhum wa Adabuhum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1990.
Mazid, ‘Ali ‘Abd al-Basit. Mu’jam al-Mustalahat al-Hadisiyyah. Kairo: al-Jami’ah al-Azhariyah, 2010.
Muhammad
Abu ‘Imarah, Mustafa. Al-Tahqiq wa al-‘Idah. Kairo: Jami’ah al-Azhar,
2009.
Muhammad
al-Salabi, ‘Ali. Khawarij dan
Shiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
terj. Masturi Irham dan M’Alir Supar. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Nadaf
(al), Muhammad Zakariya. Masail al-I’tiqad ‘inda al-Shi’ah al-Ithna
‘Ashariyah Vol. 1. Kairo: Dar al-Salam, 2011.
Saputra,
Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta:
RajawaliPress, 2002.
Shalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj.
Muhktar Yahya dan Sanusi Latief. Jakarta:
Al-Husna Zikra, 1995.
Syekh Amin, Bakri, Adab al-Hadith al-Nabawi. Beirut: Dar As-Shuruq, 1981.
Taha, ‘Abd al-Hasib. Adab al-Shi’ah. Kairo: al-Sa’adah, 1968.
Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Jakarta: Formas, 2014.
Zahwu, Muhammad Muhammad Abu. Al-Hadist wa al-Muhaddistun. Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1959.
[1] Malik bin Anas, Muwatho’ Malik (Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital), Hadis Nomor 1628.
[2]‘Ali Jaffal, Al-Khawarij Tarikhuhum wa Adabuhum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 20.
[3] ‘Amir al-Najjar dalam ‘Aliran Khawarij dan A. Shalabi dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 menyebut al-Muhakkimah bukan al-Muhakkamah. Lihat ‘Amir al-Najjar, ‘Aliran Khawarij, terj. Solihin Rasjidi dn Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 1993), 52. Lihat juga A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. Muhktar Yahya dan Sanusi Latief, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), 309.
[4]‘Ali Jaffal, Al-Khawarij Tarikhuhum wa Adabuhum..., 20.
[5] Ibid, 21.
[6]‘Ali Muhammad al-Salabi, Khawarij dan Shiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, terj. Masturi Irham dan M’Alir Supar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 13.
[7] Muhammad Abu Zahrah, ‘Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib. (Jakarta: Logos Publishing, 1996), 63-64.
[8]‘Ali Muhammad Al-Salabi, Khawarij dan Shiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah...,14-15.
[9]‘Ali Muhammad As-Salabi, Khawarij dan Shiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, terj. Masturi Irham dan M’Alir Supar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 61-70.
[10] Muhammad
Zakariya al-Nadaf, Masail al-I’tiqad ‘inda al-Shi’ah al-Ithna ‘Ashariyah Vol.
1, (Kairo: Dar al-Salam, 2011), 23.
[11] Ibid.,
25.
[12] ‘Abd
al-Fattah Ahmad Fuad, “Shiah” Mausu’at al-Firaq wa al-Madhahib fi al-‘Alam
al-Islami (Kairo; Wizarat al-Auqaf, 2009), 413.
[13] ‘Abd
al-Hasib Taha, Adab al-Shi’ah (Kairo: al-Sa’adah, 1968), 11.
[14] Tim
Penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Syiah di Indonesia (Jakarta:
Formas, 2014), 21.
[15] Ibid.,
21.
[16] Ibid.,
24.
[17] ‘Ali Abd al-Basith Mazid, Mu’jam al-Mushthalahat al-Hadistiyyah, 36.
[18] Bakri Syekh Amin, Adab al-Hadist al-Nabawi (Beirut: Dar al-Shuruq: 1981), 9.
[19]Ibid.,10.
[20]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahatuhu (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), 415.
[21] Ibid., 415.
[22]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Mustalah al-Hadith wa al-Rijal (Kairo: Dar al-Salam, 2012), 288.
[23] Ibid., 288.
[24]Ibid., 288.
[25]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushtalahatuhu..., 416.
[26]Ibid., 417.
[27]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu Al-Amal min Musthalahi Al-Hadis wa Ar-Rijal..., 288.
[28]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahatuhu..., 421.
[29]Mustafa Muhammad Abu ‘Imarah, al-Tahqiq wa al-Idah (Kairo: Jami’ah Al-Azhar, 2009), 238.
[30] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadist wa al-Muhaddistun (Kairo:
Darul Fikr Arabi, 1959), 87.
[31] Ajaran yang menganjurkan berbohong dan bermuka dua. Ajaran ini dianut oleh kelompok Syiah.
[32] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadist wa Al-Muhaddistun…, 87.
[33] Munzier Saputra, Ilmu Hadis (jakarta: Rajawalipress, 2002), 181-188.
[34]Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul Al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahatuhu..., 432-436.
[35]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadis wa al-Rijal...., 300.
[36]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadis wa al-Rijal...., 297-299.
[37]Mustafa Muhammad Abu ‘Imarah, al-Tahqiq wa al-Idah ..., 261.
[38]Ibid., 261.
[39]Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadis wa al-Rijal...., 302-303.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar