Mayoritas umat Islam sepakat bahwa status hukum Nasakh
adalah jawaz atau boleh, sebab Nasakh memang benar terjadi baik
dalam Alquran maupun hadis. Hal ini berpunggungan dengan kaum Yahudi yang tidak
mempercayai eksistensi Nasakh.[1]’
Adapun
dalil tentang Nasakh, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada dua dalil yang
membuktikan bahwa Nasakh absah dalam Alquran, yaitu ‘aqli dan sam’i.[2]
Menurut al-Zaraqani ada empat dalil‘aqli
yang menjadi Nasakh, yaitu:[3]
1. Akal tidak menafikan Nasakh
dan Nasakh bukanlah hal yang mustahil bagi akal. Menurut akal adanya Nasakh
adalah sah dan sangat memungkinkan.
2. Jika memang Nasakh
dilarang dan tidak boleh baik secara akal maupun syariat, maka syariat juga
tidak akan memerintahkan ibadah-ibadah yang bersifat sementara dan terbatas
oleh waktu, sebab selesainya ibadah tersebut termasuk dari Nasakh. Contoh puasa bulan ramadan. Syariat mewajibkan
berpuasa sebulan penuh, lalu mengharamkan puasa pada tanggal 1 syawal, maka hal
semacam ini juga termasuk dari Nasakh.
3. Seandainya Nasakh tidak dibenarkan menurut akal dan syariat, maka
risalah Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna dan pengganti risalah nabi-nabi
sebelumnya juga tidak sah, dan risalah Nabi Muhammad SAW tidak boleh untuk
khalayak luas secara umum (kaffah). Akan tetapi risalah Nabi Muhammad
SAW untuk siapa saja tak terbatas ruang dan waktu karena risalah tersebut
sebagai pengganti dan pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya.
4.
Adanya dalil-dalil sam’i yang menjelaskan tentang eksistensi Nasakh.
Adapun dalil Nasakh secara sam’i, al-Zarqani memetakan menjadi dua, bersumber dari
syariat atau kitab-kitab terdahulu dan bersumber dari Alquran.[4]
Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari syariat
atau kitab-kitab terdahulu:[5]
1.
Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail,
lalu Allah melarangnya dan menyuruhnya untuk menyembelih seekor domba.
2.
Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk membunuh siapa saja yang
menyembah patung sapi, kemudian Allah melarang mereka untuk membunuh kaum
penyembah patung sapi tersebut.
3.
Dalam syariat Nabi Ya’kub, boleh hukumnya menikahi dua perempuan
bersaudara sekaligus, namun hal itu diharamkan dalam syariat Nabi Musa.
4.
Bekerja di hari sabtu bagi kaum Yahudi pada mulanya diperkenankan,
seperti mencari ikan. Namun kemudian diharamkan.
5.
Talak pada masa Nabi Musa dianjurkan, kemudian syariat Nabi ‘Isa datang
dan mengharamkannya kecuali jika terbukti adanya perselingkuhan.
Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari
Alquran:[6]
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat
mana saja yang Kami Nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”[7]
وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍۢ ۙ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”[8]
(يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ ٣٩
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”[9]
Baca artikel lain yang berkaitan;
- Pengertian Nasakh, Nasikh, Dan Mansukh
- Hukum Dan Dalil Nasakh
- Syarat-Syarat Nasakh
- Macam-macam Nasakh Dan Contohnya
- Cara Mengetahui Nasakh
- Nasakh Dalam Surat Alquran
- Tujuan Nasakh
- Perbedaan Antara Nasakh, Bada, dan Takhsis
- Nasikh Dan Mansukh Alquran
- Biografi Al-Qurtubi
- Mengenal Kitab Tafsir Al-Qurtubi
Maliki (al), Abu Bakr Ibn al-‘Arabi. al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim. Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010.
Sijistani (al), Abu Dawud. al-Sunan. Stuttgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.
Suyuti (al), Jalal al-Din. al-Itqan fi Ulumi Alquran. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2008.
Qattan (al), Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Surabaya: Litera AntarNusa, 2013.
Zarkashi (al), Muhammad bin ‘Abdillah. al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran. Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 2006.
Zarqani (al), Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996.
[1] Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim..., 3.
[2] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996), 147.
[3] Ibid., 147-149.
[4] Ibid., 150-151.
[5] Ibid., 150.
[6] Ibid., 151.
[7] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 17.
[8] Ibid., 278.
[9] Ibid., 254.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar