Ada beberapa faedah penting tentang
fungsi mengetahui asbab al-wurud, di antaranya adalah:
a.
Membantu memahami hukum dan mengetahui tujuannya.
Mengetahui sebab munculnya suatu hadis sangat memberikan manfaat yang besar
terutama bagi orang-orang yang mau melakukan sebuah ijtihad dalam masalah
hukum, mudah dalam menentukan sebuah qiyas serta akan mempunyai hasil penalaran
yang objektif.
b.
Memahami hadis dari aspek keshahihannya (validitas) serta
jaminan kebenaran dalam menetapkan hukum darinya.
Kinerja asbab al-wurud tidak jauh beda dengan asbab
al-nuzul dalam Al-Quran. Maka, apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiq al-I<d
bahwasanya “penjelasan sabab al-nuzul merupakan metode yang kuat untuk
memahami Al-Quran” dan juga yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya
“mengetahui sabab al-nuzul menentukan bagaimana memahami ayat Al-Quran
karena pengetahuan tentang sebab akan menimbulkan pengetahuan tentang akibat”,[1]
ini juga berlaku pada hadis. Misalkan, potongan hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bahwasanya Rasulullah bersabda “tidak termasuk sebuah kebaikan (al-birr)
orang yang berpuasa dalam sebuah perjalanan”.[2]
Hadis
ini sulit dipahami karena adakalanya Rasulullah melaksanakan puasa ketika dalam
perjalanan.[3]
Ditinjau dari latar belakang hadis tersebut, yang juga dicantumkan dalam riwayatnya
Jabir bahwasanya Rasul ketika dalam perjalanan melihat kelompok orang yang
berteduh lalu beliau bertanya ma hadha? Diberitahu oleh sahabat bahwa
mereka adalah orang-orang yang sedang berpuasa. Kemudian Nabi bersabda “tidak
termasuk...”. dengan mengetahui kronologisnya maka bisa diambil kesimpulan
bahwa yang tidak akan memperoleh al-birr adalah mereka yang memaksa
berpuasa padahal ia dalam keadaan darurat.
c.
Pengkhususan Keumuman (Takhsis al-‘A<mm).[4]
Misalnya hadis tentang shalat sambil duduk
akan mendapatkan separuh pahala dari pada shalat berdiri.[5]
Hadis ini bersifat umum yang tertuju pada siapapun yang shalat, tetapi jika di
lihat dari kronologisnya, maka bisa disimpulkan bahwa hadis
tersebut khusus ditujukan kepada orang yang mampu melakukan shalat sambil
berdiri.[6]
d.
Limitasi Kemutlakan (Taqyid al-Mutlaq).[7]
Misalnya hadis tentang orang yang memberikan
kebaikan kemudian dimanfaatkan oleh orang yang setelahnya maka ia akan
memperoleh pahala setara dengan orang yang melakukannya, sebaliknya jika ada
orang yang memberikan keburukan kemudian ada orang yang meneruskan berbuat
buruk maka ia juga akan mendapatkan dosa seperti yang dilakukannya.[8]
Kemutlakan yang terdapat dalam hadis bukan sebab nilai baik dan buruk, namun
kemutlakannya karena pertimbangan ada dan tidak adanya dalil dari agama. Yakni,
pada suatu hari Rasul melihat rombongan yang datang tanpa beralas kaki dan
compang camping, mayoritas dari mereka dari Bani Mudhar. Melihat pemandangan
seperti itu kemudian Rasul menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan
dan iqamah, kemudian Rasul shalat berjamaah dan berkhutbah seraya
membaca firman Allah ya ayyuha al-nasu ittaqu rabbakum al-ladhi khalaqakum
min nafsi wahidah....., dan ittaqullah waltanzur nafsu ma qaddamat
lighadi wattaqullah. Kemudian para sahabat bersedekah dengan emas, pakaian,
gandum dan lain sebagainya, lalu Nabi bersabda dengan hadis di atas man
sanna sunnatan
hasanah...[9]
e.
Memperinci Keglobalan Hadis.
Misalnya Seperti contoh hadis yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim, diriwayatkan oleh Anas bahwasanya Bilal
diperintah untuk menggenapkan bacaan adhan dan mengganjilkan bacaan iqamah.[10]
Sabab wurud al-hadith-nya di atas dikeluarkan oleh Imam Abu
Dawud dan Ahmad dari riwayat ‘Abdullah bin Zaid, yakni seputar bagaimana cara
mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.[11]
Kehadiran hadis ‘Abdullah bin Zaid yang menjadi sebab munculnya hadis Anas
bin Malik ini memberikan rincian yang jelas atas maksud yang dikehendaki oleh
hadisnya Anas, yaitu mengulangi lafadz takbir empat kali dan dua kali dalam
iqamah serta bacaan lain sebagaimana tertera dalam hadis tersebut.
f.
Identifikasi tentang naskh.
Masalah naskh, selain bisa dideteksi dari
redaksi matan hadis juga bisa dideteksi dari kronologis munculnya hadis.
Misalnya, hadis tentang aturan mengikuti Imam shalat secara keseluruhan,
“sesungguhnya dibentuknya seorang imam (shalat) tidak lain bertujuan supaya
diikuti (geraknya) secara sempurna dan tidak boleh dibedai, jika sang imam
membaca takbir maka ikutlah membaca takbir, ketika imam ruku‘ maka ikutlah ruku‘ dan ketika imam membaca sami‘a allah liman hamidahu maka jawablah
dengan bacaan allahumma rabbana laka al-hamd, serta jika imam
melaksanakan dengan berdiri maka ikutlah berdiri, jika imam shalat sambil duduk
maka shalat sambil duduklah kalian semua”,[12]
Hadis ini di mansukh (dihapus) dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘A<ishah, bahwasanya menjelang wafatnya Rasulullah, beliau shalat
sambil duduk sedangkan jama‘ah di belakangnya melaksanakan sambil
berdiri.[13]
g.
Menjelaskan ‘Illat al-Hukm
Suatu hadis ada yang berisi larangan
atau anjuran. Misalnya hadis larangan
meminum langsung dari mulut teko (ceret),[14] latar belakang
turunnya hadis ini karena ada seseorang yang meminum dari mulutnya ceret
kemudian dia kerasukan jin.[15]
h.
Menjelaskan hadis yang sulit dipahami (mushkil)
Sabda Nabi yang pendek, seringkali membuat sahabat sulit untuk memahaminya. Misalnya masalah Hisab (perhitungan) di hari kiamat, man nuqisha al-hisab yaum al-qiyamah ‘udhdhiba. Sahabat bingung dengan maksud hadis tersebut sehingga menanyakannya kepada Nabi, bukankah Allah SWT telah berfirman fasaufa yuhasibu hisaba yasira, kemudian Rasulullah menjawab bahwa maksud ayat itu hanyalah cara/tekhnis (al-‘Ard) Tuhan semata.[16]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara fungsional, manfaat asbab wurud al-hadith adalah membantu mempermudah proses memahami hadis. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui sebab timbulnya hadis bagi orang yang ingin menjelaskan hadis yang memiliki sabab al-wurud. Bahkan akan berakibat fatal jika menjelaskan hadis yang memiliki kronologinya tetapi mengabaikan sebab munculnya. Selain itu, sabab al-wurud juga menjadi hal yang paling berperan dalam pemaknaan hadis secara kontekstual. Mengetahui sebab kemunculan suatu hadis akan mengetahui juga latar belakang sosial, baik berupa tradisi maupun karakter masyarakat pada waktu yang menjadi alasan kemunculan sebuah hadis.
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
[1]Al-Suyuti, Al-Itqan fi... 48. Al-Suyuti, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakar. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004.
[2]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra wa fi dhailihi al-Jauhir al-Naqi , Juz IV(Haidar abad: Majlis Dairah al-Ma`arif al-Nadhamiyah al-Kainah, 1344 H,), 242.
[3]Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salmah Abu Ja‘far al-Tahawi, Sharh Ma‘ani al-Athar, Juz II (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1399 H,), 62.
[4]Al-‘A<mm adalah lafad yang mencakup keuniversalan kata, baik dari sisi redaksi maupun makna. Artinya, kata yang ditetapkan sebagai dalil dengan tanpa ada pembatasan terhadap keuniversalan arti kata tersebut. Sedangkan al-Khas adalah pengertian sebaliknya, yakni lafad yang dibentuk sebagai dalil kepada bagian tertentu saja (Musfir ‘Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jami‘ah al-Imam Muhammad bin sa‘ud al-Islamiyah, 1984], 304).
[5]Salatu al-qa‘idi ‘ala al-nisfi min salati al-qaimi, latar belakang keluarnya hadis tersebut ketika sahabat menuju ke Madinah mereka diserang wabah karena cuaca kota yang tidak menentu, kemudian para sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk, lalu Nabi bersabda dengan hadis tersebut.
[6] Al-Suyuti, Asbab Wurud… 19; Abu Bakar ‘Abdur Razaq bin Hammam al-San‘ani, Musannif ‘Abdur Razaq, Juz V (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1403 H,), 11.
[7]Mutlaq adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas, ia hanya menunjuk satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Muqayyad adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan (Musfir ‘Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jami‘ah al-Imam Muhammad bin sa‘ud al-Islamiyah, 1984], 317-318).
[8]As-suyuti, Ibid… 12-13; Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah al-Quzwaini, Ibnu Majah, Juz I (Bairut; Dar al-Fikr, tt), 74.
[9]As-suyuti, Ibid; al-Naisaburi, Sahih Muslim… 68.
[10]Muhammad bin Isma‘il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih al-Mukhtasar, Juz I (Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987), 220; al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 2-3.
[11]Latar belakang dari hadis tersebut adalah ketika ‘Abdullah bin Zaid bermimpi tentang orang yang membawa naqus (lonceng) untuk mengumpulkan melaksanakan shalat berjamaah, kemudian dalam mimpi tersebut ada pengarahan kalau mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah dengan lafad-lafad adhan, mimpi tersebut kemudian dibenarkan oleh Rasul dan pada saat itu Bilal yang dipreintah untuk mengumandangkan adhan karena suaranya yang nyaring.
[12]al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 19; Abu Dawud Sulaiman bin al-‘Ashath al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, tt), 220; Abu ‘Abdur Rahman Ahmad bin Shu‘aib al-Nasai, Sunan al-Nasai bi Sharh al-Suyuti wa Hashiyati al-Sanadi, Juz II (Bairut: Dar al-Ma‘rifah, 1420 H), 434.
[13]Muhammad bin Futuh al-Hamidi, al-Jam‘u baina al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim, Juz II (Bairut: Dar al-Nashr, 2002), 368.
[14]Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar al-Salami al-Naisaburi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Juz IV (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1970), 146.
[15]Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz VII (Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), 285.
[16]al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih… Juz I, 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar