1.
Dokumentasi
Sanad Hadis
Sanad merupakan salah satu ciri khas umat Islam yang tidak
dimiliki siapapun. Lebih spesifik lagi, bisa dikatakan sanad merupakan
ciri khas muhadisin, hanya milik disiplin ilmu hadis, bukan
disiplin ilmu yang lain. Ia juga salah satu tiang penguat agama.[1]
Dokumentasi sanad dimulai bersamaan dengan
dokumentasi hadis, Utang Ranu menjelaskan salah satu keistimewaan hadis
dari dokumen sejarah yang ada di dunia adalah tertulisnya data orang-orang yang
menerima dan meriwayatkan hadis tersebut, yang disebut dengan sanad.[2]
Mengenai penulisan hadis sendiri, sebenarnya
sudah dimulai sejak masa Nabi SAW. Dimana tidak sedikit dari sahabat yang
menulis hadis nabawi di pelbagai media, seperti pelepah kurma, kulit-kulit
kayu, tulang hewan. Sebagaimana yang telah dilakukan Abdullah bin ‘Amru bin
‘A<s. Tulisan-tulisannya disebut al-Sahifah al-Sadiqah. Begitu juga dengan
Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary pemilik Sahifah Jabir, Ali bin Abi Thalib, dsb.[3]
Hanya saja penulis berasumsi kemungkinan sanad
telah ditulis bersamaan dengan penulisan hadis di zaman ini sangatlah
kecil. Sebab, kemungkinan besar perawi yakni sahabat mendengar hadis
tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Tanpa adanya perantara, tak ayal sanad
tak perlu ditulis ketika itu. Sehingga, sekali lagi penulis berasumsi
kemungkinan sanad mulai ditulis pasca masa sahabat. ketika hadis
mengalami proses penghimpunan resmi atau masa kodifikasi yang direalisasikan
oleh Ibn Shihab al-Zuhri. Terlebih, Ibn Sirrin mengatakan bahwa pasca fitnah
orang mulai menanyakan isnad, dan menyuruh perawi menyebutkan sanad
miliknya ketika meriwayatkan hadis.[4]
Meskipun tidak menutup kemungkinan bila sanad telah ditulis sebelum masa
kodifikasi resmi. Hanya saja yang disayangkan penulis belum menemukan data yang
menunjukkan hal tersebut.
Yang pasti, bukti dokumentasi sanad hadis
ini bisa kita saksikan dalam kutub al-sittah. Jika ingin menilik
masterpiece yang lebih tua lagi umurnya, kita bisa menelisik kitab Muwatta’
Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dan tentunya masih banyak
kitab lainnya. Dalam buku-buku tersebut, sanad hadis
terdokumentasikan sangat apik dan tertib. Menunjukkan ketelitian, keuletan,
kesabaran serta profesionalisme muhadisin terdahulu.[5]
Karena, di zaman yang masih terbatas sarana dan pra sarana, mereka telah sadar
penuh akan urgensitas sanad sebagai salah satu disiplin keilmuan.
Dalam kitab-kitab hadis mukharrij mendokumentasikan segala
bentuk sanad. Mencakup hadis yang mempunyai banyak jalan sanad
seperti mutawatir dan mashhur , maupun jalan sanadnya sedikit
seperti ahad. Pada zaman selanjutnya, dokumentasi sanad hadis
mengalami perkembangan. Para ulama mencurahkan perhatian mereka pada sanad,
sampai-sampai muncul kitab-kitab yang sengaja khusus membahas tentang sanad,
para rawi yang terdapat dalam sanad dari berbagai generasi. Tidak
hanya nama yang mereka cantumkan, namun segala hal yang berhubungan dengan
kualitas dan personalitas tiap rawi. Bahkan, penilaian muhadisin
tentang pribadi rawi tersebut dalam hal kesalehan dan kecerdasan,
kekuatan daya hafalnya juga dibahas disini. Pembahasan mereka dalam konteks ini
kemudian menjadi pedoman pakar hadis sesudahnya dalam menilai keabsahan hadis.
Kitab yang membahas demikian disebut kitab Al-Rijal, contohnya banyak sekali,
diantaranya: al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah karya Ibn Hajar, Mizan I‘tidal
karya al-Dhahabi, Usud al-Ghabah fi Asma’i al-Sahabah milik Ibn al- Athir,
dan lain lain.[6]
2.
Peranan Sanad
dalam Dokumentasi Hadis
Telah dikatakan sebelumnya, sanad adalah ciri
khas umat Islam dan ia merupakan salah satu tiang kekuatan agama.[7]
Jumhur ulama pun sepakat akan urgensitas sanad dalam agama Islam, bahkan
mereka sangat memuji unsur hadis tersebut. “ilmu menghilang dengan
menghilangnya sanad” sebagaimana Shu‘bah bin Hajjaj katakan. Rasanya,
yang ia katakan benar adanya, mengingat tidak semua Matan hadis
bisa diterima oleh umat, kecuali bila terdapat sanad lengkap dan
berkualitas. Bila tidak ada sanad, walaupun Matan hadis
benar hakikatnya, maka dengan berat hati hal tersebut tidak dapat diakui
keabsahannya. Dan bila hal itu terjadi, maka melayanglah suatu ilmu dari muka
bumi ini berbarengan dengan melayangnya sanad yang mendampingi Matan
tersebut.
Peranan sanad secara umum tidak bisa dinafikan
begitu saja dari keilmuan. Menurut Thauri, ia senjata para mukmin. Bila mukmin
kehilangan eksistensinya maka dengan mudah mukmin diserang. Sehingga sanad,
bukan hanya unsur yang tak lepas dari hadis. Lebih dari itu, sanad
tidak bisa dipisahkan dari agama para mukmin. Abdullah bin Mubarak
mengungkapkan sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena isnad,
orang akan berkata sekehendak hatinya. Namun ketika ditanya dari mana engkau
mendapatkannya, orang tersebut hanya terdiam tak berkutik.[8]
Ibn Sirrin juga
bercerita bahwa sebelum terjadi tragedi fitnah, umat muslim tidak
mempertanyakan sanad, namun pasca tragedi orang-orang mulai mempertanyakannya.
Bila sanadnya diketahui berasal dari ahli sunah maka hadisnya
diterima. Tetapi bila berasal dari ahli bid‘ah, maka hadisnya tidak
dapat diterima. Ungkapan Ibn Sirrin diatas bukan mengartikan bahwa eksistensi sanad
baru muncul usai fitnah. Mempertanyakan sanad telah ada sebelum fitnah
terjadi, hanya saja sedikit orang yang melakukannya. Sadar atau tidak disadari
oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah perawi hadis
telah muncul pada zaman Nabi SAW. Dimana, tidak semua sahabat menghadiri setiap
majelis ilmiah Rasulullah SAW karena sibuk dengan urusan pemerintahan,
perniagaan, pertanian. Sehingga, setiap ada sahabat yang hadir, ia akan
menyampaikan hadis nabawi kepada temannya yang belum bisa hadir.[9]
Ditambah, ketika itu mereka tidak berbohong atas apa
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahkan Barra’ bin ‘A<zib mengatakan mereka
tidak mengenal apa itu dusta kala itu. Tak heran, Anas bin Malik marah ketika
dikatakan padanya “apakah anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?” ia
langsung menjawab tidak ada dari kami yang saling berdusta satu sama lain.
Dengan demikian tragedi fitnah menjadi garis pembatas yang jelas bagi awal mula
umat bertanya soal isnad. Sementara sebelumnya umat belum
mempertanyakannya. Atau dengan kata lain tragedi fitnah menjadi pembatas antara
kejernihan sunah sebelum kejadian dengan kondisi sunah yang telah
terkontaminasi dengan polusi kepentingan setelah kejadian fitnah.[10]
Masa setelah fitnah, hadis banyak ditumpangi
kepentingan-kepentingan. Ia dijadikan alat penyokong mazhab batil dan aliran
ahli bid‘ah. Orang-orang menciptakan sanad-sanad sendiri, malah
ada yang sengaja menggunakan sanad ‘aly untuk memperkokoh
pemikirannya. Sehingga pemalsuan tak elak terjadi dan merajalela di khalayak
masyarakat.
Oleh sebab itu ulama hadis terdahulu merasa terpanggil untuk memelihara hadis, mereka kemudian mengadakan beberapa upaya, diantaranya mencari sanad hadis dan meneliti karateristik para rawinya, apakah ia terkena polusi kepentingan seperti ahli bid‘ah atau tidak, meskipun sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis. Kedua, mereka mengimbau khalayak untuk berhati-hati dalam menerima hadis. Tersebar kaidah dikalangan mereka “hadis-hadis ini tiada lain adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya”. Dari sini lahirlah bibit-bibit ilmu jarh wa ta‘dil. Ketiga, mereka melakukan ekspekdisi pencarian sanad yang lebih tinggi.[11]
Dengan demikian, melihat faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas, maka peranan sanad dalam dokumentasi hadis ialah: pertama, memelihara keontetikan Matan hadis agar tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis di luar sana. Kedua, menjaga hadis agar tidak mudah diserang oleh hadis-hadis palsu. Ketika esensi hadis palsu menyerang dan berlawanan 180 derajat dengan hadis yang asli. Hadis yang asli bisa menangkisnya dengan memaparkan sanad sebagai pondasi kekuatannya beserta memaparkan kapabelitas rawi yang ada didalamnya. Ketiga, untuk penelitian kualitas hadis satu persatu secara terperinci.[12] Poin ketiga ini kiranya teraplikasikan pada ilmu takhrij hadis. Dan yang keempat, peran sanad secara umum adalah mempelopori munculnya ilmu jarh wa ta‘dil dalam hadis sebagai satu disiplin ilmu.
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
DAFTAR
PUSTAKA
‘Asqalani
(al), Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. tahkik Ibrahim al-Zaibaq dan ‘A<dil
Murshid. Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th.
Bakkar (al), ‘Abd al-Qadir Mahmud.
Qawa’id al-Tahdith. Kairo: Dar al-Salam, 2008.
Bukhari (al), Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‘fy. al-Jami’ al-Sahih.
Kairo: Maktabah Tabary, 2010.
Doi,
‘Abdur Rahman I. Introduction to the Hadith. Kuala Lumpur: Zafar Sdn.
Bhd, 1991.
Farisy (al),al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali. Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Hadi (al), ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd. “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin”, Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith al-Sharif. Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.
Idri. “Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at”. Disertasi-- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2004.
Ismail,M.
Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa,1991.
‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. terj. Endang Soetari. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Khatib
(al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr,
2008.
Khon, Abdul
Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media, 1996.
Sha’ban,
‘Abdullah. al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin. Kairo: Dar al-Salam,
2008.
Suyuti (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawi fiSharh Taqrib al-Nawawy.
tahkik Ahmad Ma’bad ‘Abdul Karim dan Tariq bin ‘Aud. Riyadh : Dar al-‘A<simah,
2003.
Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah
Hadith. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Tahun, Ratibah Ibrahim Khitab. Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa
al-Hukm ‘ala al-Hadith. Kairo: Azhar University, 2009.
Tibby (al), al-Husain
bin Abdullah. al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith. tahkik Subha al-Sahira’i.
Beirut: ‘A<lam al-Kitab, 1985.
Zabidy (al), Muhammad Murtada al-Husaini. Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus. tahkik ‘Abd al-Sattar Ahmad Farraj. Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965.
[1]
‘Abd al-Qadir Mahmud al-Bakkar,
Qawa’id al-Tahdith, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 27.
[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media, 1996), 97.
[3] Ismail, Pengantar Ilmu, 80.
[4] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol
I, 41.
[5] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 67.
[6] Ibid., 68.
[7] Ciri khas umat Islam yang tidak
dimiliki umat lain ada 3. Yakni, isnad, i‘rab dan ansab. (sanad,
penguraian kata sesuai gramatikal bahasa Arab, nasab keturunan) sebagaimana
yang diungkapkan Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad. Lihat Al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith,
29.
[8] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 27.
[9] Ibid., 30.
[10] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith,
30-31.
[11] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41-42.
[12] Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar