HOME

11 Maret, 2022

Sanad Dan Dokumentasi Hadis

 

    1.      Dokumentasi Sanad Hadis

Sanad merupakan salah satu ciri khas umat Islam yang tidak dimiliki siapapun. Lebih spesifik lagi, bisa dikatakan sanad merupakan ciri khas muhadisin, hanya milik disiplin ilmu hadis, bukan disiplin ilmu yang lain. Ia juga salah satu tiang penguat agama.[1]

Dokumentasi sanad dimulai bersamaan dengan dokumentasi hadis, Utang Ranu menjelaskan salah satu keistimewaan hadis dari dokumen sejarah yang ada di dunia adalah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadis tersebut, yang disebut dengan sanad.[2]

Mengenai penulisan hadis sendiri, sebenarnya sudah dimulai sejak masa Nabi SAW. Dimana tidak sedikit dari sahabat yang menulis hadis nabawi di pelbagai media, seperti pelepah kurma, kulit-kulit kayu, tulang hewan. Sebagaimana yang telah dilakukan Abdullah bin ‘Amru bin ‘A<s. Tulisan-tulisannya disebut al-Sahifah al-Sadiqah. Begitu juga dengan Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary pemilik Sahifah Jabir, Ali bin Abi Thalib, dsb.[3]

Hanya saja penulis berasumsi kemungkinan sanad telah ditulis bersamaan dengan penulisan hadis di zaman ini sangatlah kecil. Sebab, kemungkinan besar perawi yakni sahabat mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Tanpa adanya perantara, tak ayal sanad tak perlu ditulis ketika itu. Sehingga, sekali lagi penulis berasumsi kemungkinan sanad mulai ditulis pasca masa sahabat. ketika hadis mengalami proses penghimpunan resmi atau masa kodifikasi yang direalisasikan oleh Ibn Shihab al-Zuhri. Terlebih, Ibn Sirrin mengatakan bahwa pasca fitnah orang mulai menanyakan isnad, dan menyuruh perawi menyebutkan sanad miliknya ketika meriwayatkan hadis.[4] Meskipun tidak menutup kemungkinan bila sanad telah ditulis sebelum masa kodifikasi resmi. Hanya saja yang disayangkan penulis belum menemukan data yang menunjukkan hal tersebut.

Yang pasti, bukti dokumentasi sanad hadis ini bisa kita saksikan dalam kutub al-sittah. Jika ingin menilik masterpiece yang lebih tua lagi umurnya, kita bisa menelisik kitab Muwatta’ Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dan tentunya masih banyak kitab lainnya. Dalam buku-buku tersebut, sanad hadis terdokumentasikan sangat apik dan tertib. Menunjukkan ketelitian, keuletan, kesabaran serta profesionalisme muhadisin terdahulu.[5] Karena, di zaman yang masih terbatas sarana dan pra sarana, mereka telah sadar penuh akan urgensitas sanad sebagai salah satu disiplin keilmuan.

Dalam kitab-kitab hadis  mukharrij mendokumentasikan segala bentuk sanad. Mencakup hadis yang mempunyai banyak jalan sanad seperti mutawatir dan mashhur , maupun jalan sanadnya sedikit seperti ahad. Pada zaman selanjutnya, dokumentasi sanad hadis mengalami perkembangan. Para ulama mencurahkan perhatian mereka pada sanad, sampai-sampai muncul kitab-kitab yang sengaja khusus membahas tentang sanad, para rawi yang terdapat dalam sanad dari berbagai generasi. Tidak hanya nama yang mereka cantumkan, namun segala hal yang berhubungan dengan kualitas dan personalitas tiap rawi. Bahkan, penilaian muhadisin tentang pribadi rawi tersebut dalam hal kesalehan dan kecerdasan, kekuatan daya hafalnya juga dibahas disini. Pembahasan mereka dalam konteks ini kemudian menjadi pedoman pakar hadis sesudahnya dalam menilai keabsahan hadis. Kitab yang membahas demikian disebut kitab Al-Rijal, contohnya banyak sekali, diantaranya: al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah karya Ibn Hajar, Mizan I‘tidal karya al-Dhahabi, Usud al-Ghabah fi Asma’i al-Sahabah milik Ibn al- Athir, dan lain lain.[6]


    2.      Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadis

Telah dikatakan sebelumnya, sanad adalah ciri khas umat Islam dan ia merupakan salah satu tiang kekuatan agama.[7] Jumhur ulama pun sepakat akan urgensitas sanad dalam agama Islam, bahkan mereka sangat memuji unsur hadis tersebut. “ilmu menghilang dengan menghilangnya sanad” sebagaimana Shu‘bah bin Hajjaj katakan. Rasanya, yang ia katakan benar adanya, mengingat tidak semua Matan hadis bisa diterima oleh umat, kecuali bila terdapat sanad lengkap dan berkualitas. Bila tidak ada sanad, walaupun Matan hadis benar hakikatnya, maka dengan berat hati hal tersebut tidak dapat diakui keabsahannya. Dan bila hal itu terjadi, maka melayanglah suatu ilmu dari muka bumi ini berbarengan dengan melayangnya sanad yang mendampingi Matan tersebut.

Peranan sanad secara umum tidak bisa dinafikan begitu saja dari keilmuan. Menurut Thauri, ia senjata para mukmin. Bila mukmin kehilangan eksistensinya maka dengan mudah mukmin diserang. Sehingga sanad, bukan hanya unsur yang tak lepas dari hadis. Lebih dari itu, sanad tidak bisa dipisahkan dari agama para mukmin. Abdullah bin Mubarak mengungkapkan sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena isnad, orang akan berkata sekehendak hatinya. Namun ketika ditanya dari mana engkau mendapatkannya, orang tersebut hanya terdiam tak berkutik.[8]

 Ibn Sirrin juga bercerita bahwa sebelum terjadi tragedi fitnah, umat muslim tidak mempertanyakan sanad, namun pasca tragedi orang-orang mulai mempertanyakannya. Bila sanadnya diketahui berasal dari ahli sunah maka hadisnya diterima. Tetapi bila berasal dari ahli bid‘ah, maka hadisnya tidak dapat diterima. Ungkapan Ibn Sirrin diatas bukan mengartikan bahwa eksistensi sanad baru muncul usai fitnah. Mempertanyakan sanad telah ada sebelum fitnah terjadi, hanya saja sedikit orang yang melakukannya. Sadar atau tidak disadari oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah perawi hadis telah muncul pada zaman Nabi SAW. Dimana, tidak semua sahabat menghadiri setiap majelis ilmiah Rasulullah SAW karena sibuk dengan urusan pemerintahan, perniagaan, pertanian. Sehingga, setiap ada sahabat yang hadir, ia akan menyampaikan hadis nabawi kepada temannya yang belum bisa hadir.[9]

Ditambah, ketika itu mereka tidak berbohong atas apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahkan Barra’ bin ‘A<zib mengatakan mereka tidak mengenal apa itu dusta kala itu. Tak heran, Anas bin Malik marah ketika dikatakan padanya “apakah anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?” ia langsung menjawab tidak ada dari kami yang saling berdusta satu sama lain. Dengan demikian tragedi fitnah menjadi garis pembatas yang jelas bagi awal mula umat bertanya soal isnad. Sementara sebelumnya umat belum mempertanyakannya. Atau dengan kata lain tragedi fitnah menjadi pembatas antara kejernihan sunah sebelum kejadian dengan kondisi sunah yang telah terkontaminasi dengan polusi kepentingan setelah kejadian fitnah.[10]  

Masa setelah fitnah, hadis banyak ditumpangi kepentingan-kepentingan. Ia dijadikan alat penyokong mazhab batil dan aliran ahli bid‘ah. Orang-orang menciptakan sanad-sanad sendiri, malah ada yang sengaja menggunakan sanad ‘aly untuk memperkokoh pemikirannya. Sehingga pemalsuan tak elak terjadi dan merajalela di khalayak masyarakat.

Oleh sebab itu ulama hadis terdahulu merasa terpanggil untuk memelihara hadis, mereka kemudian mengadakan beberapa upaya, diantaranya mencari sanad hadis dan meneliti karateristik para rawinya, apakah ia terkena polusi kepentingan seperti ahli bid‘ah atau tidak, meskipun sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis. Kedua, mereka mengimbau khalayak untuk berhati-hati dalam menerima hadis. Tersebar kaidah dikalangan mereka “hadis-hadis ini tiada lain adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya”. Dari sini lahirlah bibit-bibit ilmu jarh wa ta‘dil. Ketiga, mereka melakukan ekspekdisi pencarian sanad yang lebih tinggi.[11]

Dengan demikian, melihat faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas, maka peranan sanad dalam dokumentasi hadis ialah: pertama, memelihara keontetikan Matan hadis agar tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis di luar sana. Kedua, menjaga hadis agar tidak mudah diserang oleh hadis-hadis palsu. Ketika esensi hadis palsu menyerang dan berlawanan 180 derajat dengan hadis yang asli. Hadis yang asli bisa menangkisnya dengan memaparkan sanad sebagai pondasi kekuatannya beserta memaparkan kapabelitas rawi yang ada didalamnya. Ketiga, untuk penelitian kualitas hadis satu persatu secara terperinci.[12] Poin ketiga ini kiranya teraplikasikan pada ilmu takhrij hadis. Dan yang keempat, peran sanad secara umum adalah mempelopori munculnya ilmu jarh wa ta‘dil dalam hadis sebagai satu disiplin ilmu.

Baca artikel tentang Hadis lainya :

DAFTAR PUSTAKA

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. tahkik Ibrahim al-Zaibaq dan ‘A<dil Murshid. Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th.

Bakkar (al), ‘Abd al-Qadir Mahmud. Qawa’id al-Tahdith. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‘fy. al-Jami’ al-Sahih. Kairo: Maktabah Tabary, 2010.

Doi, ‘Abdur Rahman I. Introduction to the Hadith. Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991.

Farisy (al),al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali. Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Hadi (al), ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd. “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin”, Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith al-Sharif. Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.

Idri. “Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at”. Disertasi-- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2004.

Ismail,M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa,1991.

‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. terj. Endang Soetari. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media, 1996.

Sha’ban, ‘Abdullah. al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Suyuti (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawi fiSharh Taqrib al-Nawawy. tahkik Ahmad Ma’bad ‘Abdul Karim dan Tariq bin ‘Aud. Riyadh : Dar al-‘A<simah, 2003.

Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah Hadith. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H.

Tahun, Ratibah Ibrahim Khitab. Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith. Kairo: Azhar University, 2009.

Tibby (al), al-Husain bin Abdullah. al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith. tahkik Subha al-Sahira’i. Beirut: ‘A<lam al-Kitab, 1985.

Zabidy (al), Muhammad Murtada al-Husaini. Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus. tahkik ‘Abd al-Sattar Ahmad Farraj. Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965.


[1] ‘Abd al-Qadir Mahmud al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 27.

[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media, 1996), 97.

[3] Ismail, Pengantar Ilmu, 80.

[4] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41.

[5] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 67.

[6] Ibid., 68.

[7] Ciri khas umat Islam yang tidak dimiliki umat lain ada 3. Yakni, isnad, i‘rab dan ansab. (sanad, penguraian kata sesuai gramatikal bahasa Arab, nasab keturunan) sebagaimana yang diungkapkan Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad.  Lihat Al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 29.

[8] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 27.

[9] Ibid., 30.

[10] al-Bakkar, Qawa’id al-Tahdith, 30-31.

[11] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 41-42.

[12] Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...