HOME

30 Maret, 2022

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH

 

 

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang Masalah

Dengan berlalunya waktu, berkembang pulalah sebuah peradaban. Albert Aschweitzer mengatakan bahwa peradaban adalah  kemajuan spiritual dan materialis bagi setiap individu maupun masyarakat.[1]Secara sederhana, produk sebuah peradaban adalah hasil jerih payah, yang dilakukan oleh para pelaku zaman tersebut, guna memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan hidup manusia.Produk peradaban tak terbatas pada sisi-sisi tertentu, melainkan mencakup berbagai aspek yang mampu mendukung kesempurnaan kehidupan spiritual maupun material manusia dan menciptakan sebuah kemajuan, karena hal inilah tujuan utama dari terwujudnya sebuah peradaban.[2]

Kiranya apa yang dilakukan umat Islam terdahulu pasca wafatnya Nabi, meliputi perebutan kekuasaan untuk memerintah dan menguasai kendali umat, adalah sebuah usaha untuk menggapai kemajuan batiniyah dan lahiriyah dalam kacamata mereka. Begitu juga dengan Muawiyah yang merebut kekuasaan dari tangan Hasan anak khalifah rasyidah Ali bin Abi Thalib. Dikatakan dalam suatu riwayat bahwa Muawiyah mengirimkan risalah kepada Hasan dan menyatakan bahwa Muawiyah tahu betul pribadi Hasan yang lebih dekat secara ikatan darah membuatnya lebih pantas menguasai pemerintahan, hanya saja ia meragukan kemampuan Hasan dalam pemerintahan.[3]

Begitulah, setiap manusia kiranya mempunyai standar tersendiri, visi dan cara yang berbeda dan kacamata yang tentu tak sama, dalam memandang kebijaksanaan dan kebaikan, atau dalam menggapai tujuan peradaban.

Dalam makalah ini penulis akan berusaha menyajikan pembahasan mengenai hal yang melandasi dan mendorong dinasti ini lahir dalam sejarah


Islam. Apa saja yang dibuat dalam pemerintahan ini dan seperti apa mereka memerintah, tidak semua khalifah yang menjabat akan penulis kupas secara mendalam, hanya khalifah tertentu seperti Muawiyah sebagai khalifah pertama, agar pembahasan tidak terlalu melebar. Lalu, penulis akan memaparkan kemajuan apa saja yang dialami Islam kala itu beserta mengapa dinasti Umayyah ini runtuh pada tahun 750 M.


    B.  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana dan apa yang melatarbelakangi dinasti ini muncul?

2.    Siapa saja khalifah yang berkuasa di masa ini dan seperti apa pemerintahan Islam ketika Muawiyah menjabat sebagai khalifah pertama bani Umayyah?

3.    Bagaimana administrasi politik dan dinamika keilmuan pada zaman ini?

4.    Kontribusi apakah yang diberikan masa ini bagi keilmuan dan perkembangan Islam itu sendiri? Serta apa penyebab kehancuran dinasti Umayyah?


    C.  Tujuan Penelitian

1.    Mengetahui faktor dan asal mula munculnya dinasti Umayyah.

2.    Mengetahui model pemerintahan Muawiyah

3.    Mengetahui kondisi administrasi politik dan dinamika keilmuan masa tersebut

4.    Mengetahui penyebab runtuhnya dinasti Umayyah


    D.  Kegunaan Penelitian

1.    Memberikan wawasan tentang sejarah perjalanan umat Islam khususnya ketika dinasti Umayyah berkuasa, bagi penulis dan pembaca makalah.

2.    Untuk menjelaskan aspek-aspek administrasi politik dan keilmuan pada zaman ini.

    

    E.  Kerangka Makalah

Bab I:  Pendahuluan

a.       Latar belakang masalah

b.      Rumusan masalah

c.       Tujuan penelitian

d.      Kegunaan Penelitian

e.       Kerangka Makalah

 

Bab II: Pembahasan

a.    Penetapan Khalifah dan Kelahiran Dinasti

b.    Kekuasaan Muawiyah; Model Pemerintahan Arab

c.    Administrasi Politik dan Kondisi Sosial

d.   Perkembangan Lembaga Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

e.    Kemunduran dan Akhir Dinasti Umayyah

 

Bab IV: Penutup

Daftar pustaka


BAB II

PEMBAHASAN

        A.         PENETAPAN KHALIFAH DAN KELAHIRAN DINASTI

Dinasti Umayyah muncul mulai tahun 40 H, ketika Muawiyah dinobatkan di Yerussalem sebagai khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.[4] Sebelumnya, Muawiyah menduduki jabatan sebagai gubernur di kawasan Syiria pada masa Umar bin Khattab, yang kemudian daerah kepemimpinannya diperluas hingga meliputi pantai laut tengah, ketika masa Uthman bin Affan.[5]

Bani Umayyah merupakan salah satu suku Quraish. Mereka anak-anak dari Umayyah bin Abd al-Syam bin Abd al-Manaf. Semenjak dulu Umayyah telah bersaing dengan Hasyim bin Abd al-Manaf, pamannya sendiri yang dari keturunannya lah nabi Muhammad SAW lahir .Keduanya bersaing untuk memperoleh kemuliaan serta kepemimpinan di tengah-tengah khalayak Quraish. Keduanya dianggap sebagai pemuka suku Quraish. Umayyah layak mendapatkan status tersebut. Keluarganya berasal dari golongan bangsawan kaya, ia mempunyai 10 putra, ia juga dinilai mempunyai persyaratan yang cukup untuk bisa memimpin dan dihormati para masyarakat. Ketiga faktor tersebut pada zaman jahiliyah pra Islam dianggap berhak memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[6]

Meskipun persaingan telah ada antara bani Umayyah dan bani Hashim, namun tidak semua keturunannya mengikuti jejak pendahulunya. Nyatanya, Abd al-Muthalib bin Hashim mempunyai hubungan baik dengan Harb bin Umayyah. Begitupula antara ‘Abbas bin Abd al-Muthalib dengan Abu Sufyan bin Harb. Di saat Nabi Muhammad mengikrarkan kenabiannya, mayoritas bani Umayyah menentang. Sedangkan bani Hashim berbeda. Bani Hashim tetap membela meskipun tidak seluruh keluarga sepakat dengan apa yang dibawa nabi Muhammad SAW. Hal ini terjadi karena bagi orang Arab, membela kerabat dan melindungi anggota keluarga menjadi hal yang sangat vital bagi mereka.[7] Itulah mengapa silsilah keturunan sangat diperhitungkan dalam keberlangsungan hidup orang Arab.

Persaingan antara dua bani ini baru berakhir ketika mereka menyerah pada Rasulullah SAW sewaktu Fathu Makkah. Keluarga bani Umayyah pada akhirnya menerima ajaran Nabi SAW dan masuk Islam. Mereka terhitung masyarakat Quraish yang masuk Islam belakangan.[8] Philip Hitti memaparkan keislaman mereka hanyalah bentuk penyelamatan yang paling tepat bagi kondisi mereka saat itu.

Akan tetapi, banyak fakta yang menunjukkan keseriusan beragama mereka. Dalam setiap peperangan, mereka selalu andil dan bersemangat. Seperti Muawiyah, ia mengikuti beberapa peperangan terakhir dalam Islam. Misalnya Perang Hunain, ia pula diutus sebagai penulis wahyu. Ia terkenal sebagai orang yang sabar, sampai-sampai al-Maqbari mengatakan: “Kalian sangat kagum kepada Kaisar Persia dan Romawi, namun kalian tidak mempedulikan Muawiyah! Kesabarannya dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibn Abid Dunya dan Abu Bakar bin ‘Asim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.[9]

Kematian Uthman bin Affan, menjadi momentum munculnya embrio dinasti Umayyah. Diketuai oleh Muawiyah, bani Umayyah menuntut kematian sepupu Muawiyah itu pada Ali bin Abi Thalib, yang telah dibaiat oleh masyarakat Madinah sebagai khalifah pengganti Uthman.[10] Muawiyah terang-terangan semakin membangkang pada pemerintah, ketika tahu Ali bin Thalib masih belum mau menuntaskan masalah tersebut. Posisi Ali memang dilematis. Saat ia berpikir ingin mengurus masalah Uthman di kemudian hari ketika suasana panas mereda dan pikiran mulai jernih, di lain pihak Muawiyah semakin bersikap negatif dan menaruh curiga padanya karena mengulur-ulur waktu.[11] Prinsipnya, tak akan mengakui khilafah Ali bin Abi Talib sebelum ia menemukan dan menyatakan siapa oknum-oknum yang terlibat dalam pembunuhan sepupunya.

Karena tak mengakui pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Khalifah pun mengirimkan delegasi kepada penguasa Syiria ini, melakukan berkali-kali diplomasi agar Muawiyah membaiat kekhalifahannya, guna mencegah perpecahan umat muslim. Namun rasanya, usahanya tak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya, Ali menyerang Muawiyah dan pengikutnya. Karena Ali beranggapan Muawiyah telah berbuat kriminal, memberontak dan membangkang pada pemerintahan yang sah.[12]

Keduanya berperang di Siffin, disaat kubu Ali hampir menang. Orang Syiria mengangkat Al-Quran dengan tombak mereka atas gagasan ‘Amru bin ‘As yang diperintah oleh Muawiyah. Ia segera beretorika, menghendaki gencatan senjata dan menegaskan “Inilah Kitabullah yang akan menjadi hakim antara kami dan kamu.[13]

Sebenarnya, Ali tidak setuju dengan apa yang ditawarkan. Kiranya, ia mengerti bahwa hal tersebut hanyalah upaya penyelamatan sebelum mereka jatuh dalam kekalahan.[14] Karena, jelas terlihat modus kubu Muawiyah. Kalaulah mereka menginginkan perdamaian, kenapa tidak mereka lakukan sejak awal sehingga tidak akan banyak darah muslimin yang tumpah sia-sia. Melakukan perdamaian di depan ambang kekalahan, tidak menampikkan bahwa adegan mushaf di atas tombak hanyalah usaha untuk menghindari rasa malu mereka dari kegagalan. Mengingat Muawiyah dan anak buahnya adalah ahli retorika, para orator ulung. Ditambah lagi pasukan Ali mayoritas adalah orang badui, yang notabene sangat literlek dalam memahami nas Al-Quran dan hadis. Disamping itu pribadi mereka termasuk keras pendirian namun sangat mudah tersentuh dengan seruan yang mengatasnamakan agama.

Atas desakan sebagian besar pasukan Ali, mau tak mau Ali pun menerima tawaran Muawiyah. Arbitrase pun terjadi. Kubu Muawiyah mengutus ‘Amru bin ‘As, sedang kubu Ali mengutus Abu Musa al-Ash‘ary. Penunjukan Abu Musa ini juga tak lepas dari kontroversi. Semula Ali menolak dirinya menjadi utusan dari pihaknya. Bagi Ali, Abu Musa memiliki track record yang tidak begitu bagus. Mengingat dahulu, Abu Musa pernah menentang Ali dan mengajak khalayak dalam barisannya ketika ia masih menjabat gubernur di Kufah. Sedangkan Ali berada dalam posisi yang sangat membutuhkan dukungan guna eksistensi otoritasnya. Tak elak Abu Musa pun dipecat dari jabatannya ketika itu.[15] Lepas dari itu semua, Ali tetap tak bisa berbuat banyak. Kiranya ia bukanlah sosok pribadi yang otoriter. Sehingga, ketika mayoritas pengikutnya mendukung Abu Musa, Ali pun menerimanya.

Dari awal komposisi arbitrase ini sudah tak imbang. Amru bin As adalah ahli strategi dan diplomasi sedangkan Abu Musa adalah sosok orang tua yang tekun beribadah dan tawaduk. Tak heran bila kemudian Abu Musa tertipu strategi ‘Amru bin ‘As. Abu Musa mengumumkan turunnya Ali dari tahta khilafah sesuai kesepakatan. Akan tetapi ‘Amru bin ‘As melakukan sebaliknya. Ia malah menggunakan momen ini untuk mengumumkan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah resmi pengganti Ali.[16] Jelas-jelas hasil arbitrase ini merugikan pihak Ali. Hanya saja Ali tidak melakukan perlawanan atas perlakuan Muawiyah. Hal ini sangat disayangkan pendukung Ali, yang mengakibatkan terpecahnya pendukung Ali menjadi dua kelompok. Yakni golongan orang-orang yang tetap setia mendukung kepentingan keluarga Ali, yang kemudian hari disebut sebagai Syiah dan golongan yang keluar dari barisan yaitu Khawarij.[17]

Berangkat dari kejadian arbitrase tersebut, kepemimpinan Muawiyah resmi dimulai.Secara otomatis pula, ibukota yang semula bertempat di Madinah, kini berpindah di Syiria, Damaskus tepatnya. Ahlu Madinah mungkin nampaknya juga kurang respek terhadap bani Umayyah, sebab keislaman mereka yang terhitung terakhir dibanding suku Quraish yang lain. Didukung Syiria merupakan tempat ia menjabat gubernur sebelumnya, suara dan dukungan lebih banyak ia dapatkan di kawasan ini. Sehingga membangun negara di tempat ini dirasa cukup strategis.

Setelah Ali bin Abi Thalib wafat. Pengikut Ali di Kufah banyak yang membaiat Hasan bin Ali sebagai penerus Ali. Namun, perlahan-lahan Muawiyah mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Sehingga, ketika menyadari hal tersebut pada tahun 41 H Hasan mengundurkan diri dan menyeru khalayak Kufah untuk bersama-sama membaiat Muawiyah. Tahun ini disebut ‘Am Al-Jama‘ah (tahun persatuan), karena seluruh umat muslim kembali berada pada satu pemimpin khalifah.[18]

Periode dinasti Umayyah dimulai dari tahun 41 H. dan berakhir tahun 132 H. dengan jumlah khalifah sebanyak 14.3 dari keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abu al-As.[19] Telah diketahui penetapan khalifah pertama dinasti ini tidak berlangsung secara demokratis, akan tetapi ditetapkan melalui diplomasi, kekerasan beserta tipu muslihat.

Berbeda dengan sistem penetapan khulafa’ rashidin sebelumnya. Sistem pengangkatan khalifah di masa khulafa’ rashidin menganut kaidah perundang-undangan yang tidak membenarkan daya upaya seseorang untuk dapat menduduki jabatan khilafah, atau meraih kekuasaan dengan usahanya dan rencananya sendiri, tetapi rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak memegang kepemimpinan. Hal tersebut dilakukan setelah permusyawaratan tentunya. Maka dari itu baiat dari rakyat untuk seseorang bukanlah terjadi karena adanya kekuasaan dari seorang tersebut, sehingga rakyat terpaksa membaiat. Melainkan, baiat masyarakat adalah pemberi kekuasaan. Dan rakyat bebas dan bersifat sukarela dalam hal ini.[20]

Inilah yang diaplikasikan para khalifah sebelum dinasti Umayyah.[21] Mereka mendapatkan jabatan khalifah dengan cara ini. Tidak ada satu diantara mereka yang berusaha dengan daya upayanya  untuk meraih jabatan khalifah. Yang ada justru jabatan inilah yang mendatangi mereka. Menyangkut Ali bin Abi Thalib, ia memang memandang dirinya paling berhak dalam posisi ini. Tapi sepanjang sejarah tidak ada data yang menyebutkan bahwa dirinya dengan segala daya upaya telah berusaha untuk memperoleh jabatan khalifah.[22]

Sedangkan, Muawiyah sebagai khalifah awal yang berasal dari bani Umayyah ini, meraih jabatan khalifah dengan segala daya upayanya. Ia memang berusaha dalam hal ini dengan berbagai strategi yang ditempuh. Pengangkatan dirinya sebagai khalifah bukan atas persetujuan kaum muslimin dan pilihan mereka.[23]

 

        B.           KEKUASAAN MUAWIYAH; MODEL PEMERINTAHAN ARAB

Muawiyah bernama lengkap Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Al-Syams bin Abd al-Manaf bin Qusay.[24] Ibn Abi Shaibah dalam Musannafnya dan Al-Tabarani dalam kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abd al-Malik bin Umair dia berkata: Muawiyah berkata: sejak Rasulullah bersabda kepada saya, “Wahai Muawiyah jika kamu menjadi raja, berbuat baiklah!” saya selalu menginginkan jabatan kekhilafahan.[25]

Bagi penulis, Muawiyah mempunyai tipikal personal yang berkeinginan kuat atas sesuatu, hampir-hampir mendekati ambisius. Bisa dilihat riwayat dalam Al-Kabir diatas. Dimana, dirinya mengakui bahwa keinginan menjadi khalifah itu memang ada. Juga ketika dirinya menghendaki Yazid sebagai khalifah penggantinya. Ia memanggil anak Abu Bakar, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, mengajak mereka untuk membaiat Yazid. Yang ia dapatkan kemudian adalah penolakan.[26]

Namun, Muawiyah segera berkhutbah diatas mimbar. Ia berkata setelah memuji Allah, “Sesungguhnya kami dapatkan perkataan manusia yang menyimpang. Mereka berkata bahwa Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair tidak mau membaiat Yazid, padahal mereka telah mendengar dan menyatakan ketaatan serta telah membaiatnya”. Hingga akhirnya, Ketika Yazid benar-benar dibaiat, Abdullah bin Umar berkata, “Jika dia baik, maka kami rela dan jika dia jahat menjadi bencana, maka kami akan sabar”.[27]

Yang perlu diapresiasi adalah keinginan kuat yang ia miliki bukan menjadikannya yang bersikap membabi buta asal ambisi terpenuhi. Namun, ia sangat cermat, hati-hati dan cukup sabar untuk berdiplomasi secara halus. Cara-cara, strateginya mencapai misi begitu elegan, bukan kasar.

 Seperti yang Ibn Asakir riwayatkan dari Qubaisah bin Jabir ketika mendeskripsikan seorang Muawiyah. “Saya juga pernah bersama Muawiyah, ternyata tidak saya dapatkan seorang pun yang memiliki kesabaran dan kemampuan untuk berpura-pura bodoh serta kehati-hatian melebihi Muawiyah”.[28]

Selain itu bisa dilihat ketika ia mendapati penolakan dari anak Abu Bakar dan ancaman darinya untuk mengkacau-balaukan urusan pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota. Muawiyah menjawab, “Jangan tergesa-gesa wahai anak Abu Bakar, saya harap anda jangan mengatakan hal itu kepada penduduk Syam, sebab saya khawatir mereka mendahuluiku melakukan hal yang tidak baik kepadamu, hingga aku beritahukan bahwa engkau telah membaiat kita nanti malam. Setelah itu lakukan apa yang kamu mau”.[29] Begitulah diplomasi yang ia lakukan, secara laten berisi ancaman namun dibalut dengan tawaran solusi, yang sebenarnya tetap merugikan pihak lawan.

Begitupula ketika ia melakukan diplomasi kepada Hasan, untuk menyerahkan kekuasaannya dibawah tangan Muawiyah. Yang kemudian, Muawiyah mencukupi kebutuhan Hasan dan keluarganya di Madinah. Pada masanya, setelah tercipta konsolidasi internal, Muawiyah kembali melakukan ekspansi militer, yang sempat terhenti di masa Uthman dan Ali. Ia berhasil menaklukkan beberapa wilayah meliputi di sebelah timur mulai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Ekspansi yang dilakukan ke Afrika Utara dipimpin oleh ‘Uqbah bin Nafi‘, mereka berhasil menaklukan Tunis. [30]

Disamping itu, angkatan lautnya berpartisipasi dalam penyerangan ke Bizantium, ibukota Konstantinopel. Ia pun berhasil menguasai galangan kapal Bizantium di ‘Akka, dengan segala perlengkapannya, yang bisa dimanfaatkan selanjutnya untuk  membangun armada laut Islam.[31]

Dalam pemerintahannya, Muawiyah banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dirasa baru dalam sejarah Islam. Nampaknya, ia merasa bahwa pemerintahan Konstantinopel adalah model pemerintahan yang maju, modern dan berkembang. Sehingga ia mengakulturasikan model kerajaan Persia dan Bizantium dalam khilafah. Dengan mempersiapkan Yazid sebagai putra mahkota, yang secara tidak langsung ia mencetuskan pemerintahan Islam menjadi sebuah kerajaan. Dan kekuasaan semacam ini, makanan empuk bagi dinasti tirani.[32]

Ia juga menghapus berbagai sistem tradisional, menggantinya dengan kerangka pemerintahan yang telah ia adopsi dari Bizantium. Tidak lagi menganut sistem militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan, sisa-sisa patriarkal kuno.[33]

Philip K Hitti menyebutkan bahwa memang bila dilihat dari sisi prajurit perang, kualitas Muawiyah kalah telak dibandingkan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, ia adalah organisatoris yang unggul. Bisa dilihat bagaimana Muawiyah bisa membuat orang-orang Syiria biasa menjadi satu kekuatan militer Islam yang kuat, terorganisir dengan baik serta berdisiplin yang tinggi. Dalam masanya pula ekspansi mampu meluaskan wilayah sebegitu besarnya. Sehingga Philip menjulukinya sebagai pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar, bukan hanya sebagai bapak sebuah dinasti.[34]

Beberapa tradisi yang belum dikenal sebelumnya, ia aplikasikan di zamannya. Dialah yang pertama kali memerintahkan para prajurit mengangkat tombak di hadapannya. Dia juga membuat anjungan khusus di masjid, tempatnya menunaikan salat, demi keamanannya dari serangan musuh. Hal yang perlu diapresiasi pada masanya ialah layanan pos. Ia mendirikan dinas pos di berbagai tempat dengan menyiapkan  kuda yang lengkap dengan peralatannya di tempat tertentu sepanjang jalan. Pegawai pos mengendarai kuda tersebut untuk membawa surat atau barang titipan lainnya sampai ke stasiun lainnya. Di stasiun tersebut ia meninggalkan kudanya untuk beristirahat, kemudian ia menggunakan kuda lain yang sudah tersedia di stasiun tersebut untuk melanjutkan perjalanan.[35]

Sejarawan mencatat ialah orang Islam pertama yang membangun kantor catatan Negara. Dia orang yang pertama kali membuat stempel. Stempel ini dibuat dikarenakan ada seseorang yang ia perintahkan untuk memberikan uang sebanyak seratus ribu. Namun, orang itu membuka surat dan menulisinya menjadi dua ratus ribu. Tatkala hal ini diajukan kepada Muawiyah, ia mengingkari pengeluaran seratus ribunya lagi, oleh sebab itu dibuatlah stempel. Dia juga orang yang pertama kali dikatakan kepadanya, “Assalamu alaika ya Amirul Mukminin wa rahmatullah wa barakatuhu al-salata yarhamukallah”.[36] Pada masanya pula, ada pembangunan percetakan mata uang. Bila melihat program-program Muawiyah dalam pemerintahan, rasanya upaya yang ia lakukan cukup menghasilkan perkembangan bagi suatu peradaban, khususnya Islam. Setidaknya, ia mampu membuat pemerintahan terorganisir dengan baik.[37]

Meskipun sangat disayangkan, ia mengangkat orang-orang non muslim di jabatan pemerintah yang cukup berpengaruh dalam jalannya pemerintahan negara Islam. Beberapa orang Kristen keturunan Mansur bin Sarjun menduduki posisi pengawas keuangan negara. Posisi tersebut merupakan posisi penting setelah panglima tertinggi militer. St. John cucu Mansur juga merupakan teman bermain Yazid, anak Muawiyah ketika kecil. Istrinya yang paling ia cintai, Maysun jugalah penganut Kristen sekte Yakobus. Dokter khalifah, Ibn Uthal juga merupakan orang Kristen, yang kemudian hari diangkat Muawiyah sebagai pengawas keuangan di Hims.[38]

Penobatan seorang Kristen dalam jabatan penting merupakan fenomena pertama dalam sejarah Islam. Secara tidak langsung, kecerobohan telah terjadi. Karena yang Muawiyah pimpin sesungguhnya bukanlah kerajaan tapi daulah Islamiyah, dimana aspek dan nilai agama menjadi sangat urgen. Akan tetapi Yusuf Al-‘Ish berpandangan bahwa pemerintahan Muawiyah lebih melihat kepada kapabelitas pegawainya. Pemerintahannya bergantung pada para penasehat cakap, para ahli administrasi yang mampu, ia memberikan kebebasan dan kepercayaan untuk melaksanakan tugasnya. Ia tidak mempedulikan diantara pegawainya ada yang beragama Kristen.[39] Banyak sejarawan Islam yang memandang Muawiyah sebagai raja Islam. Raja dan bukan khalifah. Raja bagi orang Arab Asli mempunyai konotasi yang buruk, sehingga gelar ini hanya mereka berikan kepada penguasa non Arab.[40]

Hal tersebut mungkin terjadi karena beberapa kebijakan Muawiyah yang dinilai kontroversi. Seperti membuat singgasana raja, membuat maqsurah, sejenis tenda dalam masjid, sehingga ia bisa khutbah jum’at sambil duduk.[41] al-Sha’bi mengatakan, orang yang pertama kali berkhutbah sambil duduk adalah Muawiyah. Hal ini ia lakukan ketika badannya kegemukan dan perutnya besar.[42]

Apalagi, melihat kekuasaan yang ia peroleh dan jabatan yang ia dapatkan bukan berdasarkan mufakat seluruh umat muslim. Sehingga membuat dirinya tertuduh mengubah khilafah Islamiyah menjadi kekuasaan yang hanya berorientasi pada duniawi.

Lepas dari berbagai kelebihan dan kekurangannya, ia memiliki sifat hilm yang merupakan pendukung utama kesuksesan seni berpolitiknya. Ia hanya menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang hal itu perlu. Selebihnya, ia menggunakan cara persuasif, kelembutan dan banyak menempuh jalan damai. Tidak mudah marah dan mempunyai kendali diri yang cukup tinggi.“Aku tidak akan menggunakan pedang, jika cukup dengan cambuk.Dan tak akan meggunakan cambuk, bila cukup dengan lisan”. Ibn Asakir juga menyebutnya sebagai muslim yang baik. Hitti, mengagungkannya dengan mengatakan Muawiyah bukan saja raja pertama, namun ia adalah raja terbaik.[43]

Namun, rasanya Abu al-A’la al-Maududi bertolak belakang dengan pendapatnya. Ia mengatakan, bergantinya sistem khalifah rashidah dengan kerajaan adalah suatu kesialan bagi nasib Islam. Tapi, masih bisa diatasi bila setelah pemerintahan Muawiyah, sistem pengangkatan pemimpin sesudahnya kembali menggunakan sistem khulafa terdahulu. Namun, sayangnya Muawiyah mengangkat anaknya sendiri. Sehingga, nasib umat Islam menjadi tak terselamatkan lagi.[44]

 

        C.           ADMINISTRASI POLITIK DAN KONDISI SOSIAL

Wilayah daulah pada masa dinasti Umayyah dibagi menjadi beberapa provinsi. Tercatat ada 9 provinsi, meliputi:[45]

1.      Syiria-Palestina

2.      Kufah, termasuk Irak

3.      Basrah, mencakup Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, mungkin ditambah Najd dan Yamamah

4.      Armenia

5.      Hijaz

6.      Karman dan wilayah di perbatasan India

7.      Mesir

8.      Afrika Kecil

9.      Yaman dan kawasan Arab Selatan

Kemudian, perlahan-lahan kesembilan provinsi digabung sampai akhirnya menjadi 5 provinsi saja.Masing-masing dibawah tanggung jawab seorang dari wakil khalifah. Misalnya, Basrah dan Kufah digabung menjadi satu, yakni Irak dengan Kufah sebagai ibukotanya.[46]

Tiga tugas utama pemerintah mencakup mengorganisir administrasi public, pengumpulan pajak dan organisir urusan keagamaan. Tiap tugas tersebut mempunyai penanggung jawab atau pejabat sendiri-sendiri. Wakil khalifah mengangkat ‘amil, yakni petugas administrasi untuk sebuah daerah tertentu, dan menyampaikan nama mereka kepada khalifah. Gubernur tidak perlu mengurusi kas negara, sudah ada pejabat khusus (sahib al-kharraj) yang menangani bagian ini. Seorang gubernur kewajibannya mengurus administrasi politik dan militer saja.[47]

Untuk urusan keagamaan, mereka mengangkat hakim atau qadi. Biasanya untuk amanah ini, mereka memilih dari kalangan fakih, yang mendalami al-Qur’an dan hadis nabawi. Hakim dipilih secara berganti. Hakim-hakim ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim dan orang cacat mental.[48]

Muawiyah juga mendirikan sebuah biro registrasi, dimana arsip-arsip kenegaraan tersimpan dengan baik. Membuat dan menyimpan salinan dari dokumen asli sebelum distempel, kemudian mengirimkan berkas yang asli, merupakan tugas biro ini. Latar belakang munculnya biro registrasi, disebabkan ada pihak yang berusaha memalsukan tanda tangan Muawiyah saat itu. Bahkan, pada masa Abd al-Malik dinasti Umayyah telah memiliki gedung arsip Negara di Damaskus.[49]

Pendapatan utama khilafah Umayyah berasal dari pajak. Tiap non muslim wajib membayar upeti dan juga Muawiyah mengeluarkan kebijakan pajak 2,5 persen dari pendapatan tahunan orang Islam.[50]

Terdapat 4 kelas sosial di tengah masyarakat masa dinasti Umayyah.Kelas tertinggi dipenuhi oleh para penguasa Islam. Keluarga kerajaan dan aristokrat Arab. Mereka sangat menjunjung tinggi ke-arab-annya, ditengah kaum muslimin dari segala penjuru. Bisa dikatakan rasa fanatisme Arab timbul kembali setelah lama padam zaman Rasulullah SAW.[51]

Kelas kedua adalah para mualaf.[52] Para mualaf ini masih juga membayar pajak sebesar ketika mereka masih belum masuk Islam. Mungkin, pemerintah menganggap keislaman mereka hanya bertujuan untuk menghindari pajak. Sehingga, ketika mereka memeluk Islam, mereka tetap dibebani pajak seperti semula. Sehingga wajar bila tidak ada bukti sejarah yang menyatakan terjadi perpindahan agama ke Islam dalam jumlah besar, kecuali pada masa Umar bin Abd al-Aziz.[53]Karena, Umar bin Abd al-Aziz mencabut beban para mualaf tersebut. Ia menghapus kebijakan pajak pada mereka. Ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad datang untuk menjadi dai dan bukan penuntut pajak.

Kelas sosial ketiga adalah mereka ahlu dhimmah. Yaitu, orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Kemudian kelas terakhir adalah golongan budak.[54]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


        D.          PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Pada masa dinasti Umayyah, belum ada sekolah-sekolah resmi. Masjid-masjid adalah sekolah dan universitas bagi masa tersebut.[55] Sementara, putra-putra khalifah dinasti yang akan mengenyam pendidikan, mereka disekolahkan ke Badiyah, gurun Syiria. Guna mempelajari bahasa Arab murni dan mendalami puisi. Sebagaimana Yazid I pergi kesana bersama sang ibu, Maysun.[56]

Mempelajari puisi menjadi hal yang urgen. Dan memang, dalam catatan sejarah pada masa dinasti Umayyah, mereka terkenal dengan kemajuan intelektualnya di bidang puisi. Dinasti Umayyah kembali mengangkat tradisi lama Arab, syair-syair, lagu, puisi dan dewi dewi anggur kembali eksis dalam kehidupan mereka.[57]

Syair berkembang pada masa ini dengan berbagai tujuan, terdapat unsur-unsur akidah Islamiyah, juga ada unsur politis. Kiranya syair menjadi alat penyokong golongan politik tertentu, mengingat syair mempunyai tempat khusus di jiwa orang Arab. Bani Umayyah memanfaatkan syair untuk sarana memuji pemerintah, menyerang oposisi, khususnya Shiah, Khawarij dan Jabariyah. Dengan begitu, dukungan yang mereka peroleh cukup banyak sehingga kekuasaan pun menjadi lebih kuat.[58]

Selain puisi politik adapula puisi cinta yang diisi oleh beberapa penyair kala itu. Majnun Layla salah satu penyair semi mistik saat itu, yang namanya masih dikenal hingga kini. Menurut riwayat, nama aslinya adalah Qais bin al-Mulawwah. Sedangkan penyair cinta yang terkenal saat itu ialah Umar bin Abi Rabi‘ah[59] Salah satu warisan peradaban yang disumbangkan masa ini bagi perkembangan sejarah sastra adalah penghimpunan puisi pra Islam yang direalisasikan oleh Hammad al-Rawiyah. Warisan terbesar Hammad dan termasyhur adalah himpunan puisi emas berlirik yang dikenal dengan Mu‘allaqat.[60]

Dari segi keilmuan, ilmu kedokteran dan kimia cukup berkembang waktu itu. Kedokteran orang Arab yang awalnya masih jauh dari kemajuan dan terkesan primitif, masih menggunakan praktik dukun dan jimat, kemudian hari berkembang maju dengan bantuan sumber-sumber ilmiah yang mereka dapati dari Yunani dan Persia.[61] Umat muslim banyak melakukan penyerapan ilmu pengetahuan dari Yunani dan Persia, terlebih untuk ilmu-ilmu eksakta, non agama.

Khalifah bani Umayyah mulai mengutamakan pengobatan dari dokter Romawi yang lebih dahulu mengetahui dan lebih ahli dari apa yang diketahui muslimin kala itu. Muslimin pun menjadi giat dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah di bidang kedokteran. Hal ini ditetapkan sebagai peristiwa paling besar sepanjang sejarah Bani Umayyah.[62]Khalid putra khalifah Umayyah kedua merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran dan astrologi.[63]

Ahmad Amin berpendapat, pada zaman dinasti Umayyah umat muslim fokus kepada adab sastra dan kisah-kisah. Mereka tidak begitu mempedulikan ilmu agama dan rasionalitas. Abd al-Halim Uwais kemudian membantah perkataan Ahmad Amin dengan memaparkan beberapa data yang menyebutkan bahwa, masjid-masjid menjadi pusat pembelajaran umat untuk mendalami al-Qur’an dan hadis khususnya. Seperti Rabiah al-Ra’yi mengadakan halakah ilmiah di masjid Madinah. Lalu, Hasan Basri di masjid Basrah.[64]

Ilmu-ilmu agama pada masa itu tidak membutuhkan dukungan dan upaya dari pemerintah untuk lebih berkembang lagi. Sebab, umat dengan sendirinya sibuk mempelajari al-Quran dan sunah tanpa diminta. Setiap muslim ketika itu menyadari dan mempercayai penuh bahwa diri mereka adalah misionaris yang bertugas membawa risalah mulia Nabi Muhammad ke seluruh penjuru dunia.[65]

Guru-guru pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Quran (qurra’). Umar bin Abd al-Aziz mengutus Yazid bin al-Habib ke Mesir sebagai hakim agung, yang diriwayatkan menjadi guru pertama disana. Adapula al-Dahak bin Muzahim yang mendirikan sekolah dasar (kuttab) dan ia tidak memungut bayaran dari siswa. Di Basrah pada abad ke 2 hijriah ada juga seorang badui yang mendirikan sekolah dengan memungut biaya dari para murid.[66]

 

        E.           KEMUNDURAN DAN AKHIR DINASTI UMAYYAH

Dinasti Umayyah berakhir pada tahun 132 H/ 750 M. Dengan khalifah terakhir Marwan bin Muhammad (Marwan II). Khalifah terakhir ini melarikan diri ke Mesir dari serangan bani Abbas yang dibantu Abu Muslim al-Khurasani. Akan tetapi Marwan bin Muhammad tertangkap dan dibunuh disana. Beberapa faktor kemunduran dinasti seperti yang dirangkum Badri Yatim adalah sebagai berikut:[67]

Sistem pengangkatan putra mahkota yang membingungkan. Selain model pengangkatan khalifah yang seperti ini sesungguhnya cukup mengundang kontroversi di mata rakyat, cara pemilihan putra mahkota ini juga tidak ada kaidah yang mengatur. Putra mahkota dipilih sesuka hati khalifah. Sehingga perselisihan internal tak dapat dihindari. Ia menjadi bahasan yang sensitif.[68]

2.      Adanya gerakan oposisi dari Shiah dan Khawarij, yang notabene adalah produk dari keberhasilan mereka, dari hasil arbitrase yang berujung pada pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah. Oleh sebab permulaan yang sudah tidak fair, maka mau tidak mau dinasti Umayyah harus menerima resiko; menghadapi penyerangan dan pemberontakan dari gerakan oposisi sepanjang kekuasaan mereka.

3.      Pertentangan antar suku Arab yang makin meruncing. Pada masa ini Bani Qais suku Arabia Utara mempunyai konflik dengan Bani Kalb suku Arabia Selatan. Rasa rasisme dan fanatisme mereka muncul kembali, sehingga mempersulit pemerintahan untuk menggalang kesatuan dan persatuan. Terlebih masalah ini juga terjadi di dalam internal keluarga khalifah.[69]

4.      Sikap foya-foya sebagian khalifah, yang menyebabkan kezaliman banyak terjadi dan membuat khalifah setelahnya memikul beban berat kenegaraan ketika mewarisi kekuasaan.[70] Disamping itu, sifat buruk ini membuat rakyat tidak merespon dengan baik terhadap pemerintahan.

5.      Perbedaan status sosial yang dinasti Umayyah buat untuk kaum mualaf dan budak. Mereka memandang orang selain Arab adalah golongan kasta rendah. Secara tidak langsung sikap angkuh dan fanatik bani Umayyah ini membuat rakyat tidak simpati pada pemerintah. Apalagi, pemerintah malah terkesan menjunjung tinggi kesukuan dan bukan lagi agama dipandang sebagai prioritas, dengan mengangkat sejumlah orang-orang Kristen untuk jabatan-jabatan penting pemerintahan. Tentunya, hal ini sangat disayangkan oleh para ulama dan agamawan.[71]

6.      Penyebab langsung runtuhnya dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru dari keturunan Abbas bin Abd al-Muthalib. Apalagi gerakan ini didukung oleh bani Hashim, Shiah dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan bani Umayyah.


BAB III

PENUTUP

Dinasti Umayyah dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah memberikan hal positif bagi peradaban Islam. Perluasan wilayah yang cukup fantastis hasil ekspansi militernya, telah membuat Islam lebih dikenal di berbagai belahan dunia. Penetapan khalifah pada masa ini menjadi tradisi warisan yang turun menurun, dengan menunjuk putra mahkota sebagai penggantinya di masa mendatang.

Dalam hal administrasi politik bani Umayyah banyak mengadopsi ide-ide kerajaan Bizantium dan Persia. Seperti sistem militernya, tidak lagi diatur melalui kesukuan. Ia juga banyak membuat gebrakan baru yang positif seperti mendirikan layanan pos dan mencetak mata uang. Pada masa ini puisi juga mengalami kemajuan intelektual. Dengan adanya penghimpunan puisi-puisi pra Islam, seperti Muallaqat. penerjemahan buku-buku Yunani dan Koptik tentang kedokteran, kimia dan astrologi marak dilakukan. Sehingga kemajuan di ilmu eksakta juga terbilang pesat. Dan akhirnya, dinasti ini pun runtuh disebabkan beberapa faktor eksternal dan internal. Sampai akhirnya di tahun 750 M, kekuasaan digantikan oleh dinasti Abbasiyah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Chair, Abd. “Dinasti Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol II, ed. Taufik Abdullah, et.al. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. terj. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia. terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 1999.

‘Ish (al), Yusuf. Dinasti Umawiyah. terj. Iman Nur Hidayat. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.

Ja’farian, Rasul. Sejarah Islam: Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. terj Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2009.

Maududi (al), Abu al-A’la. Khilafah dan kerajaan. terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1994.

Sirjani (al), Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. terj. Sonif. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.

Suyuti (al), Jalal al-Din. Tarikh Khulafa’. terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.

‘Uwais, ‘Abdul Halim. al-Hadarah al-Islamiyah Ibda‘ al-Mady wa  `Afaq al-Mustaqbal. Kairo: Maktabah `Usrah, 2012.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Press, 2013.


[1] ‘Abd al-Halim ‘Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah Ibda‘ al-Mady wa  `Afaq al-Mustaqbal, (Kairo: Maktabah `Usrah, 2012), 15.

[2] Ibid., 16.

[3]Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 245.

[4]K. Hitti, History, 235.

[5]Abd Chair, “Dinasti Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol II, ed. Taufik Abdullah, et.al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 63.

[6]Ibid., 63.

[7]Ibid., 63.

[8]Ibid., 63.

[9]Jalal al-Din al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2012), 230.

[10]Muawiyah yang mahir beretorika, membawa jubah milik Uthman yang penuh dengan darah berikut jari-jari yang lepas dari tangan Nailah, Istri Uthman, ketika menuntut kematian Uthman. Sehingga usahanya ini berhasil mengundang simpati masyarakat dan walhasil banyak orang yang mendukungnya. Lihat lebih lanjut Abd Chair, Ensiklopedi Tematis Islam, Vol II, 64.

[11]Abd Chair memaparkan, Muawiyah sampai menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan tersebut atau Ali sengaja melindungi pemberontak yang membunuh sepupunya.

[12]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.

[13]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.Lihat Yusuf al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nur Hidayat,( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), 131.

[14]al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 131.

[15]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.Dan al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 133-134.

[16]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65. Bandingkan dengan al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 134-136.

[17]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65.Dan lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), 322.

[18]Ini menjadi bantahan bagi Rasul Ja‘farian yang menyebut tahun ini adalah tahun perpecahan, tahun amarah, tahun kekerasan dan tahun mayoritas. Karena bagi penulis, umat muslim tidak akan pernah bersatu pada kesesatan. Jumhur ulama dan para sejarawan pun juga menyebutkan bahwa tahun ini disebut tahun jamaah. Dimana seorang Hasan dimata penulis adalah sosok yang sangat peduli akan kemaslahatan umat. Penyerahan kekuasaan merupakan langkah paling tepat mengingat kondisi waktu itu umat sudah terpecah. Sehingga, dengan penyerahan kekuasaan ini, setidaknya Hasan telah mencegah masalah umat semakin meruncing dan memanas. Lihat,Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65. Bandingkan dengan Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Sejak WafatNabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah, terj Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2009),476.

[19]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65.

[20]Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, terj.Muhammad Al-Baqir (Bandung: Mizan, 1994), 200.

[21]Rasul Ja‘farian memaparkan prinsip “kedaulatan berada di tangan siapa yang dapat menekan dan membungkam siapapun” berubah menjadi prinsip yang positif dalam fikih politik sunisme. Namun rasanya penulis tak sependapat dengannya. Karena, sebenarnya yang diinginkan dan dianut oleh kelompok sunni adalah sistem yang telah dicontohkan khulafa’ rashidin seperti yang telah dijelaskan al-Maududi. Bahwa, pemimpin diperoleh dari hasil mufakat umat. Lihat Ja‘farian, Sejarah Islam, 476-477. Bandingkan dengan al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, 200.

[22]Ibid., 201.

  [23]Ibid., 201.

[24]Jalaludin al-Suyuti,Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2012),  229.

[25]Ibid.,229.

[26]Ketika Abdullah bin Umar diminta untuk membaiat ia menjawab, “Amma ba‘du, sesungguhnya sebelum engkau telah ada beberapa khalifah yang mempunyai beberapa anak,yang anakmu tidak lebih baik dari mereka. Namun mereka tidak memutuskan untuk memberikan khilafah kepada anak-anaknya sebagaimana yang kamu lakukan kepada anakmu.Mereka membiarkan muslimin menentukan pilihan mereka dalam mengangkat khalifah.Sedangkan engkau memperingatiku agar tidak memecah belah kaum muslimin. Saya tidak akan pernah melakukan itu. Sesungguhnya saya adalah salah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Jika mereka sepakat dalam satu perkara, maka saya akan bersama mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepadamu”.Sedang jawaban anak Abu Bakar,” sesungguhnya engkau menginginkan agar kami menyerahkan khilafah yang ada padamu kini kepada anakmu. Demi Allah, kami tidak akan pernah melakukannya. Demi Allah, kembalikan khilafah dengan cara musyawarah antara kaum muslimin atau kami akan mengacau-balaukan urusan ini”. Lihat al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 231-232.

[27]al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 233.

[28]al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 241.

[29]Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 232.

[30]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 43. Lihat juga Hodgson, The Venture of Islam, 317.

[31]K.Hitti, History, 240.

[32] al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, 200.

 

[33]K. Hitti History, 242.

[34]K. Hitti, History, 242.

[35]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 66. Lihat juga Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.

[36]Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.

[37]K. Hitti, History, 242.

[38]K Hitti, History, 243.Lihat juga Al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 168.

[39]Al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 168.

[40]K. Hitti, History, 245.

[41]K. Hitti, History, 246.

[42]Diriwayatkan oleh Abu Shaibah, lihat al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.

[43]K. Hitti, History, 246.

[44]al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, 199.

[45]K. Hitti, History, 280.

[46]K. Hitti, History, 280.

[47]K. Hitti, History, 281.

[48]K. Hitti, History, 282.

[49] K. Hitti, History, 282.

[50]K. Hitti, History, 281.

[51]K.Hitti, History, 289.

[52]K Hitti, History, 289.

[53]K. Hitti, History, 290.

[54]K. Hitti, History, 291-293.

[55]K. Hitti, History, 316. Dan lihat ‘Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah, 120.

[56]K. Hitti, History, 316.

[57]K. Hitti, History, 313.

[58]Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj. Sonif (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), 386-387.

[59]K. HItti, History, 314. Bandingkan dengan al-Sirjani, Sumbangan Peradaban, 387.

[60]K. Hitti, History, 315.

[61]K. HItti, History, 318.

[62]al-Sirjani,Sumbangan Peradaban, 272.

[63]K. Hitti, History, 319-120. Lihat juga ‘Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah, 121.

[64]Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah, 35.

[65]Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah, 120.

[66]K. Hitti, History, 317-318.

[67]Badri Yatim, Sejarah peradaban, 48-49.

[68]Menurut Rasul Ja‘farian, salah satu alasan mengapa bani Umayyah dapat mempertahankan kekuasaan ialah karena mereka konsisten menghormati prinsip-prinsip yang berkenaan dengan baiat. Sepanjang mereka menghormati prinsip-prinsip tersebut maka tidak ada problem dan masyarakat akan taat pada bani Umayyah. Sekalipun terjadi pemberontakan, tentunya pemberontakan itu bisa mereka atasi. Namun, ketika Walid bin Yazid meninggal, Yazid bin Walid melanggar komitmen baiat. Sehingga, terjadilah benih perselisihan serta konflik internal. Ketika Yazid III berkuasa, negara pun kacau penuh pergolakan dan kerusuhan. Lihat Ja‘farian, Sejarah Islam, 829-830.

[69]Kesalahan besar bani Umayyah adalah menumpas orang-orang Mahlab dari Yaman ketika masa Yazid II. Hal ini membuat suku Kalb marah, karena mereka juga berasal dari Yaman. Apalagi ketika Marwan al-Ja‘di datang dan mengumumkan kebenciannya pada orang-orang Kalb. Ia lebih condong kepada suku Qais. Tak elak, permusuhan antar suku Arab pun tersulut dan tak bisa dihindari. Lihat al-‘Isy, Dinasti Umawiyah, 388.

[70]Inilah salah satu alasan utama adanya upaya untuk menumbangkan dinasti Umayyah, sebab bagi para pemberontak, penguasa  sudah mengabaikan agama. Dengan kata lain penguasa tidak lagi memperhatikan keyakinan agama masyarakat dan keyakinan agama penguasa itu sendiri. Seperti Walid bin Yazid yang termasuk khalifah terakhir setelah Hisyam. Banyak sejarawan yang membenarkan perilakunya yang buruk. Lihat Ja‘farian, Sejarah Islam, 820-821.

[71] Adanya pembagian kelas sosial menjadi 4 tingkatan. Seperti yang telah penulis jelaskan di sub bab administrasi politik dan kondisi sosial. Menjadi faktor runtuhnya dinasti ini juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...