|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan berlalunya waktu, berkembang pulalah sebuah
peradaban. Albert Aschweitzer mengatakan bahwa peradaban adalah kemajuan spiritual dan materialis bagi setiap
individu maupun masyarakat.[1]Secara
sederhana, produk sebuah peradaban adalah hasil jerih payah, yang dilakukan oleh
para pelaku zaman tersebut, guna memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan hidup
manusia.Produk peradaban tak terbatas pada sisi-sisi tertentu, melainkan
mencakup berbagai aspek yang mampu mendukung kesempurnaan kehidupan spiritual
maupun material manusia dan menciptakan sebuah kemajuan, karena hal inilah
tujuan utama dari terwujudnya sebuah peradaban.[2]
Kiranya apa yang dilakukan umat Islam terdahulu
pasca wafatnya Nabi, meliputi perebutan kekuasaan untuk memerintah dan
menguasai kendali umat, adalah sebuah usaha untuk menggapai kemajuan batiniyah
dan lahiriyah dalam kacamata mereka. Begitu juga dengan Muawiyah yang merebut
kekuasaan dari tangan Hasan anak khalifah rasyidah Ali bin Abi Thalib.
Dikatakan dalam suatu riwayat bahwa Muawiyah mengirimkan risalah kepada Hasan
dan menyatakan bahwa Muawiyah tahu betul pribadi Hasan yang lebih dekat secara
ikatan darah membuatnya lebih pantas menguasai pemerintahan, hanya saja ia
meragukan kemampuan Hasan dalam pemerintahan.[3]
Begitulah, setiap manusia kiranya mempunyai standar
tersendiri, visi dan cara yang berbeda dan kacamata yang tentu tak sama, dalam
memandang kebijaksanaan dan kebaikan, atau dalam menggapai tujuan peradaban.
Dalam makalah ini penulis akan berusaha menyajikan
pembahasan mengenai hal yang melandasi dan mendorong dinasti ini lahir dalam
sejarah
Islam. Apa saja yang dibuat dalam pemerintahan ini dan seperti apa mereka
memerintah, tidak semua khalifah yang menjabat akan penulis kupas secara
mendalam, hanya khalifah tertentu seperti Muawiyah sebagai khalifah pertama,
agar pembahasan tidak terlalu melebar. Lalu, penulis akan memaparkan kemajuan
apa saja yang dialami Islam kala itu beserta mengapa dinasti Umayyah ini runtuh
pada tahun 750 M.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana dan
apa yang melatarbelakangi dinasti ini muncul?
2.
Siapa saja
khalifah yang berkuasa di masa ini dan seperti apa pemerintahan Islam ketika
Muawiyah menjabat sebagai khalifah pertama bani Umayyah?
3.
Bagaimana
administrasi politik dan dinamika keilmuan pada zaman ini?
4.
Kontribusi
apakah yang diberikan masa ini bagi keilmuan dan perkembangan Islam itu
sendiri? Serta apa penyebab kehancuran dinasti Umayyah?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui
faktor dan asal mula munculnya dinasti Umayyah.
2.
Mengetahui
model pemerintahan Muawiyah
3.
Mengetahui
kondisi administrasi politik dan dinamika keilmuan masa tersebut
4.
Mengetahui
penyebab runtuhnya dinasti Umayyah
D. Kegunaan Penelitian
1.
Memberikan
wawasan tentang sejarah perjalanan umat Islam khususnya ketika dinasti Umayyah
berkuasa, bagi penulis dan pembaca makalah.
2.
Untuk
menjelaskan aspek-aspek administrasi politik dan keilmuan pada zaman ini.
E. Kerangka Makalah
Bab I: Pendahuluan
a.
Latar belakang
masalah
b.
Rumusan masalah
c.
Tujuan penelitian
d.
Kegunaan
Penelitian
e.
Kerangka
Makalah
Bab II: Pembahasan
a.
Penetapan
Khalifah dan Kelahiran Dinasti
b.
Kekuasaan
Muawiyah; Model Pemerintahan Arab
c.
Administrasi
Politik dan Kondisi Sosial
d.
Perkembangan
Lembaga Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
e.
Kemunduran dan
Akhir Dinasti Umayyah
Bab IV: Penutup
Daftar pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENETAPAN
KHALIFAH DAN KELAHIRAN DINASTI
Dinasti
Umayyah muncul mulai tahun 40 H, ketika Muawiyah dinobatkan di Yerussalem
sebagai khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.[4]
Sebelumnya, Muawiyah menduduki jabatan sebagai gubernur di kawasan Syiria pada
masa Umar bin Khattab, yang kemudian daerah kepemimpinannya diperluas hingga
meliputi pantai laut tengah, ketika masa Uthman bin Affan.[5]
Bani
Umayyah merupakan salah satu suku Quraish. Mereka anak-anak dari Umayyah bin
Abd al-Syam bin Abd al-Manaf. Semenjak dulu Umayyah telah bersaing dengan
Hasyim bin Abd al-Manaf, pamannya sendiri yang dari keturunannya lah nabi
Muhammad SAW lahir .Keduanya bersaing untuk memperoleh kemuliaan serta
kepemimpinan di tengah-tengah khalayak Quraish. Keduanya dianggap sebagai
pemuka suku Quraish. Umayyah layak mendapatkan status tersebut. Keluarganya
berasal dari golongan bangsawan kaya, ia mempunyai 10 putra, ia juga dinilai
mempunyai persyaratan yang cukup untuk bisa memimpin dan dihormati para
masyarakat. Ketiga faktor tersebut pada zaman jahiliyah pra Islam dianggap
berhak memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[6]
Meskipun persaingan telah ada antara bani Umayyah dan bani Hashim, namun tidak semua keturunannya mengikuti jejak pendahulunya. Nyatanya, Abd al-Muthalib bin Hashim mempunyai hubungan baik dengan Harb bin Umayyah. Begitupula antara ‘Abbas bin Abd al-Muthalib dengan Abu Sufyan bin Harb. Di saat Nabi Muhammad mengikrarkan kenabiannya, mayoritas bani Umayyah menentang. Sedangkan bani Hashim berbeda. Bani Hashim tetap membela meskipun tidak seluruh keluarga sepakat dengan apa yang dibawa nabi Muhammad SAW. Hal ini terjadi karena bagi orang Arab, membela kerabat dan melindungi anggota keluarga menjadi hal yang sangat vital bagi mereka.[7] Itulah mengapa silsilah keturunan sangat diperhitungkan dalam keberlangsungan hidup orang Arab.
Persaingan
antara dua bani ini baru berakhir ketika mereka menyerah pada Rasulullah SAW
sewaktu Fathu Makkah. Keluarga bani Umayyah pada akhirnya menerima ajaran Nabi
SAW dan masuk Islam. Mereka terhitung masyarakat Quraish yang masuk Islam
belakangan.[8]
Philip Hitti memaparkan keislaman mereka hanyalah bentuk penyelamatan yang
paling tepat bagi kondisi mereka saat itu.
Akan
tetapi, banyak fakta yang menunjukkan keseriusan beragama mereka. Dalam setiap
peperangan, mereka selalu andil dan bersemangat. Seperti Muawiyah, ia mengikuti
beberapa peperangan terakhir dalam Islam. Misalnya Perang Hunain, ia pula
diutus sebagai penulis wahyu. Ia terkenal sebagai orang yang sabar,
sampai-sampai al-Maqbari mengatakan: “Kalian sangat kagum kepada Kaisar Persia
dan Romawi, namun kalian tidak mempedulikan Muawiyah! Kesabarannya dijadikan
sebuah pepatah. Bahkan Ibn Abid Dunya dan Abu Bakar bin ‘Asim mengarang buku
khusus tentang kesabarannya.[9]
Kematian
Uthman bin Affan, menjadi momentum munculnya embrio dinasti Umayyah. Diketuai
oleh Muawiyah, bani Umayyah menuntut kematian sepupu Muawiyah itu pada Ali bin
Abi Thalib, yang telah dibaiat oleh masyarakat Madinah sebagai khalifah
pengganti Uthman.[10]
Muawiyah terang-terangan semakin membangkang pada pemerintah, ketika tahu Ali
bin Thalib masih belum mau menuntaskan masalah tersebut. Posisi Ali memang
dilematis. Saat ia berpikir ingin mengurus masalah Uthman di kemudian hari
ketika suasana panas mereda dan pikiran mulai jernih, di lain pihak Muawiyah
semakin bersikap negatif dan menaruh curiga padanya karena mengulur-ulur waktu.[11]
Prinsipnya, tak akan mengakui khilafah Ali bin Abi Talib sebelum ia menemukan
dan menyatakan siapa oknum-oknum yang terlibat dalam pembunuhan sepupunya.
Karena
tak mengakui pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Khalifah pun mengirimkan delegasi
kepada penguasa Syiria ini, melakukan berkali-kali diplomasi agar Muawiyah
membaiat kekhalifahannya, guna mencegah perpecahan umat muslim. Namun rasanya,
usahanya tak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya, Ali menyerang Muawiyah dan
pengikutnya. Karena Ali beranggapan Muawiyah telah berbuat kriminal,
memberontak dan membangkang pada pemerintahan yang sah.[12]
Keduanya
berperang di Siffin, disaat kubu Ali hampir menang. Orang Syiria mengangkat
Al-Quran dengan tombak mereka atas gagasan ‘Amru bin ‘As yang diperintah oleh
Muawiyah. Ia segera beretorika, menghendaki gencatan senjata dan menegaskan
“Inilah Kitabullah yang akan menjadi hakim antara kami dan kamu.[13]
Sebenarnya,
Ali tidak setuju dengan apa yang ditawarkan. Kiranya, ia mengerti bahwa hal
tersebut hanyalah upaya penyelamatan sebelum mereka jatuh dalam kekalahan.[14]
Karena, jelas terlihat modus kubu Muawiyah. Kalaulah mereka menginginkan
perdamaian, kenapa tidak mereka lakukan sejak awal sehingga tidak akan banyak
darah muslimin yang tumpah sia-sia. Melakukan perdamaian di depan ambang
kekalahan, tidak menampikkan bahwa adegan mushaf di atas tombak hanyalah usaha
untuk menghindari rasa malu mereka dari kegagalan. Mengingat Muawiyah dan anak
buahnya adalah ahli retorika, para orator ulung. Ditambah lagi pasukan Ali
mayoritas adalah orang badui, yang notabene sangat literlek dalam memahami nas
Al-Quran dan hadis. Disamping itu pribadi mereka termasuk keras pendirian namun
sangat mudah tersentuh dengan seruan yang mengatasnamakan agama.
Atas
desakan sebagian besar pasukan Ali, mau tak mau Ali pun menerima tawaran
Muawiyah. Arbitrase pun terjadi. Kubu Muawiyah mengutus ‘Amru bin ‘As, sedang
kubu Ali mengutus Abu Musa al-Ash‘ary. Penunjukan Abu Musa ini juga tak lepas
dari kontroversi. Semula Ali menolak dirinya menjadi utusan dari pihaknya. Bagi
Ali, Abu Musa memiliki track record yang tidak begitu bagus. Mengingat
dahulu, Abu Musa pernah menentang Ali dan mengajak khalayak dalam barisannya
ketika ia masih menjabat gubernur di Kufah. Sedangkan Ali berada dalam posisi
yang sangat membutuhkan dukungan guna eksistensi otoritasnya. Tak elak Abu Musa
pun dipecat dari jabatannya ketika itu.[15]
Lepas dari itu semua, Ali tetap tak bisa berbuat banyak. Kiranya ia bukanlah
sosok pribadi yang otoriter. Sehingga, ketika mayoritas pengikutnya mendukung
Abu Musa, Ali pun menerimanya.
Dari
awal komposisi arbitrase ini sudah tak imbang. Amru bin As adalah ahli strategi
dan diplomasi sedangkan Abu Musa adalah sosok orang tua yang tekun beribadah
dan tawaduk. Tak heran bila kemudian Abu Musa tertipu strategi ‘Amru bin ‘As.
Abu Musa mengumumkan turunnya Ali dari tahta khilafah sesuai kesepakatan. Akan
tetapi ‘Amru bin ‘As melakukan sebaliknya. Ia malah menggunakan momen ini untuk
mengumumkan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah resmi pengganti Ali.[16]
Jelas-jelas hasil arbitrase ini merugikan pihak Ali. Hanya saja Ali tidak
melakukan perlawanan atas perlakuan Muawiyah. Hal ini sangat disayangkan
pendukung Ali, yang mengakibatkan terpecahnya pendukung Ali menjadi dua
kelompok. Yakni golongan orang-orang yang tetap setia mendukung kepentingan keluarga
Ali, yang kemudian hari disebut sebagai Syiah dan golongan yang keluar dari
barisan yaitu Khawarij.[17]
Berangkat
dari kejadian arbitrase tersebut, kepemimpinan Muawiyah resmi dimulai.Secara
otomatis pula, ibukota yang semula bertempat di Madinah, kini berpindah di
Syiria, Damaskus tepatnya. Ahlu Madinah mungkin nampaknya juga kurang respek
terhadap bani Umayyah, sebab keislaman mereka yang terhitung terakhir dibanding
suku Quraish yang lain. Didukung Syiria merupakan tempat ia menjabat gubernur
sebelumnya, suara dan dukungan lebih banyak ia dapatkan di kawasan ini.
Sehingga membangun negara di tempat ini dirasa cukup strategis.
Setelah
Ali bin Abi Thalib wafat. Pengikut Ali di Kufah banyak yang membaiat Hasan bin
Ali sebagai penerus Ali. Namun, perlahan-lahan Muawiyah mendapat banyak dukungan
dari masyarakat. Sehingga, ketika menyadari hal tersebut pada tahun 41 H Hasan mengundurkan diri dan menyeru khalayak Kufah untuk
bersama-sama membaiat Muawiyah. Tahun ini disebut ‘Am Al-Jama‘ah (tahun
persatuan), karena seluruh umat muslim kembali berada pada satu pemimpin
khalifah.[18]
Periode dinasti Umayyah dimulai dari tahun 41 H. dan berakhir tahun 132 H. dengan jumlah khalifah sebanyak 14.3 dari keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abu al-As.[19] Telah diketahui penetapan khalifah pertama dinasti ini tidak berlangsung secara demokratis, akan tetapi ditetapkan melalui diplomasi, kekerasan beserta tipu muslihat.
Berbeda
dengan sistem penetapan khulafa’ rashidin sebelumnya. Sistem
pengangkatan khalifah di masa khulafa’ rashidin menganut kaidah
perundang-undangan yang tidak membenarkan daya upaya seseorang untuk dapat
menduduki jabatan khilafah, atau meraih kekuasaan dengan usahanya dan
rencananya sendiri, tetapi rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak memegang
kepemimpinan. Hal tersebut dilakukan setelah permusyawaratan tentunya. Maka
dari itu baiat dari rakyat untuk seseorang bukanlah terjadi karena adanya
kekuasaan dari seorang tersebut, sehingga rakyat terpaksa membaiat. Melainkan,
baiat masyarakat adalah pemberi kekuasaan. Dan rakyat bebas dan bersifat
sukarela dalam hal ini.[20]
Inilah
yang diaplikasikan para khalifah sebelum dinasti Umayyah.[21]
Mereka mendapatkan jabatan khalifah dengan cara ini. Tidak ada satu diantara
mereka yang berusaha dengan daya upayanya
untuk meraih jabatan khalifah. Yang ada justru jabatan inilah yang
mendatangi mereka. Menyangkut Ali bin Abi Thalib, ia memang memandang dirinya
paling berhak dalam posisi ini. Tapi sepanjang sejarah tidak ada data yang
menyebutkan bahwa dirinya dengan segala daya upaya telah berusaha untuk
memperoleh jabatan khalifah.[22]
Sedangkan,
Muawiyah sebagai khalifah awal yang berasal dari bani Umayyah ini, meraih
jabatan khalifah dengan segala daya upayanya. Ia memang berusaha dalam hal ini
dengan berbagai strategi yang ditempuh. Pengangkatan dirinya sebagai khalifah
bukan atas persetujuan kaum muslimin dan pilihan mereka.[23]
B.
KEKUASAAN MUAWIYAH; MODEL PEMERINTAHAN ARAB
Muawiyah
bernama lengkap Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Al-Syams
bin Abd al-Manaf bin Qusay.[24]
Ibn Abi Shaibah dalam Musannafnya dan Al-Tabarani dalam kitabnya al-Kabir
meriwayatkan dari Abd al-Malik bin Umair dia berkata: Muawiyah berkata: sejak
Rasulullah bersabda kepada saya, “Wahai Muawiyah jika kamu menjadi raja,
berbuat baiklah!” saya selalu menginginkan jabatan kekhilafahan.[25]
Bagi penulis, Muawiyah mempunyai tipikal personal yang berkeinginan kuat atas sesuatu, hampir-hampir mendekati ambisius. Bisa dilihat riwayat dalam Al-Kabir diatas. Dimana, dirinya mengakui bahwa keinginan menjadi khalifah itu memang ada. Juga ketika dirinya menghendaki Yazid sebagai khalifah penggantinya. Ia memanggil anak Abu Bakar, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, mengajak mereka untuk membaiat Yazid. Yang ia dapatkan kemudian adalah penolakan.[26]
Namun, Muawiyah segera berkhutbah diatas mimbar. Ia berkata setelah memuji Allah, “Sesungguhnya kami dapatkan perkataan manusia yang menyimpang. Mereka berkata bahwa Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair tidak mau membaiat Yazid, padahal mereka telah mendengar dan menyatakan ketaatan serta telah membaiatnya”. Hingga akhirnya, Ketika Yazid benar-benar dibaiat, Abdullah bin Umar berkata, “Jika dia baik, maka kami rela dan jika dia jahat menjadi bencana, maka kami akan sabar”.[27]
Yang
perlu diapresiasi adalah keinginan kuat yang ia miliki bukan menjadikannya yang
bersikap membabi buta asal ambisi terpenuhi. Namun, ia sangat cermat, hati-hati
dan cukup sabar untuk berdiplomasi secara halus. Cara-cara, strateginya
mencapai misi begitu elegan, bukan kasar.
Seperti yang Ibn Asakir riwayatkan dari
Qubaisah bin Jabir ketika mendeskripsikan seorang Muawiyah. “Saya juga pernah
bersama Muawiyah, ternyata tidak saya dapatkan seorang pun yang memiliki
kesabaran dan kemampuan untuk berpura-pura bodoh serta kehati-hatian melebihi
Muawiyah”.[28]
Selain
itu bisa dilihat ketika ia mendapati penolakan dari anak Abu Bakar dan ancaman
darinya untuk mengkacau-balaukan urusan pengangkatan Yazid sebagai putra
mahkota. Muawiyah menjawab, “Jangan tergesa-gesa wahai anak Abu Bakar, saya
harap anda jangan mengatakan hal itu kepada penduduk Syam, sebab saya khawatir
mereka mendahuluiku melakukan hal yang tidak baik kepadamu, hingga aku
beritahukan bahwa engkau telah membaiat kita nanti malam. Setelah itu lakukan
apa yang kamu mau”.[29]
Begitulah diplomasi yang ia lakukan, secara laten berisi ancaman namun dibalut
dengan tawaran solusi, yang sebenarnya tetap merugikan pihak lawan.
Begitupula
ketika ia melakukan diplomasi kepada Hasan, untuk menyerahkan kekuasaannya
dibawah tangan Muawiyah. Yang kemudian, Muawiyah mencukupi kebutuhan Hasan dan
keluarganya di Madinah. Pada masanya, setelah tercipta konsolidasi internal,
Muawiyah kembali melakukan ekspansi militer, yang sempat terhenti di masa Uthman
dan Ali. Ia berhasil menaklukkan beberapa wilayah meliputi di sebelah timur
mulai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Ekspansi
yang dilakukan ke Afrika Utara dipimpin oleh ‘Uqbah bin Nafi‘, mereka berhasil
menaklukan Tunis. [30]
Disamping
itu, angkatan lautnya berpartisipasi dalam penyerangan ke Bizantium, ibukota
Konstantinopel. Ia pun berhasil menguasai galangan kapal Bizantium di ‘Akka,
dengan segala perlengkapannya, yang bisa dimanfaatkan selanjutnya untuk membangun armada laut Islam.[31]
Dalam
pemerintahannya, Muawiyah banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dirasa baru
dalam sejarah Islam. Nampaknya, ia merasa bahwa pemerintahan Konstantinopel
adalah model pemerintahan yang maju, modern dan berkembang. Sehingga ia
mengakulturasikan model kerajaan Persia dan Bizantium dalam khilafah. Dengan
mempersiapkan Yazid sebagai putra mahkota, yang secara tidak langsung ia
mencetuskan pemerintahan Islam menjadi sebuah kerajaan. Dan kekuasaan semacam
ini, makanan empuk bagi dinasti tirani.[32]
Ia
juga menghapus berbagai sistem tradisional, menggantinya dengan kerangka
pemerintahan yang telah ia adopsi dari Bizantium. Tidak lagi menganut sistem
militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan, sisa-sisa patriarkal kuno.[33]
Philip
K Hitti menyebutkan bahwa memang bila dilihat dari sisi prajurit perang,
kualitas Muawiyah kalah telak dibandingkan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, ia
adalah organisatoris yang unggul. Bisa dilihat bagaimana Muawiyah bisa membuat
orang-orang Syiria biasa menjadi satu kekuatan militer Islam yang kuat,
terorganisir dengan baik serta berdisiplin yang tinggi. Dalam masanya pula
ekspansi mampu meluaskan wilayah sebegitu besarnya. Sehingga Philip
menjulukinya sebagai pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar, bukan hanya
sebagai bapak sebuah dinasti.[34]
Beberapa
tradisi yang belum dikenal sebelumnya, ia aplikasikan di zamannya. Dialah yang
pertama kali memerintahkan para prajurit mengangkat tombak di hadapannya. Dia
juga membuat anjungan khusus di masjid, tempatnya menunaikan salat, demi
keamanannya dari serangan musuh. Hal yang perlu diapresiasi pada masanya ialah
layanan pos. Ia mendirikan dinas pos di berbagai tempat dengan menyiapkan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
tempat tertentu sepanjang jalan. Pegawai pos mengendarai kuda tersebut untuk
membawa surat atau barang titipan lainnya sampai ke stasiun lainnya. Di stasiun
tersebut ia meninggalkan kudanya untuk beristirahat, kemudian ia menggunakan
kuda lain yang sudah tersedia di stasiun tersebut untuk melanjutkan perjalanan.[35]
Sejarawan
mencatat ialah orang Islam pertama yang membangun kantor catatan Negara. Dia
orang yang pertama kali membuat stempel. Stempel ini dibuat dikarenakan ada
seseorang yang ia perintahkan untuk memberikan uang sebanyak seratus ribu.
Namun, orang itu membuka surat dan menulisinya menjadi dua ratus ribu. Tatkala
hal ini diajukan kepada Muawiyah, ia mengingkari pengeluaran seratus ribunya lagi,
oleh sebab itu dibuatlah stempel. Dia juga orang yang pertama kali dikatakan
kepadanya, “Assalamu alaika ya Amirul Mukminin wa rahmatullah wa barakatuhu
al-salata yarhamukallah”.[36]
Pada masanya pula, ada pembangunan percetakan mata uang. Bila melihat program-program
Muawiyah dalam pemerintahan, rasanya upaya yang ia lakukan cukup menghasilkan
perkembangan bagi suatu peradaban, khususnya Islam. Setidaknya, ia mampu
membuat pemerintahan terorganisir dengan baik.[37]
Meskipun
sangat disayangkan, ia mengangkat orang-orang non muslim di jabatan pemerintah
yang cukup berpengaruh dalam jalannya pemerintahan negara Islam. Beberapa orang
Kristen keturunan Mansur bin Sarjun menduduki posisi pengawas keuangan negara.
Posisi tersebut merupakan posisi penting setelah panglima tertinggi militer.
St. John cucu Mansur juga merupakan teman bermain Yazid, anak Muawiyah ketika
kecil. Istrinya yang paling ia cintai, Maysun jugalah penganut Kristen sekte
Yakobus. Dokter khalifah, Ibn Uthal juga merupakan orang Kristen, yang kemudian
hari diangkat Muawiyah sebagai pengawas keuangan di Hims.[38]
Penobatan
seorang Kristen dalam jabatan penting merupakan fenomena pertama dalam sejarah
Islam. Secara tidak langsung, kecerobohan telah terjadi. Karena yang Muawiyah
pimpin sesungguhnya bukanlah kerajaan tapi daulah Islamiyah, dimana aspek dan
nilai agama menjadi sangat urgen. Akan tetapi Yusuf Al-‘Ish berpandangan bahwa
pemerintahan Muawiyah lebih melihat kepada kapabelitas pegawainya.
Pemerintahannya bergantung pada para penasehat cakap, para ahli administrasi
yang mampu, ia memberikan kebebasan dan kepercayaan untuk melaksanakan
tugasnya. Ia tidak mempedulikan diantara pegawainya ada yang beragama Kristen.[39] Banyak sejarawan Islam yang memandang Muawiyah
sebagai raja Islam. Raja dan bukan khalifah. Raja bagi orang Arab Asli mempunyai konotasi yang
buruk, sehingga gelar ini hanya mereka berikan kepada
penguasa non Arab.[40]
Hal
tersebut mungkin terjadi karena beberapa kebijakan Muawiyah yang dinilai
kontroversi. Seperti membuat singgasana raja, membuat maqsurah, sejenis tenda
dalam masjid, sehingga ia bisa khutbah jum’at sambil duduk.[41]
al-Sha’bi mengatakan, orang yang pertama kali berkhutbah
sambil duduk adalah Muawiyah. Hal ini ia lakukan ketika badannya kegemukan dan
perutnya besar.[42]
Apalagi,
melihat kekuasaan yang ia peroleh dan jabatan yang ia dapatkan bukan
berdasarkan mufakat seluruh umat muslim. Sehingga membuat dirinya tertuduh
mengubah khilafah Islamiyah menjadi kekuasaan yang hanya berorientasi pada
duniawi.
Lepas
dari berbagai kelebihan dan kekurangannya, ia memiliki sifat hilm yang
merupakan pendukung utama kesuksesan seni berpolitiknya. Ia hanya menggunakan
kekuatan hanya ketika dipandang hal itu perlu. Selebihnya, ia menggunakan cara
persuasif, kelembutan dan banyak menempuh jalan damai. Tidak mudah marah dan
mempunyai kendali diri yang cukup tinggi.“Aku tidak akan menggunakan pedang,
jika cukup dengan cambuk.Dan tak akan meggunakan cambuk, bila cukup dengan
lisan”. Ibn Asakir juga menyebutnya sebagai muslim yang baik. Hitti,
mengagungkannya dengan mengatakan Muawiyah bukan saja raja pertama, namun ia
adalah raja terbaik.[43]
Namun,
rasanya Abu al-A’la al-Maududi bertolak belakang dengan pendapatnya. Ia
mengatakan, bergantinya sistem khalifah rashidah dengan kerajaan adalah suatu
kesialan bagi nasib Islam. Tapi, masih bisa diatasi bila setelah pemerintahan
Muawiyah, sistem pengangkatan pemimpin sesudahnya kembali menggunakan sistem
khulafa terdahulu. Namun, sayangnya Muawiyah mengangkat anaknya sendiri. Sehingga,
nasib umat Islam menjadi tak terselamatkan lagi.[44]
C.
ADMINISTRASI
POLITIK DAN KONDISI SOSIAL
Wilayah daulah pada masa dinasti Umayyah
dibagi menjadi beberapa provinsi. Tercatat ada 9 provinsi, meliputi:[45]
1. Syiria-Palestina
2. Kufah, termasuk Irak
3. Basrah, mencakup Persia, Sijistan, Khurasan,
Bahrain, Oman, mungkin ditambah Najd dan Yamamah
4. Armenia
5. Hijaz
6. Karman dan wilayah di perbatasan India
7. Mesir
8. Afrika Kecil
9. Yaman dan kawasan Arab Selatan
Kemudian, perlahan-lahan kesembilan provinsi
digabung sampai akhirnya menjadi 5 provinsi saja.Masing-masing dibawah tanggung
jawab seorang dari wakil khalifah. Misalnya, Basrah dan Kufah digabung menjadi
satu, yakni Irak dengan Kufah sebagai ibukotanya.[46]
Tiga tugas utama pemerintah
mencakup mengorganisir administrasi public, pengumpulan pajak dan organisir
urusan keagamaan. Tiap tugas tersebut mempunyai penanggung jawab atau pejabat
sendiri-sendiri. Wakil khalifah mengangkat ‘amil, yakni petugas
administrasi untuk sebuah daerah tertentu, dan menyampaikan nama mereka kepada
khalifah. Gubernur tidak perlu mengurusi kas negara, sudah ada pejabat khusus (sahib
al-kharraj) yang menangani bagian ini. Seorang gubernur kewajibannya
mengurus administrasi politik dan militer saja.[47]
Untuk urusan keagamaan,
mereka mengangkat hakim atau qadi. Biasanya untuk amanah ini, mereka
memilih dari kalangan fakih, yang mendalami al-Qur’an dan hadis nabawi. Hakim
dipilih secara berganti. Hakim-hakim ini juga mengatur institusi wakaf, harta
anak yatim dan orang cacat mental.[48]
Muawiyah juga mendirikan sebuah
biro registrasi, dimana arsip-arsip kenegaraan tersimpan dengan baik. Membuat
dan menyimpan salinan dari dokumen asli sebelum distempel, kemudian mengirimkan
berkas yang asli, merupakan tugas biro ini. Latar belakang munculnya biro
registrasi, disebabkan ada pihak yang berusaha memalsukan tanda tangan Muawiyah
saat itu. Bahkan, pada masa Abd al-Malik dinasti Umayyah telah memiliki gedung
arsip Negara di Damaskus.[49]
Pendapatan utama khilafah
Umayyah berasal dari pajak. Tiap non muslim wajib membayar upeti dan juga
Muawiyah mengeluarkan kebijakan pajak 2,5 persen dari pendapatan tahunan orang
Islam.[50]
Terdapat 4 kelas sosial di
tengah masyarakat masa dinasti Umayyah.Kelas tertinggi dipenuhi oleh para
penguasa Islam. Keluarga kerajaan dan aristokrat Arab. Mereka sangat menjunjung
tinggi ke-arab-annya, ditengah kaum muslimin dari segala penjuru. Bisa
dikatakan rasa fanatisme Arab timbul kembali setelah lama padam zaman
Rasulullah SAW.[51]
Kelas kedua adalah para
mualaf.[52]
Para mualaf ini masih juga membayar pajak sebesar ketika mereka masih belum
masuk Islam. Mungkin, pemerintah menganggap keislaman mereka hanya bertujuan
untuk menghindari pajak. Sehingga, ketika mereka memeluk Islam, mereka tetap
dibebani pajak seperti semula. Sehingga wajar bila tidak ada bukti sejarah yang
menyatakan terjadi perpindahan agama ke Islam dalam jumlah besar, kecuali pada
masa Umar bin Abd al-Aziz.[53]Karena,
Umar bin Abd al-Aziz mencabut beban para mualaf tersebut. Ia menghapus
kebijakan pajak pada mereka. Ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad datang untuk
menjadi dai dan bukan penuntut pajak.
Kelas sosial ketiga adalah
mereka ahlu dhimmah. Yaitu, orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah
mengikat perjanjian dengan umat Islam. Kemudian kelas terakhir adalah golongan
budak.[54]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
- DINASTI ABBASIYAH
- ISLAM DI SPANYOL
- DINASTI FATIMIYAH
- TURKI UTSMANI
- DINASTI SAFAWI DI PERSIA
- DINASTI MUGHAL
- ERA PENJAJAHAN DUNIA ISLAM
- ISLAM DI INDONESIA
D.
PERKEMBANGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pada
masa dinasti Umayyah, belum ada sekolah-sekolah resmi. Masjid-masjid adalah sekolah
dan universitas bagi masa tersebut.[55]
Sementara, putra-putra khalifah dinasti yang akan mengenyam pendidikan, mereka disekolahkan ke Badiyah, gurun Syiria. Guna
mempelajari bahasa Arab murni dan mendalami puisi. Sebagaimana Yazid I pergi
kesana bersama sang ibu, Maysun.[56]
Mempelajari
puisi menjadi hal yang urgen. Dan memang, dalam catatan sejarah pada masa
dinasti Umayyah, mereka terkenal dengan kemajuan intelektualnya di bidang
puisi. Dinasti Umayyah kembali mengangkat tradisi lama Arab, syair-syair, lagu,
puisi dan dewi dewi anggur kembali eksis dalam kehidupan mereka.[57]
Syair berkembang pada masa ini dengan berbagai tujuan, terdapat unsur-unsur akidah Islamiyah, juga ada unsur politis. Kiranya syair menjadi alat penyokong golongan politik tertentu, mengingat syair mempunyai tempat khusus di jiwa orang Arab. Bani Umayyah memanfaatkan syair untuk sarana memuji pemerintah, menyerang oposisi, khususnya Shiah, Khawarij dan Jabariyah. Dengan begitu, dukungan yang mereka peroleh cukup banyak sehingga kekuasaan pun menjadi lebih kuat.[58]
Selain puisi politik adapula puisi cinta yang diisi oleh beberapa penyair kala itu. Majnun Layla salah satu penyair semi mistik saat itu, yang namanya masih dikenal hingga kini. Menurut riwayat, nama aslinya adalah Qais bin al-Mulawwah. Sedangkan penyair cinta yang terkenal saat itu ialah Umar bin Abi Rabi‘ah[59] Salah satu warisan peradaban yang disumbangkan masa ini bagi perkembangan sejarah sastra adalah penghimpunan puisi pra Islam yang direalisasikan oleh Hammad al-Rawiyah. Warisan terbesar Hammad dan termasyhur adalah himpunan puisi emas berlirik yang dikenal dengan Mu‘allaqat.[60]
Dari
segi keilmuan, ilmu kedokteran dan kimia cukup berkembang waktu itu. Kedokteran
orang Arab yang awalnya masih jauh dari kemajuan dan terkesan primitif, masih
menggunakan praktik dukun dan jimat, kemudian hari berkembang maju dengan
bantuan sumber-sumber ilmiah yang mereka dapati dari Yunani dan Persia.[61]
Umat muslim banyak melakukan penyerapan ilmu pengetahuan dari Yunani dan
Persia, terlebih untuk ilmu-ilmu eksakta, non agama.
Khalifah bani Umayyah mulai mengutamakan pengobatan
dari dokter Romawi yang lebih dahulu mengetahui dan lebih ahli dari apa yang
diketahui muslimin kala itu. Muslimin pun menjadi giat dalam menerjemahkan
karya-karya ilmiah di bidang kedokteran. Hal ini ditetapkan sebagai peristiwa paling
besar sepanjang sejarah Bani Umayyah.[62]Khalid putra khalifah Umayyah kedua merupakan orang
Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang
kimia, kedokteran dan astrologi.[63]
Ahmad
Amin berpendapat, pada zaman dinasti Umayyah umat muslim fokus kepada adab
sastra dan kisah-kisah. Mereka tidak begitu mempedulikan ilmu agama dan
rasionalitas. Abd al-Halim Uwais kemudian membantah perkataan Ahmad Amin dengan
memaparkan beberapa data yang menyebutkan bahwa, masjid-masjid menjadi pusat
pembelajaran umat untuk mendalami al-Qur’an dan hadis khususnya. Seperti Rabiah
al-Ra’yi mengadakan halakah ilmiah di masjid Madinah. Lalu, Hasan Basri di
masjid Basrah.[64]
Ilmu-ilmu agama pada masa itu tidak membutuhkan
dukungan dan upaya dari pemerintah untuk lebih berkembang lagi. Sebab, umat
dengan sendirinya sibuk mempelajari al-Qur’an dan sunah tanpa diminta. Setiap muslim ketika itu
menyadari dan mempercayai penuh bahwa diri mereka adalah misionaris yang bertugas
membawa risalah mulia Nabi Muhammad ke seluruh penjuru dunia.[65]
Guru-guru
pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Quran (qurra’). Umar bin Abd al-Aziz
mengutus Yazid bin al-Habib ke Mesir sebagai hakim agung, yang diriwayatkan
menjadi guru pertama disana. Adapula al-Dahak bin Muzahim yang mendirikan
sekolah dasar (kuttab) dan ia tidak memungut bayaran dari siswa. Di Basrah pada
abad ke 2 hijriah ada juga seorang badui yang mendirikan sekolah dengan
memungut biaya dari para murid.[66]
E.
KEMUNDURAN
DAN AKHIR DINASTI UMAYYAH
Dinasti Umayyah berakhir pada tahun 132 H/ 750 M. Dengan khalifah terakhir Marwan bin Muhammad (Marwan II). Khalifah terakhir ini melarikan diri ke Mesir dari serangan bani Abbas yang dibantu Abu Muslim al-Khurasani. Akan tetapi Marwan bin Muhammad tertangkap dan dibunuh disana. Beberapa faktor kemunduran dinasti seperti yang dirangkum Badri Yatim adalah sebagai berikut:[67]
Sistem pengangkatan putra mahkota yang membingungkan. Selain model pengangkatan khalifah yang seperti ini sesungguhnya cukup mengundang kontroversi di mata rakyat, cara pemilihan putra mahkota ini juga tidak ada kaidah yang mengatur. Putra mahkota dipilih sesuka hati khalifah. Sehingga perselisihan internal tak dapat dihindari. Ia menjadi bahasan yang sensitif.[68]
2.
Adanya
gerakan oposisi dari Shiah dan Khawarij, yang notabene adalah produk dari
keberhasilan mereka, dari hasil arbitrase yang berujung pada pengangkatan
Muawiyah sebagai khalifah. Oleh sebab permulaan yang sudah tidak fair, maka mau
tidak mau dinasti Umayyah harus menerima resiko; menghadapi penyerangan dan
pemberontakan dari gerakan oposisi sepanjang kekuasaan mereka.
3.
Pertentangan
antar suku Arab yang makin meruncing. Pada masa ini Bani Qais suku Arabia Utara
mempunyai konflik dengan Bani Kalb suku Arabia Selatan. Rasa rasisme dan
fanatisme mereka muncul kembali, sehingga mempersulit pemerintahan untuk
menggalang kesatuan dan persatuan. Terlebih masalah ini juga terjadi di dalam
internal keluarga khalifah.[69]
4.
Sikap
foya-foya sebagian khalifah, yang menyebabkan kezaliman banyak terjadi dan membuat
khalifah setelahnya memikul beban berat kenegaraan ketika mewarisi kekuasaan.[70]
Disamping itu, sifat buruk ini membuat rakyat tidak merespon dengan baik
terhadap pemerintahan.
5.
Perbedaan
status sosial yang dinasti Umayyah buat untuk kaum mualaf dan budak. Mereka
memandang orang selain Arab adalah golongan kasta rendah. Secara tidak langsung
sikap angkuh dan fanatik bani Umayyah ini membuat rakyat tidak simpati pada
pemerintah. Apalagi, pemerintah malah terkesan menjunjung tinggi kesukuan dan
bukan lagi agama dipandang sebagai prioritas, dengan mengangkat sejumlah
orang-orang Kristen untuk jabatan-jabatan penting pemerintahan. Tentunya, hal
ini sangat disayangkan oleh para ulama dan agamawan.[71]
6.
Penyebab
langsung runtuhnya dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru dari
keturunan Abbas bin Abd al-Muthalib. Apalagi gerakan ini didukung oleh bani
Hashim, Shiah dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
Dinasti Umayyah dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah
memberikan hal positif bagi peradaban Islam. Perluasan wilayah yang cukup
fantastis hasil ekspansi militernya, telah membuat Islam lebih dikenal di
berbagai belahan dunia. Penetapan khalifah pada masa ini menjadi tradisi
warisan yang turun menurun, dengan menunjuk putra mahkota sebagai penggantinya
di masa mendatang.
Dalam hal administrasi politik bani Umayyah banyak mengadopsi ide-ide
kerajaan Bizantium dan Persia. Seperti sistem militernya, tidak lagi diatur
melalui kesukuan. Ia juga banyak membuat gebrakan baru yang positif seperti
mendirikan layanan pos dan mencetak mata uang. Pada masa ini puisi juga
mengalami kemajuan intelektual. Dengan adanya penghimpunan puisi-puisi pra
Islam, seperti Muallaqat. penerjemahan buku-buku Yunani dan Koptik tentang
kedokteran, kimia dan astrologi marak dilakukan. Sehingga kemajuan di ilmu
eksakta juga terbilang pesat. Dan akhirnya, dinasti ini pun runtuh disebabkan
beberapa faktor eksternal dan internal. Sampai akhirnya di tahun 750 M,
kekuasaan digantikan oleh dinasti Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Chair, Abd. “Dinasti Umayyah”, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Vol II, ed. Taufik Abdullah, et.al. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hitti,
Philip K. History of the Arabs. terj.
Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Hodgson, Marshall G. S. The
Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia. terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 1999.
‘Ish
(al), Yusuf. Dinasti Umawiyah. terj.
Iman Nur Hidayat. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007.
Ja’farian, Rasul. Sejarah Islam: Sejak Wafat Nabi SAW Hingga
Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. terj
Ilyas Hasan. Jakarta:
Lentera, 2009.
Maududi
(al), Abu al-A’la. Khilafah dan
kerajaan. terj. Muhammad
al-Baqir.
Bandung: Mizan, 1994.
Sirjani
(al), Raghib. Sumbangan Peradaban Islam
Pada Dunia. terj. Sonif. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.
Suyuti
(al), Jalal al-Din. Tarikh Khulafa’. terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2012.
‘Uwais,
‘Abdul Halim. al-Hadarah al-Islamiyah
Ibda‘ al-Mady wa `Afaq al-Mustaqbal.
Kairo: Maktabah `Usrah, 2012.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
[1] ‘Abd al-Halim ‘Uwais, al-Hadarah
al-Islamiyah Ibda‘ al-Mady wa `Afaq al-Mustaqbal, (Kairo: Maktabah
`Usrah, 2012), 15.
[2] Ibid., 16.
[3]Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 245.
[4]K. Hitti, History,
235.
[5]Abd Chair, “Dinasti
Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol II, ed. Taufik Abdullah,
et.al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 63.
[6]Ibid.,
63.
[7]Ibid., 63.
[8]Ibid.,
63.
[9]Jalal al-Din al-Suyuti,
Tarikh Khulafa’, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2012),
230.
[10]Muawiyah
yang mahir beretorika, membawa jubah milik Uthman yang penuh dengan darah
berikut jari-jari yang lepas dari tangan Nailah, Istri Uthman, ketika menuntut
kematian Uthman. Sehingga usahanya ini berhasil mengundang simpati masyarakat
dan walhasil banyak orang yang mendukungnya. Lihat lebih lanjut Abd Chair, Ensiklopedi
Tematis Islam, Vol II, 64.
[11]Abd
Chair memaparkan, Muawiyah sampai menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan
tersebut atau Ali sengaja melindungi pemberontak yang membunuh sepupunya.
[12]Abd
Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.
[13]Abd
Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.Lihat Yusuf al-‘Ish,
Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nur
Hidayat,( Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007), 131.
[14]al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 131.
[15]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 64.Dan al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 133-134.
[16]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65. Bandingkan dengan al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 134-136.
[17]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65.Dan lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), 322.
[18]Ini menjadi bantahan bagi Rasul Ja‘farian yang menyebut tahun ini adalah tahun perpecahan, tahun amarah, tahun kekerasan dan tahun mayoritas. Karena bagi penulis, umat muslim tidak akan pernah bersatu pada kesesatan. Jumhur ulama dan para sejarawan pun juga menyebutkan bahwa tahun ini disebut tahun jamaah. Dimana seorang Hasan dimata penulis adalah sosok yang sangat peduli akan kemaslahatan umat. Penyerahan kekuasaan merupakan langkah paling tepat mengingat kondisi waktu itu umat sudah terpecah. Sehingga, dengan penyerahan kekuasaan ini, setidaknya Hasan telah mencegah masalah umat semakin meruncing dan memanas. Lihat,Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65. Bandingkan dengan Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Sejak WafatNabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah, terj Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2009),476.
[19]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 65.
[20]Abu al-A’la
al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, terj.Muhammad Al-Baqir (Bandung:
Mizan, 1994), 200.
[21]Rasul Ja‘farian memaparkan
prinsip “kedaulatan berada di tangan siapa yang dapat menekan dan membungkam
siapapun” berubah menjadi prinsip yang positif dalam fikih politik sunisme.
Namun rasanya penulis tak sependapat dengannya. Karena, sebenarnya yang diinginkan
dan dianut oleh kelompok sunni adalah sistem yang telah dicontohkan khulafa’
rashidin seperti yang telah dijelaskan al-Maududi. Bahwa, pemimpin
diperoleh dari hasil mufakat umat. Lihat Ja‘farian, Sejarah Islam, 476-477. Bandingkan dengan al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, 200.
[22]Ibid., 201.
[24]Jalaludin al-Suyuti,Tarikh
Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2012),
229.
[25]Ibid.,229.
[26]Ketika Abdullah bin Umar diminta
untuk membaiat ia menjawab, “Amma ba‘du, sesungguhnya sebelum engkau
telah ada beberapa khalifah yang mempunyai beberapa anak,yang anakmu tidak
lebih baik dari mereka. Namun mereka tidak memutuskan untuk memberikan khilafah
kepada anak-anaknya sebagaimana yang kamu lakukan kepada anakmu.Mereka
membiarkan muslimin menentukan pilihan mereka dalam mengangkat
khalifah.Sedangkan engkau memperingatiku agar tidak memecah belah kaum
muslimin. Saya tidak akan pernah melakukan itu. Sesungguhnya
saya adalah salah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Jika mereka sepakat
dalam satu perkara, maka saya akan bersama mereka. Semoga Allah memberi rahmat
kepadamu”.Sedang jawaban anak Abu Bakar,” sesungguhnya engkau menginginkan agar
kami menyerahkan khilafah yang ada padamu kini kepada anakmu. Demi Allah, kami
tidak akan pernah melakukannya. Demi Allah, kembalikan khilafah dengan cara
musyawarah antara kaum muslimin atau kami akan mengacau-balaukan urusan ini”.
Lihat al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 231-232.
[27]al-Suyuti,
Tarikh Khulafa’, 233.
[28]al-Suyuti,
Tarikh Khulafa’, 241.
[29]Al-Suyuti,
Tarikh Khulafa’, 232.
[30]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah II (Jakarta: Rajawali
Press, 2013), 43. Lihat
juga Hodgson, The Venture of Islam,
317.
[31]K.Hitti,
History, 240.
[32] al-Maududi,
Khilafah dan Kerajaan, 200.
[33]K. Hitti
History, 242.
[34]K. Hitti,
History, 242.
[35]Abd Chair, Ensiklopedi Tematis, 66. Lihat juga Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.
[36]Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.
[37]K.
Hitti, History, 242.
[38]K Hitti,
History, 243.Lihat
juga Al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 168.
[39]Al-‘Ish, Dinasti Umawiyah, 168.
[40]K. Hitti, History,
245.
[41]K.
Hitti, History, 246.
[42]Diriwayatkan oleh Abu Shaibah, lihat al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, 237.
[43]K. Hitti, History,
246.
[44]al-Maududi,
Khilafah dan Kerajaan, 199.
[45]K.
Hitti, History, 280.
[46]K.
Hitti, History, 280.
[47]K.
Hitti, History, 281.
[48]K.
Hitti, History, 282.
[49] K. Hitti, History, 282.
[50]K.
Hitti, History, 281.
[51]K.Hitti,
History, 289.
[52]K Hitti,
History, 289.
[53]K.
Hitti, History, 290.
[54]K.
Hitti, History, 291-293.
[55]K.
Hitti, History, 316.
Dan lihat ‘Uwais, al-Hadarah
al-Islamiyah, 120.
[56]K.
Hitti, History, 316.
[57]K.
Hitti, History, 313.
[58]Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia,
terj. Sonif (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009), 386-387.
[59]K.
HItti, History, 314.
Bandingkan dengan al-Sirjani,
Sumbangan Peradaban, 387.
[60]K.
Hitti, History, 315.
[61]K. HItti,
History, 318.
[62]al-Sirjani,Sumbangan Peradaban, 272.
[63]K.
Hitti, History, 319-120.
Lihat juga ‘Uwais, al-Hadarah
al-Islamiyah, 121.
[64]Uwais, al-Hadarah
al-Islamiyah, 35.
[65] ‘Uwais, al-Hadarah al-Islamiyah, 120.
[66]K.
Hitti, History, 317-318.
[67]Badri
Yatim, Sejarah peradaban, 48-49.
[68]Menurut Rasul Ja‘farian,
salah satu alasan mengapa bani Umayyah dapat mempertahankan kekuasaan ialah
karena mereka konsisten menghormati prinsip-prinsip yang berkenaan dengan
baiat. Sepanjang mereka menghormati prinsip-prinsip tersebut maka tidak ada
problem dan masyarakat akan taat pada bani Umayyah. Sekalipun terjadi
pemberontakan, tentunya pemberontakan itu bisa mereka atasi. Namun, ketika
Walid bin Yazid meninggal, Yazid bin Walid melanggar komitmen baiat. Sehingga,
terjadilah benih perselisihan serta konflik internal. Ketika Yazid III
berkuasa, negara pun kacau penuh pergolakan dan kerusuhan. Lihat Ja‘farian, Sejarah Islam, 829-830.
[69]Kesalahan
besar bani Umayyah adalah menumpas orang-orang Mahlab dari Yaman ketika masa
Yazid II. Hal ini membuat suku Kalb marah, karena mereka juga berasal dari
Yaman. Apalagi ketika Marwan al-Ja‘di datang dan mengumumkan kebenciannya pada
orang-orang Kalb. Ia lebih condong kepada suku Qais. Tak elak, permusuhan antar
suku Arab pun tersulut dan tak bisa dihindari. Lihat al-‘Isy, Dinasti
Umawiyah, 388.
[70]Inilah salah satu alasan
utama adanya upaya untuk menumbangkan dinasti Umayyah, sebab bagi para
pemberontak, penguasa sudah mengabaikan
agama. Dengan kata lain penguasa tidak lagi memperhatikan keyakinan agama masyarakat
dan keyakinan agama penguasa itu sendiri. Seperti Walid bin Yazid yang termasuk
khalifah terakhir setelah Hisyam. Banyak sejarawan yang membenarkan perilakunya
yang buruk. Lihat Ja‘farian, Sejarah
Islam, 820-821.
[71] Adanya pembagian kelas sosial menjadi 4 tingkatan. Seperti yang telah
penulis jelaskan di sub bab administrasi politik dan kondisi sosial. Menjadi
faktor runtuhnya dinasti ini juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar