|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tentunya
manusia butuh pijakan dalam menghadapi hidupnya di dunia. Sudah pasti bila
mereka ingin mengetahui juga menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang
diharapkan Sang Pencipta. Maka al-Quran hadir memenuhi kebutuhan tersebut. Ia
menyuguhkan pelbagai konsep, menawarkan jalan keluar bagi setiap permasalahan
umat manusia guna mencapai kehidupan ideal. Allah menurunkan al-Quran kepada
kekasihnya Muhammad SAW sebagai bentuk rahmat, kasih sayang kepada makhlukNya.
FirmanNya selalu relevan setiap zaman dan kawasan.
Hanya
saja tidak semua konsep dan jawaban terpapar secara gamblang dan terperinci.
Begitu juga dengan bahasa, bahasa manusia dari apapun jenisnya selalu
berkembang setiap masanya. Apa yang dikatakan orang masa kini, istilah dan
kata-kata tertentu belum tentu digunakan pada masa lalu. Demikian pun dengan
orang zaman terdahulu, semua yang dibicarakan mereka, istilah-istilah tak
semuanya dipahami oleh manusia zaman sekarang. Sedang al-Quran turun pada masa
dahulu, sehingga bahasa dan kata-katanya disesuaikan dengan penduduk Arab masa
lalu, dimana bahasa Arab mencapai puncak kasusastraan kala itu.
Maka,
perlu adanya perantara untuk menguak hikmah dan kandungan dari kitab suci umat
Islam. Dibutuhkan perangkat ilmu dan bahasa yang memadai untuk mengeksplorasi
dan mengejawantahkan fungsi al-Quran sebagai pedoman hidup manusia. Disinilah
ulama tafsir berperan. Banyak cara yang ditempuh para ahli tafsir dalam
menafsirkan Kalam Allah. Ada yang berkutat dengan riwayat dan hadis semata. Ada
yang berusaha menggabungkan antara riwayat-riwayat hadis dan akal. Adapula yang
hanya menggunakan akal fikiran semata secara berlebihan.
al-Zajjaz
dan al-Wahidi misalnya, lebih tertarik untuk menafsirkan kata-kata yang tidak
biasa atau aneh dalam al-Quran. Sedang seorang Zamakhshari lebih focus kepada
retorika dan ketinggian mutu bahasa yang seringkali disebut dengan istilah
balaghah dalam bahasa Arab. Sementara Alusi menguraikan hadis secara panjang
lebar dalam tafsirnya. al-Tha‘labi menitikberatkan tafsirnya pada kisah-kisah
dan hikayat. al-Razi cenderung menggunakan rasio dan ilmu pengetahuan sebagai
perangkat pendukungnya. Berbeda dengan al-Tabari dan Ibn Katsir yang lebih
mengedepankan riwayat-riwayat (naql).[1]
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengambil tafsir yang lebih menitikberatkan
pada riwayat-riwayat beserta hadis tentunya, yakni Tafsir Ibn Katsir sebagai
salah sampel dari bermacam-macam tafsir yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa
perjalanan hidup seorang Ibn Katsir?
2. Sebutkan
karya-karya Ibn Katsir dan jelaskan bagaimana seorang Ibn Katsir dalam dinamika
keilmuan?
3. Metode
apakah yang dipakai Ibn Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Quran al-Azim
dan kecenderungan apa yang bisa dilihat dari kitab tafsirnya tersebut?
4. Sebutkan sisi keistimewaan dan kelemahan dari kitab tafsirnya !
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
riwayat hidup Ibn Katsir
2. Mengetahui
karya-karyanya beserta dinamika keilmuannya
3. Memahami
metode yang ada dalam kitab Tafsir Ibn Katsir
4. Mengetahui
kecenderungan atau aliran kitab tersebut
5. Mengerti
sisi keistimewaan dan kelemahan dalam kitab tafsirnya
Baca artikel lain yang berkaitan;
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
IBN KATHIR
Dialah al-Imam al-Jalil
al-Hafiz ‘Imad al-Din, Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Dau’ bin Katsir
bin Zar‘ al-Qurshy al-Busrawy al-Dimashqy. Lahir sekitar tahun 700 H atau
beberapa tahun setelahnya di desa Mijdal bagian dari kawasan Busra. Ibunya
berasal dari desa Mijdal sedang ayahnya al-Khatib Shihab al-Din Abu Hafs Umar
bin Katsir yang merupakan ulama fikih dan khatib atau da’i berasal dari desa
Busra. Ayahnya meninggal dunia disaat ia berumur 3 tahun. Setelah kematian
ayahnya, ia bersama kakak laki-lakinya pergi ke Damaskus. Nasab Ibn Katsir
merupakan nasab keturunan yang termasuk mulia, sampai-sampai al-Mizzi terkejut
setelah mengetahui nasab ayahnya, berawal dari situ orang-orang mulai
menyebutnya al-Qurshi.[2]
Untuk pertama
kalinya ia belajar kepada kakaknya sendiri ‘Abd al-Wahab. Ibn Katsir junior
menghafal al-Quran mulai sejak dini, ia baru mengkhatamkan hafalannya tahun 711
saat usianya 11 tahun. Ia membaca al-Quran menggunakan perangkat ilmu qira’at,
sehingga al-Dawawy menyebutnya termasuk dalam golongan qurra’. Ibn Katsir
juga mendengarkan hadis dari berbagai imam hafiz dalam disiplin ilmu
hadis dimasanya. Diberitakan beliau mendengarkan Sahih Muslim dari 9
majelis Syeikh Najm al-Din al-‘Asqalani. Ia juga belajar kepada Ibn Shajnah, al-Amadi,
Ibn ‘Asakir. Ditambah beliau sangat mulazamah kepada al-Mizzi, kepadanya
Ibn Katsir membaca Tahdhib al-Kamal. Bahkan Ibn Katsir menjadi bagian
dari keluarga al-Mizzi, menikahi anaknya. Ibn Katsir juga termasuk murid
kesayangan Ibn Taimiyah. Banyak perspektif Ibn Kathir yang senada dengan
perspektif Ibn Taimiyah, dalam masalah talak misalnya. Sampai-sampai beliau
terkena fitnah dan dianiaya karena hal tersebut.[3]
Ibn Katsir pernah
memimpin Mashikhah Ummu Salih pasca al-Dhahabi meninggal, kemudian pasca
meninggalnya Al-Subki ia memimpin Mashikhah al-Hadith al-Ashrafiyah untuk waktu
yang lumayan tidak lama.[4] Di
akhir hidupnya Ibn Kathir mengalami kebutaan. Kemudian meninggal pada hari
kamis, 26 Sha‘ban 774 H. dan dimakamkam di kuburan sufi tempat gurunya Ibn
Taimiyah di Damaskus.[5]
B. Dinamika
Intelektual Ibn Katsir
Banyak ulama yang
memujinya dalam kapasitas beliau di bidang intelektual. al-Dhahabi dalam
kitabnya Tabaqat al-Huffaz memaparkan bahwa dirinya mendengar hadis dari
seorang mufti, ulama fikih sekaligus hadis yang mempunyai banyak keutamaan
yaitu ‘Imad al-Din Ibn Katsir. padahal bila ditilik dari masa hidup, bisa
dipastikan bahwa yang menempati posisi guru disini adalah al-Dhahabi dan Ibn Katsir
adalah muridnya. Ibn Hajar juga menilainya sebagai Imam ahli fatwa, seorang
muhadis berkompeten, ulama fikih, beserta pakar tafsir dalam versi naql.[6]
Ibn Katsir sangat
mumpuni keilmuannya dalam bidang tafsir, fikih, nahwu. Muridnya Ibn Hajjy
mengatakan gurunya adalah sosok yang paling hafal dengan matan-matan hadis,
sangat tahu mengenai para perawi dan kapabelitasnya, mampu menyeleksi antara
yang absah dan cacat dari mereka, beliau sangat cerdas, jarang lupa, banyak
menghadirkan tafsir dan sejarah, ia juga sangat berkompeten dalam bahasa Arab
dan menyusun syair-syair. Ditambah dengan paparan seorang Suyuti yang
mengatakan bahwa belum ada ulama dan penulis yang menulis sistematika kitab
tafsir sebagaimana yang dilakukan Ibn Katsir.[7]
Dengan demikian
secara keseluruhan bisa diketahui bahwa seorang Ibn Katsir adalah pakar dalam
bidang hadis, sejarah, nahwu, sastra Arab, fikih. Sehingga dengan berbagai
perangkat keilmuan tersebut menjadikan dirinya sangat berkapabelitas dan
kredibel untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Tak heran bila Ibn Katsir
menjadi salah satu ahli tafsir yang sangat diperhitungkan dalam keilmuan Islam.
Disamping itu, dirinya bebas dalam dalam berfikir dan bermazhab, meskipun
mayoritas dirinya sepaham dengan mazhab Shafi’i, dirinya tidak terpaku disitu
semata apalagi fanatik dengan mazhab tertentu.[8]
Mengenai
karya-karya Ibn Katsir, banyak sekali karya ilmiah yang beliau hasilkan. Beliau
termasuk ulama yang sangat produktif. Kitab-kitab karangannya banyak membahas
tentang sejarah, hadis, fikih dan tafsir. Dan hampir semua karya ilmiahnya
fenomenal. Dalam sejarah misalnya ada kitab al-Bidayah wa al-Nihayah.[9]
Buku tersebut merupakan referensi dalam khazanah keilmuan Islam. Kemudian kitab
Qasas al-Anbiya’ yang menceritakan tentang kisah-kisah nabi. Keistimewaannya,
Ibn Katsir menjelaskan cerita mana yang termasuk israiliyat, sehingga
pembaca bisa lebih waspada dan memperkaya wawasan tentunya tentang riwayat israiliyat.
Selanjutnya,
terdapat kitab tabaqat al-Shafi‘iyah dan Jami‘ al-Masanid , Sirah
Nabawiyah (versi lengkap) sebuah buku karangan Ibn Katsir yang belum sampai
kepada kita, Sirah (versi ringkasan), Ikhtisar Ulum al-Hadith,
Musnad al-Shaikhani: Abu Bakar wa Umar, al-Takmil fi Ma‘rifat al-Thiqat wa
al-Du‘afa’ wa al-Majahil, Sharh Sahih Bukhari sebuah buku yang belum
diselesaikan secara utuh oleh Ibn Kathir tetapi seringkali disebut dan dikutip
olehnya. Dalam bidang fikih, terdapat al-Risalah fi al-Jihad dan kitab al-Ahkam.[10]
Dalam bidang tafsir terdapat kitab fenomenal Tafsir
al-Quran al-‘Azim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibn Katsir,
yaitu kitab yang akan dikaji dalam makalah ini. Lalu disusul dengan ‘Umdat al-Tafsir
yang tak lain adalah ikhtisar yang dibuat Muhammad Shakir dari Tafsir Ibn Katsir.
Masih banyak lagi karya-karya beliau yang tidak mungkin dipaparkan semuanya
disini.
C. Metode
Kitab Tafsir Ibn Katsir
Dari segi sumber penafsiran, Tafsir
Ibn Katsir merupakan tafsir ma’thur. Tafsir Ibn Katsir
merupakan tafsir yang paling populer dan dianggap paling absah dari sekian
tafsir ma’thur yang ada. Judul kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azim,
namun lebih sering disebut Tafsir Ibn Katsir. Kitab tafsir ini masuk
dalam kategori tafsir ma’thur atau tafsir riwayah menurut istilah
Ali al-Sabuni dan Ahmad Izzan, atau tafsir naqli menurut istilah Ibn
Khaldun. Maksudnya ialah penafsiran ayat al-Quran terhadap maksud ayat al-Quran
yang lain, menafsirkan ayat dengan ayat yang lain. Menafsirkan ayat dengan
hadis nabawi atau dengan pendapat para sahabat dan tabiin. Atau bisa juga
diartikan sebagai tafsir yang berdasarkan hadis yang diterima dari kaum salaf
tentang pengertian ayat yang nasikh dan mansukh, tentang
sebab-sebab turunnya ayat dan maksud ayat itu sendiri.[11]
Begitupula yang dilakukan Ibn Katsir
dalam menafsirkan al-Quran. lebih banyak menitikberatkan pada riwayat salaf,
mencakup hadis nabawi maupun asar perkataan dan perilaku sahabat dan tabiin.
Itulah metode terbaik dalam penafsiran menurut Ibn Katsir yang dalam hal ini
senada dengan pendapat gurunya Ibn Taimiyah. Beliau berkata secara gamblang di
Mukaddimah tafsirnya:
Sekiranya ada orang yang
bertanya tentang cara penafsiran al-Quran yang terbaik maka jawaban yang paling
tepat adalah menafsirkan Al-Quran dengan al-Quran. Jika pada sebagian ayat al-Quran
bersifat global, pada sebagian yang lain akan ditemukan uraian yang relatif
lebih rinci. Bila tidak ada hendaknya
berpegang pada sunah. Karena sunah berfungsi sebagai penjelas bagi al-Quran.
Ketika tidak ada dalam hadis, maka merujuk kepada pendapat sahabat. Mengingat
mereka adalah orang-orang yang banyak mengetahui tentang wahyu dan sedikit
banyak terlibat langsung dengan proses penurunan wahyu. Mereka juga orang yang
memahami hal-hal yang bersifat spesifik. Lagipula mereka memiliki
pemahaman yang sempurna, berilmu sahih,
sekaligus beramal saleh. Apalagi orang yang terkemuka diantara mereka seperti
khulafa’ rashidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan dan Ali bin
Abi Talib) dan para sahabat lainnya seperti Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah bin
Mas‘ud.[12]
Menurutnya, pendapat tabiin
bukan merupakan hujjah dalam masalah furu‘ apalagi dalam tafsir. Akan tetapi
bila mereka sepakat akan suatu hal maka tidak diragukan lagi kesepakatannya
tersebut dapat dijadikan hujjah. Disamping itu, bila mereka berbeda pendapat,
maka pendapat sebagian tidak dapat membatalkan pendapat sebagian yang lain.[13]
Dalam perspektif Ibn Katsir,
menafsirkan al-Quran atas dasar pikiran semata, karena menguasai bahasa Arab misalnya,
hukumnya haram. Mengutip dari riwayat Ibn ‘Abbas.
مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِرَأْيِهِ
أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Barang
siapa yang menafsirkan ayat al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan apa
yang tidak diketahui maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya
di neraka. (HR. Tirmidhi, Nasa’i dan Ibn Jarir).[14]
Pendapatnya tersebut juga didukung dengan perkataan
Ubaidillah bin Umar. Ia berkata: saya telah bertemu ulama Madinah, mereka
benar-benar menganggap dosa besar bagi orang yang berani menafsirkan al--Quran
dengan pendapatnya sendiri.[15]
Mahmud Ayub menilai karena Ibn Kathir berguru kepada
Ibn Taimiyah dan banyak pemikirannya yang senada dengan Ibn Taimiyah maka tak
heran bila tafsirnya cenderung konservatif. Riwayat-riwayat yang dipaparkan
sangat bergantung pada sejumlah sumber lain. Ibn Katsir di matanya merupakan
orang yang terkemuka dan pakar di zamannya. Ibn Katsir sadar dan tahu betul
tentang sejarah Islam. Agak polemikal tapi adil dan informatif.[16]
Mahmud Ayub juga menjelaskan meskipun Ibn Katsir hidup
jauh setelah Razi, Qurtubi dan Zamakhshari. Namun ia lebih cenderung mengutip
Imam Tabari dibanding ketiga mufasir tersebut. Sebab pandangannya lebih
berdasar pada tradisi, yakni hadis dan riwayat. Akan tetapi penulis menemukan
Ibn Katsir masih mengutip Qurtubi dalam tafsirnya. Di bab pengantar surat al-Fatihah,
Ibn Katsir mengutip perkataan Qurtubi tentang kata-kata non Arab dalam al-Quran.
Menurut Qurtubi, para ulama sepakat bahwa di dalam al-Quran tidak ada kata yang
berasal dari bahasa non Arab, kecuali kata yang mengandung nama orang seperti
Ibrahim, Nuh, Luth. Untuk kata selain nama orang, ulama berbeda pendapat. al-Baqilani
dan Tabari berkata, bahwa hal itu merupakan kata yang kebetulan sama dalam
berbagai bahasa.[17]
Dari segi sasaran dan susunan ketertiban ayatnya, Tafsir
Ibn Katsir menggunakan metode tahlili (analitik). Yang
dimaksud dengan tafsir tahlili adalah mengkaji ayat-ayat Al-Quran dari segala
segi dan maknanya. Pengkaji metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
cara ayat per ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Uthmani. Dalam
tafsir tahlili, pengkaji menguraikan kosakata dan lafal-lafal, menjelaskan arti
yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan arti ayatnya, menjelaskan
unsur i‘jaz, balaghah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan
relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.[18]
Realitanya, Ibn Katsir benar-benar mengaplikasikan hal
tersebut, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.
Dalam kitabnya ia menyebutkan ayat al-Quran, kemudian menafsirkannya dengan
struktur bahasa yang mudah dan ringkas. Bila memungkinkan ia akan membandingkan
antara satu ayat dengan ayat lain, hingga mendapatkan makna dan maksud ayat
tersirat. Tafsir Ibn Katsir termasuk karya tafsir yang banyak memuat
ayat-ayat yang sepadan dalam penafsirannya.[19]
Setelah itu, ia memaparkan hadis-hadis yang
berhubungan dengan ayat tersebut. Tak lupa ia menjelaskan hadis mana yang valid
otoritasnya, mana yang tidak. Ditambah dengan pendapat para sahabat dan tabiin
beserta ulama-ulama salaf yang muktabar.[20]Inilah
yang menjadi salah satu keistimewaan Tafsir Ibn Katsir dari kitab tafsir
lainnya, dengan kapabelitasnya sebagai ahli hadis, Ibn Katsir dalam kitabnya
menjelaskan hadis secara detail, apakah hadis tersebut sahih, hasan maupun daif
dan gharib dalam segi lafalnya.[21]
Ibn Katsir juga melakukan tarjih apabila terdapat
perbedaan pendapat antar ulama. Menolak riwayat-riwayat yang lemah, juga
menilai para perawi dengan perangkat ilmu jarh wa ta‘dil. Disamping itu,
beliau juga memaparkan riwayat-riwayat israiliyat. Terkadang ia memberi
peringatan atas suatu riwayat, bahkan ia juga melarang dan menyeru pembaca
untuk waspada dengan suatu riwayat israiliyat. Terkadang ia juga
menjelaskan riwayat israiliyat.[22]
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 67.
¨bÎ)
©!$#
ôMä.âßDù't
br& (#qçtr2õs? Zots)t/
( …
Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyembelih sapi.[23]
Ibn Katsir
mengatakan semua cerita yang berkutat dalam ayat ini sesungguhnya berasal dari
kitab bani Israil, yang mana cerita ini boleh ditransmisikan tetapi tidak boleh
dipercaya dan tidak ditolak.
Mengenai
Israiliyat, dalam pandangan Ibn Katsir penafsiran hal yang samar-samar dalam al-Quran
sesungguhnya bersandar pada dongeng-dongeng Yahudi. Cerita-cerita tersebut
hanya boleh dianggap sebagai data, bukan menjadi bukti untuk memperkuat
penafsiran. Cerita-cerita Yahudi dibagi menjadi 3. Pertama, telah kita ketahui
kebenarannya, mirip seperti apa yang sudah ada pada kita dan dapat dibuktikan.
Kedua, yang telah kita ketahui kebohongannya, bertentangan dengan apa yang ada
pada kita. Ketiga, tidak masuk dalam kategori nomor 1 dan 2, dan sikap kita
adalah membiarkannya saja. Boleh diceritakan boleh tidak.[24]
Selanjutnya,
Ibn Kathir dalam tafsirnya juga memasukkan wacana fikih. Menyebutkan beberapa
pendapat fikih dari beberapa fukaha mengenai suatu ayat. Ia juga menampilkan
ilmu munasabat, relevansi antar ayat dan surat sebelumnya juga dengan
sesudahnya. Ia juga memaparkan asbab nuzul bila ayat tersebut mengandung sebab
kronologi. Yang terakhir, Ibn Kathir juga menjelaskan lafal-lafal aneh dalam
bahasa Arab. Terkadang dalam menjelaskannya, Ibn Kathir menggunakan syair.[25] Melihat
hal-hal di atas, mencakup israiliyat, asbab al-nuzul, penyeleksian dan
pembahasan hadis-hadis yang maqbul, maka dari itu bila dilihat dari
sisi keluasan penjelasannya, tafsir al-Quran al-Azim termasuk tafsir itnabi
(bersifat terperinci/ spesifik dalam menjelaskan sesuatu). Ibn Kathir dalam
menafsirkan surat al-Fatihah, ia membuat bab tersendiri yang khusus membahas
wacana “pelafalan al-isti’adhah”.[26]
Dari
segi penjelasannya, Tafsir Ibn Katsir menggunakan metode muqarin. Dalam
pembahasan lafal isti’adhah misalnya, ia menyuguhkan serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama di dalamnya. Termaktub disana bahwa Abu Hatim
al-Sijistani mengatakan membaca ta’awudh sesudah membaca al-Quran,
bahkan setelah ritual ibadah dilakukan. Sedangkan Malik sebagaimana yang dipaparkan
al-Qurtubi mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan setelah membaca
al-Fatihah, namun pendapat ini ditentang oleh Ibn al-Arabi. Sementara, jumhur
ulama mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan sebelum tilawah atau sebelum
membaca al-Quran atau al-Fatihah untuk mencegah godaan syaitan.[27]
Kemudian,
setelah membaca paparan diatas jika dilihat dari kecenderungan aliran dalam
kitab ini, maka Tafsir Ibn Katsir mempunyai kecenderungan fiqhi atau ahkam
dan adabi, karena sesekali ia menggunakan syair dalam
menafsirkan makna-makna kata. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Ibn Katsir
termasuk ulama yang mumpuni juga dalam syair-syair Arab.
Contoh Tafsir al-Quran al-Azim
Surat al-Naba’ ayat 31-36:
¨bÎ) tûüÉ)FßJù=Ï9 #·$xÿtB
ÇÌÊÈ t,ͬ!#ytn
$Y6»uZôãr&ur
ÇÌËÈ |=Ïã#uqx.ur $\/#tø?r&
ÇÌÌÈ $Uù(x.ur $]%$ydÏ
ÇÌÍÈ w
tbqãèyJó¡o $pkÏù
#Yqøós9 wur
$\/º¤Ï.
ÇÌÎÈ [ä!#ty_
`ÏiB
y7Îi/¢ ¹ä!$sÜtã
$\/$|¡Ïm
ÇÌÏÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu)
kebun-kebun dan buah anggur, Dan gadis-gadis remaja yang sebaya. Dan gelas-gelas
yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar Perkataan yang
sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan
pemberian yang cukup banyak.”[28]
Allah SWT. menggambarkan
tentang orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan beserta kemulian
dan kenikmatan abadi yang telah disediakan Allah Ta’ala bagi mereka.
Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa mendapatkan kemenangan. “Ibn
Abbas mengatakan mafazan artinya
berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah SWT. berfirman, “Kebun-kebun dan buah anggur
dan gadis-gadis remaja yang sebaya”, yaitu bidadari yang indah buah
dadanya. Mereka adalah gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasangannya.[29]
Allah SWT. berfirman
“Dan gelas-gelas yang penuh” berisi terus menerus, tak pernah
kosong. “Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan
tidak pula dusta” sebagaimana
firman-Nya “Didalam
surga itu mereka saling memperebutkan piala yang isinya tidak (kata-kata)
yang tidak berfaedah dan tidak pula perbuatan dosa. ”( al-Tur
:23) yaitu, di dalam surga itu tidak terdapat kata-kata yang tidak berfaedah
dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan surga merupakan tempat tinggal yang
dipenuhi dengan kesejahteran dan semua yang terdapat didalamnya selamat dari
berbagai macam kekurangan.[30]
Allah SWT. berfirman, “Sebagai
balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup”. Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan
balasan Allah terhadap mereka, dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai
karunia, nikmat, kebaikan dan rahmat-Nya. “Dan pemberian yang cukup”. Hisaban dalam ayat
ini artinya ‘cukup’. Arti ini terdapat dalam ungkapan Hasbiyallah,
artinya “cukup Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain”.[31]
D.
Keistimewaan
dan Kelemahan Tafsir Ibn Kathir
Diantara
keistimewaan Tafsir Ibn Katsir adalah pertama, adanya penilaian tentang hadis
yang tercantum didalamnya. Berkat kapabelitas Ibn Katsir dalam disiplin ilmu
jarh wa ta’dil ia mampu menimbang mana hadis yang sahih, yang maqbul dan mana
yang tidak maupun maudu’. Kedua, adanya perhatian lebih Ibn Kathir terhadap
riwayat-riwayat israiliyat. Peringatan yang disampaikannya dalam kitab
tafsirnya merupakan sumbangsih yang besar bagi wawasan umat Islam yang masih
awam, sehingga umat Islam lebih hati-hati untuk tidak terjebak dalam kesesatan.
Sedangkan kelemahannya sebagaimana yang dialami mayoritas kitab-kitab tafsir ma’thur
adalah: Pertama, bercampurnya riwayat sahih dengan riwayat yang tidak sahih.
Kedua, mudah disusupi zindiq yang memusuhi al-Quran. Ketiga, seringkali
mencatat nama-nama mufasir terkemuka tanpa ada bukti yang benar.[32]
Ada juga
sebagian orang yang menilai tidak adanya pembahasan i’rab kalimat yang
lebih mendalam merupakan kekurangan dari Tafsir Ibn Katsir ini, hanya saja
hemat penulis hal tersebut hanyalah dikarenakan Tafsir Ibn Katsir ini memang
tidak menggunakan corak lughawi, namun lebih kepada fiqhi (ahkam)
sehingga Ibn Katsir tidak terlalu fokus mengurusi pembahasan nahwu sarf dalam
kitabnya, berbeda dengan Zamakhshari.
Baca artikel lain yang berkaitan;
- KITAB TAFSIR AL-QURTUBI
- NASIKH DAN MANSUKH AL-QUR'AN
- STUDI KITAB TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB
- KAJIAN TAFSIR IBN KATSIR
- QASHAS AL-QUR’AN
BAB III
PENUTUP
Tafsir ini
memiliki banyak keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibn Katsir dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran, terlebih kaitannya dengan hadis atau khabar
yang kurang thiqah. Beliau mencoba
sejauh mungkin untuk menghindarinya. Begitupun dengan Israilliyat.
Kitabnya mempunyai keistimewaan dengan paparan nilai-nilai hadisnya berikut
peringatannya terhadap riwayat israiliyat.
Secara
garis besar, metode yang dipakai Ibn Kathir adalah tafsir ma’thur dari
segi sumber penafsiran, tahlili dari segi sasaran dan tertib ayat, muqarin
dari segi penjelasan, itnabi dari segi keluasan penjelasannya. Aliran
penafsirannya cenderung adabi dan fiqhi/ahkam.
Tidak ada gading
yang tidak retak, begitupun dalam tafsir ini. Sebagai buah karya dari manusia
biasa, tentu saja dalam tafsir ini ada kekurangannya yaitu kurangnya pembahasan
mengenai i’rab dan tatabahasa
dalam penafsiran ayat, dan disamping ada beberapa kekeliruan diatas. Tetapi ini
tidak mengurangi kualitas tafsir ini.
Sebagaimana
yang diketahui bahwa satu kitab tafsir tidak pasti sama metodenya dengan kitab
tafsir lain. Namun, Muhammad Abduh mengatakan nilai sebuah tafsir tidak
ditentukan oleh cara, metode yang dipakai sekalipun tiap-tiap metode mempunyai
kekuatannya masing-masing. Karena yang menentukan nilai suatu tafsir adalah
pemahaman yang benar dari seorang mufasir.
DAFTAR PUSTAKA
Arid (al),
Ali Hasan , Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta
:Rajawali Press, 1994.
Ayub,
Mahmud, al-Quran dan Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma
Putra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Dhahabi
(al), Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Izzan,
Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.
Katsir,
Ibn, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 2010.
Katsir,
Ibn, Tafsir al-Quran al-Azim, tahq. Mustafa al-Sayyid Muhammad, Giza:
Maktabah Aulad al-Syeikh li al-Turath, 2000.
Najar
(al), ‘Affaf ‘Ali, al-Wajiz fi Manahij al-Mufassirin, Kairo: al-Azhar
University Press, 2013.
Shahatah,
‘Abdullah Mahmud, al-Quran
wa al-Tafsir, Kairo: Maktabah Usrah, t.th.
Shakir,
Muhammad, ‘Umdat al-Tafsir ‘an Ibn Katsir, t.tp: Turath al-Islam, t.th.
[1] Ahmad al-Shirbasi, Sejarah
Tafsir Quran, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),
117.
[2] ‘Affaf ‘Ali al-Najar, al-Wajiz
fi Manahij al-Mufassirin, (Kairo: al-Azhar University Press, 2013), 83.
Bandingkan dengan Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, tahq. Mustafa
al-Sayyid Muhammad, (Giza: Maktabah Aulad al-Syeikh li al-Turath, 2000), 9.
Biografi yang terdapat dalam kitab ini dinukil dari Mukaddimah Muhammad Shakir dalam
‘Umdat al-Tafsir.
[3] Ibid., 10. Lihat juga Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 173.
[4] Ibid., 173.
[5] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir,
83. Lihat juga al-Dhahabi, al-Tafsir, 173.
[6] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, 11.
[7]al -Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 83. Lihat juga Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, 12.
[8] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, 13.
[9] Muhammad Shakir, ‘Umdat al-Tafsir
‘an Ibn Katsir, (t.tp: Turath al-Islam, t.th), 35.
[10] Ibid., 36.
[11] Shirbasi, Sejarah Tafsir, 105. Lihat juga Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta :Rajawali Press, 1994), 42. Bandingkan dengan Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 57.
[12] Ibid., 67-68.
[13] Ibn Katsir, Terjemah Singkat
Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: Bina
Ilmu, 2010), xxi.
[14] Ibid., xxi.
[15] Ibid., xxii.
[16] Mahmud Ayub, al-Quran dan
Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma Putra, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), 9.
[17] Ibn Katsir, Terjemah Singkat, 2.
[18] Al-‘Arid, Sejarah dan
Metodologi, 41.
[19] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 84.
[20] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.
[21] ‘Abdullah Mahmud Shahatah, al-Quran
wa al-Tafsir, (Kairo: Maktabah Usrah, t.th), 203.
[22] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.
[23] Kemenag RI , Terjemah al-Quran al-Jum’anatul Ali, (Bandung: J.Art, 2004),10.
[24] al-Shirbasi, Sejarah Tafsir,
54.
[25] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir,
86.
[26] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, Vol I, 26.
[27]Ibid., Vol I, 26.
[28] Kemenag RI , Terjemah
al-Quran, 583.
[29] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran,
Vol VIII, 312.
[30] Ibid., 312.
[31] Ibid., 312.
[32] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu, 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar