HOME

25 Maret, 2022

Imam Fakhruddin Al-Razi

 Biografi Imam Fakhruddin Al-Razi

1.    Biografinya

Nama lengkap beliau Abu Abdillah, Muhammad bin Umar  bin Alhusain bin Alhasan Ali, al-Tamimi, al-Bakri al-Thabaristani al-Razi. beliau di juluki sebagai Fakhruddin ( kebanggaan islam),dan dikenal dengan nama Ibnu Al khatib, yang ber madhabkan Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 544 H[1].

Imam Fakhruddin al- Razi tidak ada yang menyamai keilmuan pada masanya, ia seorangmutakallim pada zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Imam Fakhruddin dalam  memberikan hikmah pelajaran beliau menggunakan bahasa arab dan bahasa asing.

Imam Fakhruddin telah menulis beberapa komentar terhadap buku-buku kedokteran. Pada usia 35 tahun, ia telah menerangkan bagian-bagian yang sulit dari al-Qanun fi al-Tibb kepada seorang dokter terkemuka di Sarkhes, yaitu Abd al-Rahman bin Abd al-Karim.

Imam Fakhruddin al-Razi wafat pada tahun 606 H. Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok al-karamiah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhruddin al-Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni al-Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabb Nya[2].

 

2.    Karya-Karyanya

Imam Fakhruddin Al-Razi menguasai berbagai bidang keilmuan seperti al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin al-Razi telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri  dan al-Mustasfa karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.

       Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Kathir dalam bidayah wan nihayahnya menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku. Dan kini karangan-karangan beliau tersebar diseluruh Negara, diantaranya adalah:

·         Al Tafsir Al Kabir atau yang kita kenal dengan Mafatihul Gaib

·         Al arba’in fi usuluddinAhkamul qiyasi As syar’I

·         Al mahsul fi ilmi usul fiqhMukhtashar akhlak

·         Al mantiqul kabir, Tafsir al-Fatihah

·         AL-Mulakhas fil Falsafah, Lubabul Isyaraat

·         Tafsir Mafatihul UlumNihayatul Uqul fi Dirayatil Usul

·         Ta’sisut TaqdisTahsilul Haq, Al-Khamishin fi Usuliddin

·         Ishmatul Anbiya’, Hudutsul Alam, Sarh Asmaullah Al-Husna

·         AL-Muhshil fi Ilmil Kalam, al-Zubdah fi Ilmil Kalam

·         Tafsir Surah al-Baqarah ala Wajhi Aqli la Naqli

·         Sarh Nahjul Balaghah, al-Muharrar fi Haqaiqin Nah.[3]

       Dan masih banyak lagi karangan-karangan  beliau yang kami tidak bisa sebutkan  disini. Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari kehidupan Intelektual Imam Fakhruddin al-Razi yang mampu menulis banyak karya. 6 karya dalam ilmu Tafsir, 20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya dalam bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu Filsafat dan Kalam, 5 karya dalam Logika, 2 dalam Matematika, 6 karya dalam ilmu Kedokteran, (48 karya dalam MIPA) 9 karya dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam bidang sastra, dan masih puluhan lagi karyanya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya.


3.    Latar Belakang Kehidupannya.

a.      Kondisi Sosial Budaya Masyaraka.

Fakhruddin al-Razi hidup di tengah kondisi masyarakat yang komplek. Kompletifitas masyarakat tersebut terlihat dari keragaman agama dan aliran agama yang dianut masyarakat. Sebagai seorang ilmuan, kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan dialektika dengan kondisi yang mengitarinya. Misalnya, terjadi dialog pertama dengan kaum Mu’tazilah di Khawarizmi. Di samping itu, pernah pula terjadi dialog dengan para ahli agama lain, terutama dengan seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen pada waktu itu. Rekaman dialog itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Munazarat bayn al-Nasara.

Benturan pemikiran tidak hanya terjadi dengan kaum mu’tazilah dan penganut agama non-Islam. Kelompok pengagum pemikiran filsafat Ibnu Sina dikritik habis oleh Fakhruddin al-Razi. Sementara itu, ketika di Transaksonia, ia harus berhadapan dengan kelompok yang menamakan dirinya sebagai aliran Karamiyah, yang menyebabkan ia harus eksodus ke Ghazna-Afganistan[4].

  b. Kondisi Sosial Politik

Secara sosio-politik, sebagai akibat jatuhnya dinasti Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar, terjadi kemunduran semangat intelektualitas Islam, baik dalam aspek politik, agama maupun peradaban secara umum, terutama di daerah yang dikuasai kaum Sunni. Kajian pemikiran filsafat di dunia Islam mengalami keterpurukan sebagai akibat penjajahan.

    Keadaan semacam inilah yang mendorong Fakhruddin al-Razi untuk mencoba menghubungkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam. Karena perjuangan itu, Fakhruddin al-Razi dapat dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologi melalui pendekatan filsafat.

    Keadaan semacam inilah yang mendorong Fakhruddin al-Razi untuk mencoba menghubungkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam. Karena perjuangan itu, Fakhruddin al-Razi dapat dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologi melalui pendekatan filsafat.

       Peranan Fakhruddin al-Razi dalam pengembangan keilmuan Islam tidak dapat dilepaskan dari perhatian yang diberikan penguasa paada saat itu, ketika Fakhruddin al-Razi meninggalkan Khawarizmi menuju Transoksania (Asia tengah), ia disambut hangat penguasa dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Hanya saja, keadaan semacam ini tidak berjalan lama, karena ia mendapat serangan tajam dari golongan Karamiyah.


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] Muhammad husain al Dhahabi, at tafsir wa al mufassirun, darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1 hal. 248

[2] ibid 249

[3] Manna’ Khalil al Qattan, Mabahith fi ulumil Qur’an, perj, Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, hlm, 529

[4] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut : Darul al-Fikr), 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...