1.
Karakteristik tafsir Mafatih al-Ghaib.
Tafsir Mafaihul Ghaib
atau yang dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bil
ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Madhhab
Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab al-Zujaj fi
Ma’anil Qur’an, Al-Farra’ wal Barrad dan Gharibul Quran, karya Ibnu
Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang jadi rujukan
adalah riwayat dari Ibn Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said bin Jubair,
riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir al-Tha’labi, juga berbagai riwayat
dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in. Sedangkan tafsir bil
ra’yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim al-Asfahani,
Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini, al-Zamakhsyari
dan tafsir Abul Futuh al-Razi.
Ada
riwayat yang menjelaskan bahwa Al-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara
utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Al-Razi belum menyelesaikan seluruh
tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir al-Kabir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyatul
a’yan nya juga berkata demikian. Jadi siapa yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir
ini?dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya?[1].
Ibnu hajar al-‘Asqalani menyatakan pada kitabnya ,” Yang
menyempurnakan tafsir Al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi al Hazm Makki
Najamuddin al-Makhzumi al-Qammuli, wafat pada tahun 727 H, beliau orang mesir[2].
Dan penulis kasyfu Ad dzunuun juga menuturkan,” Yang
merampungkan tafsir al-Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan
beliau wafat tahun 727 H. Qadi al-Qudat Syihabuddin bin Khalil Al Khuway
Ad Damasyqy, juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat
tahun 639 H[3].
Kemudian,
sampai dimana al-Razi
terhenti dalam menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan
pada kitabnya tafsir al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis
tafsirnya sampai surah al-Anbiya,
setelah itu datang Syihabuddin Al Khaubi melanjutkan tafsir ini, namun
beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin al-Qamuli menyempurnakan
tafsir Al-Razi[4].
Al-Dhahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan
tafsir al-Razi sampai akhir adalah Al Khuway. Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi,
dengan merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan
klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era belakangan yang meneliti tafsir
ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Al-Razi secara utuh.
Adapun maksud tafsir ini dan segala
uraiannya, antara lain.
Pertama; menjaga dan membersihkan Al-Quran
beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu
diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap Al-Quran.
Kedua; pada sisi lain, al-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah
swt dengan dua hal. Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan
kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk al-Quran. Apabila merenungi hal yang pertama
secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu al-Razi merelevansikan keyakinan ilmiyah
dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
Ketiga; al-Razi ingin menegaskan
sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir,
serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al-Quran, selama berdasarkan kepada
kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2.
Volume Kitab.
Imam Fahruddin al-Razi
melalui kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib atau At-Tafsir Kabir. Dalam kitab yang
cukup kontroversial di kalangan mufassir konservatif tersebut Imam Fahruddin al-Razi
memaparkan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang sangat menonjol dalam
ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli bahkan ia anggap memiliki keterkaitan dengan
ayat-ayat Al-Quran[5].
Sementara bagi ulama lain yang menerima
karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau At-Tafsir Al-Kabir yang terdiri dari 8 jilid
itu justru dilihat memiliki berbagai keistimewaan. Di antaranya dalam
penjelasan munasabah atau korelasi (keterkaitan) antar
ayat atau antar surah. Dalam menguraikan penafsiran suatu ayat, ia
selalu menguraikan pembahasan yang memadai tentang munasabah antar ayat
tersebut dengan ayat-ayat lain, bahkan antara surah dengan surah yang lain[6].
3.
Sistematika Penulisan Tafsir.
Adapun sistematika
penulisan Tafsir al-Razi, yaitu menyebut nama surat, tempat turunnya, bilangan
ayatnya, perkataan-perkataan yang terdapat didalamnya, kemudian menyebut satu
atau beberapa ayat, lalu mengulas munasabah antara satu ayat dengan ayat
sesudahnya, sehingga pembaca dapat terfokus pada satu topic tertentu pada
sekumpulan ayat. Namun al-Razi
tidak hanya munasabah antara ayat saja, ia juga menyebut munasabah antara surat.
Setelah itu al-Razi
mulai menjelaskan maslah dan jumlah masalah tersebut, misalnya ia mengatakan
bahwa dalam sebuah ayat al-Qur’an terdapat beberapa yang jumlahnya mencapai
sepuluh atau lebih. Lalu
menjelaskan masalah tersebut dari sisi nahwunya, ushul, sabab al-nuzul, dan
perbedaan qiraat dan lain sebagainya.
Sebelum ia menjelaska
suatu ayat, al-Razi terlebih dahulu mengungkapkan penafsiran yang bersumber
dari Nabi, Sahabat, tabi’in ataupun memaparkan masalah antara nasikh dan
mansukh, bahkan jarh wat’ta’dil barulah ia menafsirkan ayat disertai
argumentasi ilmiyahnya dibidang ilmu pengtahuan, filsafat, ilmu alam maupun
yang lainnya.
Metode Penafsiran
a . Sumber Penafsiran.
Kitab tafsir Mafatihul
Ghoib tergolong tafsir bi al-ra’yi atau bil ijtihad, al-dirayah
atau bi al-ma’qul, karena penafsirannya didasarkana atas sumber ijtihad
dan pemikiran terhadap tuntutan kaidah bahasa arab dan kesusastraan, serta
teori ilmu pengetahuan. Karena didalam karya ini Fakhruddin al-Razi banyak
mengemukakan ijtihadnya mengenai arti yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an
disertai dengan penukilan dari pendapat-pendapat ulama’ dan fuqaha’.
Dalam menafsirkan ayat demi ayat Fakhruddin al-Razi memberika porsi yang
terbatas untuk hadis, bahkan ketika ia memaparkan pendapat para fuqaha’
terkait perdebatan seputar fiqih beliau memaparkannya dan mendebatnya tanpa
menjadikan hadis sebagai dasar pijakan.
Ini adalah salah satu kitab tafsir yang komperhensif, karena menjelaskan
seluruh ayat al-Qur’an, sang pengarang berusaha menangkap substansi ruh yang
terkandung dalan setiap ayat al-Qur’an[7].
a.
Cara Penjelasan.
Adapun cara penjelasan kitab ini bisa di kategorikan
sebagai kitab tafsir muqarin. Karena Fakhruddin al-Razi dalam
penafsirannya sering mengkomparasikan pendapatnya atau pendapat seorang ulama
lainnya. Nama beberapa ulama’ selain sahabat dan tabiin dalam berbagai disiplin
ilmu yang sering kali disebutkan pendapatnya dan dikomparasikan antara lain
adalah: al-Syafi’i, Abu hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal, al-Ghazali, kelompok
Mu’tazilah dan Ash’ariyah, Hasan al-Basyri, al-Zamakhsari, al-Farrah, ibn Kathir
dan masih banyak lagi.
c Keluasan
Penjelasan.
Di tinjau dari segi keluasan penjelasan, kitab tafsir Mafatihul
Ghaib bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir yang sangat luas penjelasannya
dan mendetail (rinci) atau tafsili, bahkan mungkin bisa dikatan terlalu luas
untuk ukuran kitab tafsir. Karena
dalam kitab tersebut terdapat berbagai pembahasan, mulai dari kebahasaan
sastra, fiqih, ilmu kalam, filsafat, ilmu eksakta, fisika, falak dan lain
sebagainya.
Dalam
kitab tersebut terdapat penafsiran yang begitu luas, satu ayat
dengan 3-7 masail dan satu surat dijelaskan dengan 8-10 fasal, tentulah ini
cukup menggambarkan keluasan pembahaan dalam penafsiran kitab Mafatihul ghaib.
d. Sasaran Dan Tertib Ayat Yang Ditafsirkan.
tafsir Mafatihul ghaib disusun oleh Fakhruddin al-Razi secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat. Semuanya sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, dimulai dari penafsiran terhadap surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai. Karena disusun secara berurutan ayat demi ayat maka kitab tersebut dikategorikan tahlili. Dan karena disusun berurutan surat demi surat maka kitab tersebut bisa dikategorikan Mushafi[8].
Corak Tafsir
a Perhatiannya dengan
menjelaskan munasabah antar surah.
1)
Perhatian Al-Razi pada ilmu riyadhiyah, dan
fisafat.
Seyelah penulis amatia
bahwa salah satu corak penafsiran yang di gunakan oleh al-Razi dalam
menafsirkan kitab tafsir ini adalah dengan menggunakan corak sufiyyah.
Al-Razi
dalam tafsirnya sangat memperhatikan terhadap ilmu riyadhiyah (
ilmu pasti), filsafat dan lain sebagainya. Beliau juga memaparkan
argumen-argumen filsafat kemudian membantahnya dengan argumen yang lebih kuat.
Walaupun
beliau membantah dengan menggunakan dalil akal, namun tetap sejalan dengan keyakinan ahlusunnah. Penulis kasyfu
al dhunun mengatakan,”
Didalam tafsir Al-Razi terdapat begitu banyak perkataan-perkataan mutakallimin dan filosof. Ia keluar dari permasalahan kepermasalahan
yang lain, sehinggga membuat pembaca mengagumi tafsir beliau”
2) Sikap beliau terhadap Muktazilah.
Al-Razi, beliau sangat serius dalam menghadapi
muktazilah, dalam tafsirnya, terlebih dahulu beliau memaparakan
pendapat-pendapat muktazilah dan kemudian beliau membantah dengan argumen yang
kuat. Ibnu Hajar pernah mengatakan,” Bahwa Al-Razi
dicela karena banyak meriwayatkan syubhat secara tunai dan mengatasinya secara
kredit”. Namun hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau sebagai seorang ulama
yang memperjuangkan agama islam.
3) Pandangannya terhadap Ilmu Fiqih, Usul, Nahwu dan
Balaghah.
Fakhru Al-Razi hampir-hampir tidak melewatkan ayat-ayat
hukum kecuali beliau sebutkan semua mazhab-mazhab fiqih[9].
Begitu juga ketika beliau memaparkan masalah-masalah fiqih, nahwu dan balaghah,
namun beliau tidak berbicara panjang lebar pada masalah tersebut lebih dari
pembahasan beliau yang berkaitan dengan alam ini, dan riyadhiah[10].
Dengan keluasan dan pemahaman beliau terhadap ilmu fiqih, sampai-sampai beliau pernah mengutarakan,”Ketahuilah suatu waktu, terlintas pada lisanku, bahwa surat yang mulia ini yaitu Al fatihah bisa ditarik hikmah-hikmah dan permasalahan sebanyak sepuluh ribu[11]
Timbangan Terhadap Kitab
a. Kelebihan
Tafsir.
dari sekian banyak ulama yang meneliti tentang tafsirnya
al-Razi, maka di temukanlah beberapa kelebihan yang terdapat dalam tafsirnya
antara lain.
a) Dia sangat mengutamakan munasabah (korelasi)
surat dan ayat dengan keilmuan yang berkembang. Bahkan tak jarang beliau
menyebutkan lebih dari satu munasabah untuk satu ayat tertentu atau surat
tertentu.
b) bisa menghubungkan tafsir itu dengan ilmu riadhiyah
(matematika) dan falsafah, serta ilmu lainnya yang di anggap baru di kalangan
agama pada masanya.
c) Beliau bisa menjelaskan tentang akidah yang
berbeda dan bisa mencocokkan di mana perbedaan itu.
d) Beliau mengemukakan tentang balaghoh Al-Quran
dan menjelaskan beberapa kaidah usul.
b.
Keterbatasan Tafsir.
Ada beberapa ulama yang telah mengkritik kitab tafsir
mafatihul ghoib karya fahrudin ar rozi di antaranya adalah:
1) Fahrudin ar rozi terlalu banyak mengumpulkan masalah
dan pembahasan dalam tafsirnya. Sampai pembahasan yang tidak bersangkutpaut
dengan ayat atau yang ditafsirkan pun ia sebutkan. Bahkan lebih tegas lagi,
beberapa ulama mengatakan bahwa di dalam nya terdapat segala sesuatu kecuali
tafsir.
2) Dalam tafsir tersebut, ia terlalu banyak
mencantumkan hal-hal yang tidak berhubungan tafsir, secara berlebihan.
3) At-Tufi mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan dalam kitab tafsir mafatihul ghaib.
Baca artikel lain yang berkaitan;
- Pengertian Qashah Al-Qur'an
- Macam-Macam Qashah Al-Qur'an
- Faedah Qashah Al-Qur'an
- Hikmah Pengulangan Qashas Dalam Al-Qur'an
- Perbedaan Kisah Dalam Al Qur'an Dengan Yang Lainnya
- Realitas Kisah Dalam Al-Qur'an
- Biografi Ibn Katsir
- Kitab Tafsir Ibn Katsir
- Imam Fakhruddin Al-Razi
- Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib
DAFTAR PUSTAKA
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib,
(Beirut : Darul al-Fikr), 1994
Manna’
Khalil al Qattan, Mabahith fi ulumil Qur’an, perj, Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa,
Jakarta
Muhammad husai az zahabi, al Tafsir wa al Mufassirun, darul hadits kairo, 2005.
Mahmud,
Mani’ Abdul Hakim, Metodologi Tafsir (kajian komprehensif
metode para tafsir), (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Yunus Hasan, Dirasat wa Mabahith fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin (Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir),terj. Qadirun Nur, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2007.
Zamakhsyari (Al), al-Kasysyaf, ( Beirut : Darul Kutub al-‘Alamiyah) 2006)
[1] Muhammad Husain al dhahabi, , al Tafsir wa al Mufassirun,
darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal 249
[2] Al
durarul kaminah.
Jilid 2, hal 304
[3] al Tafsir wa al Mufassirun,
darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal 293
[4] Manna’ Khalil al Qattan, Mabahith fi ulumil Qur’an,
perj, Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, hlm, 507
[5] Mabahith fi
ulumil Qur’an, perj, Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa,
Jakarta, hlm, 506
[6] Ibit, hlm 506 – 507
[7] Mahmud, Mani’ Abdul Haklim, Metodologi Tafsir (kajian komprehensif metode para tafsir), (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2006
[8] .ibid
[9] Muhammad Husain al Dhahabi, , al Tafsir wa al Mufassirun,
darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal 253
[10] Ibid
[11] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar