A. Kondisi dan
Situasi Politik Kerajaan-kerajaan di Indonesia
Pada abad pertama atau kedua
Masehi, pedagang India melalui jalur pelayaran Indonesia mengenalkan agama
Hindu. Akibat adanya kontak perdagangan ini, agama Hindu masuk dalam kultur
masyarakat Indonesia. Kemudian mereka berkeinginan untuk menetap dan melakukan
perkawinan dengan penduduk pribumi. Para Brahmana India sengaja datang ke
Indonesia untuk memberikan legitimasi politik kepada para raja. Berbeda dengan
agama Hindu, kedatangan agama Budha pada abad keenam Masehi melakukan kunjungan
resmi ke istana raja untuk mengenalkan ajaran agama Budha. Setelah mendapat
kepercayaan dari krataon baru kemudian menyebar luaskan ke daerah-daerah lain.[1]
Selanjutnya kedua agama ini saling
mempengaruhi para raja sehingga pada tahun 600-an muncul kerajaan Hindu pertama
yakni Sriwijaya di Palembang. Kemudian kerajaan ini menjadi pusat pendidikan
agama Budha Mahayana. Kerajaan yang kedua yakni Sailendra di Jawa Tengah
berdiri pada tahun 732 Masehi dan menjadi pusat pengembangan Bahasa Sansekerta.[2]
Pada abad ke-1 H/ abad ke-7 M, para
pedagang muslim dan mubaligh membentuk komunitas Islam dan inilah yang menjadi
cikal bakal Islam di Indonesia. Usaha yang telah dirintis tersebut hilang dalam
hegemoni maritime Sriwijaya di Palembang, kerajaan Singasari dan Majapahit di
Jawa Timur.[3]
Pada abad ke-7- ke-10 M ketika
Islam datang ke Indonesia, kerajaan Sriwijaya telah melakukan perluasan daerah
kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai ke Kedah. Hal ini dikarenakan
Selat Malaka merupakan kunci pedagangan Internasional. Awalnya pedagang muslim
tidak ikut andil dalam masalah politik karena mereka hanya fokus dalam hal
berdagang. Keterlibatan saudagar Muslim terlihat pada abad ke-9 M yakni pada
pemberontakan petani China terhadap penguasanya (Kaisar Hi-Tsung 878-889 M).
Kaum Muslim ada yang terbunuh dalam pemberontakan tersebut dan sebagian yang
lain lari ke Kedah yang sudah dibawah kekuasaan Sriwijaya. Pada saat itu
kerajaan Sriwijaya melindungi orang-orang yang ada di daerah kekuasaannya
sehingga kaum muslim membuat perkampungan muslim di Palembang.[4]
Kerajaan Sriwijaya mengalami
kemajuan dalam bidang politik dan ekonomi hingga abad ke-12 M tetapi pada akhir
abad ini justru mengalami kemunduran. Di saat yang sama kerajaan Singasari
sedang bangkit di Jawa sehingga mempercepat kemunduran Sriwijaya. Kerajaan
Singasari melakukan ekspedisi hingga ke Pamalayu pada tahun 1275 M dan
mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera. Selain Singaraja, kelemahan Sriwijaya
juga dimanfaatkan oleh saudagar muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan
perdagangan. Saudagar tersebut mendukung daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya
dan menyatakan sebagai kerajaan bercorak Islam yakni Samudera pasai. Daerah
Samudera Pasai telah dijadikan persinggahan saudagar asing sejak abad ke-7 M
sehingga Islam telah dikenal sejak abad itu. Kekacauan terjadi di dalam tubuh
Sriwijaya sendiri akibat perebutan kekuasaan sehingga tidak bisa mengontrol
daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya. Hal ini menyebabkan kerajaan
Samudera Pasai dan Malaka bisa berkembang pesat dan mencapai kemajuan hingga
abad ke-16 M.[5]
B. Munculnya
Pemukiman Muslim di Kota Pesisir
Pada abad ke-13 M, berdiri kerajaan
Islam pertama yakni Samudera Pasai di Sumatera. Pada saat itu pula terjadi
penyebaran agama Islam dengan pesat sehingga lahirlah kerajaan Islam yang
kedua. Kerajaan ini akhirnya bisa mendominasi dalam hal pelayaran dan
perdagangan dengan mengalahkan kerajaan Samudera Pasai. Pada abad ke-15 M,
Malaka jatuh ke tangan Portugis sehingga kapal-kapal berlayar menelusuri pantai
barat Sumatera. Kemudian kapal-kapal tersebut memasuki Selat Sunda menuju
pelabuhan di pantai Utara Jawa.[6]
Menurut Tome Pires seperti yang
dikutip Badri Yatim mengemukakan bahwa pada abad 15 di daerah Sumatera Utara
dan Selat Malaka telah terdapat masyarakat dan kerajaan Islam. Sedangkan di
Jawa, dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Gresik telah
membuktikan adanya masyarakat muslim.[7]
Islam belum tersebar luas di daerah Jawa sampai pada puncak kemajuan kerajaan
Majapahit banyak ditemukan bukti terjadinya Islamisasi. Misalnya batu nisan di
Troyolo, Trowulan, dan Gresik. Bahkan di pusat kota kerajaan Majapahit atau di
pesisir telah terbentuk masyarakat muslim.[8]
Perkembangan Islam di Jawa
memunculkan kerajaan Demak dan kota pelabuhan Jepara, Tuban dan Gresik sehingga
terbentuklah rangkaian kota pelabuhan. Kemudian munculnya kerajaan seperti di
Cirebon, Jayakarta, dan Banten terbentuk pula jalinan hubungan pelayaran,
perekonomian, dan politik dengan kerajaan Demak yang pada saat itu menjadi
pusat kerajaan Islam di Jawa.[9]
Tersebarnya Islam di Jawa tidak bisa di lepaskan dari perjuangan Wali Sanga.
Bahkan sebagian dari mereka di sebut pencipta kesenian untuk menjelaskan Islam
dalam idiom lokal.[10]
Menurut catatan kuno Tiongkok,
telah ada pemukiman muslim Arab di pesisir Sumatera sekitar tahun 625 M. Pada
periode ini Islam tidak berkembang secara menyeluruh hanya di beberapa wilayah
saja misalnya di Sumatera dan sebagian pantai utara Jawa. Baru pada abad ke-12
M, Islam berkembang pesat ke berbagai daerah di Nusantara yang di bawa oleh
saudagar Arab, Gujarat maupun penduduk pribumi yang sudah memeluk Islam
terlebih dahulu.[11]
Pada akhir abad ke-12 Masehi,
terdapat wilayah Islam di Perlak yakni di pantai timur Sumatera. Wilayah ini
kemudian mendirikan kerajaan Islam pertamakali yang didirikan oleh pedagang
asing dari Mesir, Maroko, Persia, dan Gujarat. Pedagang ini telah menetap di
Perlak sejak awal abad ke-12. Pendiri kerajaan ini keturunan Quraisy yang
kemudian mengawini perempuan pribumi dan memiliki keturunan yang bernama Sayid
Abdul Aziz dan menjadi raja Perlak. Agama Islam yang dianut raja ini adalah
agama Islam yang bermazhab Syiah. Ia berkuasa sejak tahun 1161 Masehi sampai
tahun 1186 Masehi.[12]
C. Teori
datangnya Islam ke Indonesia
Datangnya Islam ke Indonesia
menjadi perdebatan para ahli sejarah yang memunculkan beberapa teori, yaitu:
teori Arab, teori Cina, teori India, dan teori Persia.[13]
1.
Teori India
Pijnappel,
salah seorang yang memegang teori India seperti yang dikutip Nur Huda
menjelaskan bahwa Islam datang ke Indonesia berasal dari India bukan dari Arab
atau Persia langsung. Banyak orang Arab yang bermazhab Syafi’i berimigrasi dan
menetap di India sebelum ke Indonesia. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk
menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka datang dari Gujarat dan Malabar tetapi
pernyataan ini ditolak oleh C. Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa mereka
dari Malabar dan Coromandel. Sebelumnya para imigran telah menetap di kedua
wilayah tersebut. Kemudian yang menjadi perantara perdagangan dengan penduduk
Indonesia adalah penduduk yang berasal dari Deccan. Baru kemudian penduduk
Deccan banyak yang menetap di Indonesia khususnya di kota pelabuhan untuk
menabur benih-benih Islam. Setelah itu datanglah orang Arab yang disebut sayyid
atau sharif yang
melanjutkan penyebaran Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje menentang
pendapat Pijnappel dengan alasan bahwa paham Syafi’iyah yang ada di wilayah
Coromandel sama dengan yang ada di Indonesia. Ia juga menyebutkan bahwa
kemungkinan besar awal ke Indonesia pada
abad ke 12. [14]
J. P. Moquette
juga berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat India.
Pendapatnya didasarkan pada pengamatannya terhadap bentuk batu nisan di Pasai
yang berangka 17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428. Selain itu, ia juga
mengamati batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/ 1419) di
Gresik. Menurutnya bentuk batu nisan tersebut sama dengan batu nisan di Cambay,
Gujarat. Ia berpendapat bahwa batu nisan yang dihasilkan oleh penduduk Gujarat
tidak hanya dijual di pasar lokal tetapi juga di ekspor ke wilayah lain seperti
Jawa dan sumatera. Bagi Moquette, orang Indonesia kemungkinan besar belajar
Islam dari pedagang Gujarat.[15]
Banyak ahli
sejarah yang lain mendukung pendapat Moquette ini seperti R. A. Kern, R. O.
Winstedr, G.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Schrieke, dan D.G.E. Hall. Ada pula
yang menolak pendapat Moquette yaitu S.Q. Fatimi yang menyatakan bahwa batu
nisan tersebut lebih mirip dengan batu nisan yang ada di Bangladesh dan berbeda
jauh dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Hal ini didukung dengan adanya batu
nisan pada makam Siti Fatimah binti Maimun (475 H/ 1082) yang ditemukan di
Leran Jawa Timur. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia
berasal dari Bangladesh namun, pendapat tersebut tidak bisa menandingi pendapat
Moquette yang didukung oleh para ahli sejarah.[16]
Selain Fatimi,
Morisson juga tidak menyetujui pendapat Moquette karena baginya teori Gujarat
memiliki kelemahan. Ia berpendapat bahwa Islam tidak datang dari Gujarat
sekalipun batu nisan tersebut berasal dari Gujarat. Alasan yang dikemukakan
adalah raja pertama kerajaan Samudera Pasai wafat pada tahun 698 H/ 1297,
sedangkan Gujarat masih sebuah kerajaan Hindu. Gujarat ditaklukkan oleh umat
Islam satu tahun kemudian.[17]
Kerajaan Samudera Pasai yang didirikan oleh Sultan Malik al-Shaleh adalah
kerajaan yang berbasis Islam. Bahkan raja-raja berikutnya sangat berpegang
teguh dengan ajaran Islam dan ikut serta dalam menyebarkan agama Islam.
Hasilnya sangat memuaskan karena perkembangan tersebut memjadikan Samudera
Pasai sebagai pusat penyebaran agama Islam.[18]
Tidak heran jika Morisson berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia tidak berasal
dari Gujarat tetapi dibawa oleh pendakwah Muslim dari pantai Coromandel pada
akhir abad ke 13. Pendapat Morisson ini mendukung pendapat Thomas W. Arnold
yang berpendapat bahwa Islam di Indonesia antara lain berasal dari Coromandel
dan Malabar.[19]
Bagi Arnold, Coromandel dan Malabar bukanlah satu-satunya tempat asal Islam
tetapi juga dari Arabia. Pedagang Arab sejak abad pertama Hijriyah / abad ke-7
dan ke-8 Masehi, telah mendominasi perdagangan barat-timur. Maka sangat
pantaslah jika berasumsi bahwa pedagang Arab juga berperan dalam menyebarkan
Islam. Menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, dalam sumber China
disebutkan bahwa ada seorang pedagang Arab yang menjadi pemimpin sebuah pemukiman
muslim di pantai Sumatera.[20]
2.
Teori Arab
Crawfurd
mengatakan bahwa Islam dikenalkan kepada penduduk Indonesia langsung dari Tanah
Arab. Ia tidak memungkiri bahwa hubungan antara Melayu-Indonesia dengan India
merupakan faktor penting. Teori ini juga didukung oleh Keyzer yang mendasarkan
pendapatnya pada persamaan mazhab Syafi’i. selain itu ia berpendapat bahwa
Islam di Indonesia berasal dari Mesir. Neimann dan De Hollander berpendapat
bahwa Islam Indonesia berasal dari Hadramaut.[21]
Arnold juga berpendapat bahwa selain pedagang dari Coromandel, Islam juga
dibawa oleh pedagang Arab yang sudah aktif melakukan perdagangan sejak awal
abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada sumber China yang
menyebutkan bahwa menjelang perempatan abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera.[22]
Naguib
al-Attas juga sepakat dengan teori ini karena ia tidak bisa menerima penemuan
epigrafis yang diajukan Moquette yakni batu nisan yang ditemukan di Nusantara
adalah bukti bahwa Islam dibawa langsung oleh Muslim India. Menurutnya, saat
mengkaji kedatangan Islam ke Nusantara yang paling penting untuk dikaji adalah
karakteristik internal Islam yang ada di Indonesia-Melayu. Kesimpulannya seluruh
literature keagamaan Islam sebelum abad ke-17 tidak ada satupun yang tulis oleh
muslim India. Sarjana Barat menyebutkan pengarang literature tersebut meskipun
dianggap berasal dari Arab atau Persia, pada akhirnya mereka berasal dari Arab
baik secara etnis maupun kultural. Nama dan gelar para pembawa Islam ke
Nusantara menunjukkan orang Arab atau Arab-Persia.[23]
Salah satu
pakar sejarah dan arkeologi Islam, Uka Tjandrasasmita menduga bahwa Islam
datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8. Menurutnya, pada abad ini
memungkinkan adanya hubungan antara orang Islam dari Arab, Persia, dan India
dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan pada abad tersebut sangat dimungkinkan
terjadi kemajuan perhubungan pelayaran sebagai akibat dari persaingan di antara
kerajaan besar yakni, kerajaan Bani Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya
di Asia Tenggara, dan dinasti T’ang di Asia Timur.[24]
Bahkan di
suatu riwayat diceritakan bahwa pada abad pertama Hijriyah, Rasulullah telah
mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash ke negeri China dan memperkenalkan Islam di
China dan pada abad ini pula telah ada pemukiman Muslim di Kanton. Pada abad
pertama Hijriyah/ abad ke-7 Masehi muslim di Kanton berpindah ke Palembang dan
Kedah. Disana, mereka telah melakukan aktifitas keagamaan dan adat dengan baik.[25]
Beberapa literature menyebutkan bahwa duta Muslim juga mengunjungi kerajaan
Sriwijaya yang pada zaman itu kerajaan Sriwijaya dalam masa keemasan. Bahkan
tidak ada satu ekspedisi pun yang menuju China dan Gujarat dari Timur Tengah
tanpa melewati selat Malaka dan biasanya akan singgah di kerajaan Sriwijaya.
Kedekatan kerajaan Sriwijaya dengan Islam di Timur Tengah berjalan dengan baik
hingga masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz.[26]
3.
Teori Persia
P.A. Hoesein
Djadiningrat, salah satu pendukung teori ini mengatakan bahwa Islam di
Indonesia berasal dari Persia dengan beberapa alasan; pertama, pengaruh sufisme
Persia terhadap ajaran mistik Islam Indonesia. Seperti ajaran Syaikh Siti Jenar
yakni manunggaling kawula gusti menurut Hoesein adalah pengaruh dari
ajaran al-Hallaj. Kedua, istilah Bahasa Persia dalam mengeja huruf Arab masih
digunakan hingga sekarang di pedalaman Banten. Ketiga, peringatan ‘Ashura’
atau 10 Muharram sebagai salah satu
hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah. Pada tanggal 10 Muharram, di Jawa
peringatan ini ditandai dengan bubur ‘Ashura’. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada upacara Tabut
yaitu mengarak (keranda Husain) untuk dilemparkan ke sungai.[27]
4.
Teori China
H.J. de Graaf yang telah berhasil menyunting beberapa literature Jawa klasik mengatakan bahwa peranan orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia perlu dipertimbangkan. Disebutkan dalam literatur tersebut bahwa tokoh besar dalam menyebarkan Islam seperti Sunan Ampel (raden Rahmat/ Bong Swo Hoo) dan raja Demak (raden Fatah/ Jin Bun) adalah keturunan China. Pendapat ini didukung oleh Slamet Muljana dan Denys Lombard. Pengaruh China bisa terlihat dari beberapa hal antara lain makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya.[28]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- Letak Geografi Arab Pra-Islam
- Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad
- Pembentukan Negara Madinah
- Khulafaur Rasyidin
- Renaisans Di Eropa
- Kedatangan Barat Di Berbagai Dunia Islam
- Kemunduran Kerajaan Utsmani Dan Ekspansi Barat Ke Timur Tengah
- Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya
- Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan
- Teori Datangnya Islam Ke Indonesia
- Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia
[1] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik (Jakarta: Rajwali Pers, 2011), 388-389.
[2] Ibid, 390.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 194.
[4] Yatim, Sejarah Peradaban, 194. Lihat pula Uka Tjandrasasmita, “kedatangan dan Penyebaran Islam” dalam ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jil.5 (t.t: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 10.
[5] Ibid, 195. Lihat pula Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2013), 309-310.
[6] Ibid, 197.
[7] Tjandrasasmita, Ensiklopedi Tematis, 12.
[8] Yatim, Sejarah Peradaban, 197.
[9] Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 52-53.
[10] Michael Laffa, Sejarah Islam di Nusantara, terj. Indi Aunullah dan Rini Nurul Badariah (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2015), 8. Lihat pula Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi di Jawa; Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 230-231.
[11] Amin, Sejarah Peradaban, 305-306.
[12] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: Lkis, 2005), 132.
[13] Huda, Islam Nusantara, 32. Lihat pula Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Yogyakarta: DIVA Press, 2015), 481. Lihat pula Thohir, Studi Kawasan, 394. Lihat pula SKI UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka, 2006), 34-42.
[14] Huda, Islam Nusantara, 32-33. Lihat juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2005), 3.
[15] Huda, Islam Nusantara, 33.
[16] Huda, Islam Nusantara, 34. Lihat pula Azra, Jaringan Ulama, 4.
[17] Huda, Islam Nusantara, 35.
[18] Aizid, Sejarah Peradaban, 489.
[19] Huda, Islam Nusantara, 35.
[20] Azra, Jaringan Ulama,6.
[21] Huda, Islam Nusantara, 36. Lihat pula Azra, Jaringan Ulama, 7-8.
[22] Huda, Islam Nusantara, 35.
[23] Azra, Jaringan Ulama, 8-9.
[24] Huda, Islam Nusantara, 36.
[25] Amin, Sejarah Peradaban, 304.
[26] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 301.
[27] Ibid, 38.
[28] Ibid, 38-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar