Metode Kitab Tafsir Ibn Katsir
Dari segi sumber penafsiran, Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir ma’thur. Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir yang paling populer dan dianggap paling absah dari sekian tafsir ma’thur yang ada. Judul kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azim, namun lebih sering disebut Tafsir Ibn Katsir. Kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir ma’thur atau tafsir riwayah menurut istilah Ali al-Sabuni dan Ahmad Izzan, atau tafsir naqli menurut istilah Ibn Khaldun. Maksudnya ialah penafsiran ayat al-Quran terhadap maksud ayat al-Quran yang lain, menafsirkan ayat dengan ayat yang lain. Menafsirkan ayat dengan hadis nabawi atau dengan pendapat para sahabat dan tabiin. Atau bisa juga diartikan sebagai tafsir yang berdasarkan hadis yang diterima dari kaum salaf tentang pengertian ayat yang nasikh dan mansukh, tentang sebab-sebab turunnya ayat dan maksud ayat itu sendiri.[1]
Begitupula yang dilakukan Ibn Katsir
dalam menafsirkan al-Quran. lebih banyak menitikberatkan pada riwayat salaf,
mencakup hadis nabawi maupun asar perkataan dan perilaku sahabat dan tabiin.
Itulah metode terbaik dalam penafsiran menurut Ibn Katsir yang dalam hal ini
senada dengan pendapat gurunya Ibn Taimiyah. Beliau berkata secara gamblang di
Mukaddimah tafsirnya:
Sekiranya ada orang yang
bertanya tentang cara penafsiran al-Quran yang terbaik maka jawaban yang paling
tepat adalah menafsirkan Al-Quran dengan al-Quran. Jika pada sebagian ayat al-Quran
bersifat global, pada sebagian yang lain akan ditemukan uraian yang relatif
lebih rinci. Bila tidak ada hendaknya
berpegang pada sunah. Karena sunah berfungsi sebagai penjelas bagi al-Quran.
Ketika tidak ada dalam hadis, maka merujuk kepada pendapat sahabat. Mengingat
mereka adalah orang-orang yang banyak mengetahui tentang wahyu dan sedikit
banyak terlibat langsung dengan proses penurunan wahyu. Mereka juga orang yang
memahami hal-hal yang bersifat spesifik. Lagipula mereka memiliki
pemahaman yang sempurna, berilmu sahih,
sekaligus beramal saleh. Apalagi orang yang terkemuka diantara mereka seperti
khulafa’ rashidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan dan Ali bin
Abi Talib) dan para sahabat lainnya seperti Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah bin
Mas‘ud.[2]
Menurutnya, pendapat tabiin
bukan merupakan hujjah dalam masalah furu‘ apalagi dalam tafsir. Akan tetapi
bila mereka sepakat akan suatu hal maka tidak diragukan lagi kesepakatannya
tersebut dapat dijadikan hujjah. Disamping itu, bila mereka berbeda pendapat,
maka pendapat sebagian tidak dapat membatalkan pendapat sebagian yang lain.[3]
Dalam perspektif Ibn Katsir,
menafsirkan al-Quran atas dasar pikiran semata, karena menguasai bahasa Arab misalnya,
hukumnya haram. Mengutip dari riwayat Ibn ‘Abbas.
مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِرَأْيِهِ
أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Barang
siapa yang menafsirkan ayat al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan apa
yang tidak diketahui maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya
di neraka. (HR. Tirmidhi, Nasa’i dan Ibn Jarir).[4]
Pendapatnya tersebut juga didukung dengan perkataan
Ubaidillah bin Umar. Ia berkata: saya telah bertemu ulama Madinah, mereka
benar-benar menganggap dosa besar bagi orang yang berani menafsirkan al--Quran
dengan pendapatnya sendiri.[5]
Mahmud Ayub menilai karena Ibn Kathir berguru kepada
Ibn Taimiyah dan banyak pemikirannya yang senada dengan Ibn Taimiyah maka tak
heran bila tafsirnya cenderung konservatif. Riwayat-riwayat yang dipaparkan
sangat bergantung pada sejumlah sumber lain. Ibn Katsir di matanya merupakan
orang yang terkemuka dan pakar di zamannya. Ibn Katsir sadar dan tahu betul
tentang sejarah Islam. Agak polemikal tapi adil dan informatif.[6]
Mahmud Ayub juga menjelaskan meskipun Ibn Katsir hidup
jauh setelah Razi, Qurtubi dan Zamakhshari. Namun ia lebih cenderung mengutip
Imam Tabari dibanding ketiga mufasir tersebut. Sebab pandangannya lebih
berdasar pada tradisi, yakni hadis dan riwayat. Akan tetapi penulis menemukan
Ibn Katsir masih mengutip Qurtubi dalam tafsirnya. Di bab pengantar surat al-Fatihah,
Ibn Katsir mengutip perkataan Qurtubi tentang kata-kata non Arab dalam al-Quran.
Menurut Qurtubi, para ulama sepakat bahwa di dalam al-Quran tidak ada kata yang
berasal dari bahasa non Arab, kecuali kata yang mengandung nama orang seperti
Ibrahim, Nuh, Luth. Untuk kata selain nama orang, ulama berbeda pendapat. al-Baqilani
dan Tabari berkata, bahwa hal itu merupakan kata yang kebetulan sama dalam
berbagai bahasa.[7]
Dari segi sasaran dan susunan ketertiban ayatnya, Tafsir
Ibn Katsir menggunakan metode tahlili (analitik). Yang
dimaksud dengan tafsir tahlili adalah mengkaji ayat-ayat Al-Quran dari segala
segi dan maknanya. Pengkaji metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
cara ayat per ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Uthmani. Dalam
tafsir tahlili, pengkaji menguraikan kosakata dan lafal-lafal, menjelaskan arti
yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan arti ayatnya, menjelaskan
unsur i‘jaz, balaghah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan
relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.[8]
Realitanya, Ibn Katsir benar-benar mengaplikasikan hal
tersebut, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.
Dalam kitabnya ia menyebutkan ayat al-Quran, kemudian menafsirkannya dengan
struktur bahasa yang mudah dan ringkas. Bila memungkinkan ia akan membandingkan
antara satu ayat dengan ayat lain, hingga mendapatkan makna dan maksud ayat
tersirat. Tafsir Ibn Katsir termasuk karya tafsir yang banyak memuat
ayat-ayat yang sepadan dalam penafsirannya.[9]
Setelah itu, ia memaparkan hadis-hadis yang
berhubungan dengan ayat tersebut. Tak lupa ia menjelaskan hadis mana yang valid
otoritasnya, mana yang tidak. Ditambah dengan pendapat para sahabat dan tabiin
beserta ulama-ulama salaf yang muktabar.[10]Inilah
yang menjadi salah satu keistimewaan Tafsir Ibn Katsir dari kitab tafsir
lainnya, dengan kapabelitasnya sebagai ahli hadis, Ibn Katsir dalam kitabnya
menjelaskan hadis secara detail, apakah hadis tersebut sahih, hasan maupun daif
dan gharib dalam segi lafalnya.[11]
Ibn Katsir juga melakukan tarjih apabila terdapat
perbedaan pendapat antar ulama. Menolak riwayat-riwayat yang lemah, juga
menilai para perawi dengan perangkat ilmu jarh wa ta‘dil. Disamping itu,
beliau juga memaparkan riwayat-riwayat israiliyat. Terkadang ia memberi
peringatan atas suatu riwayat, bahkan ia juga melarang dan menyeru pembaca
untuk waspada dengan suatu riwayat israiliyat. Terkadang ia juga
menjelaskan riwayat israiliyat.[12]
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 67.
¨bÎ)
©!$#
ôMä.âßDù't
br& (#qçtr2õs? Zots)t/
( …
Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyembelih sapi.[13]
Ibn Katsir
mengatakan semua cerita yang berkutat dalam ayat ini sesungguhnya berasal dari
kitab bani Israil, yang mana cerita ini boleh ditransmisikan tetapi tidak boleh
dipercaya dan tidak ditolak.
Mengenai
Israiliyat, dalam pandangan Ibn Katsir penafsiran hal yang samar-samar dalam al-Quran
sesungguhnya bersandar pada dongeng-dongeng Yahudi. Cerita-cerita tersebut
hanya boleh dianggap sebagai data, bukan menjadi bukti untuk memperkuat
penafsiran. Cerita-cerita Yahudi dibagi menjadi 3. Pertama, telah kita ketahui
kebenarannya, mirip seperti apa yang sudah ada pada kita dan dapat dibuktikan.
Kedua, yang telah kita ketahui kebohongannya, bertentangan dengan apa yang ada
pada kita. Ketiga, tidak masuk dalam kategori nomor 1 dan 2, dan sikap kita
adalah membiarkannya saja. Boleh diceritakan boleh tidak.[14]
Selanjutnya,
Ibn Kathir dalam tafsirnya juga memasukkan wacana fikih. Menyebutkan beberapa
pendapat fikih dari beberapa fukaha mengenai suatu ayat. Ia juga menampilkan
ilmu munasabat, relevansi antar ayat dan surat sebelumnya juga dengan
sesudahnya. Ia juga memaparkan asbab nuzul bila ayat tersebut mengandung sebab
kronologi. Yang terakhir, Ibn Kathir juga menjelaskan lafal-lafal aneh dalam
bahasa Arab. Terkadang dalam menjelaskannya, Ibn Kathir menggunakan syair.[15] Melihat
hal-hal di atas, mencakup israiliyat, asbab al-nuzul, penyeleksian dan
pembahasan hadis-hadis yang maqbul, maka dari itu bila dilihat dari
sisi keluasan penjelasannya, tafsir al-Quran al-Azim termasuk tafsir itnabi
(bersifat terperinci/ spesifik dalam menjelaskan sesuatu). Ibn Kathir dalam
menafsirkan surat al-Fatihah, ia membuat bab tersendiri yang khusus membahas
wacana “pelafalan al-isti’adhah”.[16]
Dari
segi penjelasannya, Tafsir Ibn Katsir menggunakan metode muqarin. Dalam
pembahasan lafal isti’adhah misalnya, ia menyuguhkan serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama di dalamnya. Termaktub disana bahwa Abu Hatim
al-Sijistani mengatakan membaca ta’awudh sesudah membaca al-Quran,
bahkan setelah ritual ibadah dilakukan. Sedangkan Malik sebagaimana yang dipaparkan
al-Qurtubi mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan setelah membaca
al-Fatihah, namun pendapat ini ditentang oleh Ibn al-Arabi. Sementara, jumhur
ulama mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan sebelum tilawah atau sebelum
membaca al-Quran atau al-Fatihah untuk mencegah godaan syaitan.[17]
Kemudian, setelah membaca paparan diatas jika dilihat dari kecenderungan aliran dalam kitab ini, maka Tafsir Ibn Katsir mempunyai kecenderungan fiqhi atau ahkam dan adabi, karena sesekali ia menggunakan syair dalam menafsirkan makna-makna kata. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Ibn Katsir termasuk ulama yang mumpuni juga dalam syair-syair Arab.
Contoh Tafsir al-Quran al-Azim
Surat al-Naba’ ayat 31-36:
¨bÎ) tûüÉ)FßJù=Ï9 #·$xÿtB
ÇÌÊÈ t,ͬ!#ytn
$Y6»uZôãr&ur
ÇÌËÈ |=Ïã#uqx.ur $\/#tø?r&
ÇÌÌÈ $Uù(x.ur $]%$ydÏ
ÇÌÍÈ w
tbqãèyJó¡o $pkÏù
#Yqøós9 wur
$\/º¤Ï.
ÇÌÎÈ [ä!#ty_
`ÏiB
y7Îi/¢ ¹ä!$sÜtã
$\/$|¡Ïm
ÇÌÏÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu)
kebun-kebun dan buah anggur, Dan gadis-gadis remaja yang sebaya. Dan gelas-gelas
yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar Perkataan yang
sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan
pemberian yang cukup banyak.”[18]
Allah SWT. menggambarkan
tentang orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan beserta kemulian
dan kenikmatan abadi yang telah disediakan Allah Ta’ala bagi mereka.
Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa mendapatkan kemenangan. “Ibn
Abbas mengatakan mafazan artinya
berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah SWT. berfirman, “Kebun-kebun dan buah anggur
dan gadis-gadis remaja yang sebaya”, yaitu bidadari yang indah buah
dadanya. Mereka adalah gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasangannya.[19]
Allah SWT. berfirman
“Dan gelas-gelas yang penuh” berisi terus menerus, tak pernah
kosong. “Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan
tidak pula dusta” sebagaimana
firman-Nya “Didalam
surga itu mereka saling memperebutkan piala yang isinya tidak (kata-kata)
yang tidak berfaedah dan tidak pula perbuatan dosa. ”( al-Tur
:23) yaitu, di dalam surga itu tidak terdapat kata-kata yang tidak berfaedah
dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan surga merupakan tempat tinggal yang
dipenuhi dengan kesejahteran dan semua yang terdapat didalamnya selamat dari
berbagai macam kekurangan.[20]
Allah SWT. berfirman, “Sebagai
balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup”. Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan
balasan Allah terhadap mereka, dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai
karunia, nikmat, kebaikan dan rahmat-Nya. “Dan pemberian yang cukup”. Hisaban dalam ayat
ini artinya ‘cukup’. Arti ini terdapat dalam ungkapan Hasbiyallah,
artinya “cukup Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain”.[21]
Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Ibn Kathir
Diantara
keistimewaan Tafsir Ibn Katsir adalah pertama, adanya penilaian tentang hadis
yang tercantum didalamnya. Berkat kapabelitas Ibn Katsir dalam disiplin ilmu
jarh wa ta’dil ia mampu menimbang mana hadis yang sahih, yang maqbul dan mana
yang tidak maupun maudu’. Kedua, adanya perhatian lebih Ibn Kathir terhadap
riwayat-riwayat israiliyat. Peringatan yang disampaikannya dalam kitab
tafsirnya merupakan sumbangsih yang besar bagi wawasan umat Islam yang masih
awam, sehingga umat Islam lebih hati-hati untuk tidak terjebak dalam kesesatan.
Sedangkan kelemahannya sebagaimana yang dialami mayoritas kitab-kitab tafsir ma’thur
adalah: Pertama, bercampurnya riwayat sahih dengan riwayat yang tidak sahih.
Kedua, mudah disusupi zindiq yang memusuhi al-Quran. Ketiga, seringkali
mencatat nama-nama mufasir terkemuka tanpa ada bukti yang benar.[22]
Baca artikel lain yang berkaitan;
- Pengertian Qashah Al-Qur'an
- Macam-Macam Qashah Al-Qur'an
- Faedah Qashah Al-Qur'an
- Hikmah Pengulangan Qashas Dalam Al-Qur'an
- Perbedaan Kisah Dalam Al Qur'an Dengan Yang Lainnya
- Realitas Kisah Dalam Al-Qur'an
- Biografi Ibn Katsir
- Kitab Tafsir Ibn Katsir
- Imam Fakhruddin Al-Razi
- Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib
DAFTAR PUSTAKA
Arid (al),
Ali Hasan , Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta
:Rajawali Press, 1994.
Ayub,
Mahmud, al-Quran dan Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma
Putra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Dhahabi
(al), Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Izzan,
Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.
Katsir,
Ibn, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 2010.
Katsir,
Ibn, Tafsir al-Quran al-Azim, tahq. Mustafa al-Sayyid Muhammad, Giza:
Maktabah Aulad al-Syeikh li al-Turath, 2000.
Najar
(al), ‘Affaf ‘Ali, al-Wajiz fi Manahij al-Mufassirin, Kairo: al-Azhar
University Press, 2013.
Shahatah,
‘Abdullah Mahmud, al-Quran
wa al-Tafsir, Kairo: Maktabah Usrah, t.th.
Shakir,
Muhammad, ‘Umdat al-Tafsir ‘an Ibn Katsir, t.tp: Turath al-Islam, t.th.
[1] Shirbasi, Sejarah Tafsir, 105. Lihat juga Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta :Rajawali Press, 1994), 42. Bandingkan dengan Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 57.
[2] Ibid., 67-68.
[3] Ibn Katsir, Terjemah Singkat
Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: Bina
Ilmu, 2010), xxi.
[4] Ibid., xxi.
[5] Ibid., xxii.
[6] Mahmud Ayub, al-Quran dan
Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma Putra, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), 9.
[7] Ibn Katsir, Terjemah Singkat, 2.
[8] Al-‘Arid, Sejarah dan
Metodologi, 41.
[9] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 84.
[10] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.
[11] ‘Abdullah Mahmud Shahatah, al-Quran
wa al-Tafsir, (Kairo: Maktabah Usrah, t.th), 203.
[12] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.
[13] Kemenag RI , Terjemah al-Quran al-Jum’anatul Ali, (Bandung: J.Art, 2004),10.
[14] al-Shirbasi, Sejarah Tafsir,
54.
[15] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir,
86.
[16] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, Vol I, 26.
[17]Ibid., Vol I, 26.
[18] Kemenag RI , Terjemah
al-Quran, 583.
[19] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran,
Vol VIII, 312.
[20] Ibid., 312.
[21] Ibid., 312.
[22] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu, 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar