HOME

24 Maret, 2022

Kitab Tafsir Ibn Katsir

Metode Kitab Tafsir Ibn Katsir

Dari segi sumber penafsiran, Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir ma’thur. Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir yang paling populer dan dianggap paling absah dari sekian tafsir ma’thur yang ada. Judul kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azim, namun lebih sering disebut Tafsir Ibn Katsir. Kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir ma’thur atau tafsir riwayah menurut istilah Ali al-Sabuni dan Ahmad Izzan, atau tafsir naqli menurut istilah Ibn Khaldun. Maksudnya ialah penafsiran ayat al-Quran terhadap maksud ayat al-Quran yang lain, menafsirkan ayat dengan ayat yang lain. Menafsirkan ayat dengan hadis nabawi atau dengan pendapat para sahabat dan tabiin. Atau bisa juga diartikan sebagai tafsir yang berdasarkan hadis yang diterima dari kaum salaf tentang pengertian ayat yang nasikh dan mansukh, tentang sebab-sebab turunnya ayat dan maksud ayat itu sendiri.[1]

Begitupula yang dilakukan Ibn Katsir dalam menafsirkan al-Quran. lebih banyak menitikberatkan pada riwayat salaf, mencakup hadis nabawi maupun asar perkataan dan perilaku sahabat dan tabiin. Itulah metode terbaik dalam penafsiran menurut Ibn Katsir yang dalam hal ini senada dengan pendapat gurunya Ibn Taimiyah. Beliau berkata secara gamblang di Mukaddimah tafsirnya:

Sekiranya ada orang yang bertanya tentang cara penafsiran al-Quran yang terbaik maka jawaban yang paling tepat adalah menafsirkan Al-Quran dengan al-Quran. Jika pada sebagian ayat al-Quran bersifat global, pada sebagian yang lain akan ditemukan uraian yang relatif lebih rinci.  Bila tidak ada hendaknya berpegang pada sunah. Karena sunah berfungsi sebagai penjelas bagi al-Quran. Ketika tidak ada dalam hadis, maka merujuk kepada pendapat sahabat. Mengingat mereka adalah orang-orang yang banyak mengetahui tentang wahyu dan sedikit banyak terlibat langsung dengan proses penurunan wahyu. Mereka juga orang yang memahami hal-hal yang bersifat spesifik. Lagipula mereka memiliki pemahaman  yang sempurna, berilmu sahih, sekaligus beramal saleh. Apalagi orang yang terkemuka diantara mereka seperti khulafa’ rashidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Talib) dan para sahabat lainnya seperti Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah bin Mas‘ud.[2]

Menurutnya, pendapat tabiin bukan merupakan hujjah dalam masalah furu‘ apalagi dalam tafsir. Akan tetapi bila mereka sepakat akan suatu hal maka tidak diragukan lagi kesepakatannya tersebut dapat dijadikan hujjah. Disamping itu, bila mereka berbeda pendapat, maka pendapat sebagian tidak dapat membatalkan pendapat sebagian yang lain.[3]

 

Dalam perspektif Ibn Katsir, menafsirkan al-Quran atas dasar pikiran semata, karena menguasai bahasa Arab misalnya, hukumnya haram. Mengutip dari riwayat Ibn ‘Abbas.

مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِرَأْيِهِ أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار

Barang siapa yang menafsirkan ayat al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan apa yang tidak diketahui maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Tirmidhi, Nasa’i dan Ibn Jarir).[4]

 

Pendapatnya tersebut juga didukung dengan perkataan Ubaidillah bin Umar. Ia berkata: saya telah bertemu ulama Madinah, mereka benar-benar menganggap dosa besar bagi orang yang berani menafsirkan al--Quran dengan pendapatnya sendiri.[5]

Mahmud Ayub menilai karena Ibn Kathir berguru kepada Ibn Taimiyah dan banyak pemikirannya yang senada dengan Ibn Taimiyah maka tak heran bila tafsirnya cenderung konservatif. Riwayat-riwayat yang dipaparkan sangat bergantung pada sejumlah sumber lain. Ibn Katsir di matanya merupakan orang yang terkemuka dan pakar di zamannya. Ibn Katsir sadar dan tahu betul tentang sejarah Islam. Agak polemikal tapi adil dan informatif.[6]

Mahmud Ayub juga menjelaskan meskipun Ibn Katsir hidup jauh setelah Razi, Qurtubi dan Zamakhshari. Namun ia lebih cenderung mengutip Imam Tabari dibanding ketiga mufasir tersebut. Sebab pandangannya lebih berdasar pada tradisi, yakni hadis dan riwayat. Akan tetapi penulis menemukan Ibn Katsir masih mengutip Qurtubi dalam tafsirnya. Di bab pengantar surat al-Fatihah, Ibn Katsir mengutip perkataan Qurtubi tentang kata-kata non Arab dalam al-Quran. Menurut Qurtubi, para ulama sepakat bahwa di dalam al-Quran tidak ada kata yang berasal dari bahasa non Arab, kecuali kata yang mengandung nama orang seperti Ibrahim, Nuh, Luth. Untuk kata selain nama orang, ulama berbeda pendapat. al-Baqilani dan Tabari berkata, bahwa hal itu merupakan kata yang kebetulan sama dalam berbagai bahasa.[7]  

Dari segi sasaran dan susunan ketertiban ayatnya, Tafsir Ibn Katsir menggunakan metode tahlili (analitik). Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah mengkaji ayat-ayat Al-Quran dari segala segi dan maknanya. Pengkaji metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara ayat per ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Uthmani. Dalam tafsir tahlili, pengkaji menguraikan kosakata dan lafal-lafal, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan arti ayatnya, menjelaskan unsur i‘jaz, balaghah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.[8]

Realitanya, Ibn Katsir benar-benar mengaplikasikan hal tersebut, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dalam kitabnya ia menyebutkan ayat al-Quran, kemudian menafsirkannya dengan struktur bahasa yang mudah dan ringkas. Bila memungkinkan ia akan membandingkan antara satu ayat dengan ayat lain, hingga mendapatkan makna dan maksud ayat tersirat. Tafsir Ibn Katsir termasuk karya tafsir yang banyak memuat ayat-ayat yang sepadan dalam penafsirannya.[9]

Setelah itu, ia memaparkan hadis-hadis yang berhubungan dengan ayat tersebut. Tak lupa ia menjelaskan hadis mana yang valid otoritasnya, mana yang tidak. Ditambah dengan pendapat para sahabat dan tabiin beserta ulama-ulama salaf yang muktabar.[10]Inilah yang menjadi salah satu keistimewaan Tafsir Ibn Katsir dari kitab tafsir lainnya, dengan kapabelitasnya sebagai ahli hadis, Ibn Katsir dalam kitabnya menjelaskan hadis secara detail, apakah hadis tersebut sahih, hasan maupun daif dan gharib dalam segi lafalnya.[11]

Ibn Katsir juga melakukan tarjih apabila terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Menolak riwayat-riwayat yang lemah, juga menilai para perawi dengan perangkat ilmu jarh wa ta‘dil. Disamping itu, beliau juga memaparkan riwayat-riwayat israiliyat. Terkadang ia memberi peringatan atas suatu riwayat, bahkan ia juga melarang dan menyeru pembaca untuk waspada dengan suatu riwayat israiliyat. Terkadang ia juga menjelaskan riwayat israiliyat.[12]

      Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 67.

¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ (   

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyembelih sapi.[13]

 

Ibn Katsir mengatakan semua cerita yang berkutat dalam ayat ini sesungguhnya berasal dari kitab bani Israil, yang mana cerita ini boleh ditransmisikan tetapi tidak boleh dipercaya dan tidak ditolak.

 

Mengenai Israiliyat, dalam pandangan Ibn Katsir penafsiran hal yang samar-samar dalam al-Quran sesungguhnya bersandar pada dongeng-dongeng Yahudi. Cerita-cerita tersebut hanya boleh dianggap sebagai data, bukan menjadi bukti untuk memperkuat penafsiran. Cerita-cerita Yahudi dibagi menjadi 3. Pertama, telah kita ketahui kebenarannya, mirip seperti apa yang sudah ada pada kita dan dapat dibuktikan. Kedua, yang telah kita ketahui kebohongannya, bertentangan dengan apa yang ada pada kita. Ketiga, tidak masuk dalam kategori nomor 1 dan 2, dan sikap kita adalah membiarkannya saja. Boleh diceritakan boleh tidak.[14]

Selanjutnya, Ibn Kathir dalam tafsirnya juga memasukkan wacana fikih. Menyebutkan beberapa pendapat fikih dari beberapa fukaha mengenai suatu ayat. Ia juga menampilkan ilmu munasabat, relevansi antar ayat dan surat sebelumnya juga dengan sesudahnya. Ia juga memaparkan asbab nuzul bila ayat tersebut mengandung sebab kronologi. Yang terakhir, Ibn Kathir juga menjelaskan lafal-lafal aneh dalam bahasa Arab. Terkadang dalam menjelaskannya, Ibn Kathir menggunakan syair.[15] Melihat hal-hal di atas, mencakup israiliyat, asbab al-nuzul, penyeleksian dan pembahasan hadis-hadis yang maqbul, maka dari itu bila dilihat dari sisi keluasan penjelasannya, tafsir al-Quran al-Azim termasuk tafsir itnabi (bersifat terperinci/ spesifik dalam menjelaskan sesuatu). Ibn Kathir dalam menafsirkan surat al-Fatihah, ia membuat bab tersendiri yang khusus membahas wacana “pelafalan al-isti’adhah”.[16]

Dari segi penjelasannya, Tafsir Ibn Katsir menggunakan metode muqarin. Dalam pembahasan lafal isti’adhah misalnya, ia menyuguhkan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama di dalamnya. Termaktub disana bahwa Abu Hatim al-Sijistani mengatakan membaca ta’awudh sesudah membaca al-Quran, bahkan setelah ritual ibadah dilakukan. Sedangkan Malik sebagaimana yang dipaparkan al-Qurtubi mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan setelah membaca al-Fatihah, namun pendapat ini ditentang oleh Ibn al-Arabi. Sementara, jumhur ulama mengatakan pembacaan ta’awudh dilakukan sebelum tilawah atau sebelum membaca al-Quran atau al-Fatihah untuk mencegah godaan syaitan.[17]

Kemudian, setelah membaca paparan diatas jika dilihat dari kecenderungan aliran dalam kitab ini, maka Tafsir Ibn Katsir mempunyai kecenderungan fiqhi atau ahkam dan adabi, karena sesekali ia menggunakan syair dalam menafsirkan makna-makna kata. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Ibn Katsir termasuk ulama yang mumpuni juga dalam syair-syair Arab.


Contoh Tafsir al-Quran al-Azim

 

Surat al-Naba’ ayat 31-36:

¨bÎ) tûüÉ)­FßJù=Ï9 #·$xÿtB ÇÌÊÈ   t,ͬ!#ytn $Y6»uZôãr&ur ÇÌËÈ   |=Ïã#uqx.ur $\/#tø?r& ÇÌÌÈ   $Uù(x.ur $]%$ydÏŠ ÇÌÍÈ   žw tbqãèyJó¡o $pkŽÏù #Yqøós9 Ÿwur $\/º¤Ï. ÇÌÎÈ   [ä!#ty_ `ÏiB y7Îi/¢ ¹ä!$sÜtã $\/$|¡Ïm ÇÌÏÈ  

 

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, Dan gadis-gadis remaja yang sebaya. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar Perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.”[18]

 

Allah SWT. menggambarkan  tentang  orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan beserta kemulian dan kenikmatan abadi  yang telah disediakan Allah Ta’ala bagi mereka. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapatkan kemenangan. “Ibn Abbas mengatakan mafazan artinya berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah SWT. berfirman, “Kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis  remaja yang sebaya”, yaitu bidadari yang indah buah dadanya. Mereka adalah gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasangannya.[19]

 

Allah SWT. berfirman “Dan gelas-gelas yang penuh” berisi terus menerus, tak pernah kosong.Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula dusta” sebagaimana firman-Nya “Didalam surga  itu mereka saling memperebutkan piala yang isinya tidak (kata-kata) yang tidak berfaedah dan tidak pula perbuatan dosa. ”( al-Tur :23) yaitu, di dalam surga itu tidak terdapat kata-kata yang tidak berfaedah dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan surga merupakan tempat tinggal yang dipenuhi dengan kesejahteran dan semua yang terdapat didalamnya selamat dari berbagai macam kekurangan.[20]

 

Allah SWT. berfirman, “Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup”. Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan balasan Allah terhadap mereka, dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai karunia, nikmat, kebaikan dan rahmat-Nya. “Dan pemberian yang cukup”.  Hisaban dalam ayat ini artinya ‘cukup’. Arti ini terdapat dalam ungkapan Hasbiyallah, artinya “cukup Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain”.[21]

 

 

Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Ibn Kathir

 

Diantara keistimewaan Tafsir Ibn Katsir adalah pertama, adanya penilaian tentang hadis yang tercantum didalamnya. Berkat kapabelitas Ibn Katsir dalam disiplin ilmu jarh wa ta’dil ia mampu menimbang mana hadis yang sahih, yang maqbul dan mana yang tidak maupun maudu’. Kedua, adanya perhatian lebih Ibn Kathir terhadap riwayat-riwayat israiliyat. Peringatan yang disampaikannya dalam kitab tafsirnya merupakan sumbangsih yang besar bagi wawasan umat Islam yang masih awam, sehingga umat Islam lebih hati-hati untuk tidak terjebak dalam kesesatan. Sedangkan kelemahannya sebagaimana yang dialami mayoritas kitab-kitab tafsir ma’thur adalah: Pertama, bercampurnya riwayat sahih dengan riwayat yang tidak sahih. Kedua, mudah disusupi zindiq yang memusuhi al-Quran. Ketiga, seringkali mencatat nama-nama mufasir terkemuka tanpa ada bukti yang benar.[22]

Ada juga sebagian orang yang menilai tidak adanya pembahasan i’rab kalimat yang lebih mendalam merupakan kekurangan dari Tafsir Ibn Katsir ini, hanya saja hemat penulis hal tersebut hanyalah dikarenakan Tafsir Ibn Katsir ini memang tidak menggunakan corak lughawi, namun lebih kepada fiqhi (ahkam) sehingga Ibn Katsir tidak terlalu fokus mengurusi pembahasan nahwu sarf dalam kitabnya, berbeda dengan Zamakhshari.

Baca artikel lain yang berkaitan;


DAFTAR PUSTAKA

Arid (al), Ali Hasan , Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta :Rajawali Press, 1994.

Ayub, Mahmud, al-Quran dan Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma Putra,  Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Dhahabi (al), Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.

Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.

Katsir, Ibn, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 2010.

Katsir, Ibn, Tafsir al-Quran al-Azim, tahq. Mustafa al-Sayyid Muhammad, Giza: Maktabah Aulad al-Syeikh li al-Turath, 2000.

Najar (al), ‘Affaf ‘Ali, al-Wajiz fi Manahij al-Mufassirin, Kairo: al-Azhar University Press, 2013. 

Shahatah,Abdullah Mahmud, al-Quran wa al-Tafsir, Kairo: Maktabah Usrah, t.th.

Shakir, Muhammad, ‘Umdat al-Tafsir ‘an Ibn Katsir, t.tp: Turath al-Islam, t.th.

Shirbasi (al), Ahmad, Sejarah Tafsir Quran, terj. Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.


[1] Shirbasi, Sejarah Tafsir, 105. Lihat juga Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta :Rajawali Press, 1994), 42. Bandingkan dengan Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 57.

[2] Ibid., 67-68.

[3] Ibn Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), xxi.

[4] Ibid., xxi.

[5] Ibid., xxii.

[6] Mahmud Ayub, al-Quran dan Para Penafsirnya, Vol. I, terj. Nick G. Dharma Putra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 9.

[7] Ibn Katsir, Terjemah Singkat, 2.

[8] Al-‘Arid, Sejarah dan Metodologi, 41.

[9] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 84.

[10] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.

[11]Abdullah Mahmud Shahatah, al-Quran wa al-Tafsir, (Kairo: Maktabah Usrah, t.th), 203.

[12] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 85.

[13] Kemenag RI , Terjemah al-Quran al-Jum’anatul Ali, (Bandung: J.Art, 2004),10.

[14] al-Shirbasi, Sejarah Tafsir, 54.

[15] al-Najar, al-Wajiz fi Tafsir, 86.

[16] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran,  Vol I, 26.

[17]Ibid., Vol I, 26.

[18] Kemenag RI , Terjemah al-Quran, 583.

[19] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran, Vol VIII, 312.

[20] Ibid., 312.

[21] Ibid., 312.

[22] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu, 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...