HOME

10 Maret, 2022

HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN ALQURAN

 

BAB I

PENDAHULUAN 

     A.    Latar Belakang

Kajian teoritis tentang kontradiksi yang ada dalam hadis-hadis Nabi saw. sudah dimulai sejak abad kedua Hijriah. Sebagaimana dicatat Suyuti, buku yang pertama kali membahasnya sebagai kajian yang mandiri adalah Ikhtilaf  al-Hadith karya al-Imam al-Shafi’i  [w. 204 H.]. Dalam tema yang sama, Imam Ibn Qutaibah [w. 276 H.] tampil dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif al-Hadith , yang berusaha mempertahankan akidah melalui pendekatan hadis sebagai pengkayaan sekaligus alternatif bagi perspektif yang berkembang luas saat itu dalam memahami problem-problem teologis yang sering kali dimonopoli kelompok Kalam, Tasawuf, dan Filsafat. Kajian Mukhtalif al-Hadith  juga diperkaya dengan kehadiran Sharh Mushkil al-Athar karya Abu Ja’far Tahawi [w. 321 H.], seorang ahli fikih, pakar hadis, dan mufassir yang dipercaya sebagai pendiri aliran Mazhab T{ahawiyah, salah satu sekte dalam rumpun Sunni. Berikutnya, Ibn Faurak [w. 406 H.] menghadirkan master piece-nya yang berjudul Kitab Mushkil al-Hadith au Ta’wil al-Akhbar al-Mutashabihah dalam diskusi Mukhtalif al-Hadith  ini.

Keberadaan kajian-kajian tersebut memposisikan Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri’ al-Islami) setelah al-Qur’an.[1] Bersama al-Qur’an, hadis menjadi “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Masalah kemudian muncul ketika sejumlah hadis yang dinilai sahih oleh para ulama hadis—bahkan tercantum di dalam kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an yaitu S{ahih Bukhari dan Muslim[2]—diklaim bertentangan dengan al-Qur’an. Sikap kritis kemudian ditujukan kepada aplikasi kritik matan (al-naqd al-dakhiliy atau kritik internal) yang dilakukan ulama hadis dalam penilaian validitas (kesahihan) hadis serta metode pemahaman (fiqh al-hadith) yang dikembangkan oleh ahli hadis. Bahkan sikap skeptis secara totalitas terhadap otoritas hadis muncul dari kalangan munkir al-sunnah seperti Ignaz Goldziher, Joyn Bolt, Snock Horgen, Nabila Abot dll dengan argumen dan bukti adanya hadis-hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an.[3]

 

    B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian Mukhtalif al-Hadith

2.      Kontradiksi hadis dengan ayat al-Qur’an

3.      Solusi Hadis Kontradiktif

4.      Contoh Kontradiksi hadis dengan al-Qur’an dan Solusinya

 

    C.    Tujuan

1.        Mengerti pengertian Mukhtalif al-Hadith

2.        Memahami kontradiksi hadis dengan ayat al-Quran

3.        Mengerti bagaimana solusi apabila hadis bertentangan dengan al-Quran

4.        Mengerti contoh hadis yang berkontradiksi dengan al-Qur’an


BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Pengertian Mukhtalif al-Hadith

Istilah ini tersusun dari dua buah kata, “Mukhtalif” dan “al-Hadith ”. Maka sebelum memasuki pengertiannya yang bersifat teknis dalam Ilmu Hadis, ada baiknya jika kita telaah terlebih dahulu pengertian kebahasaannya.

Mukhtalif  merupakan Ism Fa’il [bentuk subjek] yang diambil dari kata kerja Ikhtilaf. Kata ini memiliki tiga huruf dasar kha-lam-fa [k-l-f]. Ibn Manzur mengutip Laits dan Ibn Sidah mengatakan khalfu [dengan sukun pada lam] berarti kebalikan arah depan [belakang]. Khalafa-Yakhlufu [shara khalfahu, berada di belakang], ikhtalafahu [akhadzahu min khalfih, mengambil sesuatu dari belakang], ikhtalafahu, khallafahu, wa akhlafahu [ja’alahu khalfahu, memposisikan di belakang]. Takhalluf [ta’akkhur, tertinggal di belakang]. Kata yang diderivasikan dari tiga huruf dasar ini selalu menyimpan pengertian ‘belakang’, yang kadang secara tidak langsung melibatkan pengertian ‘depan’ [lawannya] sebagai makna oposisi yang harus selalu terkait dengannya. Kata-kata turunannya seringkali menunjukkan terlibatnya ‘depan’, dalam percaturan makna derivatifnya. Sehingga dalam hal ini timbul pengertian biner antara dua hal; depan-belakang.[4] Posisi biner semacam ini meniscayakan ketidaksamaan [‘adam al-ittifaq wa al-tasawi] antara dua hal itu, keragaman [tanawwu’], dan bahkan adanya saling pertentangan satu sama lainnya. Ini dapat dilihat pada redaksi QS. al-An’am: 141, “Wa al-nakhla wa al-zar’a mukhtalifan ukuluh” [Pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya]. Mukhtalif dalam ayat ini bermakna bermacam-macam. Yang disebut bermacam-macam tidak lain merupakan dua hal atau lebih yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Contoh lain, Ikhtalafa al-Qaum [kaum itu berbeda pendapat], yang memiliki pengertian sebagian di antara mereka mengambil pilihan yang tidak sama [berbeda] dengan pilihan yang lain. Demikian sekilas pengertian ikhtilaf.

Hadis pada mulanya berarti lawan dari ‘yang lama’ [baru]. Perkataan disebut Hadis [Muhadathah untuk pembicaraan] karena ia diwujudkan dengan cara diucapkan, sehingga dari yang tadinya tidak ada menjadi ada. Kajian hadis memiliki pengertian sendiri dalam hal ini. yakni setiap yang disandarkan kepada Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, kesaksian [taqrir], ciri fisik, karakter perilaku, sejarah, baik sebelum atau setelah diutus sebagai rasul.[5]

Sedangkan Mukhtalif al-Hadith  menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Hakim Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith , sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadith , bahwa Mukhtalif al-Hadith  adalah,

سُنَنٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَارِضُهَا مِثْلَهَا فَيَحْتَجُ أَصْحَابُ الْمَذَاهِبُ بِأَحِدِهِمَا وَهُمَا فِيْ الصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ سِيَانٍ

Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.[6]

 

Sedangkan Nawawi [w. 676 H.], yang hidup beberapa abad setelahnya, mendefinisikannya dengan,

أَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثَانِ مُتَضَادَانِ فِيْ اْلمَعْنَى ظَاهِرًا فَيُوَافِقُ بَيْنَهُمَا أَوْ يُرَجِّحُ أَحَدُهُمَا

Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.[7]

 

Pada beberapa abad berikutnya, Suyuti [w. 911 H.] mendefinisikan dengan :

حَدِيْثٌ قَدْ أَبَاهُ أَخَرُ# فَالْجَمْعُ إِنْ أَمْكَنَ لَايُنَافِرُ

Hadis yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya dikompromikan [jam’u].[8]

Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki beberapa titik persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1] adanya pertentangan antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang ditawarkan. Menurut definisi Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak dapat disebut sebagai hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan. Semisal hadis sahih bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan antara hadis sahih dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan hadis lemah lainnyalah yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini tentu saja tidak didapatkan dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam ini tentu akan berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud T{ahhan seperti akan dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu harus maqbul [diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga pertentangan yang terjadi antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [da’if-gairu maqbul] tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi Hakim yang masih memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah.

Sedangkan dari definisi Nawawi dapat ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan [tadadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih. Sedangkan definisi Suyuti terkesan lebih luas karena tidak menjelaskan kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk pertentangannya. Dengan demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua hadis yang berbeda status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat hakiki. Bukan sekadar lahiriahnya. Hal ini berkonsekuensi pada dimasukkan hadis Mudtarib dalam kategori Mukhtalif. Karena, ketika kontradiksi antara dua hadis bersifat hakiki tentu saja akan meniscayakan ketidakmungkinan jam’u. Untuk penyelesaian, di sini Suyuti hanya menawarkan satu cara. Yakni melalui metode jam’u. Untuk cara penyelesaian akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri.

Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian di atas, pakar hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif. Mahmud T{ahhan mengatakan :

الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ إِمْكَانِ الْجَمْعِ

Hadis yang diterima yang dipertentangkan dengan sesamanya disertai adanya kemungkinan jam’u.[9]

 

Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian,

اْلعِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي اْلأَحَادِيْثُ الَّتِي ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيَزِيْلُ تَعَارِضُهَا أُوْ يُوَافِقُ بَيْنَهُمَا كَمَا يَبْحَثُ فِي اْلاَحَادِيْثِ الَّتِي يُشْكِلُ فَهْمَهَا أَوْتَصْوِرَهَا فَيَدْفَعُ إِشْكَالُهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.[10]

 

Pengertian yang diberikan T{ahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan sisi diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung menunjukkan kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu saja dalam hal ini mengecualikan hadis Mudtarib, karena tidak menyisakan ruang untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya. Sekalipun demikian, pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi yang melarang dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan. Solusi merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek kajian kita. Atas dasar inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud T{ahhan di atas sebagai cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadith

Sedangkan Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadith  sebagai sebuah ilmu. Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu. Ajjaj juga membedakan Mukhtalif al-Hadith  dari Mushkil al-Hadith . Di mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan yang timbul dari proses memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan hakikat yang dimaksud darinya. Pengertian yang dibawakan Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi yang ditawarkan Suyuthi dan Nawawi yang tidak membedakan derajat kesahihan.

 

    B.     Kontradiksi hadis dengan ayat al-Quran

Tidak diragukan bahwa al-Qur’an dari aspek thubut-nya seluruhnya bernilai qat’iyyah al-thubut, sementara hadis hanya sebagian kecil yang berstatus qat’iyyah al-thubut yaitu hadis mutawatir. Mayoritas hadis bernilai ahad. Namun keduanya, baik al-Qur’an maupun hadis, sama-sama memiliki dimensi zanniyah dari aspek dilalah (indikasi makna).[11] Sisi inilah yang memungkinkan terjadinya ta’arud zahiry.

Sebab terjadinya ta’arud, antara lain:

1.      Adanya sebagian nash yang maknanya berindikasi umum dan yang lain khusus, ada yang bersifat mutlak dan ada yang muqayyad, atau pengecualian (istithna’), dll. Bagi sebagian orang menilai kondisi teks-teks semacam ini kontradiktif (ta’arud).

2.      Ketidaktahuan tentang keluasan makna bahasa Arab yang menjadi bahasa media teks.

3.      Adanya pemalsuan terhadap hadis. Dengan demikian, hadis-hadis yang bertentangan ternyata palsu.

4.      Ketidaktahuan tentang konsep nasikh dan mansukh antara dalil dalam masalah hukum.[12]

 

    C.    Solusi Hadis Kontradiktif

Seperti al-Qur’an, terkadang Nabi menggunakan redaksi general dengan pengertian general, namun tidak sedikit yang memakai ungkapan general dengan maksud yang spesifik. Hadis tidak boleh dialihkan dari pengertian literal dan generalnya sebelum didapatkan informasi yang bersumber dari Nabi yang mengarahkan ke sana. Jika terdapat pertentangan maka sikap yang diambil adalah tidak membuang salah satu hadis, dan selama memungkinkan hendaknya diupayakan pengamalan keduanya [al-Jam’u bi I’malihima]. al-Shafi’i menegaskan :

Selama dua hadis [yang bertentangan] masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan. Tanpa menelantarkan salah satunya sebagaimana dalam kajian terhadap ayat al-Quran sebelumnya.[13]

 

Prinsip semacam inilah yang pada akhirnya disebut dengan teori Jam’u [diambil dari kata jama’a yang berarti mengumpulkan]. Yakni mengumpulkan dua dalil dengan cara mengamalkan keduanya tanpa membuang salah satunya. Selain digunakan untuk menyelesaikan kontradiksi yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, prinsip ini juga dipakai dalam mendekati kontradiksi dalam hadis. Seperti dalam kasus perang terhadap kaum musyrik, apakah seluruhnya diberi pilihan Islam-bunuh? Atau ada pilihan lain, seperti Islam-bunuh-jizyah. Ketika sebagian ayat memberikan pilihan Islam-bunuh, ayat lain menawarkan Islam-Jizyah. Kedua bentuk pilihan tidak harus saling menggugurkan. Karena konteks penerapannya berbeda. Di mana Islam-bunuh ditujukan kepada kaum musyrik penyembah berhala, sedangkan Islam-Jizyah diperuntukkan kaum musyrik ahli kitab. Sikap semacam ini meniscayakan pemberlakuan dua ayat yang saling bertentangan tersebut.  

Pendekatan kedua yang dipakai al-Shafi’i adalah nasakh [pengubahan, penggantian]. al-Shafi’i mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan perintah yang telah diturunkan sebelumnya. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan al-Shafi’i tentang dalil yang me-nasakh, “Perintah yang diturunkan dan bertentangan dengan perintah lain yang turun sebelumnya.”[14]

al-Shafi’i mensyaratkan keseimbangan antara dalil yang me-nasakh dan yang di-nasakh. Syarat ini meniscayakan ketidakbolehan pe-nasakh-an al-Qur’an menggunakan hadis. Hadis memiliki beragam tingkat kekuatan. Sebagian berstatus mutawatir yang setara dengan al-Quran, namun sangat sedikit, dan sebagian lagi berstatus ahad. Yang terakhir inilah yang banyak. Sekalipun mutawatir, bagi al-Shafi’i hadis hanya menempati posisi kedua di bawah al-Qur’an. Hadis hanya berhak menjelaskan, tidak menghapus atau mengganti hukum yang telah ditetapkan al-Qur’an.

Berangkat dari syarat ini pula, suatu hadis dapat me-nasakh hadis yang lain. Yakni jika tidak dimungkinkan rekonsiliasi melalui pendekatan jam’u. Nasakh dapat dilakukan jika terdapat teks mendukung. Dalil dapat berupa informasi dari Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.[15]

Berikutnya, al-Shafi’i menawarkan konsep ikhtilaf  min jihat mubah sebagai salah satu perspektif untuk menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif. Prinsip ini ingin mengatakan bahwa perbedaan antara dua hadis bukan perbedaan yang saling menegasikan. Masing-masing hadis ketika diamalkan, tidak berakibat pada penegasian fungsi hadis yang lain. Umat Islam diperbolehkan memilih salah satunya.

al-Shafi’i juga mengenalkan metode penyelesaian lain, yakni melalui prinsip persesuaian [munasabah] dengan dalil lain. Yakni persesuaian dengan al-Qur’an, tradisi Nabi [sunan al-Nabi], atau persesuaian dengan Qiyas. Dua hadis yang saling bertentangan ditimbang sisi persesuaiannya dengan sumber-sumber di atas. Dengan adanya persesuaian itu, salah satu hadis menjadi lebih kuat untuk diterima. Karena memiliki penguat [‘adid].  

Hadis-hadis yang bertentangan terkadang salah satunya berbentuk mujmal sedang yang lain mufassar. Jika demikian, pada dasarnya hal ini bukan sebuah kontradiksi, tapi lebih menunjukkan cara beretorika orang Arab yang orientasi pembicaraannya khusus namun menggunakan redaksi umum. Jika demikian, maka kedua hadis harus diamalkan melalui metode jam’u.

Terakhir, al-Shafi’i menawarkan teori tarjih al-riwayah. Jika salah satu hadis diriwayatkan melalui jalur yang kuat, sedang yang lain tidak, maka hadis yang kuat itulah yang diamalkan. Pendekatan terakhir meniscayakan penilaian hadis dari sisi sanadnya. Di sini kritik sanad bekerja untuk menentukan apakah sebuah hadis thabit [diakui validitasnya] atau tidak. Hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang majhul dianggap tidak thabit. Demikian seterusnya.

 

    D.    Contoh Kontradiksi hadis dengan al-Qur’an dan Solusinya

Hadis yang terdapat di dalam Kitab al-T{ibb (76) bab as-Sihr (50) nomor 5766

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّىْءَ وَمَا فَعَلَهُ ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهْوَ عِنْدِى دَعَا اللَّهَ وَدَعَاهُ ، ثُمَّ قَالَ « أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِى فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ » . قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « جَاءَنِى رَجُلاَنِ ، فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِى وَالآخَرُ عِنْدَ رِجْلَىَّ ، ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ . قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ ، الْيَهُودِىُّ مِنْ بَنِى زُرَيْقٍ . قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِى مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ ، وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ . قَالَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِى بِئْرِ ذِى أَرْوَانَ » . قَالَ فَذَهَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ ، فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ « وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ « لاَ ، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى ، وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا » . وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ .[16]

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya dari Aisyah dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disihir hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdo’a kepada Allah dan selalu berdo’a, kemudian beliau bersabda: “Wahai ‘Aishah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; “Menderita sakit apakah laki-laki ini?” temannya menjawab; “Terkena sihir.’ salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Lubid bin Al A’sam seorang Yahudi dari Bani Zuraiq.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia menyihir?” temannya menjawab; “Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma.” Salah seorang darinya bertanya; “Di manakah benda itu di letakkan?” temannya menjawab; “Di dalam sumur Dhi Arwan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui ‘Aishah bersabda: “Wahai ‘Aishah! seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan.” Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya?” beliau menjawab: “Tidak, sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Kemudian beliau memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya.”

 

Untuk diketahui hadis tentang disihirnya Nabi tersebut dicantumkan dalam tiga tempat oleh Bukhari dalam S{ahihnya. Menurut penelitian, Muqbil bin Hady al-Wad’y ada 14 (empat belas) jalur periwayatan hadis tersebut dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aishah ra. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadis selain Bukhari seperti Muslim, Nasai, Ahmad, Ibn Hibban, Baihaqy, Ibn Abi Shaibah, dll. Disamping itu terdapat shawahid dari hadis riwayat Ahmad, Nasai, Ibn Abi Syaibah, T{abrany, Ibn Sa’ad, dll.[17]

Kesahihan hadis ini diakui dan ditetapkan oleh para ulama senior baik dari aspek riwayat maupun dirayah-nya. Di antara ulama tersebut adalah Khattaby, Qadhi ‘Iyadh, Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim, Ibn Kathir, Nawawy, Ibn Hajar, Qurtuby, Alusi, dll.[18]

Muhammad Abduh, Mahmud Abu Rayyah,[19] dan  Muhibbin dalam disertasi doktoralnya menolak kesahihan hadis Nabi disihir dengan klaim bahwa hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an.  Di antara ayat yang bertentangan dengan hadis di atas adalah:

1- Surat al-Furqan ayat 8 :

أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَسْحُورًا [20]

Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.

 

Hadis di atas dianggap membenarkan tuduhan orang-orang musyrik bahwa Nabi adalah adalah orang gila di bawah pengaruh sihir. Dengan demikian dapat menyebabkan adanya keraguan terhadap kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW, karena mungkin saja Nabi terkena pengaruh sihir pada saat menerima wahyu.

 

2. Surat Al-Hijr ayat 42:[21]

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ  [22]

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.

 

Hadis di atas bertentangan dengan ayat ini karena apabila sihir merupakan perbuatan setan, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas hamba Allah. Apalagi kekuasaan atas diri seorang Rasul Allah.

 

3. Surat al-Maidah ayat 67:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ[23]

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

 

Hadis di atas bertentangan dengan jaminan perlindungan (ismah) Allah kepada Nabi SAW.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menelaah ulang apakah pertentangan itu benar-benar terbukti atau tidak. Apakah bisa diaplikasikan metode Jam’u antara hadis di atas dengan ayat yang diklaim kontradiktif?

1.      Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 8 menjelaskan maksud orang-orang musyrik dengan perkataan meraka bahwa setanlah yang membisikkan ajaran-ajarannya kepada Rasulullah dan dituliskan untuknya, sebagaimana siyaq as-sibaq dari ayat sebelumnya di ayat 5:  “Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.”

Mashuura artinya telah disihir sampai kerasukan seperti orang gila yang hilang dan rusak akalnya dan tidak menyadari apa yang dikatakannya sehingga tidak pantas untuk diikuti. Hal ini selaras dengan tuduhan mereka yang termaktub di ayat lain

ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila.[24]

 

Tuduhan orang kafir dalam ayat dimaksud akibat sihir yang membuat gila, merancau dalam perkataan yang diklaim wahyu tidak sesuai dengan konteks makna hadis di atas yang menunjukkan bahwa akibat disihir itu berupa kondisi sakit yang menimpa fisik.[25]

Pengaruh maksimal dari sihir yang dialami oleh Nabi—menurut keterangan Sufyan bin ‘Uyainah yang menjadi salah seorang perawi hadis itu—hanya berbentuk halusinasi. Jadi, bukan dalam bentuk lepas kontrol kesadaran diri dan itupun hanya berkaitan dengan kondisi ketika beliau berinteraksi khusus dengan istri beliau sebagaimana disebutkan dalam hadis (كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ).[26] Tidak ada data sejarah dan riwayat yang menjelaskan bahwa akibat sihir yang menimpa Nabi tersebut berpengaruh negatif terhadap aktivitas Nabi dalam penerimaan dan penyampaian wahyu, risalah, beribadah, berdakwah, tabligh, menyampaikan sunnah dan tashri’.

 Ibn Hajar menyebutkan bahwa peristiwa yang menimpa Rasulullah saw berupa sihir adalah bentuk musibah sakit yang bersifat manusiawi yang bisa dialami oleh manusia biasa. Musibah yang menimpa beliau bersifat sementara dan tidak berkaitan dengan wahyu dan risalah. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebgai bentuk sakit yaitu bagian akhir hadits menyebutkan: “أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى” (adapun saya telah Allah sembuhkan).  Dalil ini diperkuat oleh hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’id : “Rasulullah SAW sakit dan terhalang dari menggauli istri-istrinya dan dari makan dan minum, maka dua Malaikat pun turun menemui beliau”.[27]

Demikian pula, upaya membenturkan hadis di atas dengan ayat dalam surat al-Furqan tersebut kurang relevan karena ayat dan surat tesebut adalah Makkiyah sementara hadis tersebut madany sehingga ada kesenjangan (gap) dalam konteks dan momentum.

2.      Maksud dari “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka” adalah dalam konteks penyesatan. Kekuasaan yang diberikan kepada setan adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas-aktivitas  penyesatan dengan memperindah perbuatan buruk sehingga tampak baik dan sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr : 39-40.[28] Dengan demikian, ayat ini tidak sesuai dengan realitas pada diri Nabi SAW.

Adapun jika aktivitas setan yang berdampak negatif bagi fisik menimpa hamba yang sholeh tidak dinafikan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menunjukkan terjadinya hal itu dalam kisah Nabi Ayyub AS.

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ

Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.[29]

 

Demikian pula, pengaruh sihir dalam bentuk halusinasi pernah dialami oleh Nabi Musa AS sebagai Nabi ulul ‘azmi  ketika tukang sihir Fir’aun yang melempar tali-temali kemudian terlihat hidup seperti ular.

قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى (66) فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى (67)

Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (66) Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67)[30]

 

Bentuk pengaruh sihir yang terjadi pada Nabi Musa berupa halusinasi tersebut serupa dengan yang terjadi atas diri Rasulullah SAW.  Pengaruh sihir pada para nabi tersebut tidak berdampak pada penerimaan wahyu, pengamalan dan penyampaiannya. Interaksi di alam sadar Nabi Musa dengan wahyu walau ada pengaruh sihir ini secara eksplisit ditegaskan dalam lanjutan ayat dari surat Thaha di atas: “Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang) (68) Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (69).

3.      Hadis tentang Nabi disihir tidaklah bertentangan dengan ayat ismah karena konteks jaminan penjagaan dimaksud adalah dari pembunuhan, bukan dalam bentuk gangguan fisik. Sebab gangguan fisik dari orang-orang kafir sering kali menimpa Nabi sejak Nabi berdakwah di Makkah dan dalam berbagai peperangan seperti dalam perang Uhud. Hal ini diperkuat dengan data dari konteks asbab al-nuzul dari surat al-Maidah: 67 yang berkaitan dengan pengawalan khusus yang dilakukan oleh para sahabat terhadap rumah Nabi SAW dan ditiadakan setelah turunnya ayat tersebut.[31]


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kontradiksi yang terjadi antara hadis dengan al-Qur’an memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan pemahaman lengkap yang dapat mengungkap bagaimanakah sebenarnya hadis dan al-Qur’an tersebut. Pada dasarnya hadis adalah penjelas al-Qur’an maka tidak mungkin memiliki kontradiksi dengan apa yang dijelaskannya.

Seperti pada kasus kondisi yang dialami Rasulullah SAW menjadi sebab kesempurnaan pengajaran cara menghadapi dan mengobati sihir melalui contoh dari Rasulullah SAW. Demikian bentuk kesempurnaan qudwah hasanah yang diberikan oleh seorang rasul yang dipilih dari kalangan manusia bukan malaikat melalui cara menyikapi hal-hal terkait dengan tabiat insani dan hal-hal yang bersifat manusiawi. Kondisi yang dialami Rasulullah menjadi realita bahwa upaya-upaya gangguan dari orang-orang kafir baik dari kalangan manusia maupun jin menjadi ujian dalam kehidupan dan perjuangan orang-orang yang beriman.


DAFTAR PUSTAKA

Bukhari(al).  al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. Juz 4. Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400.

Hadithi(al), Abdullah Hasan. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005.

Hasan, Uthman Ali. Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad. Riyadh: Dar al-Watn, 1413 H.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis. Jakarta: Kencana, 2011.

Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadith Ulumuhu Wa Mushtalahuhu. Beirut; Dar-al Fikr, 1983.

Manzur, Ibn. Lisan al-Arab. Kairo: Darul Hadits, 2003.

Naisaburi, Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Hakim. Ma‘rifat ‘Ulum al-Hadith. Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977.

Suyuti, Jalaluddin. Tadrib al-Rawi Sharh Taqrib al-Nawawi,. Kairo: Darul Hadits, 2004.

Shafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf al-Hadith. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1986.

Shinqity, Muhammad Amin. Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4. Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp.

Suhbah, Muhammad Muhammad Abu. Difa’ ‘an al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, t.th.

Turmusi, Mahfud. Manhaj Dzawi al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi al-Atsar. Surabaya: Haramain, tt.

T{ahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Surabaya: Haramain, t.th.

Utsman, Ibn S{alah, Abu ‘Amr.Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah), ed. Nur al-Din ‘Itr. Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H.

Wad’y, Muqbil bin Hady. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi Hadith al-Sihr. S{an’a: Dar al-Athar, 1999.

Wahidy, Abu al-Hasan. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Zuhaily, Wahbah. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.



[1] Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 3

[2] Ibn Salah, Abu ‘Amr Utsman, ‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn al-S{alah), ed. Nuruddin ‘Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H), 28,

[3] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, 2011), 79-114

[4] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 184-185.

[5] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1983), 19.

[6] Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-H{akim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977), 122.

[7] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Dar al-Hadith, 2004), 467.

[8] Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dhawi al-Nazar Sharh Manzumat ‘ilmi al-Athar, (Surabaya: Haramain, t.th),  208.

[9] Mahmud T{ahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Haramain, t.th), 56.

[10]Al-Khathib, Usul al-Hadith, 283.

[11] Wahbah al-Zuhaily. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 37.

[12] Uthman Ali H{asan, Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad (Riyadh: Dar al-Watn, 1413 H), 53

[13] Muhammad bin Idris al-Shafi‘i, Ikhtilaf al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 39.

[14] Ibid., 31.

[15] Ibid., 40.

[16] al-Bukhari. al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq Muhib al-Din al-Khatib. Juz 4 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 49.

[17] Muqbil bin Hady al-Wad’y. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi Hadith al-Sihr, Cet. 2 (S{an’a: Dar al-Athar, 1999), 87-96.

[18] Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa’ ‘an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, t.th), 362-364.

[19] Ibid., 223.

[20] al-Qur’an, 25: 8.

[21] Ayat yang semakna terdapat dalam QS. al-Nahl : 99, al-Isra’ : 65, Saba’ : 21.

[22] al-Qur’an, 15: 42.

[23] Ibid., 5: 67.

[24] al-Qur’an, 44: 14

[25]Muhammad al-Amin al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4 (Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.th), 587.

[26] al-Bukhari. al-Jami’ al-Sahih Vol. 4, 48-49. Hadis nomor 5765. Pengaruh sihir dalam kehidupan suami-istri semacam ini telah ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 102.

[27] al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan..., 583-586.

[28] Ibid., 82-83.

[29] al-Qur’an, 38: 41.

[30] Ibid., 20: 66-67.

[31] Abu al-Hasan al-Wahidy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...