HOME

09 Maret, 2022

HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN HADIS LAINNYA

 

BAB I

PENDAHULUAN

        A.    Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an yang secara lahir bertentangan, harus dikompromikan dengan menggunakan beberapa metode dalam ta’arud. Begitu juga dengan hadis. Ada beberapa teks sunnah yang secara lahir tampak bertentangan. Hal ini dapat terjadi pada hadis yang validitasnya tidak dapat diragukan lagi. Misalnya, dua hadis yang berkualitas sahih, hasan, atau dengan bahasa maqbul. Berbeda jika salah satu dalil  itu ada yang lemah (da’if) baik dari segi sanad (perawi) atau matan (tekstualnya). Maka hal itu tidak perlu diselesaikan masalahnya. Tinggal dinon-aktifkan salah satunya.

Ada beberapa langkah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan hadis yang tampak bertentangan. Banyak pula ulama yang merumuskan dan memperbincangkannya. Hal ini mereka kerangkakan dalam disiplin ilmu mukhtalif al-hadith. Yaitu sebuah ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana menangani hadis ‘bermasalah’ secara lahirnya. Dengan beberapa langkah dan metode tertentu. Di mana fungsi dan tujuan ilmu ini adalah menghancurkan tuduhan dan fitnah a’da’ al-Islam. Ilmu ini berkembang saat ilmu-ilmu Islam lainnya dalam puncak kejayaan. Yaitu al-‘usur al-dhahabiyah (masa-masa keemasan).

Problematika yang timbul adalah perumusan dan pembatasan sampai mana metode yang harus diaplikasikan dalam hadis-hadis tersebut. Bagaimana mengklasifikasikan hadis ini masuk dalam mutlak, ‘amm, dan mujmal. Sehingga langkah dan kode yang dipakai mudah diterapkan. Secara jelasnya, kadang ditemukan hadis yang sulit dipastikan eksistensinya. Tampak seperti lafal umum, khusus, dan lainnya. Berikut makalah ini akan menjelaskan tentang substansi ilmu mukhtalif al-hadith, obyek kajiannya, kitab-kitab yang membicarakan, dan metode sekaligus contoh-contoh pengaplikasiannya untuk memudahkan perumusannya sebagaimana berikut ini.

 

        B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

1.    Bagaimana definisi mukhtalif al-hadith?

2.    Apa urgensi mempelajari ilmu ini?

3.    Apakah kitab-kitab terpopuler yang memperbincangkan ilmu tersebut?

4.    Bagamina Metode dan contoh penyelesaian mukhtalif al-hadith?

 

        C.           Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

1.    Mengeteahui definisi dan ilmu mukhtalif al-hadith.

2.   Mengetahui urgensi mempelajari ilmu ini.

3.   Mengetahui kitab-kitab terpopuler yang memperbincangkan ilmu ini.

4.   Mengetahui metode dan contoh penyelesaian mukhtalif al-hadith


BAB II

PEMBAHASAN

        A.           Pengertian Imu Mukhtalif al-Hadith

Mukhtalif artinya: yang berselisih atau yang bertentangan. Sedangkan mukhtalif al-hadith artinya: yang bertentangan dengan hadis. Boleh juga dikatakan: hadis yang bertentangan.[1]

Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu mukhtalif al-hadith sebagai berikut:

الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ إِشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا

“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya”.[2]

 

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadis- hadis yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi ke-mutlak-annya dan lain-lain. Atau yang dalam kitab al-Manhal al-Latif  biasa disebut Ahadith Allati mutadadan fi al-ma’na bihasabi al-zahiri. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadis dan fiqih.[3]

Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadis mushkil sebagai hadis maqbul (sahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya kerana adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan mushkil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.[4]

Dari sini dapat dipahami, bahwa ilmu mukhtalif al-hadith adalah sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana memahami hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu dan mencocokkannya. Seperti halnya pembicaraan tentang hadis yang sulit dipahami dan digambarkan. Dan hal ini akan mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan substansinya.

 

        B.            Urgensi Ilmu Mukhtalif al-Hadith

Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi ahli hadis, ahli fikih, dan ulama-ulama lain. Yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Dan yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadis dan fikih. Dalam hal ini, al-Sakhawi mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat di butuhkan oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadis dan fikih dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.”[5]

Ilmu ini merupakan salah  satu buah dari penghafalan hadis, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan Khas-nya, yang mutlak dan muqayad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadis, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.[6]

Ulama telah memberikan perhatian yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadith ini sejak pada masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan Mushabbihah seputar beberapa hadis. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal itu dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik.[7]

 

        C.           Karya-karya terpopuler dalam Bidang ini

Banyak ulama yang menyusun karya dalam bidang ini. Ada yang mencakup hadis-hadis yang tampak bertentangan secara keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadis-hadis yang tampak kontradiktif atau hadis-hadis yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan itu dengan menjelaskan maksudnya.[8]

Berikut ini adalah beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui hadis-hadis yang mukhtalif serta cara menjelaskan atau menakwilkannya. Di antaranya adalah :

1.    Kitab Ta’wil Ikhtilaf al-hadith karangan Imam al-Shafi’i (150-204 H)

Merupakan kitab yang pertama kali ditulis dalam bidang ini dan merupakan kitab terklasik yang sampai kepada kita. Beliau tidak bermaksud menyebut semua hadis yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukannya agar dijadikan sebagai sampel oleh ulama lain.

2.     Kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith karya Ibn Qutaibah (213-276 H)

Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadis yang melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadis dengan sejumlah periwayatan beberapa hadis yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap keracuan-keracuan seputar hadis-hadis itu. Kitab beliau itu menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Mushabbihah dan lain-lain.

3.    Kitab Mushkil al-Athar karya Imam al-Muhaddith al-Faqih Abu Jafar Ahmad ibn Muhammad al-Tahawi (239-321 H), yang terdiri dari empat jiid, dan di cetak di India pada tahun 1333 H.

4.    Kitab Mushkil al-Hadith wa Bayanuh karya Imam al-Muhaddith Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (Ibn Faruk) al-Ansari al-Asbahany. Yang wafat pada tahun 406 H. beliau menyusunnya berkenaan dengan hadis-hadis secara literal di duga kontradiktif, mengandung tashbih dan tajsim, yang di jadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah seputar hadis-hadis itu dengan beragumen pada dalil-dalil naqli dan aqli. Kitab ini telah di cetak di India pada tahun 1362 H.[9]

 

        D.           Metode dan Contoh Penyelesaian Mukhtalif al-Hadith

Apabila kita mendapati dua buah hadis makbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya maka:[10]

Pertama, Tariqah al-Jam’u

 dengan cara ini hendaklah kita berusaha untuk mengumpulkan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Kalau keduanya dapat dikumpulkan hendaklah diamalkan kedua-duanya. Contohnya:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ ثُمَّ قَالَ لَهُ كَمْ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Mujahid berkata; Ketika aku dan 'Urwah bin Az Zubair masuk kedalam masjid disana ada 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu sedang duduk di bilik rumah 'Aisyah radliallahu 'anha, sedang orang-orang melaksanakan shalat Dhuha dalam masjid". Dia (Mujahid) berkata: "Maka kami bertanya kepadanya tentang shalat yang mereka kerjakan, maka dia berkata: "Itu adalah bid'ah". Kemudian dia berkata lagi kepadanya: "Berapa kali Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan 'umrah?" Dia menjawab: "Empat kali, satu diantaranya pada bulan Rajab".[11]

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا شُرَيْحُ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَأَلْتُ مَسْرُوقًا وَعَطَاءً وَمُجَاهِدًا فَقَالُوا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ وَقَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ مَرَّتَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Utsman telah menceritakan kepada kami Syuraih bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Yusuf dari bapaknya dari Abu Ishaq berkata: Aku bertanya kepada Masruq. 'Ata' dan Mujahid. Mereka menjawab: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah pada bulan Dhul Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji". Dan dia (Abu Ishaq) berkata: Aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radiallahu 'anhuma berkata: "Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah pada bulan Dhul Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji sebanyak dua kali".[12]

Keterangan:

a.    Riwayat pertama menunjukkan bahwa Nabi SAW. Berumrah empat kali, sedang riwayat kedua mengatakan dua kali. Kalau kita lihat secara zahir riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian riwayat-riwayat itu bisa kita gabungkan dengan cara demikian:

          i.     Umrah Nabi SAW. Adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwayat pertama.

        ii.     Dalam riwayat kedua Bara’ menyebut dua umrah. Yang dua lagi tidak di sebut. Umrah yang tidak di sebut ini adalah: (1) Umrah Nabi saw bersama hajinya, (2) Umrah Jiranah.

Bara’ tidak membawakan dua umrah ini karena:

1.    Umrah bersama haji itu, Nabi mengerjakannya dalam bulan haji, sedang yang mau di tunjukkannya kepada orang umrah nabi dalam bulan Dhul Qa’dah yang tersebut dalam riwayat itu.

2.    Umrah jiranah boleh jadi Bara’ tidak mengetahui, sebagaimana tidak di ketahui juga oleh sahabat-sahabat yang lain

Dengan demikian cara jam’u terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan itu.[13]

 

Kedua, Nasikh dan Mansukh

Jika cara al-Jam’u tidak bisa, hendaklah kita mencari mana di antara kedua hadis tersebut yang datang lebih dahulu, dan mana yang datang kemudian. Hadis yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakhkan oleh hadis yang datang kemudian. Hadis yang di nasakh disebut dengan hadis mansukh dan yang menasakhnya di sebut dengan hadis Nasikh.

Untuk mengetahui hadis yang datangnya awal atau terakhir dari dua hadis yang zahir-nya saling bertentangan, dapat kita ketahui dengan beberapa cara:

 

1.    Penjelasan atau keterangan langsung dari nabi untuk menghapus hadis yang terdahulu.

 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Shaibah dan Muhammad bin Abdulalh bin Numair dan Muhammad bin al-Muthanna -sedangkan lafalnya milik Abu Bakar dan Ibnu Numair- mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudail dari Abu Sinan -ia adalah Dirar bin Murrah- dari Muharib bin Ditsar dari Ibn Buraidah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur selain dalam qirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan kamu minum yang memabukkan”.[14]

 

2.    Penjelasan dari para sahabat

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin 'Ayyas berkata; telah menceritakan kepada kami Shu'aib dari Muhammad bin Munkadir berkata; "Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata; "Salah satu dari dua hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam adalah tidak berwudlu karena memakan sesuatu yang disentuh oleh (dimasak dengan) api.[15]

 

 Hadis ini di-naskh dengan hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di dalam kitab Sahih-nya:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ فَقَالَ لَا قَدْ كُنَّا زَمَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَجِدُ مِثْلَ ذَلِكَ مِنْ الطَّعَامِ إِلَّا قَلِيلًا فَإِذَا نَحْنُ وَجَدْنَاهُ لَمْ يَكُنْ لَنَا مَنَادِيلُ إِلَّا أَكُفَّنَا وَسَوَاعِدَنَا وَأَقْدَامَنَا ثُمَّ نُصَلِّي وَلَا نَتَوَضَّأُ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnul Mundzir berkata; telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Fulaih berkata; telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Sa'id Ibnul Harits dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma, Bahwasanya ia bertanya kepadanya tentang wudlu karena memakan sesuatu yang terkena api (dibakar). Ia menjawab, "Tidak. Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kami tidak menemui makanan seperti itu kecuali sedikit. Jika kami mendapatkannya (makan) dan tidak memiliki sapu tangan untuk mengelap telapak tangan, betis dan telapak kaki, maka kami shalat dan tidak berwudlu lagi."[16]

 

3.    Diketahui dengan melihat tarikh

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ وَهُوَ يَحْتَجِمُ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِي لِثَمَانِ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang kepada seseorang di Baqi' sementara orang tersebut sedang berbekam, sementara beliau menggandeng tanganku- selama delapan belas hari yang telah berlalu pada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata: "Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam."[17]

 

Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis di atas di-naskh dengan hadis yang di riwayatkan Imam Muslim dalam kitab sahih-nya

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِم

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim -Ishaq berkata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Amru dari Thawus dan Atha` dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam saat beliau sedang ihram dan berpuasa”.[18]

 

 Hadis kedua menghapus hadis pertama karena Ibn ‘Abbas waktu itu melakukan ihram bersama nabi ketika haji wada’ yaitu pada tahun 10 hijriyah, sebagaimana hadis yang di riwayatkan Imam al-Tirmidhi:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ فِيمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Yazid bin Abu Ziyad dari Miqsam dari Ibnu Abbas berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam di suatu tempat antara Makkah dan Madinah dalam keadaan ihram dan berpuasa”.[19]

 

4.    Dengan mengetahui ijma’ ulama

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ أَخْبَرَنَا عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adh Dhabbi berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan, Az Zuhri berkata; telah mengabarkan kepada kami dari Qabishah bin Dzuaib bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa minum khamer maka cambuklah, jika ia mengulanginya lagi maka cambuklah, jika ia mengulanginya lagi pada kali ketiga atau keempat maka bunuhlah ia”.[20]

 

Imam al-Nawawi mengatakan: hadis tersebut di-naskh oleh ijma’ ulama. Dan para ulama juga berpendapat bahwa, hadis tersebut di-naskh dengan hadis yang di riwayatkan Imam al-Bukhari:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَة

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy, dari 'Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah mengatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Darah seorang muslim yang telah bersyahadat la ilaha illallah dan mengakui bahwa aku utusan Allah terlarang ditumpahkan selain karena alasan diantara tiga; membunuh, berzina dan dia telah menikah, dan meninggalkan agama, meninggalkan jamaah muslimin".[21]

 

Ketiga, al-Tarjih

kalau usaha mencari nasikh-nya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadis yang kuat, baik sanad maupun matannya, untuk di-tarjih-kannya. Hadis yang kuat disebut hadis rajih, sedang yang di-tarjih-kan disebut marjuh.

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ الْحَنْظَلِيُّ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ

“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ibnu Numair dan Ishaq Al Handlali semuanya dari Ibnu 'Uyainah. Ibnu Numair mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Amru bin Dinar dari Abu As Sya'tsa` bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam menikahi Maimunah padahal beliau sedang berihram”.[22]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَزَارَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Abu Fazarah dari Yazid bin Al Asham telah menceritakan kepadaku Maimunah binti Al Harits bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya ketika beliau sedang halal (orang yang keluar dari ihram)”.[23]

 

Keterangan:

1.    Dua riwayat itu derajatnya sahih

2.    Kita memeriksa, adakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibn Abbas itu? Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satu pun bantuan bagi riwayat Ibn Abbas yang mengatakan nabi kawin dalam ihram.

3.    Kita lihat pula riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid nin Asham. Kita dapati ada yang membantunya, yaitu dari empat jurusan:

a.    Yang meriwatkan dalam ihlal adalah Maimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima dari pada orang lain menceritakannya.

b.    Abu Rafi’ meriwayatkan kejadian perkawinan itu dalam ihlal juga.

c.    Di antara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibn Abbas tentang nikah dalam ihram, tetapi terhadap riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.

d.   Yang dikatakan Maimunah dan cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan nabi saw tentang “tidak boleh nikah dalam ihram”, yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, yaitu:

و حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنِي أَبُو الْخَطَّابِ زِيَادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَوَاءٍ قَالَا جَمِيعًا حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ مَطَرٍ وَيَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ

Bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah dan dinikahkan dan meminang."[24]

Dengan bantuan empat jurusan itu, jadi kuatlah riwayat yang mengatakan nabi kawin dalam ihlal, serta tertolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram.[25]

 

Keempat. Al-Tawaqquf

Kalau usaha yang terakhir ini pun gagal, kedua hadis tersebut hendaklah dibekukan, di tinggalkan untuk pengamalannya. Hadis yang di tawaqquf-kan ini disebut dengan hadis Mutawaqqaf fih. Hadis Mutawaqqaf fih ini, menurut sebagian pendapat dapat di amalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa di amallkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda-beda. [26]

Menurut pendapat para ulama dan imam, pada dasarnya tidak ada dua hadis maqbul  yang saling bertentangan antara hadis satu dengan yang lain kecuali bisa diselesaikan dengan menggunakan metode  al-jam’u (mengkompromikannya), nasikh jika ada kaiatan antara hadis satu dengan yang lain, atau bisa di tarjih antara keduanya dengan pen-tarjih-an yang dibenarkan.[27]

Imam Ibn Huzaimah mengatakan: Saya benar-benar tidak mengetahui nabi meriwayatkan dua hadis, dengan dua sanad sahih, yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Jika ada yang menemukan maka datangkan kepadaku sehingga aku akan membukukannya.[28]

Sehingga jika terjadi hal semacam itu dan seorang mujtahid tidak bisa menyelesaikan permasahan tersebut dengan menggunakan tiga metode yang telah dipaparkan di atas (al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih) maka seorang mujtahid wajib tawaqquf sampai bisa atau ada seorang mujtahid lain yang bisa menyelesaikannya.[29]

Yang menjadikan sebab al-tawaqquf adalah lemah atau tidak mengetahuinya seorang mujtahid untuk menyelesaikan pertentangan antara dua hadis dengan tiga metode diatas (al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih). Sehingga sebenarnya tidak ada pertentangan antar dua hadis atau dua dalil, karena tidak ada dalil-dalil shar’ i bertentangan secara hakiki hanya saja pertentangannya itu ditinjau dari segi zahir-nya saja dan sebenarnrnya bisa diselesaikan dengan al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih.[30]

Imam al-Ghazali mengatakan, jika ada dua dalil yang menurut seorang mujtahid saling bertentangan, dan ia tidak mampu lagi untuk melakukan tarjih, dan tidak menemukan lagi dalil  yang lain, maka para ulama berpendapat bahwa sesungguhnya yang benar antara dua dalil tersebut adalah salah satunya saja, hal ini dekarenakan lemahnya sorang mujtahid.[31]

Dan sudah jelas, jika ada dua hadis yang keduanya saling bertentangan dan seorang Mujtahid  tidak mampu mengetahi cara penyelesaiannya maka hal itu sama sekali tidak mempengaruhi status hadis tersebut, akan tetapi itu kembali kepada seorang mujtahid dan ilmu tidak akan hanya berhenti kepada salah satu mujtahid, sebagaimana firman Allah:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui”.

Sehingga dari sini penulis bisa simpulkan bahwasanya sebab al-tawaqquf adalah lemahnya seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan antara dua hadis dengan metode al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih. dan sudah menjadi kewajiban seorang mujtahid untuk tawaqquf  jika memang tidak mampu untuk menyelesaikan dua hadis yang saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di atas, sampai ia bisa menyelesaikan sendiri atau ada ulama lain yang keilmuannya lebih mumpuni yang bisa menyelesaikan dua hadis yang saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di atas (metode al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih).


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


BAB III

PENUTUP

Ilmu Mukhtalif al-Hadith adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

Ilmu ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap ulama dalam bidang apapun. Yang bisa sempurna melaksanakan ilmu ini adalah seseorang yang benar-benar pandai mengumpulkan ilmu hadis dan fiqih, serta bisa menyelami arti dari kata-kata sulit.

Sehingga jika ada hadis-hadis yang tampaknya bertentangan maka untuk penyelesaiannya adalah  dengan cara  al-Jam’u, Nasikh dan Mansukh, al-Tarjih dan tawaqquf.


DAFTAR PUSTAKA

Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh Nuzhah al-Nazar. Kairo: Dar al-‘Aqidah, 2007.

Bukhari (al), Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. al-Jami’ al-Sahih. Germany: Jamiyah al-Miknaz al-Islami, 2000.

Ghazali (al), Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. al-Mustasfa. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.

Hajjaj (al), Abi al-Husain Muslim bin. Sahih Muslim. Germany: Jam’iyah al-Maknaz al-Islami, 2000.

Hasan, Ahmad Qadir. Ilmu Mustalah hadith. Bandung: Diponegoro,2007.

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, 1975.

Luban (al), Muhammad Nasr al-Dasuqi. Qawaid Raf’u Iham Mukhtalif al-Hadith baina al-Muhaddisin wa al-Ushuliyyin  (Diktat Universitas Al-Azhar Kairo)

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadist. Yogyakarta : Idea Press, 2008.

Nasa’i (al), Abu Abd al-Rahman Ahmad ibn Shuaib. Sunan al-Nasa’i. Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000.

Qaththan (al), Syaikh Manna’. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

Rahman, Fatchur. Ikhtishar Musthalah al-Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.

Sakhawy (al), Muhammad bin Abdirrahman. Fath al-Mughis. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.

Sijistani (Al), Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Ash'ath. Sunan Abi Dawud Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000.



[1] Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007), 254.

[2] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadith  (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), 283.

[3] Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005), 103.

[4] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist (Yogyakarta : Idea Press, 2008).

[5] al-Sakhawy, Muhammad bin Abd al-Rahman., Fath al-Mughith, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 182.

[6] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadith, 284.

[7] Ibid., 284.

[8] Ibid., 284.

[9] Ibid., 284.

[10] Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung, Alma’arif, 1974), 151.

[11] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 332.

[12] Ibid., 332.

[13] Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007), 256.

[14]  Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 863.

 [15] Abu Abd al-Rahman Ahmad ibn Shuaib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 30.

[16] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih,1139.

[17] Sulaiman ibn al-Ash’ath Abu Dawu al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 404.

[18] Muslim, Sahih Muslim, 486.

[19] Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 216.

[20]Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 751.

[21] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, 1387

[22] Muslim, Sahih Muslim, 575.

[23] Ibid., 575.

[24] Ibid., 575.

[25] Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007),258, 259.

[26] Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 151.

[27] Muhammad Nasr al-Dasuqi al-Luban, Qawaid Raf’u Iham Mukhtalif al-Hadith baina al-Muhaddisin wa al-Ushuliyyin (Diktat Universitas Al-Azhar Kairo), 199.

[28] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh Nuzhah al-Nazar  (Kairo: Dar al-‘Aqidah, 2007), 210.

[29] al-Dasuqi al-Luban, Qawaid Raf’u, 199.

[30] Ibid.,200.

[31] Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 364.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...