BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang secara lahir bertentangan, harus dikompromikan
dengan menggunakan beberapa metode dalam ta’arud. Begitu
juga dengan hadis. Ada beberapa teks sunnah yang secara lahir
tampak bertentangan. Hal ini dapat terjadi pada hadis yang validitasnya
tidak dapat diragukan lagi. Misalnya, dua hadis yang berkualitas sahih, hasan, atau dengan
bahasa maqbul. Berbeda
jika salah satu dalil itu ada yang lemah
(da’if) baik dari segi sanad (perawi)
atau matan (tekstualnya). Maka hal itu tidak perlu
diselesaikan masalahnya. Tinggal dinon-aktifkan salah satunya.
Ada beberapa langkah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan hadis
yang tampak bertentangan. Banyak pula ulama yang merumuskan dan
memperbincangkannya. Hal ini mereka kerangkakan dalam disiplin ilmu mukhtalif al-hadith. Yaitu sebuah ilmu yang
memperbincangkan tentang bagaimana menangani hadis ‘bermasalah’ secara
lahirnya. Dengan beberapa langkah dan metode tertentu. Di mana fungsi dan
tujuan ilmu ini adalah menghancurkan tuduhan dan fitnah a’da’ al-Islam. Ilmu ini berkembang saat
ilmu-ilmu Islam lainnya dalam puncak kejayaan. Yaitu al-‘usur al-dhahabiyah (masa-masa keemasan).
Problematika yang timbul adalah perumusan dan pembatasan sampai
mana metode yang harus diaplikasikan dalam hadis-hadis tersebut.
Bagaimana mengklasifikasikan hadis ini masuk dalam mutlak, ‘amm, dan mujmal. Sehingga
langkah dan kode yang dipakai mudah diterapkan. Secara jelasnya, kadang
ditemukan hadis yang sulit dipastikan eksistensinya. Tampak seperti
lafal umum, khusus, dan lainnya. Berikut makalah ini akan menjelaskan tentang
substansi ilmu mukhtalif al-hadith, obyek
kajiannya, kitab-kitab yang membicarakan, dan metode sekaligus contoh-contoh
pengaplikasiannya untuk memudahkan perumusannya sebagaimana berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Bagaimana definisi mukhtalif al-hadith?
2.
Apa urgensi mempelajari ilmu ini?
3.
Apakah kitab-kitab terpopuler yang memperbincangkan
ilmu tersebut?
4.
Bagamina Metode dan contoh penyelesaian mukhtalif al-hadith?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penyusunan
makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
1. Mengeteahui definisi dan ilmu mukhtalif al-hadith.
2.
Mengetahui urgensi mempelajari ilmu ini.
3.
Mengetahui kitab-kitab terpopuler yang
memperbincangkan ilmu ini.
4.
Mengetahui metode dan contoh penyelesaian mukhtalif al-hadith
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Imu Mukhtalif al-Hadith
Mukhtalif
artinya: yang berselisih atau yang bertentangan. Sedangkan mukhtalif
al-hadith artinya: yang bertentangan dengan hadis. Boleh juga
dikatakan: hadis yang bertentangan.[1]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu mukhtalif al-hadith sebagai berikut:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ إِشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
“Ilmu yang membahas hadis-hadis
yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya”.[2]
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadis- hadis yang
saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi ke-mutlak-annya
dan lain-lain. Atau yang dalam kitab al-Manhal al-Latif biasa disebut Ahadith Allati mutadadan fi al-ma’na bihasabi al-zahiri.
Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadis dan
fiqih.[3]
Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadis mushkil sebagai hadis maqbul (sahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya kerana adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan mushkil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.[4]
Dari sini dapat dipahami, bahwa ilmu mukhtalif al-hadith adalah sejenis ilmu yang
memperbincangkan tentang bagaimana memahami hadis yang secara lahir
bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu dan mencocokkannya. Seperti
halnya pembicaraan tentang hadis yang sulit dipahami dan digambarkan.
Dan hal ini akan mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan substansinya.
B.
Urgensi Ilmu Mukhtalif
al-Hadith
Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi ahli hadis, ahli fikih,
dan ulama-ulama lain. Yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam,
ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Dan yang bisa mendalaminya hanyalah
mereka yang mampu memadukan antara hadis dan fikih. Dalam hal ini,
al-Sakhawi mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat di
butuhkan oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas
adalah mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadis dan fikih
dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.”[5]
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafalan hadis,
pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan Khas-nya,
yang mutlak dan muqayad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang hanya dengan
menghafal hadis, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai
kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.[6]
Ulama telah memberikan perhatian yang serius terhadap
ilmu Mukhtalif al-Hadith ini sejak pada masa sahabat, yang
menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka
melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis,
menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi
mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampaknya
saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Ulama
memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian
kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan Mushabbihah
seputar beberapa hadis. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai
hal-hal itu dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik.[7]
C.
Karya-karya terpopuler dalam
Bidang ini
Banyak ulama yang menyusun
karya dalam bidang ini. Ada yang mencakup hadis-hadis yang tampak
bertentangan secara keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya
itu pada pengkompromian hadis-hadis yang tampak kontradiktif atau
hadis-hadis yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan
itu dengan menjelaskan maksudnya.[8]
Berikut ini adalah beberapa kitab
penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui hadis-hadis
yang mukhtalif serta cara menjelaskan atau menakwilkannya.
Di antaranya adalah :
1.
Kitab Ta’wil Ikhtilaf al-hadith karangan
Imam al-Shafi’i (150-204 H)
Merupakan kitab yang pertama kali ditulis dalam bidang ini dan
merupakan kitab terklasik yang sampai kepada kita. Beliau tidak bermaksud
menyebut semua hadis yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut
sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukannya agar dijadikan
sebagai sampel oleh ulama lain.
2.
Kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith karya Ibn Qutaibah
(213-276 H)
Beliau menyusunnya untuk
menyanggah musuh-musuh hadis yang melancarkan beberapa tuduhan kepada
ahli hadis dengan sejumlah periwayatan beberapa hadis yang tampak
saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang mereka
klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap keracuan-keracuan
seputar hadis-hadis itu. Kitab beliau itu menempati posisi yang
amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung
kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Mushabbihah dan
lain-lain.
3.
Kitab Mushkil al-Athar karya
Imam al-Muhaddith al-Faqih Abu Jafar Ahmad ibn Muhammad al-Tahawi
(239-321 H), yang terdiri dari empat jiid, dan di cetak di India pada tahun
1333 H.
4.
Kitab Mushkil al-Hadith wa Bayanuh karya Imam al-Muhaddith
Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (Ibn Faruk) al-Ansari al-Asbahany. Yang wafat
pada tahun 406 H. beliau menyusunnya berkenaan dengan hadis-hadis
secara literal di duga kontradiktif, mengandung tashbih dan tajsim, yang
di jadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan
maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah seputar hadis-hadis
itu dengan beragumen pada dalil-dalil naqli dan aqli. Kitab ini
telah di cetak di India pada tahun 1362 H.[9]
D.
Metode dan Contoh Penyelesaian Mukhtalif
al-Hadith
Apabila kita mendapati dua
buah hadis makbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya
maka:[10]
Pertama, Tariqah al-Jam’u
dengan cara ini hendaklah kita berusaha
untuk mengumpulkan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya.
Kalau keduanya dapat dikumpulkan hendaklah diamalkan kedua-duanya. Contohnya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ ثُمَّ قَالَ لَهُ كَمْ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Telah menceritakan kepada
kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Mujahid
berkata; Ketika aku dan 'Urwah bin Az Zubair masuk kedalam masjid disana ada
'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu sedang duduk di bilik rumah 'Aisyah
radliallahu 'anha, sedang orang-orang melaksanakan shalat Dhuha dalam
masjid". Dia (Mujahid) berkata: "Maka kami bertanya kepadanya tentang
shalat yang mereka kerjakan, maka dia berkata: "Itu adalah bid'ah".
Kemudian dia berkata lagi kepadanya: "Berapa kali Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam pernah melaksanakan 'umrah?" Dia menjawab: "Empat
kali, satu diantaranya pada bulan Rajab".[11]
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا شُرَيْحُ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَأَلْتُ
مَسْرُوقًا وَعَطَاءً وَمُجَاهِدًا فَقَالُوا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ وَقَالَ
سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ اعْتَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ
أَنْ يَحُجَّ مَرَّتَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Utsman telah menceritakan kepada kami
Syuraih bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Yusuf dari
bapaknya dari Abu Ishaq berkata: Aku bertanya kepada Masruq. 'Ata' dan Mujahid.
Mereka menjawab: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
'umrah pada bulan Dhul Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji". Dan dia
(Abu Ishaq) berkata: Aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radiallahu 'anhuma berkata:
"Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah pada bulan Dhul
Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji sebanyak dua kali".[12]
Keterangan:
a.
Riwayat pertama menunjukkan
bahwa Nabi SAW. Berumrah empat kali, sedang riwayat kedua mengatakan dua kali.
Kalau kita lihat secara zahir riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara
satu dengan yang lain. Meskipun demikian riwayat-riwayat itu bisa kita
gabungkan dengan cara demikian:
i. Umrah
Nabi SAW. Adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwayat pertama.
ii. Dalam
riwayat kedua Bara’ menyebut dua umrah. Yang dua lagi tidak di sebut. Umrah
yang tidak di sebut ini adalah: (1) Umrah Nabi saw bersama hajinya, (2) Umrah
Jiranah.
Bara’
tidak membawakan dua umrah ini karena:
1.
Umrah bersama haji itu, Nabi
mengerjakannya dalam bulan haji, sedang yang mau di tunjukkannya kepada orang
umrah nabi dalam bulan Dhul Qa’dah yang tersebut dalam riwayat itu.
2.
Umrah jiranah boleh
jadi Bara’ tidak mengetahui, sebagaimana tidak di ketahui juga oleh
sahabat-sahabat yang lain
Dengan demikian cara jam’u
terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan itu.[13]
Kedua, Nasikh dan Mansukh
Jika cara al-Jam’u
tidak bisa, hendaklah kita mencari mana di antara kedua hadis tersebut
yang datang lebih dahulu, dan mana yang datang kemudian. Hadis yang
datang lebih dahulu hendaklah dinasakhkan oleh hadis yang datang
kemudian. Hadis yang di nasakh disebut dengan hadis mansukh dan
yang menasakhnya di sebut dengan hadis Nasikh.
Untuk mengetahui hadis
yang datangnya awal atau terakhir dari dua hadis yang zahir-nya
saling bertentangan, dapat kita ketahui dengan beberapa cara:
1.
Penjelasan atau keterangan langsung
dari nabi untuk menghapus hadis yang terdahulu.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Shaibah dan Muhammad bin Abdulalh
bin Numair dan Muhammad bin al-Muthanna -sedangkan lafalnya milik Abu Bakar dan
Ibnu Numair- mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudail
dari Abu Sinan -ia adalah Dirar bin Murrah- dari Muharib bin Ditsar dari Ibn
Buraidah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah
kubur, maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk
menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah
selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur
selain dalam qirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan
kamu minum yang memabukkan”.[14]
2.
Penjelasan
dari para sahabat
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Telah
mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Ali bin 'Ayyas berkata; telah menceritakan kepada kami Shu'aib dari
Muhammad bin Munkadir berkata; "Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata;
"Salah satu dari dua hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam adalah tidak berwudlu karena memakan sesuatu yang disentuh
oleh (dimasak dengan) api.[15]
Hadis ini di-naskh dengan hadis
yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di dalam kitab Sahih-nya:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ فَقَالَ لَا قَدْ كُنَّا زَمَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَجِدُ مِثْلَ ذَلِكَ مِنْ الطَّعَامِ إِلَّا قَلِيلًا فَإِذَا نَحْنُ وَجَدْنَاهُ لَمْ يَكُنْ لَنَا مَنَادِيلُ إِلَّا أَكُفَّنَا وَسَوَاعِدَنَا وَأَقْدَامَنَا ثُمَّ نُصَلِّي وَلَا نَتَوَضَّأُ
Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnul Mundzir berkata; telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Fulaih berkata; telah menceritakan kepadaku Bapakku dari
Sa'id Ibnul Harits dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma, Bahwasanya ia
bertanya kepadanya tentang wudlu karena memakan sesuatu yang terkena api
(dibakar). Ia menjawab, "Tidak. Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kami tidak menemui makanan seperti itu kecuali sedikit. Jika kami mendapatkannya
(makan) dan tidak memiliki sapu tangan untuk mengelap telapak tangan, betis dan
telapak kaki, maka kami shalat dan tidak berwudlu lagi."[16]
3. Diketahui
dengan melihat tarikh
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ
حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي
الْأَشْعَثِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ وَهُوَ يَحْتَجِمُ وَهُوَ
آخِذٌ بِيَدِي لِثَمَانِ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami
Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al
Asy'ats dari Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
datang kepada seseorang di Baqi' sementara orang tersebut sedang berbekam,
sementara beliau menggandeng tanganku- selama delapan belas hari yang telah
berlalu pada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata: "Telah batal puasa
orang yang membekam dan yang dibekam."[17]
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis di atas di-naskh dengan hadis
yang di riwayatkan Imam Muslim dalam kitab sahih-nya
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِم
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ishaq
bin Ibrahim -Ishaq berkata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang
yang lain berkata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Amru
dari Thawus dan Atha` dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berbekam saat beliau sedang ihram dan
berpuasa”.[18]
Hadis kedua menghapus hadis pertama karena Ibn ‘Abbas waktu itu melakukan ihram bersama nabi ketika haji wada’ yaitu pada tahun 10 hijriyah, sebagaimana hadis yang di riwayatkan Imam al-Tirmidhi:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ فِيمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani'
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Yazid bin Abu Ziyad dari
Miqsam dari Ibnu Abbas berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berbekam di suatu tempat antara Makkah dan Madinah dalam keadaan ihram
dan berpuasa”.[19]
4.
Dengan mengetahui ijma’
ulama
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ
أَخْبَرَنَا عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ
فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ
“Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adh Dhabbi berkata, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, Az Zuhri berkata; telah mengabarkan kepada kami dari
Qabishah bin Dzuaib bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa minum khamer maka cambuklah, jika ia mengulanginya lagi maka
cambuklah, jika ia mengulanginya lagi pada kali ketiga atau keempat maka
bunuhlah ia”.[20]
Imam
al-Nawawi mengatakan: hadis tersebut di-naskh oleh ijma’ ulama.
Dan para ulama juga berpendapat bahwa, hadis tersebut di-naskh dengan
hadis yang di riwayatkan Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى
ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ
التَّارِكُ لِلْجَمَاعَة
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh,
telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy,
dari 'Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah mengatakan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Darah seorang muslim yang telah
bersyahadat la ilaha illallah dan mengakui bahwa aku utusan Allah
terlarang ditumpahkan selain karena alasan diantara tiga; membunuh, berzina dan
dia telah menikah, dan meninggalkan agama, meninggalkan jamaah muslimin".[21]
Ketiga, al-Tarjih
kalau usaha mencari nasikh-nya
tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadis yang kuat,
baik sanad maupun matannya, untuk di-tarjih-kannya. Hadis
yang kuat disebut hadis rajih, sedang yang di-tarjih-kan
disebut marjuh.
و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ
الْحَنْظَلِيُّ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Ibnu Numair dan Ishaq Al Handlali semuanya dari Ibnu 'Uyainah. Ibnu Numair
mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Amru bin
Dinar dari Abu As Sya'tsa` bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi
sallallahu 'alaihi wasallam menikahi Maimunah padahal beliau sedang berihram”.[22]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا
جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَزَارَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ
حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah
menceritakan kepada kami Abu Fazarah dari Yazid bin Al Asham telah menceritakan
kepadaku Maimunah binti Al Harits bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menikahinya ketika beliau sedang halal (orang yang keluar dari ihram)”.[23]
Keterangan:
1. Dua
riwayat itu derajatnya sahih
2. Kita
memeriksa, adakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibn Abbas itu?
Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satu pun bantuan bagi riwayat Ibn Abbas
yang mengatakan nabi kawin dalam ihram.
3. Kita
lihat pula riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid nin Asham. Kita dapati ada yang
membantunya, yaitu dari empat jurusan:
a.
Yang meriwatkan dalam ihlal
adalah Maimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima dari pada orang lain
menceritakannya.
b.
Abu Rafi’ meriwayatkan
kejadian perkawinan itu dalam ihlal juga.
c.
Di antara sahabat ada yang
menyalahkan pendapat Ibn Abbas tentang nikah dalam ihram, tetapi terhadap
riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.
d.
Yang dikatakan Maimunah dan
cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan nabi saw tentang “tidak boleh
nikah dalam ihram”, yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, yaitu:
و حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنِي أَبُو الْخَطَّابِ زِيَادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَوَاءٍ قَالَا جَمِيعًا حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ مَطَرٍ وَيَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
Bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah dan dinikahkan dan meminang."[24]
Dengan bantuan empat jurusan
itu, jadi kuatlah riwayat yang mengatakan nabi kawin dalam ihlal, serta
tertolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram.[25]
Keempat. Al-Tawaqquf
Kalau usaha yang terakhir ini
pun gagal, kedua hadis tersebut hendaklah dibekukan, di tinggalkan untuk
pengamalannya. Hadis yang di tawaqquf-kan ini disebut dengan hadis
Mutawaqqaf fih. Hadis Mutawaqqaf fih ini, menurut sebagian
pendapat dapat di amalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa di
amallkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda-beda. [26]
Menurut pendapat para ulama
dan imam, pada dasarnya tidak ada dua hadis maqbul yang saling bertentangan antara hadis
satu dengan yang lain kecuali bisa diselesaikan dengan menggunakan metode al-jam’u (mengkompromikannya), nasikh
jika ada kaiatan antara hadis satu dengan yang lain, atau bisa di tarjih
antara keduanya dengan pen-tarjih-an yang dibenarkan.[27]
Imam Ibn Huzaimah mengatakan:
Saya benar-benar tidak mengetahui nabi meriwayatkan dua hadis, dengan
dua sanad sahih, yang saling bertentangan antara yang satu dengan
yang lain. Jika ada yang menemukan maka datangkan kepadaku sehingga aku akan
membukukannya.[28]
Sehingga jika terjadi hal
semacam itu dan seorang mujtahid tidak bisa menyelesaikan permasahan
tersebut dengan menggunakan tiga metode yang telah dipaparkan di atas (al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih) maka seorang mujtahid wajib tawaqquf sampai
bisa atau ada seorang mujtahid lain yang bisa menyelesaikannya.[29]
Yang menjadikan sebab al-tawaqquf
adalah lemah atau tidak mengetahuinya seorang mujtahid untuk
menyelesaikan pertentangan antara dua hadis dengan tiga metode diatas (al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih). Sehingga sebenarnya tidak ada pertentangan antar
dua hadis atau dua dalil, karena tidak ada dalil-dalil shar’ i bertentangan
secara hakiki hanya saja pertentangannya itu ditinjau dari segi zahir-nya
saja dan sebenarnrnya bisa diselesaikan dengan al-jam’u, al-naskh dan
al-tarjih.[30]
Imam al-Ghazali mengatakan,
jika ada dua dalil yang menurut seorang mujtahid saling bertentangan,
dan ia tidak mampu lagi untuk melakukan tarjih, dan tidak menemukan lagi
dalil yang lain, maka para ulama
berpendapat bahwa sesungguhnya yang benar antara dua dalil tersebut adalah salah
satunya saja, hal ini dekarenakan lemahnya sorang mujtahid.[31]
Dan sudah jelas, jika ada dua
hadis yang keduanya saling bertentangan dan seorang Mujtahid tidak mampu mengetahi cara penyelesaiannya
maka hal itu sama sekali tidak mempengaruhi status hadis tersebut, akan
tetapi itu kembali kepada seorang mujtahid dan ilmu tidak akan hanya
berhenti kepada salah satu mujtahid, sebagaimana firman Allah:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui”.
Sehingga
dari sini penulis bisa simpulkan bahwasanya sebab al-tawaqquf adalah
lemahnya seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan antara dua hadis
dengan metode al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih. dan sudah menjadi
kewajiban seorang mujtahid untuk tawaqquf jika memang tidak mampu untuk menyelesaikan
dua hadis yang saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di
atas, sampai ia bisa menyelesaikan sendiri atau ada ulama lain
yang keilmuannya lebih mumpuni yang bisa menyelesaikan dua hadis yang
saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di atas (metode al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih).
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
BAB III
PENUTUP
Ilmu Mukhtalif al-Hadith adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis
yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Ilmu ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap
ulama dalam bidang apapun. Yang bisa sempurna melaksanakan ilmu ini adalah
seseorang yang benar-benar pandai mengumpulkan ilmu hadis dan fiqih,
serta bisa menyelami arti dari kata-kata sulit.
Sehingga jika ada hadis-hadis yang tampaknya
bertentangan maka untuk penyelesaiannya adalah
dengan cara al-Jam’u,
Nasikh dan Mansukh, al-Tarjih dan tawaqquf.
DAFTAR PUSTAKA
‘Asqalani (al),
Ibn Hajar. Sharh Nuzhah al-Nazar. Kairo: Dar al-‘Aqidah, 2007.
Bukhari (al),
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. al-Jami’ al-Sahih. Germany:
Jamiyah al-Miknaz al-Islami, 2000.
Ghazali (al), Abi Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad. al-Mustasfa. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993.
Hajjaj (al), Abi al-Husain Muslim bin. Sahih
Muslim. Germany: Jam’iyah al-Maknaz
al-Islami, 2000.
Hasan, Ahmad
Qadir. Ilmu Mustalah hadith. Bandung: Diponegoro,2007.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, 1975.
Luban (al), Muhammad Nasr
al-Dasuqi. Qawaid Raf’u Iham Mukhtalif al-Hadith baina al-Muhaddisin wa
al-Ushuliyyin (Diktat Universitas
Al-Azhar Kairo)
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadist.
Yogyakarta : Idea Press, 2008.
Nasa’i
(al), Abu Abd al-Rahman Ahmad ibn Shuaib. Sunan al-Nasa’i. Germany:
Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000.
Qaththan (al), Syaikh Manna’. Pengantar Ilmu Hadits.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Rahman, Fatchur.
Ikhtishar Musthalah al-Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.
Sakhawy (al), Muhammad bin Abdirrahman. Fath al-Mughis. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993.
Sijistani (Al), Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Ash'ath. Sunan
Abi Dawud Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000.
[1] Ahmad Qadir
Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007), 254.
[2] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), 283.
[3] Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.2005), 103.
[4] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist
(Yogyakarta : Idea Press, 2008).
[5] al-Sakhawy, Muhammad bin Abd al-Rahman., Fath al-Mughith, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1993), 182.
[6] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadith, 284.
[7] Ibid., 284.
[8] Ibid., 284.
[9] Ibid., 284.
[10] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung, Alma’arif, 1974), 151.
[11] Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih (Germany:
Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 332.
[12] Ibid., 332.
[13] Ahmad Qadir
Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007), 256.
[14] Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 863.
[15]
Abu Abd al-Rahman Ahmad
ibn Shuaib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 30.
[16] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih,1139.
[17] Sulaiman ibn al-Ash’ath Abu Dawu al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 404.
[18] Muslim, Sahih Muslim, 486.
[19] Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 216.
[20]Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 751.
[21] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, 1387
[22] Muslim, Sahih Muslim, 575.
[23] Ibid., 575.
[24] Ibid., 575.
[25] Ahmad Qadir
Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007),258, 259.
[26] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 151.
[27] Muhammad Nasr al-Dasuqi al-Luban,
Qawaid Raf’u Iham Mukhtalif al-Hadith baina al-Muhaddisin wa al-Ushuliyyin
(Diktat Universitas Al-Azhar Kairo), 199.
[28] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
Nuzhah al-Nazar (Kairo: Dar
al-‘Aqidah, 2007), 210.
[29] al-Dasuqi al-Luban, Qawaid Raf’u, 199.
[30] Ibid.,200.
[31] Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad
ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993), 364.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar