HOME

06 Maret, 2022

KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT ULAMA EMPAT MAZHAB

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hadis nabi merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada nabi Muhammad SAW. dan ia merupakan dasar agama yang wajib diikuti dan tidak boleh dilanggar. Ulama telah sepakat akan hal itu dan sangat banyak ayat alquran yang menjelaskan tentang wajibnya mengikuti hadis, sehingga barang siapa yang ingkar akan hal itu, maka ia telah menentang dalil-dalil yang qath’i dan mengkuti selain jalan orang yang beriman.[1]

Adapun posisi hadis terhadap alquran dari segi kehujjahannya, maka ia merupakan sumber hukum kedua setelah alquran. Adapun dalam segi hukum yang terkandung di dalamnya, maka hadis bisa berfungsi sebagai penguat terhadap hukum yang ada dalam alquran, dan bisa juga berfungsi sebagai penjelas bagi apa yang ada dalam alquran, dan terkadang bisa menjadi sumber hukum bagi sesuatu yangt belum ditetapkan dalam alquran.[2]

Namun juga perlu diketahui bahwa hadis itu sendiri berbeda-beda tingkat kualitas dan kuantitasnya, sehingga bisa berimplikasi pada sah atau tidaknya ia untuk dijadikan hujjah atau dalil. Dari segi kualitas, hadis ada yang sahih, hasan, dan dha’if. sedangkan dari segi kuantitasnya, hadis terbagi menjadi mutawattir dan ahad. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi perbedaan ini, khusunya yang berkenaan dengan hadis ahad. di antara mereka ada yang menerimanya dengan syarat dan ada juga yang menolaknya, dan tidak mengakui akan kehujjahannya.

Makalah ini akan mencoba mengupas dan membahas kehujjahan hadis ahad dalam penetapan sebuah hukum di kalangan para ulama khususnya di kalangan ulama empat mazhab yaitu hanafiyyah, malikiyyah, shafi’iyyah dan hanabilah.

B.     Rumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini:

1.      Apa yang dimaksud dengan hadis ahad?

2.      Apa hukum mengamalkan hadis ahad?

3.      Bagaimana kehujjahan hadis ahad dalam penetapan hukum menurut ulama empat mazhab?

C.    Tujuan

Adapun tujuan dari makalh ini adalah sebagai berikut

1.      Mengetahu tentang hadis ahad

2.      Mengetahui hukum mengamalkan hadis ahad

3.      Mengetahui pendapat ulama empat mazhab tentang kehujjahan hadis ahad dalam penetapan hukum

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Hadis Ahad

Ahad merupakan bentuk jamak dari kata "أحد" yang mempunyai arti satu. Jadi hadis ahad secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.[3]

Hadis ahad menurut istilah adalah hadis yang di dalamnya tidak memenuhi kriteria hadis mutawattir. Dikatakan khabar ahad karena ia menyamai khabar ahad dalam hal memberikan kepastian yg bersifat zann bukan yaqin.[4]

Dilihat dari segi kuantitas perawi yang meriwaytkannya, hadis ahad terbagi menjadi tiga, yaitu Mashhur, ‘Aziz, dan Gharib. pembagian hadis ahad menjadi tiga bagian tidak menutup kemungkinan kualitas hadis tersebut ada yang sahih dan dha’if, bahkan terkadang ketiga macam hadis tersebut ada yang sahih, hasan, dan dha’if, akan tetapi kebanyakan hadis Gharib adalah dha’if.[5]

Berikut adalah definisi dari masing hadis Mashhur, ‘Aziz, dan Gharib :

-          Menurut bahasa, Mashhur merupakan ism maf’ul dari "شهرت الأمر" yang bermakna aku mengumumkan dan menampakkan suatu perkara.

Sedangkan menurut istilah, hadis Mashhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, dimana tidak sampai pada batas mutawattir.[6]

-          Dari segi bahasa, aziz bisa mempunyai dua makna: pertama merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ يعِزّ" yang bermakna sedikit, atau yang kedua merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ يعَزّ" yang bermakna kuat.[7]

-          Menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua orang rawi. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dan merupakan pendapat yang Mashhur. ada juga yang berpendapat bahwa hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua orang rawi atau tiga. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Salah dan al-Baiquni.[8]

-          Secara bahasa merupakan sifat mushabbihah dari kata "الغربة" dan "الغرابة" dengan makna isim fa’il. Kata “Gharib” memiliki dua makna: pertama "المنفرد في الجماعة بشيء ما"  yang menyendiri atau terpisah dalam sebuah kelompok/golongan. Kedua "البعيد عن وطنه وأقاربه"  yang jauh dari negara dan kerabat.[9]

Menurut istilah, hadis Gharib adalah hadis yang dalam sanadnya hanya terdapat satu rawi saja yang meriwayatkan. Satu rawi tersebut bisa saja berada pada salah satu tingkatan sanad atau pada keseluruhan sanad.[10]      

B.     Hukum Mengamalkan Hadis Ahad

Ulama berbeda pendapat tengtang hukum mengamalkan hadis ahad, adapun pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama usul fiqh bahwa hadis ahad yang sahih adalah hujjah atau dalil bagi penetapan hukum, dan wajib mengamalkannya, serta memberi faedah zann dan tidak memberikan kepastian yang yaqin.[11] 

Adapun qadariyah dan rafidah dan sebagaian ulama al-Zahiriyah berpendapat bahwa hadis ahad tidak wajib diamalkan. Sebagian ulama juga ada yang mengatakan dilihat dari segi akal, hadis ahad tidak wajib diamalkan, sedangkan al-Juba’i berpendapat bahwa tidak wajib mengamalkan hadis ahad kecuali yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih.[12]

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa hadis ahad memberikan keyakinan yang zann bukan ­al-Qat’atau al-‘Ilm (pasti), namun ada yang berpendapat bahwa hadis ahad memberikan keyakinan yang pasti. Di antara yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad Ibn Hanbal, al-Harith Ibn Asad al-Muhasabi, bahkan Ibn Hazm mengatakan bahwa hadis ahad yang sahih dan bersambung kepda Rasulullah SAW. memberikan keyakinan yang pasti dan dalam waktu yang sama juga wajib diamalkan.[13]   


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


C.    Kehujjahan Hadis Ahad dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih wajib diamalkan dan bisa menjadi hujjah atu dalil. Namun mereka berbeda pendapat tentang kondisi dan situasi dimana hadis ahad tersebut bisa dijadikan hujjah khususnya dalam dijadikan hujjah atau dasar dalam menetapkan suatu hukum. Berikut adalah pendapat ulama empat mazhab tentang kehujjahan hadis ahad dalam menetapkan sebuah hukum.

1.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab hanafi

Para ulama mazhab hanafi memberikan beberapa syarat untuk hadis ahad agar bisa dijadikan pijakan atau dalil dalam menetapkan hukum. Berikut adalah penjelasannya:

a.       Perawi hadis ahad tersebut tidak boleh menyalahi hadis yang diriwayatkannya. Apa bila ia mengamalkan suatu amalan atau perbuatan yang bertentangan dengan hadis ahad yang diriwayatkannya sendiri, maka hadisnya tidak berlaku, karena ada kemungkinan ia tidak mengamalkan hadis tersebut karena adanya hadis yang menasakh.[14] Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis Abu Hurairah tentang wajibnya membasuh tempat yang terkena jilatan anjing sebanyak tujuh kali basuhan, karena pada riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni, Abu Hurairah hanya mencukupkan pada tiga basuhan.[15]  

b.      Substansi atau kandungan hadis ahad yang diriwayatkan bukanlah  termasuk dalam kategori yang jangkauannya bersifat umum dan menyeluruh (ta’ummu bihi al-Balwa).[16]

Menurut mereka, hadis yang demikian seharusnya diriwayatkan secara mutawatir bukan ahad. oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dalam shalat, karena jalur periwayatannya ahad, sedangkan shalat merupakan ahal yang bersifat umum dan dilakukan oleh banyak orang.[17]   

c.       Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan. Dalam hal ini mereka men-syaratkan perawi hadis ahad harus orang yang ahli fiqh.[18]

2.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab maliki

Ulama mazhab maliki memberikan beberapa persyaratan bagi hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah, di antaranya:

a.       Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan amalan (perbuatan) ahli (penduduk) Madinah. Menurut mereka, amalan ahli madinah sama kedudukannya dengan hadis mutawatir. Menurut mereka, amalan penduduk Madinah merupakan warisan dari para pendahulu, sampai kepada Rasulullah SAW.[19] Oleh karena itu mereka tidak mengamalkan hadis tentang khiyar al-majlis karena hal itu tidak dikenal di kalangan penduduk Madinah.[20]

b.      Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan dan disepakati oleh ulama. Hanya saja mereka berbeda dengan ulama mazhab hanafi dimana mereka tidak men-syaratkan perawi hadis tersebut harus ahli fiqh.[21]

3.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab Syafi’i

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah membuat satu bab khusus tentang hadis ahad. dimana beliau ketika ditanya tentang hadis ahad dan diminta untuk memberikan penjelasan tentang syarat hadis ahad agar bisa dijadikan hujjah, beliau menjawab: “(hadis ahad) adalah periwayatan satu orang dari satu orang sampai berhenti kepada Nabi atau kepada rawi pada tingkatan di bawahnya (sahabat)”.[22]  

Kemudian imam Syafi’i menerangkan bahwa hadis ahad bisa dijadikan hujjah apabila perawinya memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

a.       Perawinya harus thiqah

b.      Harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam meriwayatkan hadis

c.       Harus memahami apa yang diriwayatkan

d.      Harus mengerti makna dari lafal hadis yang diriwayatkan

e.       Tidak meriwayatkan hadis dengan makna

f.       Harus kuat hafalannya

g.      Bukan perawi yang suka meriwayatkan hadis dengan tadlis.[23]   

Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama yang pertama kali menetapkan kehujjahan hadis ahad. hal ini tidak terlapas dari peran beliau dalam membela al-Sunnah, di mana pada masa beliau hidup banyak para pengingkar sunnah bermunculan, dan beliau berhasil mematahkan argumen mereka. Sehingga penduduk Mekkah memberika gelar kepada beliau sebagai “Nasir al-Sunnah” (pembela sunnah).[24]

4.      Kehujjahan hadis ahad menurut ulama mazhab hanbali

Imam Ahmad tidak memberikan syarat dalam mengamalkan dan menjadikan hadis ahad hujjah kecuali hadis tersebut harus sahih sanadnya. Dalam hal ini, beliau sama dengan imam Syafi’i dalam menyikapi hadis ahad. Beliau tidak membedakan antara hadis mutawatir dan hadis ahad selagi sanadnya sahih dan bersambung kepada Rasulullah SAW. hanya saja beliau mempunyai pendapat bahwa hadis dha’if didahulukan atas fatwa sahabat.[25]

Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa Imam Ahmad  jika menemukan hadis sahih, maka beliau akan berfatwa dengannya dan tidak akan berpaling dan terpengaruh dengan pendapat orang yang bertentangan dengan hadis tersebut. Oleh karena itu beliau tidak mengikuti pendapat Umar ibn Khattab dalam perkara pembagian harta waris bagi sorang nenek, karena bertentangan dengan hadis Fatimah binti Qais.[26]


Baca selanjutnya, artikel yang lainya :


D.    Kesimpulan

Dari pemaparan pembahasan di atas dapat dimabil kesimpulan sabaimana berikut:

-          Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis ahad jika kulaitasnya sahih maka ia wajib diamalkan dan bisa dijadikan hujjah.

-          Para ulama di kalangan empat mazhab berpeda pendapat dalam masalah kehuhjjahan hadis ahad ketika dijadikan dasar atau dalil dalam penetapan hukum islam.

-          Ulama mazhab hanafi men-syaratkan adanya tiga hal yaitu: 1. Perawi hadis ahad tersebut tidak boleh menyalahi hadis yang diriwayatkannya 2. Substansi atau kandungan hadis ahad yang diriwayatkan bukanlah  termasuk dalam kategori yang jangkauannya bersifat umum dan menyeluruh (ta’ummu bihi al-Balwa) 3. Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan.

-          Ulama mazhab maliki men-syaratkan adanya dua hal yaitu: 1. Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan amalan (perbuatan) ahli (penduduk) Madinah 2. Hadis ahad tersebut tidak boleh bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah syariat yang telah mapan dan disepakati oleh ulama

-          Imam Syafi’i dan Imam Ahmad hanya men-syaratkan kesahihan sanad dan ketersambungan sanad sampai pada Rasulullah SAW.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw , Muhammad, al-Hadith wal al-Muhaddithun. Riyad: tp, 1984.

Bayanuni (al), Muhammad Abu al-Fath, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Salam, 1983.

Hashim , Ahmad Umar, Qawa’id Usul al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr, tt).

Jauziyah (al), Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘A<lamin, Juz 1, Beirut: Dar al-Jil, 1973.

Khaira A<<badi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011

Khalaf , Abd al-Wahhab, Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978

Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.

Shafi’i (al), Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah, Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt.

Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr

Zaidan , Abd al-Karim, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah, 1993.

Zuhaili (al), Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004.

Zurqani (al), Muhammad ibn Abd al-Baqi, Sharh al-Manzumah al-Baiquniyyah, Beirut: Dar al-Mashari’, 2001.


[1] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wal al-Muhaddithun (Riyad: tp, 1984), 20.

[2] Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 39-40

[3] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr), 21.

[4] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 139.

[5] Muhammad ibn Abd al-Baqi al-Zurqani, Sharh al-Manzumah al-Baiquniyyah (Beirut: Dar al-Mashari’, 2001), 22.

[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 22.

[7] Muhammad ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 95.

[8] Ibid.

[9] Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis, 140

[10] Ibid,

[11] Ahmad Umar Hashim, Qawa’id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 153.

[12] Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, al-Minhaj Sharh Sahih Muslim ibn al-Hajjaj, Juz 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Islami, 1392 H), 130.

[13] Subhi al-Salih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984), 311.

[14] Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2004), 470.

[15] Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1983), 70.

[16] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nashr al-Islamiyyah, 1993), 177.

[17] Ibid

[18] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid

[19] Abd al-Karim, al-Wajiz, 176.

[20] Wahbah, Usul al-Fiqh, 472.

[21] Abd al-Karim, al-Wajiz, Ibid

[22] Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, al-Risalah (Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), 369-370.

[23] al-Shafi’i, al-Risalah, 308.

[24] Ahmad Muhammad Shakir dalam pengantarnya dalam kitab al-Risalah (Beirut, al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), 5-6

[25] Wahbah, Usul al-Fiqh, Ibid

[26] Muhammad Ibn Abu Bakr Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1973), 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...