BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Allah
mewahyukan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Penjelasan
Nabi Muhammad atas al-Qur’an dapat berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrir
yang lebih dikenal dengan istilah hadis atau sunnah. Pada masa
Rasul tidak terdapat persoalan yang mendasar mengenai hadis. Hanya saja
ara sahabat dituntut keseriusan dan
kehati-hatian dalam menerima al-Qur’an dan hadis.
Dalam
perkembangan selanjutya, hadis sudah melewati berbagai babakan sejarah
sehingga hadis kemudian menjadi kajian khusus di kalangan umat Islam
demi untuk melestarikan dan menjaga kemurniannya. Hadis kemudian
diklasifikasikan menurut standar dan kriteria khusus yang telah ditetapkan oleh
ulama hadis. Di antara kriteria yang ditetapkan adalah dari segi
banyaknya periwayat. Hadis dilihat dari segi periwayat
terbagi menjadi mutawatir dan ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang sudah disepakati
oleh ulama bahwa ia memberi faedah yaqin bi al-qat’i. Maksudnya, Nabi
Muhammad telah benar-benar bersabda, berbuat, dan menyatakan iqrar
(persetujuan) dihadapan para sahabat, hadis tadi juga berdasarkan sumber
yang banyak sekali di mana mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Al-hasil,
hadis mutawatir tidak perlu diteliti. Adapun hadis ahad
yang memberi faedah zanni masih memberikan peluang bahkan
mengharuskan untuk diteliti lebih lanjut mengenai identitas para periwayat
dan segi-segi lainnya agar hadis tersebut dapat diterima sebagai hujjah
atau ditolak. Hadis ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: sahih, hasan
dan da’if.[1]
Adapun yang menjadi obyek pembahasan dalam bab ini adalah hadis hasan.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
A. Definisi
dan Kriteria Hadis Hasan
a.
Pengertian bahasa dan
perkembangan istilah hadis hasan
b.
Kriteria hadis hasan
c.
Peran al-Turmudhi dalam
memperkenalkan hadis hasan
B. Macam-macam
hadis hasan
a.
Hadis hasan
lidhatih dan hadis hasan lighairih
b.
Perbedaan pokok dan contoh hadis
hasan dan sahih
C. Kehujjahan
hadis hasan
a.
Kehujjahan dari segi
wurud dan dalalah
b.
Persamaan dan perbedaan kehujjahan
hadis sahih dan hasan
D. Kitab-kitab
yang memuat hadis hasan
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
A. Mengetaui
Definisi dan Kriteria Hadis Hasan
a.
Pengertian bahasa dan
perkembangan istilah hadis hasan
b.
Kriteria hadis hasan
c.
Peran al-Turmudhi dalam
memperkenalkan hadis hasan
B. Mengetahui
Macam-macam hadis hasan
a.
Hadis hasan
lidhatih dan hadis hasan lighairih
b.
Perbedaan pokok dan contoh hadis
hasan dan sahih
C. Mengetahui
kehujjahan hadis hasan
a.
Kehujjahan dari segi
wurud dan dalalah
b.
Persamaan dan perbedaan kehujjahan
hadis sahih dan hasan
D. Mengetahui
Kitab-kitab yang memuat hadis hasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Kriteria Hadis Hasan
a.
Pengertian Bahasa dan
Perkembangan Istilah Hadis Hasan
Hadis hasan
secara etimologi adalah sifat mushabbah dari al-husn berarti al-jamal
(bagus).[2]
Sedangkan hadis hasan secara terminologi, terdapat beberapa pendapat
di kalangan para ulama hadis mengingat pretensinya berada di tengah-tengah
antara sahih dan da‘if. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada
yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
1. Definisi al-Khataby: “Setiap
hadis yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya,
ia merupakan rotasi kebanyakan hadis dan dipakai oleh kebanyakan para
ulama dan mayoritas ulama fiqih.”.[3]
2. Definisi al-Turmudhy: “Setiap
hadis yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat
yang tertuduh sebagai pendusta, hadis tersebut tidak al-Shadh
(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan
lebih dari satu jalur seperti itu.[4]
3. Definisi Ibn Hajar adalah hadis
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil,
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalanya, tidak rancu dan tidak bercacat.[5]
Dr. Mahmud al-Thahhân mengatakan: seakan hadis hasan menurut Ibn Hajar adalah hadis sahih yang ringan kedabitan rawi-rawinya yaitu sedikit kedabitannya. Jadi ini adalah definisi hadis hasan yang paling baik. Sedangkan definisi al-Khataby banyak sekali kontradiktif atau kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudhy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadis hasan, yaitu hasan lighairih (hasan kerana adanya riwayat lain yang mendukungnya). Pada asalnya beliau mendefinisikan hasan lidhatih sebab hasan lighairih pada dasarnya adalah hadis da’if yang meningkat kepada tingkatan hasan sebab terdukung oleh banyaknya bilangan jalan-jalannya.[6]
Dengan berdasarkan pada definisi yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar maka hadis hasan dapat di definisikan suatu hadis
yang bersambung sanadnya dan di riwayatkan oleh orang yang adil,
ringan ke-dabit-annya dan orang yang semisalnya hingga puncak akhirnya,
tanpa ada shadh dan ‘illah.[7]
Dengan
demikian, maka yang di maksud dengan hadis hasan adalah hadis
yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja
semua perawinya atau sebagiannya ke-dabit-annya lebih sedikit dibanding
ke-dabit-an para perawi hadis sahih.
Kata hasan
mulai di kenal sejak zaman Imam Turmudhi. Bahkan dalam kitab sunan-nya,
Imam Turmudhi banyak juga menggunakan istilah hasan sahih, di samping
istilah hasan. Yang dimaksud dengan istilah hasan sahih tersebut
menurut sebagian ulama bahwa hadis tersebut di perselisihkan
kualitasnya, yakni ada yang mengatakan sahih dan ada juga yang
mengatakan hasan. Ada pula pendapat, bahwa hadis hasan
tersebut kualitasnya berada antara hasan dengan sahih.[8]
b.
Kriteria Hadis Hasan
Dari
definisi di atas terdapat lima sifat yang harus di miliki oleh suatu hadis,
agar dapat dikategorikan bebagai hadis hasan, yaitu sebagai
berikut:
1.
Sanadnya bersambung (Ittisal al-sanad)
Yang di
maksud dengan Ittisal al-sanad adalah bahwa setiap rawi hadis
yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di
atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqati’
dalam berbagai variasinya.
2.
Periwayatannya ‘adil
Keadilan
rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat,
karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk
bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang
merusak harga diri (muru’ah) seseorang.
3.
Periwayatannya ada
yang kurang dabit
Yang di
maksud dengan dabit adalah bahwa rawi hadis yang
bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan
hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkan
kembali ketika meriwayatkannya. Ke-dhabit-an inilah yang
membedakan antara hadis sahih dengan hasan. Hadis sahih
ke-dabit-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadis
hasan, kurang sedikit ke-dhabit-annya jika di bandingkan dengan hadis
sahih.
4.
Tidak rancu (shadh)
Kerancuan
adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu karena apabila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi
kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi itu
hurus diunggulkan, dan ia sendiri disebut shadh atau rancu. Dan karena
kerancuannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis
yang bersangkutan.
5.
Tidak ada cacat (‘illat)
Maksudnya
adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat ke-sahih-annya.
Yakni hadis itu terbebas dari sifa-sifat samar yang membuatnya cacat,
meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
Dengan kriteria ini maka definisi di atas
tidak mencakup hadis mu’allah (bercacat). Jadi hadis
yang mengandung cacat itu bukan hadis sahih dan juga hasan.[9]
c.
Peran al-Turmudhi dalam Memperkenalkan
Hadis Hasan
Menurut
al-Nawawi dalam al-Taqrib, kitab al-Tirmidhi adalah kitab pertama
kali yang memunculkan hadis hasan,
yang memperkenalkannya dan banyak menyebut dalam kitabnya, walaupun secara
terpisah ditemukan pada sebagian syaikh pada generasi sebelumnya. Ibn Taimiyah
juga mempertegas, bahwa al-Tirmidhi-lah orang pertama yang memperkenalkan
pembagian hadis dari segi kualitas kepada sahih, hasan, dan
da’if. Bagi al-Tirmidhi hadis hasan adalah hadis yang
berbilang jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang perawi yang
tertuduh dusta dan syadz (ganjil). Tingkatan hadis hasan
berada di bawah hadis sahih dan di atas hadis da’if.
Hadis sahih yang dikenal para perawinya sebagai
orang-orang yang ’adil dan dhabit. Sedang hadis da’if
adalah hadis yang dikenal perawinya seorang yang tertuduh dusta
atau tidak baik hafalannya.[10]
Para
ulama’ sebelum al-Tirmidhi belum kenal istilah tiga hadis tersebut, yang
dikenal mereka kualitas hadis ada dua macam yakni: sahih dan da’if.
Kemudin hadis da’if dibagi dua macam; da’if yang tidak
tercegah pengamalannya dan da’if yang wajib ditinggalkan. Barangkali da’if
yang pertama menurut ulama dahulu inilah yang disebut hasan oleh
al-Tirmidhi.[11]
Al-Dzahabi menyatakan bahwa
tingkatan hadis hasan yang paling tinggi adalah riwayat
Bahs bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا بَهْزُ
بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ
مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ
فَالْأَقْرَبَ
dan riwayat Amr bin Shuaib dari bapaknya dari kakeknya; dan sejenisnya yang menurut satu pendapat dinyatakan sebagai hadis sahih. Hadis hasan tingkatan ini termasuk hadis sahih pada tingkatan terendah.
Tingkatan berikutnya adalah hadis yang di persellisihkan ke-hasan-an dan ke-dhaif-annya, seperti hadis riwayat al-Haris bin abdullah[12] dan ‘Ashim bin Dhamrah.[13]
B. Macam-macam
Hadis Hasan
a. Hadis
Hasan li Dhatih dan Hadis Hasan li Ghairih
Hadis hasan
terbagi menjadi dua yaitu hadis hasan lidhatih dan hasan
lighairih. Subhi al-Shalih dan kebanyakan ulama’ hadis lainnya mengungkapkan
bahwa apabila hanya disebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah
hadith hasan lidhatih.[14]
Adapun definisi yang dikemukakan oleh al-Sakhawi, hadith hasan lidhatih
adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat
yang adil dan dabit, namun ke-dabit-annya tidak sempurna,
meski tidak terdapat ada shadh dan ‘illat padanya.[15]
Dari
definisi-definisi yang ada dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud hasan
lidhatih adalah hasan yang mencapai derajat hasan dengan
sendirinya, meskipun tidak ada dukungan dari hasan lain. Dan kalau hanya di
sebutkan hadis hasan maka
yang di maksud adalah hadis hasan lidhatih.[16]
Sedangkan
hadith hasan lighairih adalah hasan yang bukan karena dirinya
sendiri melainkan karena di bantu oleh keterangan lain, baik dari shahid
atau mutabi’. Dengan demikian, hadith hasan lighairih adalah hadis
yang kualitas hadisnya pada dasarnya berada di bawah derajat hadis
hasan. Ia berada pada derajat hadis da’if.[17]
Dari
definisi ini dapat di tarik kesimpulan bahwa hadith da’if akan bisa naik
kepada derajat hasan lighairih karena dua perkara:
a.
Bila hadis tersebut diriwayatkan
dari jalan lain atau lebih banyak lagi, di mana jalan yang lain tersebut
semisalnya atau lebih kuat dari padanya.
b.
Bilamana sebab ke-da’if-an
hadis tersebut berupa kejelekan hafalan rawinya atau karena
terputus sanadnya atau tidak diketahui identitas rawi-rawi
sanadnya.
Jadi hadis
hasan lighairih adalah hadis yang memiliki kelemahan yang tidak
terlalu parah, seperti halnya rawinya da’if tetapi tidak keluar dari jajaran rawi
yang diterima kehadirannya, atau seorang rawi mudallis yang tidak
menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis dengan cara al-sima’,
atau sanadnya munqathi’. Semua itu harus memenuhi dua syarat,
yaitu hadisnya tidak janggal dan diriwayatkan pula melalui sanad
lain yang sederajat atau lebih kuat, dengan redaksi yang sama maupun hanya
dengan maknanya saja.[18]
Dengan demikian, tingkatan hadis
hasan berada di antara hadis sahih dan hadis da’if.
Kadang-kadang ia dekat kepada hadis sahih dan kadang-kadang dekat
kepada hadis da’if. Hasil ijtihad serta penelitian para
‘ulama senantiasa demikian. Hadis seperti ini merupakan bahan
kekhawatiran mereka, sehingga ada di antara mereka yang merasa kesulitan untuk
mengungkapkan dan membatasinya; karena hal itu bergantung kepada faktor subjektivitas
yang dianggap sebagai suatu hal yang kurang terpuji bagi seorang hafiz,
bahkan kadang-kadang ungkapan untuknya tidak mengesankan kebersihan dan
kebaikannya secara terperinci.[19]
b.Perbedaan Pokok dan Contoh Hadis Hasan
dan Hadis sahih
Hadis hasan ada dua jenis,
yaitu Hasan hasan li dhatih dan hadis hasan li ghairih, disebut
dengan hadis hasan li dhatih karena ke-hasan-annya muncul karena
memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain di luarnya. Sedang hadis
hasan li ghairih adalah hadis yang didalamnya terdapat perawi
“mastur” yang belum tegas kualitasnya.[20]
Dengan demikian, hadis hasan li ghairih mulanya merupakan hadis
da’if, yang naik menjadi hasan karena ada penguat. Jadi di mungkinkan
berkualitas hasan karena penguat itu, seandainya tidak ada penguat
tentunya masih berstatus da’if.[21]
Bila suatu hadis hasan diriwayatkan
dari jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik derajat hasan menuju
derajat sahih. Karena perawi hadis hasan berada di
bawah derajat perawi yang sempurna hafalannya, namun tetap berstatus adil.
Sisi kekurangan daya hafal yang dikhawatirkan telah sirna dengan adanya jalur
lain atau jalur-jalur lain yang menyumbat kekurangan itu dan naik dari hasan ke sahih,
karena masing-masing saling mengukuhkan.[22]
Salah satu contohnya adalah hadis Muhammad ibn Amr dari Abu Salamah dari
Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
ia berkata, Rasulullah Sallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Sekiranya tidak
memberatkan umatku sungguh akan aku perintahkan untuk bersiwak setiap kali akan
shalat”.[23]
Muhammad Ibn Amr ibn ‘Alqamah termasuk perawi
yang terkenal jujur, tetapi tidak termasuk Ahlu al-Itqan (mereka yang memiliki
hafalan yang kuat). Sehingga ada yang menilainya da’if dari sisi
hafalan, namun yang lain menilainya thiqat dari segi kejujurannya. Jadi hadisnya
ini termasuk hasan li dhtih dan sahih lighairih. Karena ia meriwayatkan
dari guru Muhammad ibn Amr dari guru-gurunya, melalui jalur lain. Ada yang meriwayatkannya
dari Abu Hurairah, yaitu al-A’raj, Sa’id al-Maqbariy, ayahnya dan lain-lain.[24]
Dalam
kitab al-Bukhari, al-A’raj meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi
bersabda:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
Telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah radiallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya tidak
memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan kepada mereka
untuk bersiwak pada setiap kali hendak shalat."[25]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
C. Kehujjahan
Hadis Hasan
a.
Kehujjahan dari segi Wurud
dan Dalalah
Menurut seluruh fuqaha, hadis hasan dapat diterima sebagai hujjah dan diamalkan. Demikian pula pendapat kebanyakan Muhaddisin dan ahli Usul. Alasan mereka adalah karena telah diketahui kejujuran rawinya dan keselamatan perpindahannya dalam sanad. Rendahnya tingkat ke-dhabit-an tidak mengeluarkan rawi yang bersangkutan dari jajaran rawi yang mampu menyampaikan hadis sebagaimana keadaan hadis itu ketika didengar. Karena maksud pemisahan tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa hadis hasan berada pada tingkat terendah dari hadis sahih, tanpa mencela ke-dabit-annya. Hadis yang kondisinya demikian cenderung dapat diterima oleh setiap orang dan kemungkinan kebenarannya sangat besar, sehingga ia dapat diterima.[26]
b.
Persamaan dan Perbedaan Kehujjahan
Hadis Sahih dan Hasan
Kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha bersepakat
menggunaka hadis sahih dan hasan sebagai hujjah. Di
samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadis hasan dapat
di pergunakan hujjah bila memenuhi sifat-sifat yang dapat di terima.
Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab sifat-sifat
yang dapat di terima itu ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadis
yang mempunyai sifat dapat di terima yang tinggi dan menengah adalah hadis
sahih, sedang hadis yang mempunyai sifat dapat di terima yang
rendah adalah hadis hasan.[27]
Jadi, pada prinsipnya kedua-duanya mempunyai
sifat yang dapat diterima (maqbul). Walaupun rawi hadis
hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadis sahih.
Tetapi rawi hadis hasan masih terkenal sebagai orang yang
jujur dan terhindar dari melakukan dusta.[28]
Hadis-hadis yang mempunyai
sifat yang dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul
dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadis
mardud.[29]
Yang
termasuk hadis maqbul ialah:
1.
Hadis sahih,
baik sahih lidhatih maupun sahih lighairih
2.
Hadis hasan,
baik hasan lidhatih maupun hasan lighairih
Yang
termasuk hadis mardud ialah segala macam hadis da’if.
Hadis mardud, tidak dapat di terima menjadi hujjah karena
terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya
atau pada sanadnya.[30]
Dengan
demikian, hadis sahih baik yang ahad maupun mutawatir,
yang sahih lidhatih ataupun yang
sahih lighairih dapat dijadikan hujjah
atau dalil agama dalam bidang hukum, akhlak, sosial, ekonomi, dan
sebagainya kecuali di bidang akidah, hadis sahih yang ahad di perselisihkan dikalangan
ulama.[31]
Sebagaimana hadis sahih,
hadis hasan dapat dijadikan sebagai hujjah baik hasan
lidhatih maupun hasan lighairih, meskipun hadis hasan
kekuatannya berada di bawah hadis sahih. Karena itu, sebagian
ulama memasukkan hadis hasan sebagai bagian dari kelompok hadis
sahih, misalnya al-Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, dengan
catatan bahwa hadis hasan secara kualitas berada di bawah hadis sahih.[32]
Hanya saja, berbeda dengan hadis sahih, hadis hasan tidak
ada yang berstatus mutawatir kesemuanya berstatus ahad baik ahad
mashhur, ‘aziz, maupun gharib, sehingga status kehujjahannya
juga tidak persis sama dengan hadis sahih.[33]
D.kitab-kitab
yang Memuat Hadis Hasan
Para
ulama belum pernah ada yang membukukan hadis hasan secara
terpisah. Mereka menggabungkan hadis-hadis hasan dengan hadis
sahih dan mencapurnya dengan hadis da’if, meskipun mereka
tidak memasukkan hadis da’if kedalam kitab-kitab susunan mereka kecuali
sangat sedikit dan amat jarang.
Di
antara sumber-sumber hadis hasan yang paling penting adalah al-Sunan
al-Arba’ah, al-Musnad karya Imam Ahmad, dan Musnad Abi Ya’la
al-Maushili.
1.
Al-Jami’ karya
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Turmudhi (209 H-279 H)
Al-Turmudhi
adalah salah seorang murid al-Bukhari
yang istimewa. Para ulama’ mengakui ketinggian ilmunya, kekuatan hafalannya,
keluasan pengetahuannya, ketaatan beragamanya, dan wara’-nya; sehingga
rasa takutnya kepada Allah swt, pada akhir hayatnya ia menjadi buta karena
banyak menangis.[34]
Kitabnya,
al-Jami’, yang terkenal dengan nama Sunan al-Turmudhi, adalah
sumber hadis hasan yang paling penting, banyak mendapatkan
tanggapan positif dan tersiar kebaikannya, Ibnu al-Salah berkata, “Kitab Abu
‘Isa al-Turmudhi merupakan kitab rujukan pokok untuk mengetahui hadis hasan.
Dialah orang pertama yang menciptakan nama hadis hasan dan banyak
menyebut nama itu dalam kitabnya.[35]
Kitab
ini memiliki keistimewaan karena banyak faedahnya secara ilmiah dengan segala
cabang ilmunya. Sehubungan dengan itu Ibn Rasyid berkata, “Sesungguhnya kitab
al-Turmudhi memuat hadis yang di susun berdasarkan bab-babnya dan hal
ini merupakan pokok ilmu tersendiri padanya. Memuat pula fikih yang merupakan
ilmu kedua. Memuat illat-illat hadis yang mencakup penjelasan hadis
sahih dan hadis da’if dengan berbagai tingkatannya, dan
hal ini merupakan hal ketiga. Memuat penjelasan nama-nama dan gelar-gelarnya
yang merupakan ilmu keempat. Memuat al-jarh wa al-ta’dil yang merupakan
ilmu kelima. Memuat penjelasan tentang orang-orang yang pernah berjumpa dengan
Nabi Muhammad saw. Dan orang-orang yang tidak pernah beerjumpa dengannya di
antara para rawi yang menyandarkan hadisnya kepada Nabi saw. Hal
ini merupakan ilmu keenam, dan memuat pula penjelasan jumlah sanad yang
merupakan ilmu ketujuh.[36]
2.
Al-Sunan karya
Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash’ats al-Sijistani (202 H-273 H)
Abu
Dawud adalah salah seorang murid al-Bukhari pula. Ia belajar darinya dan
mengikti jejaknya dalam bidang keilmuwan. Ia menyeruai Imam Ahmad dalam hal
ketakwaan, kecerdasa dan kepribadiannya.[37]
Kitabnya,
al-Sunan, disusun dan disarikan dari 500.000 buah hadis. Dalam
penyusunan kitabnya itu ia memperioritaskan penghimpuan hadis-hadis
hukum. Ia menjelaskan metodologi penyusunan kitabnya itu secara ringkas sebagai
berikut: “Hadis yang kualitasnya sangat rendah yang terdapat dalam
kitabku aku jelaskan kondisinya. Di dalamnya terdapat hadis yang tidak sahih
sanadnya. Hadis yang tidak saya komentari sama sekali adalah hadis
sahih (patut, baik). Dan sebagian hadis-hadisnya lebih sahih
dari pada sebagian yang lain.[38]
3.
Al-Mujtaba karya Imam Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib
al-Nasa’i (215 H-303 H)
Al-Nasa’i
dikenal sangat teliti terhadap hadis dan para rawi, dan bahwa kreterianya dalam men-thiqah-kan
rawi itu sangat tinggi. Kitab al-Mujtaba di susun berdasarkan
bab-bab fikih, dan untuk tiap bab diberinya judul yang kadang-kadang mencapai
tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis
di satu tempat. Dengan demikian ia telah menempuh suatu jejak muhaddisin
yang paling rumit dan agung.[39]
4.
Sunan al-Mustafa karya
Ibnu Majah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, seorang hafiz yang agung dan
seorang mufassir (209 H-273 H)
Abu Ya’la al-Khalili al-Hafiz
berkata, “Ibnu Majah adalah seorang yang thiqqah, agung, disepakati
dapat di jadikan hujjah, luas pengetahuannya, dan kuat hafalannya.
Kitab ini di akui sebagai kitab sunan
yang ke empat dan merupakan pelengkap al-kutub al-sittah yang merupakan
sumber pokok bagi sunnah nabawiyah, ulama mutaqaddimin menghitung
kitab-kitab sumber itu ada lima dengan tidak memasukkan kitab Ibnu Majah ini,
kemudian sebagian mereka menempatkan al-Muwata’ di tempat ke enam. Namun
setelah beberapa orang hafiz mengetahui bahwa kitab kitab Ibnu Majah itu
merupakan kitab yang sangat berfaedah dan besar manfaatnya di bidang fikih,
serta banyak zawa’id (hadis yang tidak terdapat dalam kitab lain)
padanya, maka mereka memasukkannya ke dalam jajaran kitab-kitab sumber pokok
dan menempatkannya pada tempat terakhir.[40]
5.
Al-Musnad karya imam Ahmad bin Hambal, imam ahli Sunah
dan Hadis (164 H-241 H)
Imam
Ahmad menyusun kitab ini supaya dapat menjadi rujukan dan pegangan bagi kaum
Muslim. Kitab ini di susun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan
hadis yang bersangkutan, layaknya sistematika penyusunan kitab musnad.
Oleh karena itu kitab ini menjadi sangat lengkap dan besar sekali. Jumlah hadisnya
kurang lebih mencapai 30.000 buah yang terdiri atas hadis sahih, hasan
dan da’if. Sebagian di antaranya sangat da’if sehingga sebagian muhaddisin
menghukumi beberapa hadisya sebagai hadis maudu’. Akan
tetapi Ibn Hajar telah menyusun sebuah kitab dengan nama al-Qaul al-musaddad
fi al-Dhabbi ‘an al-Musnad. Kitab ini berisikan pembuktian tidak
dipalsukannya hadis-hadis yang kami singgung itu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umumnya hadis-hadis tersebut baik,
dan tidak ada satu hadis pun dapat dipastikan sebagai hadis maudu’
bahkan tidak ada penilaian bahwa salah satu hadisnya maudhu’ oleh
beberapa orang meski ada kemungkinan kuat untuk membantahnya.[41]
6.
Al-Musnad karya
Abu Ya’la al-Maushili Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna (210 H-307 H)
Musnad Abi Ya’la adalah suatu kitab al-Musnad yang besar. Ia juga menyusun kitab al-Musnad yang kecil. al-Musnad yang besar merupakan kitab sumber yang besar, lengkap dan derajat hadis-hadisnya mendekati hadis-hadis Musnad Imam Ahmad.
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
DAFTAR
PUSTAKA
‘Asqalani (al), Ibn Hajar.
Sharh al-Nukhbah. Kairo: Dar al-Basair, 2011.
Bukhari
(al), Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim. al-Jami’ al-Sahih. Beirut:
Dar al-Fikr, 2006.
Idri. Studi Hadis. Jakarta:
Kencana, 2010.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar
Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, t.th.
‘Itr,
Nuruddin, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Khattib (al), Muhammad
‘Ajjaj. Ushul al-Hadis, terj. Qadirun
Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.
Khon, Abdul Majid. Ulum al-Hadith, Jakarta:
Amzah, 2011.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar
Mustalah al-Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.
Shakir,
Ahmad Muhammad. al-Ba’is al-Hasis sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz
Ibnu Kathir. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1995.
Suryadilaga,
Muhammad al-Fatih, Ulum al-Hadith. Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.
Tahhan,
Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Thaqafah al-Islamiyah,
t.th.
Tirmidhi (al), Abu Isa Muhammad ibn Isa Ibn Surah, Sunan al-Tirmidhi. Bairut: Dar al-Fikr, 1980.
[1] Fatcur Rahman, Ikhtisar
Mustalah al-Hadith (Bandung: Alma’arif, 1974), 117.
[2] Mahmud Thahhan, Taisir
Mustalah al-Hadith, terj. Zainul Muttaqin (Yogyakarta: Titial Ilahi Press, 2004),
51.
[3] Ibid., 51.
[4] Ahmad Muhammad Shakir, al-Ba’is
al-Hasis Sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz Ibnu Kathir (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, 1995), 37.
[5] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
al-Nukhbah (Kairo: Dar al-Basair, 2011),
65.
[6] Ibid., 52.
[7] Ibid., 52.
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, t.th),
182.
[9] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 241.
[10] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 163.
[11] Ibid., 63.
[12] Ia adalah al-Harith al-a’war.
Lihat Mizan al-I’tidal
[13] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, 269.
[14] Mahmud Tahhan, Taisir , 12.
[15] Ibid., 11.
[16] Muhammad al-Fatih Suryadilaga,
Ulum al-Hadith, (Yogyakarta:
Sukses Offset,2010), 262.
[17] Ibid.,263
[18] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith,
273.
[19] Ibid., 269.
[20] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Shrh
al-Nukhbah, 67.
[21] Al-Qasimi, Qawaid al-Tahdith,
102.
[22] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushu.l al-Hadith, terj.
Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), 300.
[23]Abu Isa Muhammad ibn Isa Ibn
Surah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1980),
18.
[24] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 301.
[25] Abu Abdillah Muhammad ibn
Isma’il Ibn Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, Juz 1 (Beirut: Dar
al-Fikr,2006),196.
[26] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, 268.
[27] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mustalah al-Hadith, 143.
[28] Ibid., 143.
[29] Ibid., 143.
[30] Ibid., 143.
[31]Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 175.
[32] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 300.
[33] Idri, Studi Hadis, 175.
[34] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, 280.
[35] Ibid., 280.
[36] Ibid., 280.
[37] Ibid., 281.
[38] Ibid., 281.
[39] Ibid., 282.
[40] Ibid., 283.
[41] Ibid., 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar