HOME

25 Maret, 2022

NASIKH DAN MANSUKH AL-QUR'AN

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Alquran merupakan kitab suci yang terbebas dari perubahan apapun mulai dari masa diturunkannya hingga hari kiamat. Keautentikan Alquran dipastikan sendiri oleh Allah SWT melalui firmannya,

$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[1]

 

Alquran menjadi rujukan utama dalam hukum syariat Islam, karena peletak syariat pertama adalah Allah SWT. Dalam memahami dan menyimpulkan sebuah hukum dari Alquran, seseorang tidak bisa begitu saja mengambil ayat lalu menafsirkannya sesuai dengan keinginannya dan hanya bermodal terjemahan Alquran. Sebab para ulama telah merumuskan ilmu-ilmu sebagai modal utama dalam memahami Alquran. Al-Suyuti dalam mukadimah Al-Itqan fi Ulumi Alquran mengatakan, setidaknya ada 80 cabang ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang yang hendak ingin menafsirkan atau menyimpulkan sebuah hukum dalam Alquran.[2]

Di antara cabang ilmu-ilmu tersebut adalah Nasikh wa Al-Mansukh, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang dihapusnya dan digantinya ayat-ayat hukum dengan ayat-ayat hukum lainnya.[3]

Ilmu Nasikh dan Mansukh menjadi sebuah syarat dalam memahami dan mengambil sebuah hukum dari Alquran, karena ilmu ini bersinggungan langsung dengan ayat-ayat hukum dalam Alquran. Ilmu Nasikh dan Mansukh dalam Alquran berbicara hanya tentang ayat-ayat hukum syar’i bukan tentang aqidah, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu.[4] 

Oleh karenanya, ilmu Nasikh dan Mansukh dalam Alquran menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang ingin memahami secara benar dan luas tentang intisari dari Alquran.

B.            Rumusan Masalah

1.             Apa pengertian Nasikh, Nasakh, Mansukh?

2.             Apa hukum dan dalil yang menunjukkan adanya Nasakh?

3.             Apa syarat-syarat Nasakh?

4.             Apa macam-macam Nasakh dan bagaimana contohnya?

5.             Bagaimana cara mengetahui Nasakh?

6.             Apa hikmah di balik adanya Nasakh?

7.             Apa pendapat ulama tentang Nasakh?

8.             Apa perbedaan antara Nasakh, bada dan takhsis?

C.           Tujuan 

1.             Mengetahui pengertian Nasikh, Nasakh, Mansukh.

2.             Mengetahui dali-dalil yang menunjukkan adanya Nasakh.

3.             Mengerti syarat-syarat Nasakh.

4.             Memahami macam-macam Nasakh dan bagaimana contohnya.

5.             Memahami cara mengetahui Nasakh.

6.             Mengetahui hikmah di balik adanya Nasakh.

7.             Mengerti pendapat ulama tentang Nasakh.

8.             Memahami perbedaan antara Nasakh, bada dan takhsis.

D.           Manfaat

1.             Bagi penulis, makalah ini akan menambah wawasan dalam memahami istilah, definisi Nasikh dan Mansukh dalam Alquran.

2.             Bagi pembaca, makalah ini bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui dan memahami secara singkat Nasikh dan Mansukh dalam Alquran.


Baca artikel lain yang berkaitan;

BAB II

PEMBAHASAN

A.           Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh.

Menurut bahasa kata “Nasakh” memiliki beberapa arti, di antaranya:

1.             Menghapus, menghilangkan sesuatu dan meniadakannya.

Misalnya: نَسَخَتْ الشَّمْسُ الظِّلَّ artinya matahari menghilangkan bayang-bayang,نَسَخَ الشَّيْبُ الشَّبَابِ artinya uban menghapus atau meniadakan masa muda.[5]

2.             Menghapus sesuatu dan menggantinya dengan yang lain.[6]

3.             Memindahkan sesuatu yang tetap ada dan sama.

Misalnya: تَنَاسَخَ الطُّلاَّبُ مِنْ كُلِّيَّةٍ إِلَى كُلَّيَّةٍ, para mahasiswa itu saling berpindah dari fakultas ke fakultas lain.[7]

4.             Menyalin.

Misalnya: نَسَخْتُ الْكِتَابَ, saya menyalin pelajaran di buku.[8]                       

Secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna Nasakh. ‘Abdul Jalal dalam ‘Ulumul Quran meringkas beberapa pendapat tersebut yang setidaknya ada empat terminologi sebagai berikut:[9]

1.             Definisi Nasakh secara umum

النَّسْخُ إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لاَحِقٍ

Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).

2.             Definisi Nasakh secara singkat

النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ


Nasakh ialah menghapus hukum syariat dengan dalil syar’i.”

3.             Definisi Nasakh secara lengkap

 

النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مَعَ التَّرَاخِي عَلَى وَجْهٍ لَوْلاَهُ لَكَانَ الْحُكْمُ الْأَوَّلُ ثَابِتًا

Nasakh ialah menghapus hukum syariat dengan dalil syar’i dengan tenggang waktu, dan dengan syarat apabila tidak ada Nasakh tersebut maka hukum awal tetap berlaku.

4.             Definisi Nasakh yang salah

النَّسْخُ رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ

Nasakh ialah membatasi keumuman nas yang terdahulu (diNasakh) atau menentukan kemutlakannya dengan nas yang baru (meNasakh).”

Menurut penulis, definisi Nasakh keempat dianggap salah karena pada dasarnya tidak ada Nasakh dalam dua hukum tersebut. Lebih tepatnya definisi tersebut bisa dikategorikan ke dalam Takhsisu al-‘Am wa Taqyidu al-Mutlaq yaitu mengkhusukan sebuah dalil yang bersifat umum dan menentukan sebuah hukum yang mutlak pada dalil tersebut. Seperti contoh ayat ‘iddah dalam surat Al-Baqarah ayat 223 dibatasi keumumannya dengan surat al-Ah{zab ayat 49.

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.[10]

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.[11]

Dalam ayat kedua, perempuan yang bercerai dan belum disentuh oleh suaminya maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Berbeda dengan ayat pertama yang secara umum memaparkan bahwa perempuan-perempuan yang ditalak atau cerai, masa idahnya tiga kali masa sucinya dari haid.[12]

Muhammad Al-Hadari Bik memaparkan dalam Tarikh al-Tashri’ al-Islami pengertian Nasakh menurut ahli fikih. Ahli fikih mendefinisikan Nasakh menjadi dua pengertian. Pertama,

إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لاَحِقٍ

Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).

Dan yang kedua,

رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ

Nasakh ialah membatasi keumuman nas yang terdahulu (diNasakh) atau menentukan kemutlakannya dengan nas yang baru (meNasakh).”[13]

Singkatnya, pengertian Nasakh ialah mengganti atau menyalin sebuah hukum agama dengan hukum yang lain yang lebih baik dan bijak, baik itu dalam Alquran maupun hadis.

Adapun pengertian “Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapus, menghilangkan, menyalin, serta mengubah dan mengganti.[14] Jadi Nasikh secara istilah ialah dalil baru yang mengganti hukum dalil yang terdahulu.

“Mansukh” secara bahasa bermakna sesuatu yang dihapus, dihilangkan, disalin, serta diubah dan diganti.[15] Menurut istilah, Mansukh bisa diartikan dalil pertama yang diganti hukum syariatnya oleh dalil yang kedua.

B.            Hukum dan Dalil Nasakh

Mayoritas umat Islam sepakat bahwa status hukum Nasakh adalah jawaz atau boleh, sebab Nasakh memang benar terjadi baik dalam Alquran maupun hadis. Hal ini berpunggungan dengan kaum Yahudi yang tidak mempercayai eksistensi Nasakh.[16]

Adapun dalil tentang Nasakh, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada dua dalil yang membuktikan bahwa Nasakh absah dalam Alquran, yaitu ‘aqli dan sam’i.[17]

Menurut al-Zaraqani ada empat dalil‘aqli yang menjadi Nasakh, yaitu:[18]

1.             Akal tidak menafikan Nasakh dan Nasakh bukanlah hal yang mustahil bagi akal. Menurut akal adanya Nasakh adalah sah dan sangat memungkinkan.

2.             Jika memang Nasakh dilarang dan tidak boleh baik secara akal maupun syariat, maka syariat juga tidak akan memerintahkan ibadah-ibadah yang bersifat sementara dan terbatas oleh waktu, sebab selesainya ibadah tersebut termasuk dari Nasakh. Contoh puasa bulan ramadan. Syariat mewajibkan berpuasa sebulan penuh, lalu mengharamkan puasa pada tanggal 1 syawal, maka hal semacam ini juga termasuk dari Nasakh.

3.             Seandainya Nasakh tidak dibenarkan menurut akal dan syariat, maka risalah Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna dan pengganti risalah nabi-nabi sebelumnya juga tidak sah, dan risalah Nabi Muhammad SAW tidak boleh untuk khalayak luas secara umum (kaffah). Akan tetapi risalah Nabi Muhammad SAW untuk siapa saja tak terbatas ruang dan waktu karena risalah tersebut sebagai pengganti dan pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya.

4.             Adanya dalil-dalil sam’i yang menjelaskan tentang eksistensi Nasakh.

Adapun dalil Nasakh secara sam’i, al-Zarqani memetakan menjadi dua, bersumber dari syariat atau kitab-kitab terdahulu dan bersumber dari Alquran.[19]

Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari syariat atau kitab-kitab terdahulu:[20]

1.             Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, lalu Allah melarangnya dan menyuruhnya untuk menyembelih seekor domba.

2.             Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk membunuh siapa saja yang menyembah patung sapi, kemudian Allah melarang mereka untuk membunuh kaum penyembah patung sapi tersebut.

3.             Dalam syariat Nabi Ya’kub, boleh hukumnya menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus, namun hal itu diharamkan dalam syariat Nabi Musa.

4.             Bekerja di hari sabtu bagi kaum Yahudi pada mulanya diperkenankan, seperti mencari ikan. Namun kemudian diharamkan.

5.             Talak pada masa Nabi Musa dianjurkan, kemudian syariat Nabi ‘Isa datang dan mengharamkannya kecuali jika terbukti adanya perselingkuhan.


 

Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari Alquran:[21]

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ 

Ayat mana saja yang Kami Nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[22]

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍۢ ۙ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[23]

يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ - ٣٩  

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).[24]

C.           Syarat-syarat Nasakh

Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahist fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi proses Nasakh, yaitu:[25]

1.             Hukum yang diNasakh adalah hukum syariat. Bukan hukum akal atau hukum buatan manusia.

2.             Dalil yang meNasakh merupakan dalil syar’i yang datang dan memiliki tenggang waktu dari dalil yang pertama (diNasakh).

3.             Hukum yang diNasakh merupakan hukum yang tidak dibatasi oleh waktu. Sebab jika tidak demikian, maka hukum tersebut akan berakhir atau selesai dengan berakhirnya batas waktu tersebut.

Sedikit berbeda dengan al-Qattan, H{assan Ayyub memetakan empat syarat yang harus dipenuhi dalam meNasakh sebuah dalil sebagai berikut:[26]

1.             Hukum yang diNasakh harus berupa hukum syariat.

2.             Dalil yang meNasakh berupa dalil syari’i.

3.             Dalil yang meNasakh harus datang dalam beberapa tenggang waktu setelah dalil yang diNasakh.

4.             Adanya kontradiksi antara kedua dalil tersebut.

D.           Macam-macam Nasakh dan Contohnya

Mayoritas ulama tafsir membagi macam-macam Nasakh Alquran menjadi tiga, hal ini disebutkan al-Suyuti dalam al-Tahbir fi ‘Ilmi al-Tafsir, pembagian tersebut sebagaimana berikut:[27]

1.             MeNasakh hukum tanpa meNasakh bacaan dan tulisannya. Nasakh semacam ini memiliki tiga jenis:

a.             Dalil Alquran diNasakh dengan sesama ayat Alquran, misalnya surat an-Nisak ayat 15 diNasakh oleh surat al-Nur ayat 2:

وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِّنْكُمْ ۚ فَاِنْ شَهِدُوْا فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا

“Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”[28]

 

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”[29]

b.             Dalil Alquran diNasakh dengan hadis Nabi, seperti surat al-Baqarah ayat 180 yang diNasakh oleh sebuah hadis riwayat Abu Dawud,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”[30]

لاَ وَصِيَّةِ لِوِارِثٍ

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[31]

c.             Ayat Alquran meNasakh sebuah hadis Nabi, seperti ayat tentang perubahan qiblat, Al-Baqarah ayat 144 yang meNasakh hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW salat menghadap arah bait al-maqdis,

 

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ  

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”[32]

 

2.             MeNasakh bacaan dan tulisannya tanpa meNasakh hukumnya. Nasakh semacam ini sangatlah banyak dalam Alquran. Dalil yang menetapkan adanya Nasakh semacam ini adalah hadis ‘Umar bin al-Khattab dan Ubay bin Ka’ab:[33]

كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ الشَّيْخُ والشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُواهُمَا البَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ واللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Salah satu ayat yang diturunkan kepada kami adalah orang tua laki-laki dan orang tua perempuan jika berzina, maka rajamlah sebagai balasan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.”

3.             MeNasakh bacaan sekaligus hukumnya. Seperti hadis sahih diriwayatkan Aishah yang menjelaskan berapa kali susuan seorang anak menjadi mahram ibu susuannya. Hadis tersebut diabadikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih keduanya:[34]

كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُنَّ يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

“Salah satu ayat yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh sususan yang sudah dimengerti untuk menjadi muhrim, kemudian (ketentuan) ini diNasakh dengan lima kali susuan. Dan ketika Rasulullah SAW wafat, lima susuan ini termasuk ayat Alquran yang dibaca.

 

‘Abd al-Wahhab Khallaf dalam karyanya ‘Ilm Usul al-Fiqh membagi Nasakh menjadi dua:[35]

1.             Nasakh Tasrihi, Nasakh yang secara gemblang dan jelas diketahui. Nasakh ini sangat banyak dan umum dalam Alquran dan hadis. Seperti contoh surat Al-Anfal ayat 65 yang diNasakh oleh ayat berikutnya yaitu 66,

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ  

“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”[36]

 

z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øótƒ Èû÷üxÿø9r& ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ  

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”[37]

 

2.             Nasakh D{imni, Nasakh yang disebutkan dengan samar-samar dan secara tidak langsung. Seperti contoh surat al-Baqarah ayat 180 yang diNasakh secara dimni oleh surat al-Nisa ayat 11,

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”[38]

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ    

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[39]

E.            Cara Mengetahui Nasakh

Untuk mengetahui Nasakh, ulama tafsir merumuskan tiga metode yaitu sebagai berikut:

1.             Salah satu dari dalil (Nasikh atau Mansukh) harus ada ketentuan mana di antara keduanya yang datang dahulu dan mana yang baru.[40] Contoh antara surat al-Anfal ayat 66 dan al-Anfal ayat 65:

اَلْـٰٔنَ خَفَّفَ اللّٰهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًاۗ فَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَّغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ اَلْفٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

 

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”[41]

 

Bila kita amati ayat tersebut, kita akan mendapatka kata “al-A<na” yang berarti sekarang. Ini berarti ayat tersebut datang belakangan dari ayat lain yang menjelaskan tentang perbandingan antara kaum muslimin dan kafir 1:10, yaitu surat al-Anfal ayat 65,[42]

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِۗ اِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفًا مِّنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ  

“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”[43]

2.             Adanya kesepakatan para imam di setiap masa dalam menentukan antara dalil Nasikh dan dalil yang Mansukh.[44] Bila terdapat ketentuan atau keterangan yang jelas antara dua dalil tersebut sehingga bisa dibedakan antara yang Nasikh dan Mansukh, maka kesepakatan ulama dalam menetapkan dan membenarkan hal tersebut sangat diperlukan.[45]

3.             Harus ada riwayat sahih dari seorang sahabat yang menentukan mana dalil yang lebih dahulu dari kedua dalil yang saling bertentangan tersebut.[46] Seperti sebuah pernyataan:

أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بَعْدَ تِلْكَ الْآيَةِ

“Ayat ini diturunkan setelah ayat itu.”

atau,

نُزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَامَ كَذا وَتِلِكَ الْآيَةُ عَامَ كَذَا

“Ayat ini diturunkan pada tahun sekian dan ayat itu pada tahun sekian.”

F.            Nasakh dalam Surat Alquran

Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkashi dalam al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran menukil tulisan Hibbatullah bin Al-Salam dari karyanya yang berjudul al-Nasikh wa al-Mansukh tentang pembagian surat-surat Alquran yang berkaitan dengan Nasakh, Nasikh dan Mansukh. Berikut pembagian tersebut:[47]

1.             Surat-surat yang di dalamnya tidak terdapat Nasikh dan Mansukh: al-Fatihah, Yusuf, Yasin, al-H{ujurat, al-Rahman, al-H{adid, al-Saff, al-‘Jumuah, al-Tahrim, al-Mulku, al-H{aqqah, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, Al-Naba, al-Nazi’at, al-Infitar, al-Mutaffifin, al-Inshiqaq, al-Buruj, al-Fajr, al-Balad, al-Shams, al-Lail, al-D{uha, al-Inshirah, al-Qalam, al-Qadr, Al-Infikak (al-Bayyinah), al-Zilzalah, al-‘Adiyat, al-Qari’ah, al-Takatsur, al-Humazah, al-Fil, al-Quraish, al-Din (al-Ma’un), al-Kautsar, al-Nasr, Tabbat, al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas.

2.             Surat-surat yang di dalamnya terdapat Nasikh tapi tidak ditemukan Mansukh: al-Fath, al-H{ashr, al-Munafiqun, al-Taghabun, al-T{alaq, Al-A’la.

3.             Surat-surat yang di dalamnya terdapat Mansukh dan tidak ditemukan Nasikh: al-‘An’am, al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ra’d, al-H{ijr, al-Nahl, Banu Israil, al-Kahf, T{aha, al-Mukminun, al-Naml, al-Qasas, al-‘Ankabut, al-Rum, Luqman, al-Madaji’ (al-Sajadah), al-Saffat, Sad, al-Zumar, al-Masabih (Fussilat), al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-Najm, al-Ma’arij, al-Muddatsir, al-Qiyamah, al-Insan, ‘Abasa, al-T{ariq, al-Ghashiyah, al-Tin, al-Kafirun.

4.             Surat-surat yang di dalamnya terdapat Nasikh dan Mansukh bersamaan: al-baqarah, A<li ‘Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-A’raf, al-Anfal, al-Taubah, Ibrahim, al-Nahl, al-Isra, Maryam, T{aha, al-Anbiya, al-H{ajj, al-Mukminun, al-Nur, al-Furqan, al-Shu’ara, al-Ahzab, Saba, al-Shura, Muhammad, al-Zariyat, al-T{ur, al-Waqi’ah, al-Mujadalah, al-mumtahanah, al-Muzammil, al-Muddatsir, al-Takwir, al-‘Asr.     

G.           Tujuan Nasakh

Secara umum hikmah dan tujuan adanya Nasakh ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan manusia berubah seiring dengan berubahnya kondisi manusia dan alam sekitarnya.[48]

Tujuan Nasakh juga untuk mempermudah manusia dalam menapaki hukum-hukum syariat. Pada awal mula dakwah Rasulullah SAW, masyarakat Mekkah merasakan kesusahan yang luar biasa dalam menjalankan hukum syariat Islam dan meninggalkan kebiasaan, adat-istiadat mereka, apalagi perpindahan akidah mereka yang selama ini menyekutukan Allah menjadi mengesakan Allah.[49]

Oleh karenanya dalam sejarah dakwah Islam, kita mengenal al-Tadrij fi al-Tashri’ yaitu mengajarkan syariat dan menjalankannya secara bertahap.

Rasulullah SAW pernah ditanya perihal hukum meminum khamar dan bermain judi, Rasulullah SAW pun menjawab dengan bahasa Alquran surata Al-Baqarah ayat 219,

 يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ    

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”[50]

 

Jawaban Rasulullah SAW dari pertanyaan tersebut sangatlah tepat dan bijak. Pada permulaan dakwah, Islam tidak langsung mengharamkan khamar dan judi, melainkan menginformasikan bahwa bahaya dan efek negatif khamar dan judi lebih besar dan banyak daripada keuntungan dan dampak positifnya. Pada ayat tersebut, hukum khamar dan judi tidak disebutkan secara gamblang dan transparan. Selang beberapa waktu, ayat tentang larangan salat dalam keadaan mabuk turun, surat Al-Nisa ayat 43. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pelarangan khamar berlaku secara bertahap. Kemudian turun ayat yang menjelaskan pelarangan khamar secara mutlak, surat al-Maidah ayat 90.[51]

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”[52]

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”[53]

 

Nasakh adakalanya dari hukum yang berat menjadi hukum yang ringan, tujuan Nasakh jenis ini adalah untuk meringankan manusia dalam menjalankan syariat Islam, juga sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya. Namun ada Nasakh yang berupa mengubah hukum yang mulanya mudah menjadi berat. Nasakh semacam ini bertujuan untuk menambah pahala dan kebaikan, menguji iman dan kesetiaan seorang hamba kepada Allah SWT dan syariat Islam.[54]

H.           Pendapat Ulama tentang Nasakh

Pada umumnya para ulama berbeda pandangan mengenai Nasakh. Ada tiga pendapat di kalangan mereka. Pertama, Nasakh bisa terjadi dan dibenarkan secara akal dan sam’i. Kedua, Nasakh tidak terjadi dan selalu dipungkiri secara akal dan sam’i. Ketiga, Nasakh mungkin terjadi secara akal tetapi dilarang oleh syariat.[55]

I.              Perbedaan antara Nasakh, Bada dan Takhsis

Bada secara bahasa memiliki dua makna yang hampir mirip, yaitu:[56]

1.             Jelas setelah samar.

2.             Munculnya ide baru yang sebelumnya tidak ada.

Kedua makna tersebut sangat mustahil bagi Allah SWT karena didahului dengan ketidaktahuan atau kebodohan serta bersifat hudust (baru). Sifat bodoh dan baru amat mustahil bagi Allah.[57]

Adapun Nasakh tidak mempunyai definisi atau arti munculnya kejelasan setelah kesamaran atau ide baru yang sebelumnya tidak ada. Nasakh memang sudah ada sejak zaman azali hanya saja Nasakh membutuhkan tenggang waktu atau tarakhi pada kemunculannya.

Perbedaan Nasakh dengan takhsis, ‘Abdul Jalal memetakannya menjadi lima poin, di antanya:[58]

1.             Kalimat yang ‘am (umum) setelah ditakhsis (dibatasi) maka jangkauannya menjadi samar karena bentuknya masih umum namun jangkauannya dibatasi. Berbeda dengan kalimat yang diMansukh, maka kalimat tersebut sudah tidak berlaku lagi.

2.             Ketentuan hukum yang ditakhsis memang sejak semula tidak dikehendaki sama sekali, berbeda dengan hukum yang diMansukh yang sedari awal hukum tersebut berlaku.

3.             Nasakh membatalkan kehujjahan hukum yang diMansukh, adapun takhsis tidak membatalkan hanya membatasi saja.

4.             Nasakh hanya terjadi pada dalil Alquran dan hadis saja, adapun takhsis bisa terjadi di luar Alquran dan hadis.

5.             Nasakh bersifat tarakhi yaitu memiliki tenggang waktu untuk menghapus dan menggantikan hukum sebelumnya adapun takhsis tidak harus bersifat tarakhi.


Baca artikel lain yang berkaitan;

BAB III

PENUTUP

A.           Kesimpulan

1.             Pengertian Nasakh ialah mengganti atau menyalin sebuah hukum agama dengan hukum yang lain yang lebih baik dan bijak, baik itu dalam Alquran maupun hadis.

Adapun pengertian “Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapus, menghilangkan, menyalin, serta mengubah dan mengganti. Jadi Nasikh secara istilah ialah dalil baru yang mengganti hukum dalil yang terdahulu.

“Mansukh” secara bahasa bermakna sesuatu yang dihapus, dihilangkan, disalin, serta diubah dan diganti. Menurut istilah, Mansukh bisa diartikan dalil pertama yang diganti hukum syariatnya oleh dalil yang kedua.

2.             Nasakh adakalanya meNasakh hukum dan bacaannya, meNasakh hukumnya saja, dan meNasakh bacaannya saja.

3.             Secara umum hikmah dan tujuan adanya Nasakh ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan manusia berubah seiring dengan berubahnya kondisi manusia dan alam sekitarnya.

4.             Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai Nasakh. Pertama, Nasakh bisa terjadi dan dibenarkan secara akal dan sam’i. Kedua, Nasakh tidak terjadi dan selalu dipungkiri secara akal dan sam’i. Ketiga, Nasakh mungkin terjadi secara akal tetapi dilarang oleh syariat.

B.            Saran

Sesuai dengan dengan kesimpulan di atas, penulis menganjurkan pembaca untuk lebih merujuk buku-buku ilmu Alquran dan usul fikih guna mendalami dan lebih mengerti tentang Nasikh Mansukh. Banyak literatur yang sangat lengkap dan apik dalam mengurai pembahasan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Ayyub, H{asan. al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith. Kairo: Dar al-Salam, 2007.

Bik, Muhammad al-Hadari. Tarikh al-Tashri’ al-Islami. Surabaya: al-Hidayah, t.h.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahannya. Bandung: Sygma, 2009.

Effendy,Ahmad Fuad. Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran. Malang: Misykat Indonesia, 2013.

Jalal, ‘Abdul. ‘Ulumul Qura’n. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013.

Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-H{adith, 2003.

Maliki (al), Abu  Bakr Ibn al-‘Arabi. al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim. Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010.

Sijistani (al), Abu Dawud. al-Sunan. Stuttgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.

Suyuti (al), Jalal al-Din. al-Itqan fi Ulumi Alquran. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2008.

______. al-Tahbir fi ‘Ilmi al-Tafsir . Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

Qattan (al), Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Surabaya: Litera AntarNusa, 2013.

Zarkashi (al), Muhammad bin ‘Abdillah. al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran. Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 2006.

Zarqani (al), Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996.


[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Sygma, 2009), 262.

[2] Jalal Al-Din Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumi Alquran  (Kairo: Al-Maktabah Al-Taufiqiyah, 2008), 29-33.

[3] Ahmad Fuad Effendy, Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran (Malang: Misykat Indonesia, 2013), 236.

[4] Ibid., 236.

[5] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith (Kairo: Dar al-Salam, 2007), 109.

[6] Abu Bakr Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010), 3.

[7]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 108.

[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Surabaya: Litera AntarNusa, 2013), 326.

[9]  Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 112-116.

[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 35.

[11] Ibid., 426.

[12]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 116.

[13] Muhammad al-Hadari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (Surabaya: al-Hidayah, t.h), 23.

[14]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 122.

[15] Ibid., 124.

[16] Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim..., 3.

[17] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996), 147.

[18] Ibid., 147-149.

[19] Ibid., 150-151.

[20] Ibid., 150.

[21] Ibid., 151.

[22] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 17. Al-Baqarah 106

[23] Ibid., 278. An-Nahl 101

[24] Ibid., 254. Ar- Ra’d 37 

[25] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Quran ..., 327.

[26] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 110.

[27] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Tahbir fi ‘Ilmi al-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 103-105.

[28] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya..., 80.

[29] Ibid., 350.

[30] Ibid., 27.

[31] Abu Dawud al-Sijistani, al-Sunan (Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010), Hadis Nomor 2872.

[32] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 22.

[33]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 151.

[34] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Quran ..., 336.

[35] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-H{adist, 2003), 206-207.

[36] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 185.

[37] Ibid., 185.

[38] Ibid., 27.

[39] Ibid., 78.

[40] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 118.

[41] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 185.

[42]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 132.

[43] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 185.

[44] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 118.

[45]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 133.

[46] Ibid., 133.

[47] Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran (Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 2006), 23-24.

[48] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh..., 205.

[49] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 115.

[50] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 34.

[51] Muhammad al-Hadari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami ..., 21.

[52] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 85.

[53] Ibid., 123.

[54] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith..., 116.

[55]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 138-141.

[56] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa Al-H{adith..., 110.

[57] Ibid., 110.

[58]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 126-130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...