BAB I
Alquran merupakan kitab suci yang
terbebas dari perubahan apapun mulai dari masa diturunkannya hingga hari
kiamat. Keautentikan Alquran dipastikan sendiri oleh Allah SWT melalui firmannya,
$¯RÎ)
ß`øtwU
$uZø9¨tR
tø.Ïe%!$#
$¯RÎ)ur
¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:
ÇÒÈ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.”[1]
Alquran menjadi rujukan utama
dalam hukum syariat Islam, karena peletak syariat pertama adalah Allah SWT.
Dalam memahami dan menyimpulkan sebuah hukum dari Alquran, seseorang tidak bisa
begitu saja mengambil ayat lalu menafsirkannya sesuai dengan keinginannya dan
hanya bermodal terjemahan Alquran. Sebab para ulama telah merumuskan ilmu-ilmu
sebagai modal utama dalam memahami Alquran. Al-Suyuti dalam mukadimah Al-Itqan
fi Ulumi Alquran mengatakan, setidaknya ada 80 cabang ilmu yang harus
dikuasai oleh seseorang yang hendak ingin menafsirkan atau menyimpulkan sebuah
hukum dalam Alquran.[2]
Di antara cabang
ilmu-ilmu tersebut adalah Nasikh wa Al-Mansukh, yaitu ilmu yang
menjelaskan tentang dihapusnya dan digantinya ayat-ayat hukum dengan ayat-ayat
hukum lainnya.[3]
Ilmu Nasikh dan Mansukh menjadi sebuah syarat dalam memahami dan mengambil sebuah hukum dari Alquran, karena ilmu ini bersinggungan langsung dengan ayat-ayat hukum dalam Alquran. Ilmu Nasikh dan Mansukh dalam Alquran berbicara hanya tentang ayat-ayat hukum syar’i bukan tentang aqidah, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu.[4]
Oleh karenanya, ilmu Nasikh dan Mansukh dalam Alquran
menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang ingin memahami secara benar dan luas
tentang intisari dari Alquran.
1.
Apa pengertian Nasikh, Nasakh, Mansukh?
2.
Apa hukum dan dalil yang menunjukkan adanya Nasakh?
3.
Apa syarat-syarat Nasakh?
4.
Apa macam-macam Nasakh dan bagaimana contohnya?
5.
Bagaimana cara mengetahui Nasakh?
6.
Apa hikmah di balik adanya Nasakh?
7.
Apa pendapat ulama tentang Nasakh?
8.
Apa perbedaan antara Nasakh, bada dan takhsis?
1.
Mengetahui pengertian Nasikh, Nasakh, Mansukh.
2.
Mengetahui dali-dalil yang menunjukkan adanya Nasakh.
3.
Mengerti syarat-syarat Nasakh.
4.
Memahami macam-macam Nasakh dan bagaimana contohnya.
5.
Memahami cara mengetahui Nasakh.
6.
Mengetahui hikmah di balik adanya Nasakh.
7.
Mengerti pendapat ulama tentang Nasakh.
8.
Memahami perbedaan antara Nasakh, bada dan takhsis.
1.
Bagi penulis, makalah ini akan menambah wawasan dalam
memahami istilah, definisi Nasikh dan Mansukh dalam Alquran.
2. Bagi pembaca, makalah ini bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui dan memahami secara singkat Nasikh dan Mansukh dalam Alquran.
Baca artikel lain yang berkaitan;
BAB
II
A. Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh.
Menurut bahasa kata “Nasakh”
memiliki beberapa arti, di antaranya:
1.
Menghapus,
menghilangkan sesuatu dan meniadakannya.
Misalnya: نَسَخَتْ الشَّمْسُ الظِّلَّ artinya matahari
menghilangkan bayang-bayang,نَسَخَ الشَّيْبُ الشَّبَابِ artinya uban menghapus atau
meniadakan masa muda.[5]
2.
Menghapus
sesuatu dan menggantinya dengan yang lain.[6]
3.
Memindahkan
sesuatu yang tetap ada dan sama.
Misalnya: تَنَاسَخَ الطُّلاَّبُ مِنْ كُلِّيَّةٍ إِلَى كُلَّيَّةٍ, para mahasiswa itu saling
berpindah dari fakultas ke fakultas lain.[7]
4.
Menyalin.
Misalnya:
نَسَخْتُ الْكِتَابَ, saya menyalin pelajaran di
buku.[8]
Secara
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna Nasakh.
‘Abdul Jalal dalam ‘Ulumul Quran meringkas beberapa pendapat tersebut
yang setidaknya ada empat terminologi sebagai berikut:[9]
1.
Definisi Nasakh secara umum
النَّسْخُ إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ
لاَحِقٍ
“Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari
nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).”
2.
Definisi Nasakh secara singkat
النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Nasakh ialah menghapus hukum syariat dengan dalil syar’i.”
3.
Definisi
Nasakh secara lengkap
النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ
الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مَعَ التَّرَاخِي عَلَى وَجْهٍ لَوْلاَهُ
لَكَانَ الْحُكْمُ الْأَوَّلُ ثَابِتًا
“Nasakh ialah menghapus
hukum
syariat dengan dalil syar’i dengan
tenggang waktu, dan dengan syarat apabila tidak ada Nasakh tersebut maka
hukum awal tetap berlaku.”
4.
Definisi Nasakh yang salah
النَّسْخُ رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ
بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ
“Nasakh ialah
membatasi keumuman nas yang terdahulu (diNasakh) atau menentukan
kemutlakannya dengan nas yang baru (meNasakh).”
Menurut penulis, definisi Nasakh keempat dianggap salah karena
pada dasarnya tidak ada Nasakh dalam dua hukum tersebut. Lebih
tepatnya definisi tersebut bisa dikategorikan ke dalam Takhsisu al-‘Am wa
Taqyidu al-Mutlaq yaitu mengkhusukan sebuah dalil yang bersifat umum dan
menentukan sebuah hukum yang mutlak pada dalil tersebut. Seperti contoh ayat ‘iddah
dalam surat Al-Baqarah ayat 223 dibatasi keumumannya dengan surat al-Ah{zab ayat 49.
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ
اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak
akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.[10]”
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ
اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ
فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik- baiknya.[11]”
Dalam ayat kedua, perempuan yang bercerai dan belum
disentuh oleh suaminya maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Berbeda
dengan ayat pertama yang secara umum memaparkan bahwa perempuan-perempuan yang
ditalak atau cerai, masa idahnya tiga kali masa sucinya dari haid.[12]
Muhammad Al-Hadari Bik
memaparkan dalam Tarikh al-Tashri’ al-Islami pengertian Nasakh
menurut ahli fikih. Ahli fikih mendefinisikan Nasakh menjadi dua
pengertian. Pertama,
إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لاَحِقٍ
“Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari
nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).”
Dan yang kedua,
رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ
بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ
“Nasakh ialah membatasi keumuman nas yang
terdahulu (diNasakh) atau menentukan kemutlakannya dengan nas yang baru
(meNasakh).”[13]
Singkatnya,
pengertian Nasakh ialah mengganti atau menyalin sebuah hukum agama
dengan hukum yang lain yang lebih baik dan bijak, baik itu dalam Alquran maupun
hadis.
Adapun pengertian
“Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapus, menghilangkan,
menyalin, serta mengubah dan mengganti.[14] Jadi Nasikh secara istilah ialah dalil baru
yang mengganti hukum dalil yang terdahulu.
“Mansukh”
secara bahasa bermakna sesuatu yang dihapus, dihilangkan, disalin, serta diubah
dan diganti.[15] Menurut istilah, Mansukh bisa diartikan dalil pertama
yang diganti hukum syariatnya oleh dalil yang kedua.
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa status hukum Nasakh
adalah jawaz atau boleh, sebab Nasakh memang benar terjadi baik
dalam Alquran maupun hadis. Hal ini berpunggungan dengan kaum Yahudi yang tidak
mempercayai eksistensi Nasakh.[16]’
Adapun
dalil tentang Nasakh, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada dua dalil yang
membuktikan bahwa Nasakh absah dalam Alquran, yaitu ‘aqli dan sam’i.[17]
Menurut al-Zaraqani ada empat dalil‘aqli
yang menjadi Nasakh, yaitu:[18]
1.
Akal tidak menafikan Nasakh
dan Nasakh bukanlah hal yang mustahil bagi akal. Menurut akal adanya Nasakh
adalah sah dan sangat memungkinkan.
2.
Jika memang Nasakh
dilarang dan tidak boleh baik secara akal maupun syariat, maka syariat juga
tidak akan memerintahkan ibadah-ibadah yang bersifat sementara dan terbatas
oleh waktu, sebab selesainya ibadah tersebut termasuk dari Nasakh. Contoh puasa bulan ramadan. Syariat mewajibkan
berpuasa sebulan penuh, lalu mengharamkan puasa pada tanggal 1 syawal, maka hal
semacam ini juga termasuk dari Nasakh.
3.
Seandainya Nasakh tidak dibenarkan menurut akal dan syariat, maka
risalah Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna dan pengganti risalah nabi-nabi
sebelumnya juga tidak sah, dan risalah Nabi Muhammad SAW tidak boleh untuk
khalayak luas secara umum (kaffah). Akan tetapi risalah Nabi Muhammad
SAW untuk siapa saja tak terbatas ruang dan waktu karena risalah tersebut
sebagai pengganti dan pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya.
4.
Adanya dalil-dalil sam’i yang menjelaskan tentang eksistensi Nasakh.
Adapun dalil Nasakh secara sam’i, al-Zarqani memetakan menjadi dua, bersumber dari
syariat atau kitab-kitab terdahulu dan bersumber dari Alquran.[19]
Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari syariat
atau kitab-kitab terdahulu:[20]
1.
Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail,
lalu Allah melarangnya dan menyuruhnya untuk menyembelih seekor domba.
2.
Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk membunuh siapa saja yang
menyembah patung sapi, kemudian Allah melarang mereka untuk membunuh kaum
penyembah patung sapi tersebut.
3.
Dalam syariat Nabi Ya’kub, boleh hukumnya menikahi dua perempuan
bersaudara sekaligus, namun hal itu diharamkan dalam syariat Nabi Musa.
4.
Bekerja di hari sabtu bagi kaum Yahudi pada mulanya diperkenankan,
seperti mencari ikan. Namun kemudian diharamkan.
5.
Talak pada masa Nabi Musa dianjurkan, kemudian syariat Nabi ‘Isa datang
dan mengharamkannya kecuali jika terbukti adanya perselingkuhan.
Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari
Alquran:[21]
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ
مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ
قَدِيرٌ
“Ayat
mana saja yang Kami Nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”[22]
وَإِذَا
بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍۢ ۙ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”[23]
يَمْحُوا اللّٰهُ
مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ - ٣٩
“Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”[24]
Manna’
Khalil al-Qattan dalam Mabahist fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada tiga
syarat yang harus dipenuhi proses Nasakh, yaitu:[25]
1.
Hukum yang diNasakh adalah hukum syariat. Bukan hukum
akal atau hukum buatan manusia.
2.
Dalil yang meNasakh merupakan dalil syar’i
yang datang dan memiliki tenggang waktu dari dalil yang pertama (diNasakh).
3.
Hukum yang diNasakh merupakan hukum yang tidak
dibatasi oleh waktu. Sebab jika tidak demikian, maka hukum tersebut akan
berakhir atau selesai dengan berakhirnya batas waktu tersebut.
Sedikit
berbeda dengan al-Qattan, H{assan Ayyub memetakan empat syarat yang harus
dipenuhi dalam meNasakh sebuah dalil sebagai berikut:[26]
1.
Hukum yang diNasakh harus berupa hukum syariat.
2.
Dalil yang meNasakh berupa dalil syari’i.
3.
Dalil yang meNasakh harus datang dalam beberapa
tenggang waktu setelah dalil yang diNasakh.
4.
Adanya kontradiksi antara kedua dalil tersebut.
D.
Macam-macam Nasakh dan Contohnya
Mayoritas ulama tafsir membagi macam-macam Nasakh
Alquran menjadi tiga, hal ini disebutkan al-Suyuti dalam al-Tahbir fi ‘Ilmi
al-Tafsir, pembagian tersebut sebagaimana berikut:[27]
1.
MeNasakh hukum tanpa meNasakh bacaan dan
tulisannya. Nasakh semacam ini memiliki tiga jenis:
a.
Dalil Alquran diNasakh dengan sesama ayat Alquran,
misalnya surat an-Nisak ayat 15 diNasakh oleh surat al-Nur ayat 2:
وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِّنْكُمْ ۚ فَاِنْ شَهِدُوْا
فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ
يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا
“Dan
(terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”[28]
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ
مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ
اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.”[29]
b.
Dalil Alquran diNasakh dengan hadis Nabi, seperti
surat al-Baqarah ayat 180 yang diNasakh oleh sebuah hadis riwayat Abu
Dawud,
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ
ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِيْنَ ۗ
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”[30]
لاَ وَصِيَّةِ لِوِارِثٍ
“Tidak ada
wasiat bagi ahli waris.”[31]
c.
Ayat Alquran meNasakh
sebuah hadis Nabi, seperti ayat tentang perubahan qiblat, Al-Baqarah ayat 144
yang meNasakh hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW salat
menghadap arah bait al-maqdis,
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ
الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ
وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu
ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al
kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram
itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan.”[32]
2.
MeNasakh bacaan dan tulisannya tanpa meNasakh hukumnya. Nasakh
semacam ini sangatlah banyak dalam Alquran. Dalil yang menetapkan adanya Nasakh
semacam ini adalah hadis ‘Umar bin al-Khattab dan Ubay bin Ka’ab:[33]
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ
القُرْآنِ الشَّيْخُ والشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُواهُمَا البَتَّةَ
نَكَالاً مِنَ اللهِ واللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Salah satu ayat yang diturunkan kepada kami adalah
orang tua laki-laki dan orang tua perempuan jika berzina, maka rajamlah sebagai
balasan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.”
3.
MeNasakh bacaan sekaligus
hukumnya. Seperti hadis sahih diriwayatkan Aishah yang menjelaskan berapa kali
susuan seorang anak menjadi mahram ibu susuannya. Hadis tersebut diabadikan oleh Bukhari dan Muslim
dalam kitab sahih keduanya:[34]
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَاتٍ
مَعْلُوْمَاتٍ. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وهُنَّ يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
“Salah satu
ayat yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh sususan yang sudah dimengerti
untuk menjadi muhrim, kemudian (ketentuan) ini diNasakh dengan lima kali
susuan. Dan ketika Rasulullah SAW wafat, lima susuan ini termasuk ayat Alquran
yang dibaca.
‘Abd al-Wahhab Khallaf dalam karyanya ‘Ilm Usul al-Fiqh membagi Nasakh menjadi
dua:[35]
1.
Nasakh Tasrihi,
Nasakh yang secara gemblang dan jelas diketahui. Nasakh ini
sangat banyak dan umum dalam Alquran dan hadis. Seperti contoh surat Al-Anfal
ayat 65 yang diNasakh oleh ayat berikutnya yaitu 66,
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% w cqßgs)øÿt ÇÏÎÈ
“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”[36]
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øót Èû÷üxÿø9r& ÈbøÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ
“Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,
dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”[37]
2.
Nasakh D{imni, Nasakh
yang disebutkan dengan samar-samar dan secara tidak langsung. Seperti contoh
surat al-Baqarah ayat 180 yang diNasakh secara dimni oleh surat al-Nisa
ayat 11,
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”[38]
ÞOä3Ϲqã
ª!$#
þÎû
öNà2Ï»s9÷rr&
(
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB
Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù
Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB
x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur
$ygn=sù
ß#óÁÏiZ9$#
4
Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$#
$£JÏB x8ts?
bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur
4
bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur
ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r&
ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$#
4
bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù
â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/
7p§Ï¹ur ÓÅ»qã
!$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy
3
öNä.ät!$t/#uä
öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs?
öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9
$YèøÿtR
4
ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[39]
Untuk
mengetahui Nasakh, ulama tafsir merumuskan tiga metode yaitu sebagai
berikut:
1.
Salah satu dari dalil (Nasikh atau Mansukh) harus ada ketentuan mana di
antara keduanya yang datang dahulu dan mana yang baru.[40] Contoh antara surat al-Anfal ayat 66 dan al-Anfal
ayat 65:
اَلْـٰٔنَ خَفَّفَ اللّٰهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ
فِيْكُمْ ضَعْفًاۗ فَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَّغْلِبُوْا
مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ اَلْفٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ
اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan
jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.”[41]
Bila
kita amati ayat tersebut, kita akan mendapatka kata “al-A<na” yang berarti
sekarang. Ini berarti ayat tersebut datang belakangan dari ayat lain yang
menjelaskan tentang perbandingan antara kaum muslimin dan kafir 1:10, yaitu
surat al-Anfal ayat 65,[42]
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ
عَلَى الْقِتَالِۗ اِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا
مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفًا مِّنَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ
“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”[43]
2.
Adanya
kesepakatan para imam di setiap masa dalam menentukan antara dalil Nasikh dan
dalil yang Mansukh.[44]
Bila terdapat ketentuan atau keterangan yang jelas antara dua dalil tersebut
sehingga bisa dibedakan antara yang Nasikh dan Mansukh, maka kesepakatan ulama
dalam menetapkan dan membenarkan hal tersebut sangat diperlukan.[45]
3.
Harus ada riwayat sahih dari seorang sahabat yang menentukan mana dalil
yang lebih dahulu dari kedua dalil yang saling bertentangan tersebut.[46] Seperti sebuah pernyataan:
أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بَعْدَ تِلْكَ الْآيَةِ
“Ayat ini diturunkan setelah ayat
itu.”
atau,
نُزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَامَ كَذا وَتِلِكَ الْآيَةُ عَامَ كَذَا
“Ayat ini diturunkan pada tahun sekian dan ayat itu pada tahun sekian.”
F.
Nasakh dalam Surat Alquran
Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkashi dalam al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran
menukil tulisan Hibbatullah bin Al-Salam dari karyanya yang berjudul al-Nasikh
wa al-Mansukh tentang pembagian surat-surat Alquran yang berkaitan dengan Nasakh,
Nasikh dan Mansukh. Berikut pembagian tersebut:[47]
1.
Surat-surat yang di dalamnya tidak terdapat Nasikh dan Mansukh: al-Fatihah,
Yusuf, Yasin, al-H{ujurat, al-Rahman, al-H{adid, al-Saff, al-‘Jumuah, al-Tahrim,
al-Mulku, al-H{aqqah, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, Al-Naba, al-Nazi’at, al-Infitar,
al-Mutaffifin, al-Inshiqaq, al-Buruj, al-Fajr, al-Balad, al-Shams, al-Lail, al-D{uha,
al-Inshirah, al-Qalam, al-Qadr, Al-Infikak (al-Bayyinah), al-Zilzalah, al-‘Adiyat,
al-Qari’ah, al-Takatsur, al-Humazah, al-Fil, al-Quraish, al-Din (al-Ma’un),
al-Kautsar, al-Nasr, Tabbat, al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas.
2.
Surat-surat yang di dalamnya terdapat Nasikh tapi tidak ditemukan Mansukh:
al-Fath, al-H{ashr, al-Munafiqun, al-Taghabun, al-T{alaq, Al-A’la.
3.
Surat-surat yang di dalamnya terdapat Mansukh dan tidak ditemukan Nasikh:
al-‘An’am, al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ra’d, al-H{ijr, al-Nahl, Banu Israil, al-Kahf,
T{aha, al-Mukminun, al-Naml, al-Qasas, al-‘Ankabut, al-Rum, Luqman, al-Madaji’
(al-Sajadah), al-Saffat, Sad, al-Zumar, al-Masabih (Fussilat), al-Zukhruf,
al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-Najm, al-Ma’arij, al-Muddatsir,
al-Qiyamah, al-Insan, ‘Abasa, al-T{ariq, al-Ghashiyah, al-Tin, al-Kafirun.
4.
Surat-surat yang di dalamnya terdapat Nasikh dan Mansukh
bersamaan: al-baqarah, A<li ‘Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-A’raf, al-Anfal,
al-Taubah, Ibrahim, al-Nahl, al-Isra, Maryam, T{aha, al-Anbiya, al-H{ajj, al-Mukminun,
al-Nur, al-Furqan, al-Shu’ara, al-Ahzab, Saba, al-Shura, Muhammad, al-Zariyat, al-T{ur,
al-Waqi’ah, al-Mujadalah, al-mumtahanah, al-Muzammil, al-Muddatsir, al-Takwir,
al-‘Asr.
Secara umum hikmah dan tujuan adanya Nasakh
ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan manusia berubah
seiring dengan berubahnya kondisi manusia dan alam sekitarnya.[48]
Tujuan Nasakh juga untuk mempermudah manusia dalam
menapaki hukum-hukum syariat. Pada awal mula dakwah Rasulullah SAW, masyarakat
Mekkah merasakan kesusahan yang luar biasa dalam menjalankan hukum syariat
Islam dan meninggalkan kebiasaan, adat-istiadat mereka, apalagi perpindahan
akidah mereka yang selama ini menyekutukan Allah menjadi mengesakan Allah.[49]
Oleh
karenanya dalam sejarah dakwah Islam, kita mengenal al-Tadrij fi al-Tashri’ yaitu mengajarkan syariat dan
menjalankannya secara bertahap.
Rasulullah
SAW pernah ditanya perihal hukum meminum khamar dan bermain judi, Rasulullah
SAW pun menjawab dengan bahasa Alquran surata Al-Baqarah ayat 219,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ
فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ
نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir.”[50]
Jawaban Rasulullah SAW dari pertanyaan
tersebut sangatlah tepat dan bijak. Pada permulaan dakwah, Islam tidak langsung
mengharamkan khamar dan judi, melainkan menginformasikan bahwa bahaya dan efek
negatif khamar dan judi lebih besar dan banyak daripada keuntungan dan dampak
positifnya. Pada ayat tersebut, hukum khamar dan judi tidak disebutkan secara
gamblang dan transparan. Selang beberapa waktu, ayat tentang larangan salat
dalam keadaan mabuk turun, surat Al-Nisa ayat 43. Ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa pelarangan khamar berlaku secara bertahap. Kemudian turun ayat yang
menjelaskan pelarangan khamar secara mutlak, surat al-Maidah ayat 90.[51]
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا
جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ
مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ
اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ
عَفُوًّا غَفُوْرًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”[52]
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ
وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”[53]
Nasakh adakalanya
dari hukum yang berat menjadi hukum yang ringan, tujuan Nasakh jenis ini
adalah untuk meringankan manusia dalam menjalankan syariat Islam, juga sebagai
bentuk kasih-sayang Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya. Namun ada Nasakh
yang berupa mengubah hukum yang mulanya mudah menjadi berat. Nasakh
semacam ini bertujuan untuk menambah pahala dan kebaikan, menguji iman dan
kesetiaan seorang hamba kepada Allah SWT dan syariat Islam.[54]
H.
Pendapat Ulama tentang Nasakh
Pada
umumnya para ulama berbeda pandangan mengenai Nasakh. Ada tiga pendapat
di kalangan mereka. Pertama, Nasakh bisa terjadi dan dibenarkan secara
akal dan sam’i. Kedua, Nasakh tidak terjadi dan selalu dipungkiri
secara akal dan sam’i. Ketiga, Nasakh mungkin terjadi secara akal
tetapi dilarang oleh syariat.[55]
I.
Perbedaan antara Nasakh, Bada dan Takhsis
Bada secara bahasa memiliki dua makna yang hampir mirip,
yaitu:[56]
1.
Jelas setelah samar.
2.
Munculnya ide baru yang sebelumnya tidak ada.
Kedua
makna tersebut sangat mustahil bagi Allah SWT karena didahului dengan
ketidaktahuan atau kebodohan serta bersifat hudust (baru). Sifat bodoh
dan baru amat mustahil bagi Allah.[57]
Adapun Nasakh
tidak mempunyai definisi atau arti munculnya kejelasan setelah kesamaran atau
ide baru yang sebelumnya tidak ada. Nasakh memang sudah ada sejak zaman
azali hanya saja Nasakh membutuhkan tenggang waktu atau tarakhi
pada kemunculannya.
Perbedaan Nasakh dengan takhsis, ‘Abdul
Jalal memetakannya menjadi lima poin, di antanya:[58]
1.
Kalimat yang ‘am (umum)
setelah ditakhsis (dibatasi) maka jangkauannya menjadi samar karena
bentuknya masih umum namun jangkauannya dibatasi. Berbeda dengan kalimat yang diMansukh, maka kalimat
tersebut sudah tidak berlaku lagi.
2.
Ketentuan hukum yang ditakhsis memang sejak semula tidak
dikehendaki sama sekali, berbeda dengan hukum yang diMansukh yang sedari awal
hukum tersebut berlaku.
3.
Nasakh membatalkan
kehujjahan hukum yang diMansukh, adapun takhsis tidak membatalkan hanya
membatasi saja.
4.
Nasakh hanya terjadi
pada dalil Alquran dan hadis saja, adapun takhsis bisa terjadi di luar
Alquran dan hadis.
5.
Nasakh bersifat tarakhi
yaitu memiliki tenggang waktu untuk menghapus dan menggantikan hukum sebelumnya
adapun takhsis tidak harus bersifat tarakhi.
Baca artikel lain yang berkaitan;
1.
Pengertian Nasakh ialah mengganti atau menyalin sebuah hukum
agama dengan hukum yang lain yang lebih baik dan bijak, baik itu dalam Alquran
maupun hadis.
Adapun pengertian “Nasikh” menurut bahasa berarti
sesuatu yang menghapus, menghilangkan, menyalin, serta mengubah dan mengganti.
Jadi Nasikh secara istilah ialah dalil baru yang mengganti hukum dalil
yang terdahulu.
“Mansukh” secara bahasa bermakna sesuatu yang dihapus, dihilangkan,
disalin, serta diubah dan diganti. Menurut istilah, Mansukh bisa
diartikan dalil pertama yang diganti hukum syariatnya oleh dalil yang kedua.
2.
Nasakh adakalanya meNasakh
hukum dan bacaannya, meNasakh hukumnya saja, dan meNasakh
bacaannya saja.
3.
Secara umum hikmah dan tujuan adanya Nasakh ialah
untuk menjaga kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan manusia berubah seiring
dengan berubahnya kondisi manusia dan alam sekitarnya.
4.
Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai Nasakh. Pertama, Nasakh
bisa terjadi dan dibenarkan secara akal dan sam’i. Kedua, Nasakh
tidak terjadi dan selalu dipungkiri secara akal dan sam’i. Ketiga, Nasakh
mungkin terjadi secara akal tetapi dilarang oleh syariat.
Sesuai
dengan dengan kesimpulan di atas, penulis menganjurkan pembaca untuk lebih
merujuk buku-buku ilmu Alquran dan usul fikih guna mendalami dan lebih mengerti
tentang Nasikh Mansukh. Banyak literatur yang sangat lengkap dan apik
dalam mengurai pembahasan tersebut.
Ayyub, H{asan. al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith. Kairo: Dar al-Salam, 2007.
Bik, Muhammad al-Hadari. Tarikh al-Tashri’ al-Islami. Surabaya: al-Hidayah, t.h.
Departemen Agama. Alquran dan Terjemahannya. Bandung: Sygma, 2009.
Effendy,Ahmad Fuad. Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran. Malang: Misykat Indonesia, 2013.
Jalal, ‘Abdul. ‘Ulumul Qura’n. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013.
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-H{adith, 2003.
Maliki (al), Abu Bakr Ibn al-‘Arabi. al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim. Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010.
Sijistani (al), Abu Dawud. al-Sunan. Stuttgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.
Suyuti (al), Jalal al-Din. al-Itqan fi Ulumi Alquran. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2008.
______. al-Tahbir fi ‘Ilmi al-Tafsir . Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Qattan (al), Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Surabaya: Litera AntarNusa, 2013.
Zarkashi (al),
Muhammad bin ‘Abdillah. al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran. Beirut: Maktabah al-Asriyyah,
2006.
Zarqani (al), Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996.
[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Sygma, 2009), 262.
[2] Jalal Al-Din Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumi Alquran (Kairo: Al-Maktabah Al-Taufiqiyah, 2008), 29-33.
[3] Ahmad Fuad Effendy, Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran (Malang: Misykat Indonesia, 2013), 236.
[4] Ibid., 236.
[5] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith (Kairo: Dar al-Salam, 2007), 109.
[6] Abu Bakr Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010), 3.
[7] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 108.
[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Surabaya: Litera AntarNusa, 2013), 326.
[9] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 112-116.
[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 35.
[11] Ibid., 426.
[12] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 116.
[13] Muhammad al-Hadari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (Surabaya: al-Hidayah, t.h), 23.
[14] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 122.
[15] Ibid., 124.
[16] Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim..., 3.
[17] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996), 147.
[18] Ibid., 147-149.
[19] Ibid., 150-151.
[20] Ibid., 150.
[21] Ibid., 151.
[22] Departemen
Agama, Alqur’an
dan Terjemahannya..., 17. Al-Baqarah 106
[23] Ibid.,
278.
An-Nahl 101
[24] Ibid.,
254. Ar- Ra’d 37
[25] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Quran ..., 327.
[26] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 110.
[27] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Tahbir fi ‘Ilmi al-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 103-105.
[28] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya..., 80.
[29] Ibid., 350.
[30] Ibid., 27.
[31] Abu Dawud al-Sijistani, al-Sunan (Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010), Hadis Nomor 2872.
[32] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 22.
[33] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 151.
[34] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Quran ..., 336.
[35] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-H{adist, 2003), 206-207.
[36] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 185.
[37] Ibid., 185.
[38] Ibid., 27.
[39] Ibid., 78.
[40] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 118.
[41] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 185.
[42] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 132.
[43] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 185.
[44] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 118.
[45] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 133.
[46] Ibid., 133.
[47] Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran (Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 2006), 23-24.
[48] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh..., 205.
[49] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 115.
[50] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 34.
[51] Muhammad al-Hadari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami ..., 21.
[52] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 85.
[53] Ibid., 123.
[54] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith..., 116.
[55] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 138-141.
[56] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa Al-H{adith..., 110.
[57] Ibid., 110.
[58] ‘Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 126-130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar