Beberapa Hal Yang Perlu Diketahui Dalam Jarh wa ta‘dil [1]
1. Apabila ibn Ma‘in dan Duhaim al-Hafiz mengatakan لابأس به أو ليس به بأس maka maksudnya adalah ثقة. Sedangkan selain keduanya, maka tingkatannya pada tingkatan ta‘dil yang kelima.
2. Apabila dikatakan مقارب الحديث (بفتح الراء وكسرها) maka itu termasuk ta‘dil bukan tajrih.
3. Apabila dikatakan تعرِف وتنكِر atau يُعرف ويُنكر maka terkadang perawi tersebut merawikan hadis yang ma‘ruf (diterima), dan terkadang merawikan hadis yang mungkar. Oleh karenanya perlu lebih teliti dalam hal ini. Tetapi para muhaddithin lebih sering menggunakan untuk yang pertama (yang diterima).
4. Perlu waspada dalam melihat lafaz منكر الحديث, يروي المناكير dan حديث منكر. Berikut penjelasannya:
- منكر الحديث، يروي المناكير: dikarenakan banyak riwayat yang diriwayatkan sendiri (كثرة تفرده), sedangkan perawinya thiqah. Demikian yang dilakukan oleh para mutaqaddimin seperti Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Duhaim dan yang lain.
- حديث منكر: hadis da‘if yang bertentangan dengan thiqah
Sebagai contoh kesalahan orang yang menda‘if kan Yazid ibn Khasifah yang meriwayatkan bahwa sahabat pada zaman umar melakukan sholat tarawih sebanyak 20 raka’at. Karena dalam hadis tersebut Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menghukumi Yazid dengan منكر الحديث. Padahal yang dimaksud disitu Yazid sering meriwayatkan hadis sendiri (tetapi dia thiqah), bukan berarti dia da‘if.
5. Al-‘Iraqi (w. 806 H) memahami lafazهو على يَدَي عدلٍ merupakan kalimat yang digunakan untuk tauthiq. Sedangkan Ibn Hajar (w. 852 H) memahami lafaz tersbut maksudnya untuk tajrihal-Shadid.[1]
Beberapa Hal Yang Tertolak Dalam Jarh wa ta‘dil
1. Tidak boleh menta‘dil seorang perawi yang mubham, seperti mengatakan حدثني الثقة, tanpa menyebutkan namanya. Maka tidak cukup menghukumi perawi tersebut ‘adl sebelum menyebutkan namanya.
2. Ibn Hibban (w. 354 H) berpendapat bahwa apabila ada perawi majhul yang meriwayatkan dari thiqah dan yang mengambil darinya thiqah, maka riwayatnya diterima.
Tidak bisa dipungkiri, banyak perawi yang thiqah meriwayatkan dari du‘afa’, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya Ibn Hibban (w. 354 H) dianggap terlalu tasahhul.
3. Apabila ada seorang perawi ‘adl meriwayatkan dari perawi dan menyebutkan namanya, maka menurut mayoritas ulama perawi tersebut tidak bisa langsung dihukumi ‘adl.
apabila seorang perawi meriwayatkan hadis, sedangkan ia tidak melakukannya, tidak menurunkan derajat ‘adalahnya. Di dalam muwatta’ terdapat 70 hadis yang tidak diamalkan Malik, maka hal tersebut tidak menurunkan derajat ‘adalahnya.[1]Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Aliran Khawarij, Sejarah Kemunculan, & Karakteristiknya
- Aliran Syi'ah & Sejarah Kemunculanya
- Hadis Palsu Atau Hadist Maudu’ Serta Faktor Kemunculanya
- Kaedah Melacak Hadis Palsu
- Peran Ulama Menyelamatkan Hadis Dari Pemalsuan
- Hukum Hadis Palsu Dan Daftar Buku Hadis Palsu
- Metode Dan Contoh Penyelesaian Mukhtalif Al-Hadith
- Mukhtalif Hadis
- Imam Al-Daruquthni
- Sunan Al-Daruqutni
- Imam Abu Dawud
- Kitab Sunan Abu Dawud
- Jarh wa ta‘dil
- Lafaz Jarh Wa Ta‘dil Serta Tingkatannya
- Beberapa Hal Yang Perlu Diketahui Dan Tertolak Dalam Jarh wa ta‘dil
- Metode Dalam Tarjih Dan Ta‘dil Perawi
- Pertentangan Dalam Jarh Wa Ta‘dil
- Kitab-Kitab Jarh Wa Ta'dil
[1]Ibid., 104.
‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith. Suriah: Dar al-Fikr, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar