HOME

22 Maret, 2022

Qisas Al-Tafsir, Dr. Ahmad Shurbashi

 

Pengertian Tafsir secara etimologi berasal dari kata al-Fasr yang berarti penjelasan atau keterangan yaitu menjelaskan sesuatu yang tidak jelas pengertiannya. Menurut terminologi kata tafsir di kalangan ulama tafsir terdapat dua pengertian :

      1.      Penjelasan tentang kalam Allah SWT. Dengan memberi pengertian mengenai pemahaman kata demi kata, susunan kalimat dalam al-Quran.

    2.    Tafsir merupakan bagian dari ilmu Badi‘ yaitu salah satu cabang ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat

        3.      Sebagian ahli tafsir mangartikan dengan  ilmu  tentang ayat-ayat al-Quran dari segala aspeknya.

Kesimpulannya, kata tafsir adalah suatu kata yang menunjukkan sesuatu yang khusus dalam Islam yang di tujukan dalam menfsirkan al-Quran, begitu pula tentang ilmu tafsir, dikenal dalam Islam yaitu ilmu al-Quran dan tafsir. Dan terkadang kata tafsir diartikan sama dengan kata ta’wil.  Kata ta’wil barasal dari kata al-‘Aulu yang mempunyai pengertian kembali. Dalam hal ini seorang menafsirkan al-Quran menjelaskan sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung dalam dalam ayat tersebut. Ada yang mengatakan ta’wil berasal dari kata ialah yang berarti pengendalian, pengaturan. Jadi seorang yang melakukan ta’wil seolah-olah dia mengendalikan., mengatur ucapannya dan meletakkan makna ucapannya itu pada porsinya.

Selain pertian yang sudah dijelaskan. Ada pula yang menggunakan kata ta’wil itu sama dengan kata tafsir. Memang terjadi perbedaan pendapat tentang hubungan tafsir dan ta’wil. Ada yang mengatakan sama (sinonim). Ada yang mengatakan masing-masing mempunyai arti tersendiri. Ada yang mengatakan Tafsir lebih umum dari ta’wil.

Tafsir sendiri mempunyai kedudukan yang mulia. Hal ini di sebabkan al-Quran itu adalah kalam Allah Azza wajalla. Kitab allah yang merupakan cahaya, obat penyakit rohani dan sekaligus al-Quran merupakan kunci antuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Tabari yang yang lain. Kedudukan ini bisa dilihat pada tiga pokok : 1. Objek ilmu tafsir kalam Allah. 2. Suatu dorongan agar manusia berpegang kepada al-Quran sebagai tali pengikat yang teguh dalam mencapai kabahagian yang hakiki. 3. Al-Quran mengatur kesempurnaan masalah agama, dunia dan akhirat.

Ada beberapa sarat dan kriteria yang harus dimilki oleh seorang mufassir

    1.      Ilmu Bahasa

    2.      Ilmu Nahwu

    3.      Ilmu Sharaf

    4.      Ilmu Etimologi (Ishtiqaq) yaitu ilmu tentang asal usul kata

    5.      Ilmu Balaghah (Retorika, Metafora)

    6.      Ilmu Qira’at ( cara-cara membaca al-Quran)

    7.      Ilmu Usuluddin (Akidah)

    8.      Ilmu Usul Fikih

    9.      Ilmu Asbab al-Nuzul

    10.  Ilmu Nasikh Mansukh.

    11.  Ilmu Hadis.

   12.  Ilmu Mauhabah (Ladunni) yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah kepada orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Dan ini adalah tambahan dari Imam al-Suyuti.

    13.  Ilmu Sain dan Teknologi.

Ada kecenderungan bahwa para ulama takut untuk menafsirkan al-Quran , seperti perkataan Imam Masruq; takutlah kamu dalam hal menafsirkan al-Quran karna ia adalah informasi yang barasal dari Allah SWT. Diriwayatkan dari Siti Aishah; bahwa Rasulullah SAW. Hanya menafsirkan al-Quran beberapa ayat yang diajarkan kepadanya oleh malikat Jibril. Seseorang yang menfsirkan al-Quran dengan logikanya saja, sekalipun itu benar, tetapi ia tetap dipandang telah bebuat kekeliruan  dan pendapatnya itu adalah zan (dugaan saja). Bahkan sesorang yang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu pengetahuan tentang tafsir al-Quran maka ia tergolong orang-orang yang telah berbicara tentang Allah SWT. Tanpa ilmu pengetahuan. Ibnu Abbas berkata al-Quran mengandung empat hal pokok :

    1.      Halal dan haram, sehingga tidak layak sesorang yang tidak mengetahui tentang halal dan haram.

    2.      Mengenai pengetahuan orang arab tentang al-Quran.

    3.      Mengenai Ta’wil yang hanya diketahui oleh orang yang alim.

4.      Yang tidak di ketahui Ta’wilnya oleh manusia selain Allah SWT. Dan yang berusaha mengetahui tentang Ta’wil itu berarti ia telah mendustakan Allah.

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan berbahasa Arab yang satranya sangat tinggi. Mu’jizat yang terkandung di dalamnya amat dalam, mengandung berbagai rahasia, semua itu tidak dapa dipahami oleh manusia secara umum. Baik pemahaman makna ataupun gambaran yang terdapat di dalamnya. Semua petunjuk dan ketentuan hukum yang terdapat dalam  al-Quran itu mengandung ketentuan ilmu yang sifatnya Aqliyat (Rasional) dan Sam’iyat (diterima melalui iman) dengan keberadaan orang Arab yang berbeda-beda di sini menimbulkan  pemahaman yang berbeda-beda pula dalam menafsirkan al-Quran sesuai keadaan mereka walaupun Rasulullah menjelaskannya dengan tradisi Arab singkat dan jelas. Dan umumnya perbedaan tersebut berkisar dalam hal perbedaan lafaz dan makna dari suatu lafaz itu sendiri.

Dalam al-Quran banyak membicarakan tentang kisah-kisah umat terdahulu baik bangsanya maupun pribadi mereka. Tujuannya tiada lain adalah sebagai i‘tibar, pelajaran bagi umat manusia. Seperti dalam surat hud : 120. Dan menjelaskan tentang sunnatullah yang berlaku dalam masarakat manusia, serta pengaruh terhadap segala amal kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan manusia. Yang perlu diperhatikan adalah kisah-kisah perbedaan yang mencolok yaitu adanya kisah dalam al-Quran adalah kisah yang tidak ada keraguan sedang kisah yang  dibuat ahli tafsir ada yang benar adapula yang batil, seperti masuknya cerita Israiliyat.

Sejarah tafsir al-Quran secara global dimulai dari penafsiran yang ditetapkan Allah sendiri melalui Rasulnya, setelah itu baru beralih ke pada Sahabat, Tabi’in, dan Atba’Tabi’in, lalu setelah itu beralih kepada madrasah kaum Salaf, kemudian berpindah pada golongan Khalafiyah (Madrasah Khalaf). Kemudian dilanjutkan oleh ahli pikir pada zaman setelahnya (Muta’akhirin) dan setelah itu pada golongan Mujadid (kaum pembaharu) pada zaman kita sekarang.

Sebagai penerima wahyu dari Allah, maka Rasulullah juga yang menafsirkan dan menjelaskan kepada umatnya sebagaimna yang dijelaskan dalam surat al-Nahl:44 dan 64. Beliau tidak menfsirkan makan ayat-ayat al-Quran mengikuti alam pikiran beliau sendiri, tetapi segala yang beliau artikan berdasarkan serta berpedoman pada wahyuAllah SWT. Dan beliau menanyakan tentang ayat itu, dan malaikat Jibril tidak memberikan penafsirannya menurut kehendaknya sendiri akan tetapi Jibril bertugas semata-mata menurunkan wahyu yang diterima dari Allah SWT. Dari itu Allah SWT sebagai penjelas sebagai pihak pertama yang memebrikan penjelsasan makna yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini dikarnakan yang mempunyai al-Quran adalah Allah SWT. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Suyuti beliau menyusun sebuah Musnad yang di dalamnya terdapat tafsir-tafsir menurut versi Rasulullah yang diberi nama Tarjuman al-Quran.

Setelah Rasulullah wafat penefsiran al-Quran diteruskan oleh Sahabat (Tafsir Sahabi) Abdullah bin Abbas adalah orang pertama yang menafsirkan al-Quran setelah Nabi. Dalam menafsirkan al-Quran beliau menggunakan syair-syair Arab kuno guna membuktikan kebenaran al-Quran, selain itu ia juga bertanya kepada ahli kitab yang telah masuk Islam.

Kesulitan timbul ketika menjumpai ayat-ayat yang penafsirannya tidak bisa dikembalikan kepada dalil Naql (Hadis dan al-Quran), al-Qurtubi menjelaskan bahwa sebagaian ‘ulama mengatakan: tafsir terhenti dengan penjelasan ayat dalam surat al-Nisa’: 50. yang menyatakan semua masalah hendaknya dikembalikan pada Allah dan Rasulnya. Menurut beliau pemahaman tersebut adalah sebuah kesalahan. Larangan menafsirkan al-Quran disitu tidak ada lain karna beberapa faktor yaitu : supaya penafsiran al-Quran didasarkan pada naql (Hadis) dan riwayat-riwayat yang didengar, bukan atas dasar Istimbat atau larangan itu mempunyai mempunyai tujuan yang lain? Dalam hal ini batallah atau tidak benar tujuan larangan itu supaya orang jangan berbicara mengenai al-Quran kecuali dia telah mendengar sendiri riwayat al-Quran dan dalam beberapa segi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan al-Quran. Tidak semua yang mereka katakan itu mendengar dari Nabi SAW. Nabi Muhammad pernah mendo’akan Ibn Abbas, berkata Nabi SAW, dalam do’anya : ya Allah berikan dia (Ibn Abbas) pengetahuan yang dalam menegenai agama dan ajarkanlah ta’wil kepadanya. Jadi apabila ta’wil itu telah disampaikan Rasul kepada para sahabatnya, seperti halnya al-Quran itu sendiri, maka apa faedahnya Rasulullah secara khusus mendo’akan ibn Abbas. Sedangkan sebaik-baik Mufassir adalah sahabat Nabi hal ini karna al-Quran turun dengan bahasa mereka (bahasa Arab) mereka hidup bersama dengan Rasulullah, mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang belum mereka ketahui dan belum mereka pahami dan mereka yang berhubungan langsung dengan Asbab al-Nuzul al-Quran dan di antara mereka yang paling banyak menafsirkan al-Quran adalah Abdullah bin Abbas.

Ibn Khaldun membagi tafsir al-Quran menjadi dua:

1.      Tafsir Naqli; yaitu tafsir yang berdasarkan pada hadis Nabi saw, yang diterima dari ulama salaf.

2.      Tafsir ‘aqli ; tafsir yang berdasarkan atas pengertian bahasa Arab. Ilmu i‘rab, balaghah dan lain-lain yang memberi pengertian akan maksud menurut susunan kalimat.

Sedang di kalangan mufassir mendefinisikan tafsir ‘aqli dengan tafsir bi al-’aqli (ra’yu) yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan Ijtihad, jika sesuai dengan aturan Ijtihad maka disebut terpuji, jika tidak maka tercela. Hal-hal yang harus jadi sandaran dalam tafsir Ra’yi (‘aqli) adalah sebagai berikut:

    a.       Naqli dari Rasulullah saw.

    b.      Perkataan Sahabat.

    c.       Pengambilan dari sastra Arab.

    d.      Ijtihad dari pengertian lafaz-lafaz al-Quran.

Kalangan mufassirin juga membagi tafsir kepada tiga bagian:

    1.      Tafsir Riwayat, lazim disebut tafsir Naqli atau tafsir bi al-Ma’thur.

    2.      Tafsir Dirayat, lazim disebut tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir Naqli.

    3.      Tafsir Isharat, lazim disebut tafsir Ishari. Yaitu tafsir yang menta’wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.

Tingkat taraf kehidupan dan kemampuan daya pikir (nalar) seseorang akan membawa pengaruh nyata terhadap peningkata kualitas ilmu tafsir. umat islam pada awal pertumbuhan islam berpaling diri dari menafsirkan al-Quran, pada masa-masa berikutnya baru mereka tampil, hingga muncul gaya tafsir dengan kecenderungan masing-masing mufassir serta metode yang mereka pakai. Diantara mereka ada yang menafsirkan dari segi kalimat-kalimat yang gharib, seperti yang dilakukan al-Zajjaj dan al-Wahidi. Menafsirkan al-Quran dengan riwayat-riwayat Hadith seperti al-Tabari. Dari segi balaghah seperti al-Zamakhshari. Dengan Qisas (cerita) dan hikayat seperti al-Sha’labi dan al-Khazin. Dengan ilmu pengetahuan seperti al-Razi. Menitikberatkan pada i’rab, fikih, tasawuf, aqidah, dan lain-lain.

            Al-Quran adalah kitab suci yang di dalamnya berisi masalah aqidah, hidayah, hukum syariat dan akhlak. Dan terdapat pula ayat-ayat yang menunjukkan motivasi terhadap umat manusia untuk menelaah, membahas, meneliti dan menggalinya. Sebagian kaum muslim sejak zaman dahulu mengarahkan serta berupaya menciptakan hubungan yang erat antara al-Quran dan ilmu pengetahuan. Mereka melakukan Ijtihad dengan istimbat hukum, menggali beberapa ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Quran akan beberapa petunjuk yang mengarahkan pada penemuan-penemuan ilmiah yang mengungkapkan sebagian dari ilmu alam yang belum banyak diketahui oleh manusia. Sekalipun apa yang ada dalam al-Quran hanya merupakan isharat sepintas lalu, namun pembuktian melalui ilmu pengetahuan modern selalu terwujud.

Golongan sufi pun sejak zaman dahulu, telah berusaha mengemukakan dasar-dasar hukum melalui nas-nas yang terdapat dalam al-Quran dan pembentukan prinsip-prinsip ajarannya. Mereka menjadikan al-Quran sebagai landasan yang kokoh dan kuat dalam melaksanakan khittah (langkah) dan tariqah (jalan) yang mereka tempuh. Hakikat al-Quran tidak terbatas pada makan lahiriah saja, tetapi tersirat pada makna yang tersembunyi di balik kata, karena itu ahli sufi lebih menitik beratkan dalam penafsiran al-Quran melalui jalan ta’wil.

Ranah politik pun masuk ke dalam dunia tafsir, sebagian mereka menggunakan media tafsir al-Quran untuk mendukung dan atau menjatuhkan kelompok lain, seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, dalam tafsir al-Quran banyak yang telah mereka tulis dalamnya berisi dan diwarnai oleh permasalahan yang tidak dibatasi, rasa benci, dan ta’asub yang berlebihan, ayat al-Quran yang di sebut, lalu mengisyarat  pada sesuatu yang bersifat rendah. Mereka merenggut serta menerapkan tafsir al-Quran dengan jalan paksa dan di sesuaikan dengan keyakinan madhab mereka.

Pada abad ke 19 dunia islam mengalami musibah, masa suram kemerosotan terus menerus, keterbelakangan dan negara islam mengalami masa penjajahan oleh bangsa asing. lahirlah jalauddin al-afghani dengan seruan yang membangkitkan semangat kaum muslimin, kemudian diteruskan muridnya dengan prakarsanya untuk mengajarkan pembaharuan dalam tafsir al-Quran melalui metode pemebaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian tentang islam dan ia menghubungkan antara ajaran agama dengan kehidupan modern dan menyatakan bahwa islam itu tidak bertentangan denga peradaban, kehidupan modern serta tidak bertentangan dengan segala aspek kemajuan dalam kehidupan manusia.

Kita perlu tahu kitab-kitab tafsir yang mu’tabar dari tiga macam tafsir yang ada, tafsir Riwayah, tafsir Dirayah, dan tafsir Ishari diantaranya sebagai berikut;

Kitab-kitab tafsir bi al-Ma’thur;

    1.      Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Quran, karya Imam al-Tabari

    2.      Mu’alama al-Tanzil, karya Imam abu Muhammad al-Husain al-Baghawi.

    3.      Tafsir Qur’an al-Azim, karya Imam abu Fida’ al-Hafiz Ibn Kathir.

    4.      Tafsir Durru al-Manthur fi tafsir al-Ma’thur, karya al-Suyuti.

Kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi;

    1.      Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fakhru al-Razi.

    2.      Anwar al-Tanzil, wa Asrar al-Ta’wil, karya Imam Baidawi.

    3.      Madariku al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karya Imam al-Nasafi.

    4.      Tafsir Jalalain, karya Imam Jalal al-hilli dan Imam Jalal al-Suyuti.

    5.      Irshadu al-Aqli al-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Azim, karya Imam Abi al-Su’ud.

    6.      Al-Jami’ al-Ahkam al-Quran, Imam al-Qurtubi.


Baca artikel lain yang berkaitan:


Kitab-kitab tafsir al-Ishari;

    1.      Tafsir al-Tusturi.

    2.      Tafsir al-Naisaburi (Gharaib al-Quranwa Raghaib al-Furqan).

    3.      Tafsir al-Kashfu wa al-Bayan, karya Imam Naisaburi.

    4.      Tafsir Ibn Arabi.

Tafsir merupakan usaha memahami dan menerangkan maksud dan tujuan al-Quran yang mengalami perkembangan yang bervariasi, sebagai hasil karya manusia, maka terjadilah keaneka ragaman metode dan corak serta aliran penafsiran, sebagaimana berikut;

    a.       Metode tafsir klasik

1.      Methode tafsir bi al-Ma’thur atau bi al-Riwayah.

2.      Metode tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-Dirayah.

3.      Metode tafsir bi al-Isharah atau tafsir sufi.

    b.      Metode tafsir modern/kontemporer.

1.      Methode tafsir Tahlili( analitis)

2.      Methode tafsir Ijmali(global).

3.      Methode tafsir Muqarin (perbandingan).

4.      Methode tafsir Maudhu’i (tematik).

5.      Methode tafsir kontesktual, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya dan adat istiadat dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang di masyarakat arab sebelum dan sesudah turun al-Quran.

    c.       aliran/corak tafsir klasik.

1.      Tafsir Salafi.

2.      Tafsir I’tizali.

3.      Tafsir Suni.

    d.      Aliran/corak tafsir Siyasah.

1.      Tafsir khariji.

2.      Tafsir Shi’i.

    e.       Aliran/corak filsafat (tafsir Falsafi).

    f.       Aliran/corak Tasawuf (tafsir Sufi).

    g.      Aliran/corak tafsir Fiqih (tafsir fiqhi).

    h.      Aliran/corak ilmu pengetahuan (tafsir ‘ilmi).

    i.        Aliran/corak modern/kontemporer.

1.      Aliran/corak tafsir ilmu pengetahuan modern.

2.      Aliran/corak tafsir sastra budaya dan kemasharakatan (sosio kultural) atau Adabi Ijtima’i.

3.      Aliran/corak tafsir Bayani.

4.      Aliran/corak tafsir lainnya yang muncul dalam masharakat tetapi belum menjadi suatu aliran terntentu yang mapan yang oleh al-Dhahabi dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak sekterian atau ilhadi.

Dalam menetukan periodesasi tafsir al-Quran ulama berbeda pendapat;

al-Dhahabi dan Manna’ al-Qattan membagi menjadi tiga tahap yaitu:

1.      Tafsir Rasul dan tafsir Sahabi.

2.      Tafsir al-Quranmasa Tabi’in.

3.      Tafsir al-Quranmasa Kodifikasi.

Dr. Sayid Ahmad Khalil berpendapat sebagai berikut;

1.      Tafsir Athari/tafsir Riwayah/tafsir Naql (abad I-X   H).

2.      Tafsir Aqli/Ra’yi/Ta’wil.

3.      Tafsir Ramzi/Ishari.

4.      Tafsir Ilmi/Adabi/Ijma’i.

Team penerjemah/penafsiran al-Quran departemen agama RI. Berpendapat;

1.      Periode Sahabat, Tabi’in, Tabi’i-Tabi’in (Mutaqaddimin) di mulai dari abad ke I sampai abad ke III. Dan yang terbukukan hanya tafsir al-Waqidi (207 H) dan tafsir al-Tabari (310 H).

2.      Periode Muta’akhirin (abad IV – XII H ).

3.      Periode BARU (ABAD XIII H/akhir abad ke XIX M hingga sampai sekarang ini).

Ahmad Mustafa al-Maraghi menyatakan periodesasi tafsir sebagai berikut;

    1.      Tadsir dimasa Sahabat.

    2.      Tadsir dimasa Tabi’in.

    3.      Peringkat ketiga Perpaduan antara pendapat para Sahabat dan Tabi’in

    4.      Peringkat keempat, yaitu pringkat setelah peringkat-peringkat yang lain yakin peringkat Ibnu Abi Jarir al-Tabari.

    5.      Peringkat kelima, yaitu peringakat kelompok mufassir yang di buang sanadnya. Seperti Abu Ishaq al-Zujaj Ibrahim Ibnu al-Sirrin al-Nawawi (310 H ) dan lain-lain.

    6.      Peringkat keenam yaitu peringkat kelompok kebangkitan ilmiah di dalam Islam.

Selain aliran-aliran yang disebutkan di atas terdapat pula terobosan baru menyusun motodologi baru dalam menafsirkan al-Quran yaitu tafsir al-Quran dengan pendekatan kontekstual perintis pertamanya adalah Fazlur Rahman. Beliau berusaha memahami ayat-ayat al-Quran berdasarkan latar belakang sejarah kehadiran Nabi Muhammad saw. Sebagai pembawa risalah tauhid serta memberi pejelasan tentang ayat-ayat al-Quran dan situasi yang mengitari masyarakat arab di saat turunnya al-Quran.

Melihat sejarah tafsir al-Quran dari masa ke masa, dapat kita ketahui bagaimana cara madhhab dan aliran yang beraneka ragam itu tentang tafsir al-Quran menurut kehendak madhhab mereka sendiri serta garis-garis tafsir yang mereka inginkan, dari kalangan Fuqaha, Mutakallimin, kaum Sufi dan bermacam-macam golongan lainnya masing-masing mereka menemukan hidangan dari al-Quranyang dibutuhkan serta memadai dan untuk memperkuat pendapat serta pemikiran mereka. Dan sebagian lagi memanfaatkan al-Quran secara jahat. Tetapi ada juga yang berusaha keras terus menerus dan giat hingga akhirnya mereka mampu menggali secara luas dan berhasil mengeluarkan mutiara yang terpendam dari khazanah al-Quran yang tidak ada tandingannya dan tidak kunjung habis untuk terus dikaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...