Pengertian
Tafsir secara
etimologi berasal dari kata al-Fasr yang berarti
penjelasan atau keterangan yaitu menjelaskan sesuatu yang tidak jelas
pengertiannya. Menurut terminologi kata tafsir di kalangan ulama tafsir
terdapat dua pengertian :
1. Penjelasan tentang kalam Allah SWT. Dengan memberi pengertian mengenai pemahaman kata demi kata, susunan kalimat dalam al-Quran.
2. Tafsir merupakan bagian dari ilmu Badi‘ yaitu salah satu cabang ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat
3.
Sebagian
ahli tafsir mangartikan dengan ilmu
tentang ayat-ayat al-Quran
dari
segala aspeknya.
Kesimpulannya,
kata tafsir adalah suatu kata yang menunjukkan sesuatu yang khusus dalam Islam
yang di tujukan dalam menfsirkan al-Quran, begitu pula tentang ilmu tafsir,
dikenal dalam Islam yaitu ilmu al-Quran dan tafsir. Dan terkadang kata tafsir
diartikan sama dengan kata ta’wil. Kata ta’wil
barasal dari kata al-‘Aulu
yang mempunyai pengertian kembali. Dalam hal ini seorang
menafsirkan al-Quran menjelaskan sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian
yang terkandung dalam dalam ayat tersebut. Ada yang mengatakan ta’wil berasal dari kata ialah
yang berarti pengendalian, pengaturan. Jadi seorang yang melakukan ta’wil seolah-olah dia
mengendalikan., mengatur ucapannya dan meletakkan makna ucapannya itu pada
porsinya.
Selain
pertian yang sudah dijelaskan. Ada pula yang menggunakan kata ta’wil itu sama dengan kata
tafsir. Memang terjadi perbedaan pendapat tentang hubungan tafsir dan ta’wil. Ada yang mengatakan
sama (sinonim). Ada yang mengatakan masing-masing mempunyai arti tersendiri.
Ada yang mengatakan Tafsir lebih umum dari ta’wil.
Tafsir
sendiri mempunyai kedudukan yang mulia. Hal ini di sebabkan al-Quran itu adalah
kalam Allah Azza wajalla. Kitab allah yang merupakan cahaya, obat penyakit
rohani dan sekaligus al-Quran merupakan kunci antuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat. Seperti yang diungkapkan oleh Imam
al-Tabari yang yang lain.
Kedudukan ini bisa dilihat pada tiga pokok : 1. Objek ilmu tafsir kalam Allah.
2. Suatu dorongan agar manusia berpegang kepada al-Quran sebagai tali pengikat
yang teguh dalam mencapai kabahagian yang hakiki. 3. Al-Quran mengatur kesempurnaan masalah agama,
dunia dan akhirat.
Ada
beberapa sarat dan kriteria yang harus dimilki oleh seorang mufassir
1.
Ilmu
Bahasa
2.
Ilmu
Nahwu
3.
Ilmu
Sharaf
4.
Ilmu
Etimologi (Ishtiqaq) yaitu ilmu tentang asal usul kata
5.
Ilmu
Balaghah (Retorika, Metafora)
6.
Ilmu
Qira’at ( cara-cara membaca al-Quran)
7.
Ilmu
Usuluddin (Akidah)
8.
Ilmu
Usul Fikih
9.
Ilmu
Asbab al-Nuzul
10. Ilmu Nasikh Mansukh.
11. Ilmu Hadis.
12. Ilmu Mauhabah (Ladunni) yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah kepada orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Dan ini adalah tambahan dari Imam al-Suyuti.
13. Ilmu Sain dan Teknologi.
Ada
kecenderungan bahwa para ulama takut untuk menafsirkan al-Quran , seperti
perkataan Imam Masruq; takutlah kamu dalam hal menafsirkan al-Quran karna ia
adalah informasi yang barasal dari Allah SWT. Diriwayatkan dari Siti Aishah;
bahwa Rasulullah SAW. Hanya menafsirkan al-Quran beberapa ayat yang diajarkan
kepadanya oleh malikat Jibril. Seseorang yang menfsirkan al-Quran dengan
logikanya saja, sekalipun itu benar, tetapi ia tetap dipandang telah bebuat
kekeliruan dan pendapatnya itu adalah
zan (dugaan saja). Bahkan sesorang yang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu
pengetahuan tentang tafsir al-Quran maka ia tergolong orang-orang yang telah
berbicara tentang Allah SWT. Tanpa ilmu pengetahuan. Ibnu Abbas berkata al-Quran
mengandung empat hal pokok :
1.
Halal
dan haram, sehingga tidak layak sesorang yang tidak mengetahui tentang halal
dan haram.
2.
Mengenai
pengetahuan orang arab tentang al-Quran.
3.
Mengenai
Ta’wil yang hanya diketahui oleh orang yang alim.
4.
Yang
tidak di ketahui Ta’wilnya oleh manusia selain Allah SWT. Dan yang
berusaha mengetahui tentang Ta’wil itu berarti ia telah mendustakan
Allah.
Al-Quran adalah kalam Allah
yang diturunkan berbahasa Arab yang satranya sangat tinggi. Mu’jizat yang
terkandung di dalamnya amat dalam, mengandung berbagai rahasia, semua itu tidak
dapa dipahami oleh manusia secara umum. Baik pemahaman makna ataupun gambaran
yang terdapat di dalamnya. Semua petunjuk dan ketentuan hukum yang terdapat
dalam al-Quran itu mengandung ketentuan
ilmu yang sifatnya Aqliyat (Rasional) dan Sam’iyat (diterima
melalui iman) dengan keberadaan orang Arab yang berbeda-beda di sini menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda pula dalam
menafsirkan al-Quran sesuai keadaan mereka walaupun Rasulullah menjelaskannya
dengan tradisi Arab singkat dan jelas. Dan umumnya perbedaan tersebut berkisar
dalam hal perbedaan lafaz dan makna dari suatu lafaz itu sendiri.
Dalam
al-Quran banyak
membicarakan tentang kisah-kisah umat terdahulu baik bangsanya maupun pribadi
mereka. Tujuannya tiada lain adalah sebagai i‘tibar,
pelajaran bagi umat manusia. Seperti dalam surat hud : 120. Dan menjelaskan
tentang sunnatullah yang berlaku dalam masarakat manusia, serta pengaruh
terhadap segala amal kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan manusia. Yang perlu
diperhatikan adalah kisah-kisah perbedaan yang mencolok yaitu adanya kisah
dalam al-Quran adalah kisah yang tidak ada keraguan sedang kisah yang dibuat ahli tafsir ada yang benar adapula
yang batil, seperti masuknya cerita Israiliyat.
Sejarah
tafsir al-Quran secara global dimulai dari penafsiran yang ditetapkan Allah
sendiri melalui Rasulnya, setelah itu baru beralih ke pada Sahabat, Tabi’in,
dan Atba’Tabi’in, lalu setelah itu beralih kepada madrasah kaum Salaf,
kemudian berpindah pada golongan Khalafiyah (Madrasah Khalaf). Kemudian
dilanjutkan oleh ahli pikir pada zaman setelahnya (Muta’akhirin) dan setelah
itu pada golongan Mujadid (kaum pembaharu) pada zaman kita sekarang.
Sebagai
penerima wahyu dari Allah, maka Rasulullah juga yang menafsirkan dan menjelaskan
kepada umatnya sebagaimna yang dijelaskan dalam surat al-Nahl:44 dan 64. Beliau
tidak menfsirkan makan ayat-ayat al-Quran mengikuti alam pikiran beliau sendiri,
tetapi segala yang beliau artikan berdasarkan serta berpedoman pada wahyuAllah
SWT. Dan beliau menanyakan tentang ayat itu, dan malaikat Jibril tidak
memberikan penafsirannya menurut kehendaknya sendiri akan tetapi Jibril
bertugas semata-mata menurunkan wahyu yang diterima dari Allah SWT. Dari itu
Allah SWT sebagai penjelas sebagai pihak pertama yang memebrikan penjelsasan
makna yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini dikarnakan yang mempunyai al-Quran adalah Allah SWT. Seperti
yang dilakukan oleh Imam al-Suyuti beliau menyusun sebuah Musnad yang di
dalamnya terdapat tafsir-tafsir menurut versi Rasulullah yang diberi nama Tarjuman
al-Quran.
Setelah
Rasulullah wafat penefsiran al-Quran diteruskan oleh Sahabat (Tafsir Sahabi)
Abdullah bin Abbas adalah orang pertama yang menafsirkan al-Quran setelah Nabi. Dalam
menafsirkan al-Quran beliau menggunakan syair-syair Arab kuno guna
membuktikan kebenaran al-Quran, selain itu ia juga bertanya kepada ahli kitab
yang telah masuk Islam.
Kesulitan timbul ketika menjumpai ayat-ayat yang penafsirannya tidak bisa dikembalikan kepada dalil Naql (Hadis dan al-Quran), al-Qurtubi menjelaskan bahwa sebagaian ‘ulama mengatakan: tafsir terhenti dengan penjelasan ayat dalam surat al-Nisa’: 50. yang menyatakan semua masalah hendaknya dikembalikan pada Allah dan Rasulnya. Menurut beliau pemahaman tersebut adalah sebuah kesalahan. Larangan menafsirkan al-Quran disitu tidak ada lain karna beberapa faktor yaitu : supaya penafsiran al-Quran didasarkan pada naql (Hadis) dan riwayat-riwayat yang didengar, bukan atas dasar Istimbat atau larangan itu mempunyai mempunyai tujuan yang lain? Dalam hal ini batallah atau tidak benar tujuan larangan itu supaya orang jangan berbicara mengenai al-Quran kecuali dia telah mendengar sendiri riwayat al-Quran dan dalam beberapa segi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan al-Quran. Tidak semua yang mereka katakan itu mendengar dari Nabi SAW. Nabi Muhammad pernah mendo’akan Ibn Abbas, berkata Nabi SAW, dalam do’anya : ya Allah berikan dia (Ibn Abbas) pengetahuan yang dalam menegenai agama dan ajarkanlah ta’wil kepadanya. Jadi apabila ta’wil itu telah disampaikan Rasul kepada para sahabatnya, seperti halnya al-Quran itu sendiri, maka apa faedahnya Rasulullah secara khusus mendo’akan ibn Abbas. Sedangkan sebaik-baik Mufassir adalah sahabat Nabi hal ini karna al-Quran turun dengan bahasa mereka (bahasa Arab) mereka hidup bersama dengan Rasulullah, mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang belum mereka ketahui dan belum mereka pahami dan mereka yang berhubungan langsung dengan Asbab al-Nuzul al-Quran dan di antara mereka yang paling banyak menafsirkan al-Quran adalah Abdullah bin Abbas.
Ibn
Khaldun membagi tafsir al-Quran
menjadi dua:
1.
Tafsir Naqli;
yaitu tafsir yang berdasarkan pada hadis Nabi saw, yang diterima dari
ulama salaf.
2.
Tafsir ‘aqli
; tafsir yang berdasarkan atas pengertian bahasa Arab.
Ilmu i‘rab, balaghah dan lain-lain yang memberi pengertian akan maksud
menurut susunan kalimat.
Sedang
di kalangan mufassir mendefinisikan tafsir ‘aqli dengan tafsir bi
al-’aqli (ra’yu) yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan Ijtihad,
jika sesuai dengan aturan Ijtihad maka disebut terpuji, jika tidak maka
tercela. Hal-hal yang harus jadi sandaran dalam tafsir Ra’yi (‘aqli) adalah
sebagai berikut:
a.
Naqli
dari Rasulullah saw.
b.
Perkataan
Sahabat.
c.
Pengambilan
dari sastra Arab.
d.
Ijtihad
dari pengertian lafaz-lafaz al-Quran.
Kalangan
mufassirin juga membagi tafsir kepada tiga bagian:
1.
Tafsir
Riwayat, lazim disebut tafsir Naqli atau tafsir bi
al-Ma’thur.
2.
Tafsir
Dirayat, lazim disebut tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir Naqli.
3.
Tafsir
Isharat, lazim disebut tafsir Ishari.
Yaitu tafsir yang menta’wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun
disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.
Tingkat
taraf kehidupan dan kemampuan daya pikir (nalar) seseorang akan membawa
pengaruh nyata terhadap peningkata kualitas ilmu tafsir. umat islam pada awal
pertumbuhan islam berpaling diri dari menafsirkan al-Quran, pada masa-masa
berikutnya baru mereka tampil, hingga muncul gaya tafsir dengan kecenderungan
masing-masing mufassir serta metode yang mereka pakai. Diantara mereka
ada yang menafsirkan dari segi kalimat-kalimat yang gharib, seperti yang
dilakukan al-Zajjaj dan al-Wahidi. Menafsirkan al-Quran dengan riwayat-riwayat
Hadith seperti al-Tabari.
Dari segi balaghah seperti al-Zamakhshari. Dengan Qisas (cerita) dan
hikayat seperti al-Sha’labi dan al-Khazin. Dengan ilmu pengetahuan seperti
al-Razi. Menitikberatkan pada i’rab, fikih, tasawuf, aqidah, dan lain-lain.
Al-Quran adalah kitab suci yang di
dalamnya berisi masalah aqidah,
hidayah, hukum syariat dan akhlak. Dan terdapat
pula ayat-ayat yang menunjukkan motivasi terhadap umat manusia untuk menelaah, membahas,
meneliti dan menggalinya. Sebagian kaum muslim sejak zaman dahulu mengarahkan
serta berupaya menciptakan hubungan yang erat antara al-Quran dan ilmu
pengetahuan. Mereka melakukan Ijtihad dengan istimbat hukum, menggali
beberapa ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Quran akan beberapa petunjuk yang
mengarahkan pada penemuan-penemuan ilmiah yang mengungkapkan sebagian dari ilmu
alam yang belum banyak diketahui oleh manusia. Sekalipun apa yang ada dalam al-Quran
hanya merupakan isharat sepintas lalu, namun pembuktian melalui ilmu
pengetahuan modern selalu terwujud.
Golongan
sufi pun sejak zaman dahulu, telah berusaha mengemukakan dasar-dasar hukum
melalui nas-nas yang terdapat dalam al-Quran dan pembentukan prinsip-prinsip
ajarannya. Mereka menjadikan al-Quran sebagai landasan yang kokoh dan kuat
dalam melaksanakan khittah (langkah) dan tariqah (jalan) yang
mereka tempuh. Hakikat al-Quran tidak terbatas pada makan lahiriah saja, tetapi
tersirat pada makna yang tersembunyi di balik kata, karena itu ahli sufi lebih
menitik beratkan dalam penafsiran al-Quran melalui jalan ta’wil.
Ranah
politik pun masuk ke dalam dunia tafsir, sebagian mereka menggunakan media
tafsir al-Quran untuk mendukung dan atau menjatuhkan kelompok lain, seperti
yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, dalam tafsir al-Quran banyak yang telah mereka
tulis dalamnya berisi dan diwarnai oleh permasalahan yang tidak dibatasi, rasa
benci, dan ta’asub yang berlebihan, ayat al-Quran yang di sebut, lalu
mengisyarat pada sesuatu yang bersifat
rendah. Mereka merenggut serta menerapkan tafsir al-Quran dengan jalan paksa
dan di sesuaikan dengan keyakinan madhab mereka.
Pada
abad ke 19 dunia islam mengalami musibah, masa suram kemerosotan terus
menerus, keterbelakangan dan negara islam mengalami masa penjajahan oleh bangsa
asing. lahirlah jalauddin al-afghani dengan seruan yang membangkitkan semangat
kaum muslimin, kemudian diteruskan muridnya dengan prakarsanya untuk
mengajarkan pembaharuan dalam tafsir al-Quran melalui metode pemebaharuan dalam berbagai
prinsip dan pengertian tentang islam dan ia menghubungkan antara ajaran agama
dengan kehidupan modern dan menyatakan bahwa islam itu tidak bertentangan denga
peradaban, kehidupan modern serta tidak bertentangan dengan segala aspek
kemajuan dalam kehidupan manusia.
Kita
perlu tahu kitab-kitab tafsir yang mu’tabar dari tiga macam tafsir yang
ada, tafsir Riwayah, tafsir Dirayah, dan tafsir Ishari
diantaranya sebagai berikut;
Kitab-kitab
tafsir bi al-Ma’thur;
1.
Jami’
al-Bayan fi tafsir al-Quran, karya Imam al-Tabari
2.
Mu’alama
al-Tanzil, karya Imam abu Muhammad al-Husain
al-Baghawi.
3.
Tafsir
Qur’an al-Azim, karya Imam abu Fida’ al-Hafiz Ibn Kathir.
4.
Tafsir
Durru al-Manthur fi tafsir al-Ma’thur, karya
al-Suyuti.
Kitab-kitab
tafsir bi al-Ra’yi;
1.
Mafatih
al-Ghaib, karya Imam Fakhru al-Razi.
2.
Anwar
al-Tanzil, wa Asrar al-Ta’wil,
karya Imam Baidawi.
3.
Madariku
al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karya Imam
al-Nasafi.
4.
Tafsir
Jalalain,
karya Imam Jalal al-hilli dan Imam Jalal al-Suyuti.
5.
Irshadu
al-Aqli al-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Azim,
karya Imam Abi al-Su’ud.
6.
Al-Jami’
al-Ahkam al-Quran, Imam al-Qurtubi.
Baca artikel lain yang berkaitan:
- Qisas Al-Tafsir, Dr. Ahmad Shurbashi
- Pengertian Aqsamul Qur’an Dan Bentuk-Bentuknya
- Macam-Macam Qasam
- Faedah Qasam Dalam Al-Quran
- Tinjauan Umum Tentang Tafsir bil Ra’yi
- Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir Bil Ra’yi
- Bantahan Ulama Yang Melarang Terhadap Larangan Tafsir bi al-Ra'yi
- Macam-Macam Tafsir Bi Al-Ra’yi Dengan Contohnya
- Syarat-Syarat Menjadi Mufassir
Kitab-kitab
tafsir al-Ishari;
1.
Tafsir
al-Tusturi.
2.
Tafsir
al-Naisaburi (Gharaib al-Quranwa Raghaib al-Furqan).
3.
Tafsir
al-Kashfu wa al-Bayan, karya Imam Naisaburi.
4.
Tafsir
Ibn Arabi.
Tafsir
merupakan usaha memahami dan menerangkan maksud dan tujuan al-Quran yang
mengalami perkembangan yang bervariasi, sebagai hasil karya manusia, maka
terjadilah keaneka ragaman metode dan corak serta aliran penafsiran,
sebagaimana berikut;
a.
Metode
tafsir klasik
1.
Methode
tafsir bi al-Ma’thur atau bi al-Riwayah.
2.
Metode
tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-Dirayah.
3.
Metode
tafsir bi al-Isharah atau tafsir sufi.
b.
Metode
tafsir modern/kontemporer.
1.
Methode
tafsir Tahlili( analitis)
2.
Methode
tafsir Ijmali(global).
3.
Methode
tafsir Muqarin (perbandingan).
4.
Methode
tafsir Maudhu’i (tematik).
5.
Methode
tafsir kontesktual, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang
sejarah, sosiologi, budaya dan adat istiadat dan pranata-pranata yang berlaku
dan berkembang di masyarakat arab sebelum dan sesudah turun al-Quran.
c.
aliran/corak
tafsir klasik.
1.
Tafsir
Salafi.
2.
Tafsir
I’tizali.
3.
Tafsir
Suni.
d.
Aliran/corak
tafsir Siyasah.
1.
Tafsir
khariji.
2.
Tafsir
Shi’i.
e.
Aliran/corak
filsafat (tafsir Falsafi).
f.
Aliran/corak
Tasawuf (tafsir Sufi).
g.
Aliran/corak
tafsir Fiqih (tafsir fiqhi).
h.
Aliran/corak
ilmu pengetahuan (tafsir ‘ilmi).
i.
Aliran/corak
modern/kontemporer.
1.
Aliran/corak
tafsir ilmu pengetahuan modern.
2.
Aliran/corak
tafsir sastra budaya dan kemasharakatan (sosio kultural) atau Adabi Ijtima’i.
3.
Aliran/corak
tafsir Bayani.
4.
Aliran/corak
tafsir lainnya yang muncul dalam masharakat tetapi belum menjadi suatu aliran
terntentu yang mapan yang oleh al-Dhahabi dikategorikan sebagai tafsir yang
bercorak sekterian atau ilhadi.
Dalam menetukan periodesasi
tafsir al-Quran ulama
berbeda pendapat;
al-Dhahabi dan Manna’ al-Qattan membagi
menjadi tiga tahap yaitu:
1.
Tafsir
Rasul dan tafsir Sahabi.
2.
Tafsir
al-Quranmasa Tabi’in.
3.
Tafsir
al-Quranmasa Kodifikasi.
Dr.
Sayid Ahmad Khalil berpendapat
sebagai berikut;
1.
Tafsir
Athari/tafsir Riwayah/tafsir Naql (abad I-X H).
2.
Tafsir
Aqli/Ra’yi/Ta’wil.
3.
Tafsir
Ramzi/Ishari.
4.
Tafsir
Ilmi/Adabi/Ijma’i.
Team
penerjemah/penafsiran al-Quran departemen agama RI. Berpendapat;
1.
Periode
Sahabat, Tabi’in, Tabi’i-Tabi’in (Mutaqaddimin) di mulai dari abad ke I sampai
abad ke III. Dan yang terbukukan hanya tafsir al-Waqidi (207 H) dan tafsir
al-Tabari (310 H).
2.
Periode
Muta’akhirin (abad IV – XII H ).
3.
Periode
BARU (ABAD XIII H/akhir abad ke XIX M hingga sampai sekarang ini).
Ahmad
Mustafa al-Maraghi menyatakan periodesasi tafsir sebagai berikut;
1.
Tadsir
dimasa Sahabat.
2.
Tadsir
dimasa Tabi’in.
3.
Peringkat
ketiga Perpaduan antara pendapat para Sahabat dan Tabi’in
4.
Peringkat
keempat, yaitu pringkat setelah peringkat-peringkat yang lain yakin peringkat
Ibnu Abi Jarir al-Tabari.
5.
Peringkat
kelima, yaitu peringakat kelompok mufassir yang di buang sanadnya.
Seperti Abu Ishaq
al-Zujaj Ibrahim Ibnu al-Sirrin al-Nawawi (310 H ) dan
lain-lain.
6.
Peringkat
keenam yaitu peringkat kelompok kebangkitan ilmiah di dalam Islam.
Selain
aliran-aliran yang disebutkan di atas terdapat pula terobosan baru menyusun
motodologi baru dalam menafsirkan al-Quran yaitu tafsir al-Quran dengan
pendekatan kontekstual perintis pertamanya adalah Fazlur Rahman. Beliau berusaha
memahami ayat-ayat al-Quran berdasarkan latar belakang
sejarah kehadiran Nabi
Muhammad saw. Sebagai
pembawa risalah tauhid serta memberi pejelasan tentang ayat-ayat al-Quran dan
situasi yang mengitari masyarakat
arab di saat turunnya al-Quran.
Melihat
sejarah tafsir al-Quran dari
masa ke masa, dapat kita ketahui bagaimana
cara madhhab dan aliran yang beraneka ragam itu tentang tafsir al-Quran menurut kehendak
madhhab mereka sendiri serta garis-garis tafsir yang mereka inginkan, dari
kalangan Fuqaha, Mutakallimin, kaum Sufi dan bermacam-macam
golongan lainnya masing-masing mereka menemukan hidangan dari al-Quranyang
dibutuhkan serta memadai dan untuk memperkuat pendapat serta pemikiran mereka.
Dan sebagian lagi memanfaatkan al-Quran secara jahat. Tetapi ada juga yang
berusaha keras terus menerus dan giat hingga akhirnya mereka mampu menggali
secara luas dan berhasil mengeluarkan mutiara yang terpendam dari khazanah al-Quran
yang tidak ada tandingannya dan tidak kunjung habis untuk terus dikaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar