HOME

11 Maret, 2022

ASBAB WURUD AL-HADIS DAN URGENSINYA

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah SWT terakhir yang diutus oleh-Nya ke dunia ini.[1] Sebagai Rasul, Nabi Muhammad adalah juru bicara Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia agar dipatuhi. Bahkan apapun yang ada pada diri beliau merupakan postulat yang bisa dijadikan rujukan dalam setiap masalah keagamaan, kemasyarakatan, moral dan lain sebagainya. Oleh karenanya, semua hal yang melekat pada diri Nabi Muhammad baik itu sifat, perkataan, perbuatan, dan penetapannya merupakan otoritas kenabiannya. Sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad mempunyai wewenang untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat global atau menjelaskan ayat yang ditanyakan langsung oleh sahabat karena kurang paham, dan wewenang untuk memberikan hukum tambahan dari hukum Allah SWT yang diperintahkan lewat Al-Quran.[2] Oleh karena itu, Nabi Muhammad bisa disebut sebagai al-Shari(pembentuk syari´at), baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.[3]

Sebagaimana fakta sejarah mengungkapkan bahwa dakwah Nabi tidak berhadapan dengan sebuah komunitas yang hampa budaya dan nilai, sehingga keberhasilan dakwah Nabi membutuhkan proses panjang. Perubahan budaya dan nilai dalam komunitas tersebut melewati fase dialog sosial. Ketika berdialog inilah kemudian sebagian syariat agama muncul menjadi aturan dan nilai Islam. Dialog sosial Nabi ini menjadi penyebab munculnya beberapa ketetapan Nabi untuk umatnya.


Dalam disiplin Ilmu Hadis, ilmu ini dikenal dengan istilah Ilm Asbab Wurud al-Hadith, ilmu yang membicarakan bagaimana sebuah pernyataan Nabi Muhammad muncul. Makalah ini akan membahas defenisi, sejarah kemunculan dan urgensinya.



BAB II

PEMBAHASAN 

1.    Definisi asbab al-wurud

Asbab al-Wurud terdiri dari dua kata, asbab dan wurud. kata asbab adalah bentuk jamak dari kata sabab yang memiliki arti sebab. Sedangkan wurud bentuk masdar dari kata warada-yaridu artinya datang. Secara terminologi kata al-sabab berarti al-Habl[4] (perhubungan [wisal]).[5] Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab,  menyebutkan bahwa kata al-sabab diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang lain. Arti yang demikian dikaitkan dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 166: [6]

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.

 

Selain itu, kata al-sabab juga diartikan sebagai perantara penyebab terjadinya sebuah kejadian. Sedangkan ulama fikih mengartikan sebagai sesuatu yang menjadi wasilah atau proses menuju terbentuknya sebuah hukum meskipun tidak menjadi hal utama dalam mempengaruhi keberadaan hukum itu sendiri.[7] Adapun al-wurud berasal dari kata warada-yaridu yang bermakna datang, tiba (jaa, nasara) atau sampai ke (balagha, wasala [ila]),[8] atau bermakna al-manahil (sumber/tempat air, air yang darinya ia keluar).[9]

Jadi, asbab al-wurud berarti latar belakang yang mengarah pada ketetapan munculnya sebuah hadis yang nantinya bisa menunjukkan sifat hadis tersebut apakah khusus-amm, mutlaq-muqayyad atau naskh dan lain sebagainya.[10] Atau pengertian dari sabab al-wurud disamakan dengan definisi sabab al-nuzul dalam ilmu Al-Quran, yakni faktor yang menjadi penyebab kelahiran sebuah hadis.[11] Abu Shuhbah dalam kitab al-Wasit-nya menjelaskan bahwa sabab al-wurud adalah ilmu yang membahas tentang faktor-faktor pendorong respon Nabi (bentuk hadis pertama), faktor tersebut adakalanya berbentuk sebuah pertanyaan, kejadian, dan kisah/cerita/riwayat (qissah) sehingga Nabi bersabda disebabkan faktor-faktor yang melatar-belakanginya.[12] Oleh karenanya, hadis yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis bisa dikatakan sebagai hadis pula.

 

2.    Sejarah timbul dan beberapa karya kitab tentang asbab al-wurud

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sebenarnya Ilm Asbab Wurud al-Hadith sudah ada tetapi tidak tersistematis menjadi sebuah disiplin ilmu. hal ini sudah dirasakan oleh para sahabat yang menganggap bahwa adanya keterlibatan Asbab al-Wurud sangat mempermudah mereka dalam memahami hadis. Misalnya hadis tentang ziarah kubur bagi wanita yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.[13]

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن زوارات القبور[14]

Kemunculan hadis di atas dihubungkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang dijadikan Asbab al-Wurud-nya. Hadis tersebut menceritakan bahwasa Rasulullah menjumpai seorang wanita yang menangis di samping sebuah kuburan.[15] Larangan ini disinyalir adanya fitnah atau intensitas ziarah yang keterlaluan yakni  perempuan yang sedang berziarah tersebut terus menerus meratap dengan tangisan di samping kuburan.[16] Sedangkan dalam riwayat yang diceritakan oleh al-Hakim menceritakan bahwa Aisyah berziarah ke kuburan saudaranya ‘Abd al-Rahman, kemudian beliau ditanya "bukankah Rasul telah melarang menziarahi kuburan?", Aisyah menjawab "iya benar Rasul pernah melarang namun kemudian Rasul memerintahkan untuk menziarahinya".[17]

Hadis riwayat Anas bin Malik yang ditetapkan sebagai Asbab al-Wurud tersebut memberikan penjelasan tentang kebolehan menziarahi kuburan. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa pada masa sahabat, asbab al-wurud telah dilibatkan untuk memahami sabda Rasulullah. pentingnya mengetahui Asbab al-Wurud sangat membantu memahami hadis dengan benar yang sesuai dengan tujuan hadis tersebut disabdakan.

Para ulama pada abad ke 3 mulai memperhatikan secara spesifik terhadap Asbab Wurud al-Hadith yang kemudian dijadikan salah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya karya ilmiah yang khusus membahas tentang Asbab Wurud al-Hadith. Beberapa karya yang membahas tentang Ilm Asbab Wurud al-Hadith :[18]

1.    Kitab Asbab Wurud al-Hadith, karya Abu Hamid Abdul Jalil bin Kaznah al-Jubari. Ia adalah penulis pertama yang menyusun disiplin ilmu ini, tetapi karya ini tidak sampai kepada kita.

2.    Kitab Asbab Wurud al-Hadith, karya Abi Hafs al-Akbari (380-458 H), keberadan kitab ini sama dengan karyanya al-Jubari.

3.    Al-Lumafi asbab al-Wurud al-Hadith, karya Jalal al-Din al-Suyuti (849-911 H). Kitab ini adalah karyanya yang terakhir, ditulis oleh muridnya Muhammad Ali bin al-Daudi.

4.    Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadith al-Sharif, karya Ibrahim bin Muhammad Kamal al-Din, dikenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsiqi.

 

3.    Klasifikasi kemunculan dan cara mengetahui asbab al-wurud

Sebagaimana sabab al-nuzul, diturunkan sebuah ayat adakalanya untuk merespon suatu hal atau turun dengan sendirinya., juga terjadi pada sabda Nabi. Hadis-hadis yang datang untuk merespon suatu hal memiliki beberapa bagian:

a.    Hadis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Maksudnya adalah sebuah hadis menjadi penjelas dari kandungan suatu ayat. Ayat yang dijelaskan adakalanya bersifat umum yang memerlukan pengkhususan, bahasa yang asing ditelinga sahabat dan lain sebagainya. Misalnya ayat 82 dalam surat al-Anam:

 الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

 

Sebagian sahabat memahami kata al-zalm dengan pengertian kesewenang-wenangan dan tindakan-tindakan yang melampaui batas, tetapi ada sahabat yang tidak setuju dengan makna tersebut sehingga mereka mengadukannya kepada Rasulullah. Rasulullah memberitahukan bahwa yang dimaksud al-zalm adalah al-Shirk. Jawaban Nabi tersebut diindikasikan ketika turunnya ayat di atas yang membuat sahabat merasa keberatan kemudian bertanya kepada Rasul, siapakah kita yang tidak pernah mencampuradukan iman dengan dhalim. Rasulullah SAW menjawab bukan begitu maksudnya, tidakkah kalian memperhatikan perkataan Lukman kepada anaknya “ان الشرك لظلم عظيم.[19]

b.    Berhubungan dengan hadis itu sendiri (hadith mushkil).

Maksudnya adalah kebingungan para sahabat dalam memahami hadis Nabi, sehingga Nabi Muhammad harus memberikan penjelasan dengan hadis lain. Adapun penyebab dari ke-mushkil-an ini ada dua:[20]

1)   Karena adanya penyebutan sebab.

Maksudnya adalah hadis-hadis yang didalamnya telah disebutkan kronologinya. Misalnya saat Nabi ditanya tentang  masalah air di padang pasir yang sering dilewati oleh rombongan-rombongan dan hewan-hewan melata, kemudian beliau menjawab "ketika debit air sudah sampai pada jumlah dua qullah maka ia bebas dari terbilang kotor (najis)".[21]

2)   Karena tidak adanya penyebutan sebab.

Maksudnya adalah hadis Nabi yang kroonologinya tidak disebutkan dalam hadis tersebut. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Thabit "paling utamanya seseorang melaksanakan shalat yaitu ketika dilakukan didalam rumahnya kecuali shalat wajib (maktubah)".[22] Sebagian mukharrij al-hadith beranggapan bahwa hadis ini memerlukan kronologi kemunculannya.[23]

c.    Hadis yang berhubungan dengan sahabat.

Misalnya tentang kejadian Sharid bin Suwaid al-Thaqafi yang datang kepada Nabi ketika hari penaklukan Makkah lalu berkata kepada Rasul sesungguhnya saya telah bernazar jika Allah SWT memberikan kemenangan atas engkau (Nabi [dalam penaklukan kota Makkah]) maka saya akan melaksanakan shalat di Bait al-Maqdis. Rasulullah SAW berkata kepadanya, di tempat ini yang paling utama. Kemudian beliau bersabda, demi Dzat yang diriku berada di kekuasaanya jika kamu shalat di tempat ini maka kamu akan mendapatkan balasan. Lalu beliau melanjutkan lagi, shalat di masjid ini lebih utama dari pada seratus ribu kali shalat di masjid lain.[24]

Poin C ini sebenarnya sama dengan maksud poin B yakni datangnya hadis disertai dengan kronologinya atau tidak tetapi, pada poin ini kronologinya berhubungan dengan salah satu sahabat.

Sebab munculnya suatu hadis hanya bisa diketahui dengan adanya riwayat dan berpegang pada kutipan yang terpercaya dari sahabat. Sebab munculnya hadis tidak boleh didasarkan pada perkiraan dan penalaran logika semata. Pendekatan yang mutlak dilakukan adalah mengkaji dan menganalisis mata rantai transmisi penyampaiannya, sebagaimana yang juga berlaku persyaratan terhadap pentransmisian sebuah hadis.


4.    Urgensi Asbab al-Wurud

Ada beberapa faedah penting tentang fungsi mengetahui asbab al-wurud, di antaranya adalah:

a.    Membantu memahami hukum dan mengetahui tujuannya.

Mengetahui sebab munculnya suatu hadis sangat memberikan manfaat yang besar terutama bagi orang-orang yang mau melakukan sebuah ijtihad dalam masalah hukum, mudah dalam menentukan sebuah qiyas serta akan mempunyai hasil penalaran yang objektif.

b.    Memahami hadis dari aspek keshahihannya (validitas) serta jaminan kebenaran dalam menetapkan hukum darinya.

Kinerja asbab al-wurud tidak jauh beda dengan asbab al-nuzul dalam Al-Quran. Maka, apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiq al-I<d bahwasanya “penjelasan sabab al-nuzul merupakan metode yang kuat untuk memahami Al-Quran” dan juga yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya “mengetahui sabab al-nuzul menentukan bagaimana memahami ayat Al-Quran karena pengetahuan tentang sebab akan menimbulkan pengetahuan tentang akibat”,[25] ini juga berlaku pada hadis. Misalkan, potongan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bahwasanya Rasulullah bersabda “tidak termasuk sebuah kebaikan (al-birr) orang yang berpuasa dalam sebuah perjalanan”.[26]

Hadis ini sulit dipahami karena adakalanya Rasulullah melaksanakan puasa ketika dalam perjalanan.[27] Ditinjau dari latar belakang hadis tersebut, yang juga dicantumkan dalam riwayatnya Jabir bahwasanya Rasul ketika dalam perjalanan melihat kelompok orang yang berteduh lalu beliau bertanya ma hadha? Diberitahu oleh sahabat bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang berpuasa. Kemudian Nabi bersabda “tidak termasuk...”. dengan mengetahui kronologisnya maka bisa diambil kesimpulan bahwa yang tidak akan memperoleh al-birr adalah mereka yang memaksa berpuasa padahal ia dalam keadaan darurat.

c.    Pengkhususan Keumuman (Takhsis al-A<mm).[28]

Misalnya hadis tentang shalat sambil duduk akan mendapatkan separuh pahala dari pada shalat berdiri.[29] Hadis ini bersifat umum yang tertuju pada siapapun yang shalat, tetapi jika di lihat dari kronologisnya, maka bisa disimpulkan bahwa hadis tersebut khusus ditujukan kepada orang yang mampu melakukan shalat sambil berdiri.[30]

d.   Limitasi Kemutlakan (Taqyid al-Mutlaq).[31]

Misalnya hadis tentang orang yang memberikan kebaikan kemudian dimanfaatkan oleh orang yang setelahnya maka ia akan memperoleh pahala setara dengan orang yang melakukannya, sebaliknya jika ada orang yang memberikan keburukan kemudian ada orang yang meneruskan berbuat buruk maka ia juga akan mendapatkan dosa seperti yang dilakukannya.[32] Kemutlakan yang terdapat dalam hadis bukan sebab nilai baik dan buruk, namun kemutlakannya karena pertimbangan ada dan tidak adanya dalil dari agama. Yakni, pada suatu hari Rasul melihat rombongan yang datang tanpa beralas kaki dan compang camping, mayoritas dari mereka dari Bani Mudhar. Melihat pemandangan seperti itu kemudian Rasul menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah, kemudian Rasul shalat berjamaah dan berkhutbah seraya membaca firman Allah ya ayyuha al-nasu ittaqu rabbakum al-ladhi khalaqakum min nafsi wahidah....., dan ittaqullah waltanzur nafsu ma qaddamat lighadi wattaqullah. Kemudian para sahabat bersedekah dengan emas, pakaian, gandum dan lain sebagainya, lalu Nabi bersabda dengan hadis di atas man sanna sunnatan hasanah...[33]

e.    Memperinci Keglobalan Hadis.

Misalnya Seperti contoh hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, diriwayatkan oleh Anas bahwasanya Bilal diperintah untuk menggenapkan bacaan adhan dan mengganjilkan bacaan iqamah.[34] Sabab wurud al-hadith-nya di atas dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dan Ahmad dari riwayat Abdullah bin Zaid, yakni seputar bagaimana cara mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.[35] Kehadiran hadis Abdullah bin Zaid yang menjadi sebab munculnya hadis Anas bin Malik ini memberikan rincian yang jelas atas maksud yang dikehendaki oleh hadisnya Anas, yaitu mengulangi lafadz takbir empat kali dan dua kali dalam iqamah serta bacaan lain sebagaimana tertera dalam hadis tersebut.

f.     Identifikasi tentang naskh.

Masalah naskh, selain bisa dideteksi dari redaksi matan hadis juga bisa dideteksi dari kronologis munculnya hadis. Misalnya, hadis tentang aturan mengikuti Imam shalat secara keseluruhan, “sesungguhnya dibentuknya seorang imam (shalat) tidak lain bertujuan supaya diikuti (geraknya) secara sempurna dan tidak boleh dibedai, jika sang imam membaca takbir maka ikutlah membaca takbir, ketika imam ruku maka ikutlah ruku dan ketika imam membaca samia allah liman hamidahu maka jawablah dengan bacaan allahumma rabbana laka al-hamd, serta jika imam melaksanakan dengan berdiri maka ikutlah berdiri, jika imam shalat sambil duduk maka shalat sambil duduklah kalian semua”,[36]

Hadis ini di mansukh (dihapus) dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah A<ishah, bahwasanya menjelang wafatnya Rasulullah, beliau shalat sambil duduk sedangkan jamaah di belakangnya melaksanakan sambil berdiri.[37]  

g.    Menjelaskan Illat al-Hukm

Suatu hadis ada yang berisi larangan atau anjuran. Misalnya hadis larangan meminum langsung dari mulut teko (ceret),[38] latar belakang turunnya hadis ini karena ada seseorang yang meminum dari mulutnya ceret kemudian dia kerasukan jin.[39]

h.    Menjelaskan hadis yang sulit dipahami (mushkil)

Sabda Nabi yang pendek, seringkali membuat sahabat sulit untuk memahaminya. Misalnya masalah Hisab (perhitungan) di hari kiamat, man nuqisha al-hisab yaum al-qiyamah udhdhiba. Sahabat bingung dengan maksud hadis tersebut sehingga menanyakannya kepada Nabi, bukankah Allah SWT telah berfirman fasaufa yuhasibu hisaba yasira, kemudian Rasulullah menjawab bahwa maksud ayat itu hanyalah cara/tekhnis (al-Ard) Tuhan semata.[40]

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara fungsional, manfaat asbab wurud al-hadith adalah membantu mempermudah proses memahami hadis. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui sebab timbulnya hadis bagi orang yang ingin menjelaskan hadis yang memiliki sabab al-wurud. Bahkan akan berakibat fatal jika menjelaskan hadis yang memiliki kronologinya tetapi mengabaikan sebab munculnya. Selain itu, sabab al-wurud juga menjadi hal yang paling berperan dalam pemaknaan hadis secara kontekstual. Mengetahui sebab kemunculan suatu hadis akan mengetahui juga latar belakang sosial, baik berupa tradisi maupun karakter masyarakat pada waktu yang menjadi alasan kemunculan sebuah hadis.


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :

BAB III

KESIMPULAN 

Sabab al-wurud adalah latar belakang atau peristiwa yang menyebabkan munculnya suatu hadis. Embrio munculnya ilmu ini telah ada sejak zaman Nabi hanya saja belum berbentuk disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu ini baru ditulis secara sistematis pada abad ke 3 Hijriyah. Kemunculan sebuah hadis bisa dikarenakan berhubungan dengan keberadaan suatu ayat Al-Quran, dengan hadis itu sendiri atau berhubungan dengan sahabat. Cara untuk mengetahui Sabab wurud al-hadith tidak lain hanya dengan melalui proses periwayatan.

Fungsi Sabab al-wurud sangat membantu untuk memahami pesan yang dikehendaki oleh sebuah hadis. Di antara fungsinya adalah untuk menyelesaikan kesulitan (mushkil) pemahaman sebuah hadis, merinci keglobalan, menerangkan illat sebuah hukum dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Ala, Muhammad bin Abdur Rahman bin Abdur Rahim al-Mubarakfuri. Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami al-Turmudhi. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammad. al-Wasit al-‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

Al-Bukhari al-Jafi, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. al-Jami al-Sahih al-Mukhtasar. Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987.

Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar. Sunan al-Baihaqi al-Kubra. Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.

Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali. al-Sunan al-Kubra wa fi dhailihi al-Jauhir al-Naqi . Haidar abad: Majlis Dairah al-Ma`arif al-Nadhamiyah al-Kainah, 1344 H.

Al-Baihaqi,Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar. Sunan al-Baihaqi al-Kubra. Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.

Al-Damaini, Musfir Azmillah. maqayis Naqd Mutun al-Sunnah. riyad: Jamiah al-Imam Muhammad bin saud al-Islamiyah, 1984.

Al-Dimshiqi, Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi. al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab wurud al-Hadith al-Sharif. Bairut: al-Maktabah al-Ilmiah, 1982.

Fauri, ‘Ali bin Hisamuddin al-Muttaqi al-Hindi al-Burhan. Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al. Madinah: Muassasah al-Risalah, t.th.

Al-Hamidi, Muhammad bin Futuh. al-Jamu baina al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim. Bairut: Dar al-Nashr, 2002.

Ibnu Mandhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan al-Lisan; Tahdib Lisan al-‘Arab. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993.

Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996.

Naim BS, Abu. Urgensi Asbabu Wurudil Hadits dalam Memahami Hadits; Skripsi. IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1993.

Al-Nasa´i, Ahmad bin Shu‘aib Abu ‘Abdur Rahman. Sunan al-Nasa´i al-Kubra. Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991.

Al-Nasai, Abu Abdur Rahman Ahmad bin Shuaib. Sunan al-Nasai bi Sharh al-Suyuti wa Hashiyati al-Sanadi. Bairut: Dar al-Marifah, 1420 H.

Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim alQushairi. Sahih Muslim. Bairut: Dar al-Jail.

Al-Naisaburi, Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah al-Hakim. al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1990.

Al-Naisaburi, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar al-Salami. Sahih Ibnu Khuzaimah. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1970.

Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Sunan Ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.

Al-Salami, Muhammad bin I<sa Abu I<sa al-Turmudhi. al-Jami al-Sahih Sunan al-Turmudhi. Bairut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

Al-Shaibani, Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah. Musnad al-Imam Ahman bin Hanbal. Kairo: Muassasah Qurtubah.

Al-Sanani, Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam. Musannif Abdur Razaq. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1403 H.

Al-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Ashath. Sunan Abu Dawud. Bairut: Dar al-Fikr.

Al-Suyuti, Abdur Rahman bin Abi Bakar. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004.

-----------------. Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith. Bairut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 1984.

Al-Tahawi, Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salmah Abu Ja‘far. Sharh Ma‘ani al-Athar. Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1399 H.

Al-Tarmasi, Muhammad Mahfud bin ‘Abdullah. Manhaj Dhawi al-Nazar. Bairut: Dar al-Fikr, 2008.

Usmani, Justice Muhammad Taqi. The Authority of Sunnah. New Delhi: Kitab Bhavan, 1784.


[1] QS. Al-Ahzab: 40. Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim alQushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz VI (Bairut: Dar al-Jail, t.th), 17.

[2] Justice Muhammad Taqi Usmani, The Authority of Sunnah (New Delhi: Kitab Bhavan, 1784), 61.

[3] Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din al-Husaini al-Hanafi al-Dimshiqi, al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab wurud al-Hadith al-Sharif (Bairut: al-Maktabah al-Ilmiah, 1982), 22.

[4]Abdur Rahman bin AbiBakar Al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith (Bairut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 1984), 10.

[5]Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 735.

[6] Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur, Lisan al-Lisan; Tahdib Lisan al-‘Arab (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993), 569. Al-Suyuti, Asbab Wurud, 10.

[7]Al-Suyuti, Ibid… 10.

[8]Muhdlor, Al-Ashriy; Kamus, 2009.

[9]Al-Suyuti, Ibid… 10. Muhdlor, Ibid… 2010.

[10] Al-Suyuti, Ibid… 11.

[11] Ibid.

[12] Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah, al-Wasit al-‘Ulum wa Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi), 467.

[13]Abu Naim BS, Urgensi Asbabu Wurudil Hadits dalam Memahami Hadits; Skripsi (IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1993), 12-13.

[14] Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, tt), 502. Muhammad bin I<sa Abu I<sa al-Turmudhi al-Salami, al-Jami al-Sahih Sunan al-Turmudhi, Juz III (Bairut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, tt), 371. Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Shaibani, Musnad al-Imam Ahman bin Hanbal, Juz II (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), 337, 356.

[15]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami al-Sahih al-Mukhtasar, Juz I (Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987), 430.

[16]Muhammad bin Abdur Rahman bin Abdur Rahim al-Mubarakfuri Abu al-Ala, Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami al-Turmudhi, Juz IV (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 138.

[17]Ibid.

[18] Naim BS, Urgensi Asbabu... 14-17.

[19]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 18.

[20]Ibid.

[21] al-Quzwaini, Sunan Ibnu, 172.

[22]Ahmad bin Shu‘aib Abu ‘Abdur Rahman al-Nasa´i, Sunan al-Nasa´i al-Kubra, Juz I (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991), 408.

[23]Latar belakang hadis tentang shalat yang lebih utama ada yang dimulai dengan pertanyaan sahabat, "Rasulullah ditanya oleh sahabat, dimanakah yang lebih utama melakukan shalat di rumahku atau di masjid, Nabi menjawab sesungguhnya rumahku dekat dengan masjid namun aku lebih suka shalat di rumahku kecuali shalat lima waktu (maktubah). (al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Juz II, 439). Selain itu, ada riwayat lain yakni, "sesungguhnya Rasulullah SAW berada di dalam kamarnya yang di dekat masjid, lalu berkumpulah para sahabat di masjid seraya mengecilkan suaranya, mereka menyangka kalau Nabi telah istirahat. Kemudian mereka berdehem agar supaya Rasul keluar menemui mereka. Rasul bersabda, aku terus menerus melihat kalian selalu bertindak (berkumpul setiap malam)  seperti ini sehingga aku khawatir aktivitas ini menjadi wajib atas kalian, dan jika diwajibkan maka kalian tidak akan kuat melaksanakannya (terus menerus). Maka wahai kalian, shalatlah shalatlah di rumah kalian masing-masing, karena sesungguhnya shalat yang paling utama…" (Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra , Juz III [Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994], 109).

[24]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 19;  Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam al-Sanani, Musannif Abdur Razaq, Juz V (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1403 H,), 122.

[25]Al-Suyuti, Al-Itqan fi...  48.

[26]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra wa fi dhailihi al-Jauhir al-Naqi , Juz IV(Haidar abad: Majlis Dairah al-Ma`arif al-Nadhamiyah al-Kainah, 1344 H,), 242.

[27]Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salmah Abu Ja‘far al-Tahawi, Sharh Ma‘ani al-Athar, Juz II (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1399 H,), 62.

[28]Al-‘A<mm adalah lafad yang mencakup keuniversalan kata, baik dari sisi redaksi maupun makna. Artinya, kata yang ditetapkan sebagai dalil dengan tanpa ada pembatasan terhadap keuniversalan arti kata tersebut. Sedangkan al-Khas adalah pengertian sebaliknya, yakni lafad yang dibentuk sebagai dalil kepada bagian tertentu saja (Musfir Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jamiah al-Imam Muhammad bin saud al-Islamiyah, 1984], 304).

[29]Salatu  al-qaidi ala al-nisfi min salati al-qaimi, latar belakang keluarnya hadis tersebut ketika sahabat menuju ke Madinah mereka diserang wabah karena cuaca kota yang tidak menentu, kemudian para sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk, lalu Nabi bersabda dengan hadis tersebut.

[30] Al-Suyuti, Asbab Wurud… 11. 

[31]Mutlaq adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas, ia hanya menunjuk satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Muqayyad adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan (Musfir Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jamiah al-Imam Muhammad bin saud al-Islamiyah, 1984], 317-318).

[32]As-suyuti, Ibid… 12-13; Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Ibnu Majah, Juz I (Bairut; Dar al-Fikr, tt), 74.

[33]As-suyuti, Ibid;  al-Naisaburi, Sahih Muslim… 68.

[34]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, al-Jami al-Sahih al-Mukhtasar, Juz I (Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987), 220; al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 2-3.

[35]Latar belakang dari hadis tersebut adalah ketika Abdullah bin Zaid bermimpi tentang orang yang membawa naqus (lonceng) untuk mengumpulkan melaksanakan shalat berjamaah, kemudian dalam mimpi tersebut ada pengarahan kalau mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah dengan lafad-lafad adhan, mimpi tersebut kemudian dibenarkan oleh Rasul dan pada saat itu Bilal yang dipreintah untuk mengumandangkan adhan karena suaranya yang nyaring.

[36]al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 19; Abu Dawud Sulaiman bin al-Ashath al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, tt), 220; Abu Abdur Rahman Ahmad bin Shuaib al-Nasai, Sunan al-Nasai bi Sharh al-Suyuti wa Hashiyati al-Sanadi, Juz II (Bairut: Dar al-Marifah, 1420 H), 434.

[37]Muhammad bin Futuh al-Hamidi, al-Jamu baina al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim, Juz II (Bairut: Dar al-Nashr, 2002), 368.

[38]Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar al-Salami al-Naisaburi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Juz IV (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1970), 146.

[39]Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz VII (Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), 285.

[40]al-Bukhari, al-Jami al-Sahih… Juz I, 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...