BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nabi
Muhammad SAW adalah Rasul Allah SWT terakhir yang diutus oleh-Nya ke dunia ini.[1] Sebagai
Rasul, Nabi Muhammad adalah juru bicara Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada
umat manusia agar dipatuhi. Bahkan apapun yang ada pada diri beliau merupakan postulat
yang bisa dijadikan rujukan dalam setiap masalah keagamaan, kemasyarakatan,
moral dan lain sebagainya. Oleh karenanya, semua hal yang melekat pada diri
Nabi Muhammad baik itu sifat, perkataan, perbuatan, dan penetapannya merupakan
otoritas kenabiannya. Sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad mempunyai wewenang
untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat global
atau menjelaskan ayat yang ditanyakan langsung oleh sahabat karena kurang paham,
dan wewenang untuk memberikan hukum tambahan dari hukum Allah SWT yang
diperintahkan lewat Al-Quran.[2] Oleh karena itu, Nabi Muhammad bisa
disebut sebagai al-Shari‘ (pembentuk syari´at), baik dalam masalah ibadah maupun
muamalah.[3]
Sebagaimana
fakta sejarah
mengungkapkan bahwa
dakwah Nabi tidak berhadapan dengan sebuah komunitas yang hampa budaya dan
nilai, sehingga keberhasilan dakwah Nabi membutuhkan proses panjang. Perubahan
budaya dan nilai dalam komunitas tersebut melewati fase dialog sosial. Ketika berdialog inilah kemudian sebagian syariat agama
muncul menjadi aturan dan nilai Islam. Dialog sosial Nabi ini menjadi penyebab
munculnya beberapa ketetapan Nabi untuk umatnya.
Dalam disiplin Ilmu Hadis, ilmu ini dikenal dengan
istilah ‘Ilm Asbab Wurud
al-Hadith, ilmu yang membicarakan bagaimana sebuah pernyataan Nabi Muhammad
muncul. Makalah ini akan membahas defenisi, sejarah kemunculan dan urgensinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi asbab al-wurud
Asbab al-Wurud terdiri dari dua kata, asbab dan
wurud. kata asbab adalah bentuk jamak dari kata sabab yang
memiliki arti sebab. Sedangkan wurud bentuk masdar dari kata warada-yaridu artinya
datang. Secara terminologi kata al-sabab berarti al-Habl[4]
(perhubungan [wisal]).[5]
Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-‘Arab,
menyebutkan bahwa kata al-sabab
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang lain. Arti
yang demikian dikaitkan dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 166: [6]
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
(Yaitu) ketika orang-orang yang
diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka
melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Selain itu, kata al-sabab juga diartikan sebagai
perantara penyebab terjadinya sebuah kejadian. Sedangkan ulama fikih
mengartikan sebagai sesuatu yang menjadi wasilah atau proses menuju
terbentuknya sebuah hukum meskipun tidak menjadi hal utama dalam mempengaruhi
keberadaan hukum itu sendiri.[7]
Adapun al-wurud berasal dari kata warada-yaridu yang bermakna
datang, tiba (jaa, nasara) atau sampai ke (balagha, wasala [ila]),[8]
atau bermakna al-manahil (sumber/tempat air, air yang darinya ia
keluar).[9]
Jadi, asbab al-wurud berarti latar belakang yang mengarah pada ketetapan munculnya sebuah hadis yang nantinya bisa menunjukkan sifat hadis tersebut apakah khusus-‘amm, mutlaq-muqayyad atau naskh dan lain sebagainya.[10] Atau pengertian dari sabab al-wurud disamakan dengan definisi sabab al-nuzul dalam ilmu Al-Quran, yakni faktor yang menjadi penyebab kelahiran sebuah hadis.[11] Abu Shuhbah dalam kitab al-Wasit-nya menjelaskan bahwa sabab al-wurud adalah ilmu yang membahas tentang faktor-faktor pendorong respon Nabi (bentuk hadis pertama), faktor tersebut adakalanya berbentuk sebuah pertanyaan, kejadian, dan kisah/cerita/riwayat (qissah) sehingga Nabi bersabda disebabkan faktor-faktor yang melatar-belakanginya.[12] Oleh karenanya, hadis yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis bisa dikatakan sebagai hadis pula.
2.
Sejarah timbul dan beberapa karya kitab
tentang asbab al-wurud
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sebenarnya
‘Ilm Asbab Wurud al-Hadith sudah ada tetapi tidak
tersistematis menjadi sebuah disiplin ilmu. hal ini sudah dirasakan oleh para
sahabat yang menganggap bahwa adanya keterlibatan Asbab al-Wurud sangat
mempermudah mereka dalam memahami hadis. Misalnya hadis tentang ziarah kubur
bagi wanita yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.[13]
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن زوارات القبور[14]
Kemunculan hadis di atas dihubungkan
dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang dijadikan Asbab
al-Wurud-nya. Hadis tersebut menceritakan bahwasa Rasulullah
menjumpai seorang wanita yang menangis di samping sebuah kuburan.[15]
Larangan ini disinyalir adanya fitnah atau intensitas ziarah yang keterlaluan yakni perempuan yang sedang berziarah tersebut terus
menerus meratap dengan tangisan di samping kuburan.[16]
Sedangkan dalam riwayat yang diceritakan oleh al-Hakim menceritakan bahwa
Aisyah berziarah ke kuburan saudaranya ‘Abd al-Rahman, kemudian beliau ditanya
"bukankah Rasul telah melarang menziarahi kuburan?", Aisyah menjawab
"iya benar Rasul pernah melarang namun kemudian Rasul memerintahkan untuk
menziarahinya".[17]
Hadis riwayat Anas bin Malik yang ditetapkan
sebagai Asbab al-Wurud tersebut memberikan penjelasan tentang kebolehan
menziarahi kuburan. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa pada masa sahabat, asbab
al-wurud telah dilibatkan untuk memahami sabda Rasulullah. pentingnya
mengetahui Asbab al-Wurud sangat membantu memahami hadis dengan benar yang
sesuai dengan tujuan hadis tersebut disabdakan.
Para ulama pada abad ke 3 mulai
memperhatikan secara spesifik terhadap Asbab Wurud al-Hadith yang kemudian
dijadikan salah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini terbukti dengan
adanya karya ilmiah yang khusus membahas tentang Asbab Wurud al-Hadith. Beberapa
karya yang membahas tentang ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadith :[18]
1.
Kitab Asbab Wurud al-Hadith, karya Abu Hamid ‘Abdul Jalil bin Kaznah al-Jubari. Ia
adalah penulis pertama yang menyusun disiplin ilmu ini, tetapi karya ini tidak
sampai kepada kita.
2.
Kitab Asbab Wurud al-Hadith, karya Abi Hafs al-‘Akbari (380-458 H), keberadan kitab
ini sama dengan karyanya al-Jubari.
3.
Al-Luma‘ fi asbab al-Wurud al-Hadith, karya Jalal al-Din al-Suyuti (849-911
H). Kitab ini adalah karyanya yang terakhir, ditulis oleh muridnya Muhammad ‘Ali bin al-Daudi.
4.
Al-Bayan wa al-Ta‘rif fi Asbab Wurud al-Hadith
al-Sharif, karya
Ibrahim bin Muhammad Kamal al-Din, dikenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husaini
al-Hanafi al-Damsiqi.
3.
Klasifikasi kemunculan dan cara mengetahui asbab al-wurud
Sebagaimana sabab al-nuzul,
diturunkan sebuah ayat adakalanya untuk merespon suatu hal atau turun dengan
sendirinya., juga terjadi pada sabda Nabi. Hadis-hadis yang datang untuk
merespon suatu hal memiliki beberapa bagian:
a.
Hadis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Maksudnya adalah sebuah hadis menjadi
penjelas dari kandungan suatu ayat. Ayat yang dijelaskan adakalanya bersifat
umum yang memerlukan pengkhususan, bahasa yang asing ditelinga sahabat dan lain
sebagainya. Misalnya ayat 82 dalam surat al-An‘am:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Sebagian sahabat memahami kata al-zalm
dengan pengertian kesewenang-wenangan dan tindakan-tindakan yang melampaui
batas, tetapi ada sahabat yang tidak setuju dengan makna tersebut sehingga
mereka mengadukannya kepada Rasulullah. Rasulullah memberitahukan bahwa yang
dimaksud al-zalm adalah al-Shirk. Jawaban Nabi tersebut
diindikasikan ketika turunnya ayat di atas yang membuat sahabat merasa
keberatan kemudian bertanya kepada Rasul, siapakah kita yang tidak pernah
mencampuradukan iman dengan dhalim. Rasulullah SAW menjawab bukan
begitu maksudnya, tidakkah kalian memperhatikan perkataan Lukman kepada anaknya
“ان الشرك لظلم عظيم.[19]
b.
Berhubungan dengan hadis itu sendiri (hadith mushkil).
Maksudnya adalah kebingungan para sahabat dalam
memahami hadis Nabi, sehingga Nabi Muhammad harus memberikan penjelasan dengan
hadis lain. Adapun penyebab dari ke-mushkil-an ini ada dua:[20]
1)
Karena adanya penyebutan sebab.
Maksudnya adalah hadis-hadis yang didalamnya telah disebutkan kronologinya. Misalnya saat Nabi ditanya tentang masalah air di padang pasir yang sering
dilewati oleh rombongan-rombongan dan hewan-hewan melata, kemudian beliau
menjawab "ketika debit air sudah sampai pada jumlah dua qullah maka
ia bebas dari terbilang kotor (najis)".[21]
2)
Karena tidak adanya penyebutan sebab.
Maksudnya adalah hadis Nabi yang
kroonologinya tidak disebutkan dalam hadis tersebut. Misalnya hadis yang
diriwayatkan oleh Zaid bin Thabit "paling utamanya seseorang melaksanakan
shalat yaitu ketika dilakukan didalam rumahnya kecuali shalat wajib (maktubah)".[22] Sebagian
mukharrij
al-hadith beranggapan bahwa hadis ini memerlukan kronologi
kemunculannya.[23]
c.
Hadis yang berhubungan dengan sahabat.
Misalnya tentang kejadian Sharid bin Suwaid al-Thaqafi yang datang kepada Nabi ketika
hari penaklukan Makkah lalu berkata kepada Rasul sesungguhnya saya telah bernazar jika
Allah SWT memberikan kemenangan atas engkau (Nabi [dalam penaklukan kota Makkah]) maka saya akan melaksanakan
shalat di Bait al-Maqdis. Rasulullah SAW berkata kepadanya, di tempat ini yang
paling utama. Kemudian beliau bersabda, demi Dzat yang diriku berada di
kekuasaanya jika kamu shalat di tempat ini maka kamu akan mendapatkan balasan.
Lalu beliau melanjutkan lagi, shalat di masjid ini lebih utama dari pada
seratus ribu kali shalat di masjid lain.[24]
Poin C ini sebenarnya sama dengan
maksud poin B yakni datangnya hadis disertai dengan kronologinya atau tidak
tetapi, pada poin ini kronologinya berhubungan dengan salah satu sahabat.
Sebab munculnya
suatu hadis hanya bisa diketahui dengan adanya riwayat dan berpegang pada
kutipan yang terpercaya dari sahabat. Sebab munculnya hadis tidak boleh didasarkan pada perkiraan dan
penalaran logika semata. Pendekatan yang mutlak dilakukan adalah mengkaji dan
menganalisis mata rantai transmisi penyampaiannya, sebagaimana yang juga
berlaku persyaratan terhadap pentransmisian sebuah hadis.
4.
Urgensi Asbab al-Wurud
Ada beberapa faedah penting tentang
fungsi mengetahui asbab al-wurud, di antaranya adalah:
a.
Membantu memahami hukum dan mengetahui tujuannya.
Mengetahui sebab munculnya suatu hadis sangat memberikan manfaat yang besar
terutama bagi orang-orang yang mau melakukan sebuah ijtihad dalam masalah
hukum, mudah dalam menentukan sebuah qiyas serta akan mempunyai hasil penalaran
yang objektif.
b.
Memahami hadis dari aspek keshahihannya (validitas) serta
jaminan kebenaran dalam menetapkan hukum darinya.
Kinerja asbab al-wurud tidak jauh beda dengan asbab
al-nuzul dalam Al-Quran. Maka, apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiq al-I<d
bahwasanya “penjelasan sabab al-nuzul merupakan metode yang kuat untuk
memahami Al-Quran” dan juga yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya
“mengetahui sabab al-nuzul menentukan bagaimana memahami ayat Al-Quran
karena pengetahuan tentang sebab akan menimbulkan pengetahuan tentang akibat”,[25]
ini juga berlaku pada hadis. Misalkan, potongan hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bahwasanya Rasulullah bersabda “tidak termasuk sebuah kebaikan (al-birr)
orang yang berpuasa dalam sebuah perjalanan”.[26]
Hadis
ini sulit dipahami karena adakalanya Rasulullah melaksanakan puasa ketika dalam
perjalanan.[27]
Ditinjau dari latar belakang hadis tersebut, yang juga dicantumkan dalam riwayatnya
Jabir bahwasanya Rasul ketika dalam perjalanan melihat kelompok orang yang
berteduh lalu beliau bertanya ma hadha? Diberitahu oleh sahabat bahwa
mereka adalah orang-orang yang sedang berpuasa. Kemudian Nabi bersabda “tidak
termasuk...”. dengan mengetahui kronologisnya maka bisa diambil kesimpulan
bahwa yang tidak akan memperoleh al-birr adalah mereka yang memaksa
berpuasa padahal ia dalam keadaan darurat.
c.
Pengkhususan Keumuman (Takhsis al-‘A<mm).[28]
Misalnya hadis tentang shalat sambil duduk
akan mendapatkan separuh pahala dari pada shalat berdiri.[29]
Hadis ini bersifat umum yang tertuju pada siapapun yang shalat, tetapi jika di
lihat dari kronologisnya, maka bisa disimpulkan bahwa hadis
tersebut khusus ditujukan kepada orang yang mampu melakukan shalat sambil
berdiri.[30]
d.
Limitasi Kemutlakan (Taqyid al-Mutlaq).[31]
Misalnya hadis tentang orang yang memberikan
kebaikan kemudian dimanfaatkan oleh orang yang setelahnya maka ia akan
memperoleh pahala setara dengan orang yang melakukannya, sebaliknya jika ada
orang yang memberikan keburukan kemudian ada orang yang meneruskan berbuat
buruk maka ia juga akan mendapatkan dosa seperti yang dilakukannya.[32]
Kemutlakan yang terdapat dalam hadis bukan sebab nilai baik dan buruk, namun
kemutlakannya karena pertimbangan ada dan tidak adanya dalil dari agama. Yakni,
pada suatu hari Rasul melihat rombongan yang datang tanpa beralas kaki dan
compang camping, mayoritas dari mereka dari Bani Mudhar. Melihat pemandangan
seperti itu kemudian Rasul menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan
dan iqamah, kemudian Rasul shalat berjamaah dan berkhutbah seraya
membaca firman Allah ya ayyuha al-nasu ittaqu rabbakum al-ladhi khalaqakum
min nafsi wahidah....., dan ittaqullah waltanzur nafsu ma qaddamat
lighadi wattaqullah. Kemudian para sahabat bersedekah dengan emas, pakaian,
gandum dan lain sebagainya, lalu Nabi bersabda dengan hadis di atas man
sanna sunnatan
hasanah...[33]
e.
Memperinci Keglobalan Hadis.
Misalnya Seperti contoh hadis yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim, diriwayatkan oleh Anas bahwasanya Bilal
diperintah untuk menggenapkan bacaan adhan dan mengganjilkan bacaan iqamah.[34]
Sabab wurud al-hadith-nya di atas dikeluarkan oleh Imam Abu
Dawud dan Ahmad dari riwayat ‘Abdullah bin Zaid, yakni seputar bagaimana cara
mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.[35]
Kehadiran hadis ‘Abdullah bin Zaid yang menjadi sebab munculnya hadis Anas
bin Malik ini memberikan rincian yang jelas atas maksud yang dikehendaki oleh
hadisnya Anas, yaitu mengulangi lafadz takbir empat kali dan dua kali dalam
iqamah serta bacaan lain sebagaimana tertera dalam hadis tersebut.
f.
Identifikasi tentang naskh.
Masalah naskh, selain bisa dideteksi dari
redaksi matan hadis juga bisa dideteksi dari kronologis munculnya hadis.
Misalnya, hadis tentang aturan mengikuti Imam shalat secara keseluruhan,
“sesungguhnya dibentuknya seorang imam (shalat) tidak lain bertujuan supaya
diikuti (geraknya) secara sempurna dan tidak boleh dibedai, jika sang imam
membaca takbir maka ikutlah membaca takbir, ketika imam ruku‘ maka ikutlah ruku‘ dan ketika imam membaca sami‘a allah liman hamidahu maka jawablah
dengan bacaan allahumma rabbana laka al-hamd, serta jika imam
melaksanakan dengan berdiri maka ikutlah berdiri, jika imam shalat sambil duduk
maka shalat sambil duduklah kalian semua”,[36]
Hadis ini di mansukh (dihapus) dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘A<ishah, bahwasanya menjelang wafatnya Rasulullah, beliau shalat
sambil duduk sedangkan jama‘ah di belakangnya melaksanakan sambil
berdiri.[37]
g.
Menjelaskan ‘Illat al-Hukm
Suatu hadis ada yang berisi larangan
atau anjuran. Misalnya hadis larangan
meminum langsung dari mulut teko (ceret),[38] latar belakang
turunnya hadis ini karena ada seseorang yang meminum dari mulutnya ceret
kemudian dia kerasukan jin.[39]
h.
Menjelaskan hadis yang sulit dipahami (mushkil)
Sabda Nabi yang pendek, seringkali
membuat sahabat sulit untuk memahaminya. Misalnya masalah Hisab (perhitungan) di
hari kiamat, man nuqisha al-hisab yaum al-qiyamah ‘udhdhiba. Sahabat bingung dengan maksud hadis tersebut sehingga menanyakannya kepada Nabi, bukankah Allah SWT telah
berfirman
fasaufa yuhasibu hisaba yasira, kemudian Rasulullah menjawab bahwa maksud ayat itu hanyalah cara/tekhnis (al-‘Ard) Tuhan semata.[40]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara
fungsional, manfaat
asbab wurud al-hadith adalah membantu mempermudah proses memahami hadis. Oleh karenanya,
penting untuk mengetahui sebab
timbulnya hadis bagi orang yang ingin menjelaskan hadis yang memiliki sabab al-wurud. Bahkan akan berakibat fatal jika menjelaskan
hadis yang memiliki kronologinya tetapi mengabaikan sebab munculnya. Selain
itu, sabab al-wurud juga menjadi hal yang paling berperan dalam pemaknaan
hadis secara kontekstual. Mengetahui sebab kemunculan suatu
hadis akan mengetahui juga latar belakang sosial, baik berupa
tradisi maupun karakter masyarakat pada waktu yang menjadi alasan kemunculan
sebuah hadis.
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
BAB III
KESIMPULAN
Sabab al-wurud adalah latar belakang atau peristiwa
yang menyebabkan munculnya suatu hadis. Embrio munculnya ilmu ini telah ada
sejak zaman Nabi hanya saja belum berbentuk disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu ini baru ditulis secara sistematis pada abad ke 3 Hijriyah. Kemunculan sebuah hadis bisa dikarenakan berhubungan dengan keberadaan suatu ayat Al-Qur′an, dengan hadis itu sendiri atau berhubungan dengan sahabat. Cara
untuk mengetahui Sabab wurud al-hadith tidak lain hanya dengan melalui
proses periwayatan.
Fungsi
Sabab al-wurud sangat membantu untuk memahami pesan yang dikehendaki oleh sebuah hadis. Di antara fungsinya
adalah untuk
menyelesaikan kesulitan (mushkil) pemahaman sebuah hadis, merinci
keglobalan, menerangkan ‘illat
sebuah hukum dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-′Ala,
Muhammad bin ′Abdur Rahman bin ‘Abdur
Rahim al-Mubarakfuri. Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami‘ al-Turmudhi. Bairut:
Dar al-Kutub al-′Ilmiyah.
Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammad. al-Wasit
al-‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.
Al-Bukhari al-Ja′fi, Muhammad bin Isma′il
Abu ′Abdullah. al-Jami′
al-Sahih al-Mukhtasar. Bairut: Dar
Ibnu Kathir, 1987.
Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu
Bakar. Sunan al-Baihaqi al-Kubra. Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin
al-Husain bin ‘Ali. al-Sunan al-Kubra wa fi dhailihi al-Jauhir al-Naqi .
Haidar abad: Majlis Dairah al-Ma`arif al-Nadhamiyah al-Kainah, 1344 H.
Al-Baihaqi,Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar. Sunan al-Baihaqi al-Kubra.
Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.
Al-Damaini, Musfir ‘Azmillah. maqayis Naqd Mutun al-Sunnah. riyad: Jami‘ah al-Imam Muhammad bin sa‘ud
al-Islamiyah, 1984.
Al-Dimshiqi, Ibrahim bin Muhammad bin
Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi. al-Bayan wa al-Ta‘rif
fi Asbab wurud al-Hadith al-Sharif. Bairut:
al-Maktabah al-‘Ilmiah, 1982.
Fauri, ‘Ali bin Hisamuddin al-Muttaqi al-Hindi al-Burhan. Kanz
al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al. Madinah: Muassasah al-Risalah, t.th.
Al-Hamidi, Muhammad bin Futuh. al-Jam‘u baina al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim. Bairut: Dar al-Nashr, 2002.
Ibnu Mandhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan
al-Lisan; Tahdib Lisan al-‘Arab. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy;
Kamus Kontempor Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok
Pesantren Krapyak, 1996.
Naim BS, Abu. Urgensi Asbabu
Wurudil Hadits dalam Memahami Hadits; Skripsi. IAIN Sunan Ampel Surabaya,
1993.
Al-Nasa´i, Ahmad bin Shu‘aib Abu
‘Abdur Rahman. Sunan al-Nasa´i al-Kubra. Bairut; Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1991.
Al-Nasai, Abu
‘Abdur Rahman Ahmad bin Shu‘aib.
Sunan al-Nasai bi Sharh al-Suyuti wa Hashiyati al-Sanadi. Bairut: Dar
al-Ma‘rifah, 1420 H.
Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim alQushairi. Sahih Muslim. Bairut: Dar al-Jail.
Al-Naisaburi, Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah
al-Hakim. al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Bairut; Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1990.
Al-Naisaburi, Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah Abu Bakar al-Salami. Sahih Ibnu Khuzaimah. Bairut: al-Maktab
al-Islami, 1970.
Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah. Sunan Ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Salami, Muhammad bin ‘I<sa Abu ‘I<sa
al-Turmudhi. al-Jami‘ al-Sahih
Sunan al-Turmudhi. Bairut: Dar Ihya′ al-Turath al-‘Arabi.
Al-Shaibani, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullah. Musnad al-Imam Ahman bin Hanbal. Kairo:
Muassasah Qurtubah.
Al-San‘ani, Abu
Bakar ‘Abdur Razaq bin Hammam. Musannif ‘Abdur Razaq. Bairut:
al-Maktab al-Islami, 1403 H.
Al-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin
al-‘Ashath. Sunan Abu Dawud. Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Suyuti, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakar. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran.
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004.
-----------------. Asbab Wurud
al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith. Bairut: Dar al-Fikr
al-‘Ilmiah, 1984.
Al-Tahawi, Ahmad bin Muhammad bin
Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salmah Abu Ja‘far. Sharh Ma‘ani al-Athar. Bairut;
Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1399 H.
Al-Tarmasi, Muhammad Mahfud bin
‘Abdullah. Manhaj Dhawi al-Nazar. Bairut: Dar al-Fikr, 2008.
[1] QS. Al-Ahzab: 40. Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim alQushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz VI (Bairut: Dar al-Jail, t.th), 17.
[2] Justice Muhammad Taqi Usmani, The Authority of Sunnah (New Delhi: Kitab Bhavan, 1784), 61.
[3] Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din al-Husaini al-Hanafi al-Dimshiqi, al-Bayan wa al-Ta‘rif fi Asbab wurud al-Hadith al-Sharif (Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiah, 1982), 22.
[4]‘Abdur Rahman bin AbiBakar Al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadith aw al-Luma‘ fi Asbab Wurud al-Hadith (Bairut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 1984), 10.
[5]Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Asriy; Kamus Kontempor Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 735.
[6] Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur, Lisan al-Lisan; Tahdib Lisan al-‘Arab (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993), 569. Al-Suyuti, Asbab Wurud, 10.
[7]Al-Suyuti, Ibid… 10.
[8]Muhdlor, Al-Ashriy; Kamus, 2009.
[9]Al-Suyuti, Ibid… 10. Muhdlor, Ibid… 2010.
[10] Al-Suyuti, Ibid… 11.
[11] Ibid.
[12] Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah, al-Wasit al-‘Ulum wa Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi), 467.
[13]Abu Naim BS, Urgensi Asbabu Wurudil Hadits dalam Memahami Hadits; Skripsi (IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1993), 12-13.
[14] Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, tt), 502. Muhammad bin ‘I<sa Abu ‘I<sa al-Turmudhi al-Salami, al-Jami‘ al-Sahih Sunan al-Turmudhi, Juz III (Bairut: Dar Ihya′ al-Turath al-‘Arabi, tt), 371. Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullah al-Shaibani, Musnad al-Imam Ahman bin Hanbal, Juz II (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), 337, 356.
[15]Muhammad bin Isma′il Abu ′Abdullah al-Bukhari al-Ja′fi, al-Jami′ al-Sahih al-Mukhtasar, Juz I (Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987), 430.
[16]Muhammad bin ′Abdur Rahman bin ‘Abdur Rahim al-Mubarakfuri Abu al-′Ala, Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami‘ al-Turmudhi, Juz IV (Bairut: Dar al-Kutub al-′Ilmiyah), 138.
[17]Ibid.
[18] Naim BS, Urgensi Asbabu... 14-17.
[19]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 18.
[20]Ibid.
[21] al-Quzwaini, Sunan Ibnu, 172.
[22]Ahmad bin Shu‘aib Abu ‘Abdur Rahman al-Nasa´i, Sunan al-Nasa´i al-Kubra, Juz I (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991), 408.
[23]Latar belakang hadis tentang shalat yang lebih utama ada yang dimulai dengan pertanyaan sahabat, "Rasulullah ditanya oleh sahabat, dimanakah yang lebih utama melakukan shalat di rumahku atau di masjid, Nabi menjawab sesungguhnya rumahku dekat dengan masjid namun aku lebih suka shalat di rumahku kecuali shalat lima waktu (maktubah). (al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Juz II, 439). Selain itu, ada riwayat lain yakni, "sesungguhnya Rasulullah SAW berada di dalam kamarnya yang di dekat masjid, lalu berkumpulah para sahabat di masjid seraya mengecilkan suaranya, mereka menyangka kalau Nabi telah istirahat. Kemudian mereka berdehem agar supaya Rasul keluar menemui mereka. Rasul bersabda, aku terus menerus melihat kalian selalu bertindak (berkumpul setiap malam) seperti ini sehingga aku khawatir aktivitas ini menjadi wajib atas kalian, dan jika diwajibkan maka kalian tidak akan kuat melaksanakannya (terus menerus). Maka wahai kalian, shalatlah shalatlah di rumah kalian masing-masing, karena sesungguhnya shalat yang paling utama…" (Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra , Juz III [Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994], 109).
[24]Al-Suyuti, Asbab Wurud… 19; Abu Bakar ‘Abdur Razaq bin Hammam al-San‘ani, Musannif ‘Abdur Razaq, Juz V (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1403 H,), 122.
[25]Al-Suyuti, Al-Itqan fi... 48.
[26]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra wa fi dhailihi al-Jauhir al-Naqi , Juz IV(Haidar abad: Majlis Dairah al-Ma`arif al-Nadhamiyah al-Kainah, 1344 H,), 242.
[27]Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik bin Salmah Abu Ja‘far al-Tahawi, Sharh Ma‘ani al-Athar, Juz II (Bairut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1399 H,), 62.
[28]Al-‘A<mm adalah lafad yang mencakup keuniversalan kata, baik dari sisi redaksi maupun makna. Artinya, kata yang ditetapkan sebagai dalil dengan tanpa ada pembatasan terhadap keuniversalan arti kata tersebut. Sedangkan al-Khas adalah pengertian sebaliknya, yakni lafad yang dibentuk sebagai dalil kepada bagian tertentu saja (Musfir ‘Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jami‘ah al-Imam Muhammad bin sa‘ud al-Islamiyah, 1984], 304).
[29]Salatu al-qa‘idi ‘ala al-nisfi min salati al-qaimi, latar belakang keluarnya hadis tersebut ketika sahabat menuju ke Madinah mereka diserang wabah karena cuaca kota yang tidak menentu, kemudian para sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk, lalu Nabi bersabda dengan hadis tersebut.
[30] Al-Suyuti, Asbab Wurud… 11.
[31]Mutlaq adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas, ia hanya menunjuk satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Muqayyad adalah lafad yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan (Musfir ‘Azmillah al-Damaini, maqayis Naqd Mutun al-Sunnah [riyad: Jami‘ah al-Imam Muhammad bin sa‘ud al-Islamiyah, 1984], 317-318).
[32]As-suyuti, Ibid… 12-13; Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah al-Quzwaini, Ibnu Majah, Juz I (Bairut; Dar al-Fikr, tt), 74.
[33]As-suyuti, Ibid; al-Naisaburi, Sahih Muslim… 68.
[34]Muhammad bin Isma‘il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih al-Mukhtasar, Juz I (Bairut: Dar Ibnu Kathir, 1987), 220; al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 2-3.
[35]Latar belakang dari hadis tersebut adalah ketika ‘Abdullah bin Zaid bermimpi tentang orang yang membawa naqus (lonceng) untuk mengumpulkan melaksanakan shalat berjamaah, kemudian dalam mimpi tersebut ada pengarahan kalau mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah dengan lafad-lafad adhan, mimpi tersebut kemudian dibenarkan oleh Rasul dan pada saat itu Bilal yang dipreintah untuk mengumandangkan adhan karena suaranya yang nyaring.
[36]al-Naisaburi, Sahih Muslim… Juz II, 19; Abu Dawud Sulaiman bin al-‘Ashath al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr, tt), 220; Abu ‘Abdur Rahman Ahmad bin Shu‘aib al-Nasai, Sunan al-Nasai bi Sharh al-Suyuti wa Hashiyati al-Sanadi, Juz II (Bairut: Dar al-Ma‘rifah, 1420 H), 434.
[37]Muhammad bin Futuh al-Hamidi, al-Jam‘u baina al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim, Juz II (Bairut: Dar al-Nashr, 2002), 368.
[38]Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar al-Salami al-Naisaburi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Juz IV (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1970), 146.
[39]Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz VII (Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), 285.
[40]al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih… Juz I, 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar