HOME

10 Maret, 2022

Unsur-Unsur Sanad Dan Matan


Setelah membaca sebuah hadis, misalnya;

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه (أخرَجَه البُخَارِي)[1] 

Maka yang disebut sanad dari hadis tersebut ialah

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ.

Dan bagian yang disebut Matan adalah

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه

[1] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ju‘fy al-Bukhariyi, al-Jami’ al-Sahih, Nuskhah al-Sultaniyyah Vol I, (Kairo: Maktabah Tabary, 2010), Kitab Bad’i al-Wahyi, Bab 1, no. hadis 1.

Dari contoh hadis diatas, bisa dilihat sanad dan Matan dalam sebuah hadis terdiri atas beberapa unsur :

        a.       Lambang periwayatan

        b.      Perawi dan mukharrij

        c.       Esensi hadis

 

        a.       Lambang Periwayatan

Lambang periwayatan yang dimaksud adalah seperti lafal حَدَّثَنَا,  أخْبَرَنِى  ,   سَمِعْتُ. Yakni, ungkapan-ungkapan yang menjelaskan keterkaitan, berupa pertemuan antar perawi hadis. Dalam meriwayatkan hadis, setiap perawi akan menyandarkan berita yang mereka bawa dengan menggunakan ungkapan seperti diatas, untuk melambangkan bertemu langsung dengan perawi sebelumnya atau tidak.[1] Sehingga, bisa dikatakan lambang periwayatan adalah bentuk pertanggung jawaban seorang perawi ketika meriwayatkan sebuah hadis. Karena perawi diharuskan memakai ungkapan yang mewakili kondisinya ketika menerima hadis tersebut dari pendahulunya.

Dari segi bahasa, ungkapan haddathana, akhbarana, mempunyai arti yang sama: diberitakan kepada kami. Namun, makna implisit dari kedua ungkapan tidak sesederhana itu. Keduanya tidak sama karena mengandung metodologi yang berbeda. Begitu juga dengan ungkapan ‘an, secara kasat mata memang berarti diriwayatkan dari sebelumnya, seperti halnya lafal-lafal yang lain yang mempunyai inti makna tersebut. Akan tetapi dalam disiplin ilmu hadis, tepatnya dalam wacana tahammul wa al-‘ada’, tiap lambang periwayatan mendeksripsikan kondisi yang beraneka ragam. Diantaranya :

1.      حَدَّثَنَا / حَدَّثَنِي / سَمِعْتُ : Ketiga lambang tersebut mendeskripsikan bahwa seorang perawi mendapat hadis dengan metode al-sama‘, dimana ia sebagai murid mendengarkan guru meriwayatkan hadis kepadanya secara langsung. Abdul Majid Khon mengatakan dalam kondisi ini, guru memang terlihat lebih aktif, karena guru membaca, murid tinggal mendengarkan saja. Namun, sebenarnya murid pun dituntut lebih aktif, karena ia dituntut untuk mampu menirukan, menghafal sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Selanjutnya, bila seorang murid ini mendapatkan hadis dari gurunya ketika bersamaan dengan murid-murid yang lain, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنَا. Sedangkan, bila dirinya hanya sendirian ketika itu, maka lafal yang digunakan adalah حَدَّثَنِي. Sanad yang menggunakan salah satu lambang periwayatan diatas di segala tingkatan dihukumi muttasil (bersambung).[2]

2.      أخْبَرَنِى / أخْبَرَنا /قرأتُ عَلَيْهِ : Inilah lambang periwayatan yang menunjukkan metode al-‘ard atau al-qira’ah. Dimana seorang perawi sebagai murid membaca di hadapan gurunya. Guru hanya mengiyakan apabila bacaan hadisnya benar dan menyalahkan jika bacaannya salah lalu membetulkannya. Bisa juga dikatakan metode al-‘ard jika murid lain membaca hadis di hadapan gurunya dan perawi hadis ini turut menyimak dan mendengarkan. Metode ini serupa dengan metode pengajaran di pesantren yang lebih dikenal dengan istilah sorogan. Lambang periwayatan ini juga masih dihukumi muttasil.[3]

3.      أَنْبَأنَا / أَنْبَأنِي : Dipakai untuk mewakili metode al-ijazah. Dalam metode ini guru memberikan izin kepada muridnya. Murid diberi hak untuk meriwayatkan hadis yang terdapat dalam kitab gurunya. Dengan demikian hadis yang disampaikan lewat metode ini ialah hadis-hadis yang telah terhimpun dalam naskah atau kitab. Disamping itu, guru pun dapat memberikan ijazah atau perizinan untuk satu kitab saja maupun lebih. Semua kembali kepada kehendak guru, dengan melihat kapabelitas muridnya.  Metode ini resmi teraplikasikan ketika guru mengatakan “ajaztu laka kadza” kepada si murid. Lalu murid menjawabnya dengan ungkapan “qabilna”. Begitulah bentuk ijab kabul dalam metode al-ijazah.[4]  Sehingga, untuk menilai sanad dengan lambang periwayatan ini, pakar ilmu hadis perlu melihat kembali kualitas periwayatan antara guru dengan murid beserta naskah/kitab yang diijazahkan.  

4.      قَالَ لِي  / ذَكَرَ لِي  : Qala liy (ia berkata kepadaku) atau dhakara liy (ia menyebutkan kepadaku) digunakan perawi bila ia berada dalam kondisi al-sama‘ al-mudzakarah. Yakni, guru membacakan hadis dan murid mendengar dalam konteks mengajar, bukan bermaksud berada dalam konteks meriwayatkan. Tentunya kedua belah pihak tidak siap dan optimal bila dianggap sebagai proses periwayatan. Berbeda bila kedua belah pihak berada dalam konteks periwayatan. Pastinya, guru dan murid telah siap untuk memberi atau menyampaikan hadis dan menerimanya. Lambang periwayatan ini masih diperselisihkan para ulama, apakah ia termasuk dihukumi muttasil sebagaimana al-sama‘.

Sebagian ulama berpendapat bahwa lafal qala liy menunjukkan metode al-sama‘ bila tidak mengandung unsur-unsur tadlis (pemalsuan). Bahkan dalam muqaddimah Sahih Bukhari yang diambil dari Ibn Mulqan dipaparkan bahwa lambang periwayatan diatas dalam kitab Sahih berarti muttasil meskipun Abu Ja‘far bin Hamdan mengatakan al-ard atau munawalah.[5] Munawalah adalah metode dimana guru memberikan kitab kepada muridnya sambil berkata “inilah hadisku atau riwayatku dari Fulan”. Dan biasanya metode ini dibarengi dengan metode al-ijazah. Begitu juga Ibn Mundih yang menyatakan lafal tersebut menunjukkan al-ijazah.[6]  

5.      عَنْ : Hadis yang terdapat lambang periwayatan ‘an disebut hadis mu‘an‘an. Biasanya dalam suatu sanad disebutkan dalam bentuk "عَنْ فُلاَن" . Ada juga hadis mu’an’an yang mempunyai hukum serupa dengan mu‘an ‘an . Biasanya disebutkan dalam sanad menggunakan ungkapan " أَنَّ فُلاَن ". Lambang periwayatan ini dapat dinilai muttasil, bahwa perawi mendengar langsung dari pendahulunya (metode al-sama‘) dengan beberapa syarat. Pertama, perawi tidak boleh seorang pemalsu hadis (mudallis). Kedua, perawi yang meriwayatkan hadis haruslah hidup sezaman dengan perawi sebelumnya. Sehingga, bisa dipastikan pertemuan diantara kedua belah pihak.[7]

Nuruddin ‘Itr dalam Sharh Nukhbah Ibn Hajar berkomentar, kita dapat memastikan pertemuan antar  perawi satu dengan sebelumnya dengan menelisik kedua biografi perawi dan mendapati bahwa keduanya pernah menempati daerah tertentu. Sehingga, tidak cukup dengan alas an hidup sezaman semata sebagai dasar dari adanya pertemuan. Selanjutnya, agar benar-benar mengetahui kedua perawi ini bertemu atau tidak, kita bisa bersandar pada beberapa hal. Diantaranya, pengakuan perawi sendiri bahwa dirinya telah bertemu syaikh perawi sebelumnya. Atau penegasan dari salah seorang ulama hadis bahwa si perawi memang telah bertemu dengan perawi sebelumnya.

Sementara para ulama berselisih pendapat dalam masalah menentukan bersambungnya sanad dengan alasan hidup sezaman dan kemungkinan adanya pertemuan asalkan perawi bukan mudallis. Ali bin al-Madiny menolak perspektif tersebut beserta beberapa muhadisin yang lain. Sedangkan, perspektif Muslim sejalan dengan pendapat di atas. Karena perawi yang bukan mudallis tidak akan meriwayatkan apapun dari orang yang hidup sezamannya menggunakan lafal ‘an, bila ia belum bertemu dengan orang tersebut. Sehingga, Muslim sepakat bilamana perawi yang menggunakan lafal ‘an kemungkinan memang telah pernah bertemu dengan perawi sebelumnya yang hidup sezaman dengan dirinya, walaupun ia tidak pernah menyebutkan pertemuan tersebut.

Nuruddin ‘itr pun juga menyalahkan persepsi orang-orang masa kini yang menganggap bahwa perawi yang hidup sezaman dengan perawi sebelumnya tidak perlu mendengarkan langsung darinya bila ingin menggunakan lafal ‘an. Hidup sezaman semata sudah cukup menjadi sandaran. Nuruddin membantah hal tersebut, karena yang dibahas Muslim bukan perlu tidaknya pertemuan. Namun ada tidaknya kemungkinan pertemuan antar kedua belah pihak, melihat perawi yang bukan mudallis tidak meriwayatkan dengan lafal ‘an untuk orang belum pernah ia temui meskipun hidup sezaman.

Sementara Ibn Hajar sendiri lebih cenderung kepada kelompok pertama yang lebih memperketat syarat-syarat hadis mu‘an‘an yang dihukumi muttasil.  Adapula sebagian pakar hadis seperti Bukhari, Ali bin al-Madiniy yang mengharuskan adanya kepastian pertemuan antara perawi dengan shaikhnya ataupun dengan perawi tingkat sebelumnya, meskipun pertemuan mereka hanya sekali.[8]

Pernyataan Ibn Hajar yang mencantumkan Bukhari termasuk dalam kelompok Ali bin al-Madiny perlu ditelaah lebih lanjut menurut Nuruddin Itr, karena Muslim adalah murid Bukhari yang sangat terkenal dengan pribadinya yang amat sangat hormat sekali  kepada sang guru. Sehingga tidak pantas dan sesuai kiranya bila pendapat Bukhari ini menjadi lawan dan pembantai utama pendapat muridnya. Namun, penulis melihat ketidakcocokan atau perbedaan pendapat antara guru dan murid bisa saja terjadi. Buktinya, dalam mencanangkan klasifikasi perawi dalam sanad untuk kedua masterpiece mereka, mereka mempunyai klasifikasi yang berbeda-beda.

Para perawi yang berada di kategori yang kedua, yakni orang-orang yang mempunyai sifat amanah serta kecermatan dan kecerdasan tinggi namun tak terlalu sering menemani al-Zuhri dibandingkan dengan kategori pertama, seperti ‘Auza‘i dan Laith bin Sa‘ad, riwayat orang-orang tersebut tidak banyak diambil oleh Bukhari, kalaupun dirinya mengambil hadis dari kategori kedua ini, ia tidak mengambil hadis tersebut sebagai hadis pokok kitab sahihnya. Berbeda dengan Muslim yang masih menjadikan orang-orang tersebut sandaran dalam periwayatan hadis di kitab sahihnya. Tidak hanya sekedar hidup sezaman. Hal tersebut dicanangkan supaya keselamatan dan keamanan hadis lebih terjaga dari hadis mursal khafiy.  Namun bila kedua syarat diatas tidak mampu dipenuhi maka hadis mu‘an‘an mau tidak mau dihukumi mursal atau munqati‘.[9]

Ibn Hajar sendiri membuat tingkatan lambang periwayatan dilihat dari sisi kualitas metode periwayatannya. Tingkatannya dimulai dari yang tertinggi.

1.      حَدَّثَنَا , حَدَّثَنِي , سَمِعْتُ  [10]

2.      أخْبَرَنِى , قرأتُ عَلَيْه  [11]

3.      قُرِئ عَلَيه وَ أَنَا أَسْمَع  [12]

4.      أَنْبَأَنِي [13]

5.      نَاوَلَني [14]

6.      شَافهَنِي أي بالإِجَازَة [15]

7.      كَتَبَ إلَيَّ أي بالإِجَازَة [16]

8.      عَن, قَالَ, رَوى ,ذَكَرَ [17]

Secara bahasa حَدَّثَنِي dan أخْبَرَنِى mengandung arti yang tidak jauh berbeda. Keduanya berarti memberitakan kepadaku. Namun ketika para ulama di kemudian hari menjadikan lafal-lafal tersebut sebagai istilah tertentu dalam disiplin ilmu hadis, maka lafal tersebut lebih dikenal dengan artian istilah yang sudah ditentukan oleh para ulama ketimbang dipahami secara hakikat bahasa. Sementara yang perlu diketahui bahwa istilah haddathana hanya sering dipakai dan terkenal bagi ulama-ulama timur. Sedangkan mayoritas ulama-ulama barat belum menggunakan istilah haddathana, mereka masih menganggap kedua lafal itu tidak ada bedanya. Dengan demikian penulis merasa kurang tepat kiranya bila kita langsung mengambil kesimpulan bahwa sanad yang memakai lambang periwayatan akhbarana nilainya lebih rendah dibanding sanad haddathana, baiknya ditelaah lebih lanjut, apakah para perawinya termasuk ulama barat atau timur, menimbang kenyataan yang terjadi dahulu kala dimana muhadisin yang bermukim didaerah barat Islam belum membedakan kedua istilah tersebut.[18]

Kemudian, apabila perawi menggunakan jamak dalam lambang periwayatannya, yakni berakhiran na seperti haddathana, akhbarana, anba’ana mengartikan bahwa dalam proses penerimaan riwayat hadis, perawi bersama para perawi yang lain, ia tidak sendirian. Namun, kemungkinan pula ia berarti sendirian bila ia membahasakan dirinya dengan kami.[19] Ada beberapa orang di berbagai daerah yang mempunyai kebiasaan menyebut dirinya dengan kami, bukan saya ketika berbicara. Hal itu dilakukan oleh sebagian orang yang menganggap ungkapan kami menandakan lebih sopan. Sehingga tak menutup kemungkinan bila maksud dari lambang periwayatan tersebut adalah hanya perawi itu sendiri meskipun menggunakan kata jamak.

Begitupula dengan lafal anba’ana wa akhbarana, menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu) tak ada beda antar keduanya. Namun menurut ulama muta’akhirin (masa kini) anba’ana mempunyai arti seperti ‘an yang didapat melalui metode ijazah. Anba’ana pun dipakai untuk lafal yang mewakili metode ijazah.[20]

Selanjutnya, lambang periwayatan yang menggunakan ungkapan aktif seperti قَالَ, أَمَرَ, ذَكَرَ (dia berkata, dia perintah, dia menyebutkan) secara garis besar bernilai sahih bila berada dalam kedua kitab Sahih, seperti yang dijelaskan Mahmud Tahhan. Sedangkan ungkapan pasif seperti يُرْوى, رُوِيَ, ذُكِرَ, يُذْكَر, يُحْكَى, حُكِيَ ( diriwayatkan, disebutkan, diceritakan) tidak bisa dihukumi sahih sekalipun berada dalam kedua kitab Sahih, dan kenyataannya memang tidak ada dalam kedua buku tersebut.[21]

Penulis kurang sepakat bila dikatakan tidak ada lambang periwayatan dengan ungkapan pasif di kedua kitab Sahih. Sebab kenyataannya ungkapan pasif terdapat dalam hadis mu‘allaq di kitab Sahih Bukhary, dan hal itu memang tertulis dalam mukadimah. Hanya saja mereka menyebutnya dengan sighah al-tamrid. Sebagaimana yang telah diketahui, hadis-hadis yang menggunakan sighah tersebut ada yang bernilai sahih, adapula yang daif. Namun, hadis-hadis di dalam Sahih Bukhary yang menggunakan ungkapan pasif  bersifat sahih menurut syarat Bukhari, meskipun kuantitasnya hanya sedikit. Bukhari menggunakan lambang periwayatan tersebut karena ia meriwayatkan secara maknawi atau ia bermaksud untuk merangkumnya.


        b.      Perawi dan mukharrij

Perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayah, yang berarti menukilkan atau memindahkan. Secara terminologis sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis lengkap dengan sanadnya, yang ia dengar dari gurunya dan ia sampaikan kepada muridnya.[22]

Sedangkan Abdul Majid Khon mendefinisikan perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis atau menyampaikan periwayatan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang terhimpun ke dalam buku hadis. Kiranya bagi penulis definisi yang ditawarkan Abdul Majid lebih tepat untuk mukharrij, seperti Bukhari dan Muslim. Mengingat perawi menurut ulama bermacam-macam tipe dan tingkatan. Bila perawi mencapai tingkat musnid, berarti ia perawi yang hanya sekedar meriwayatkan. Bila muhaddith, tingkatnya lebih tinggi dari musnid. Berarti ia juga hafal Matan hadis dan mengetahui kapabelitas masing-masing orang di dalam sanad. Bahkan Ibn Sam‘ani mengatakan bahwa perawi adalah orang yang tidak memahami Matan juga  sanad. Hanya sekedar meriwayatkan.

 Terlebih Utang Ranu juga menjelaskan bahwa terdapat dua perbedaan mengenai istilah rawi, ada sebagian yang memandang perawi ini sebagai orang-orang yang disebutkan dalam sanad sebelum Matan, sehingga tak heran bila rawi dianggap orang yang menerima dan menyampaikan hadis saja sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Hadi dan ada juga yang memahami perawi dalam konteks pembukuan hadis, sehingga sesorang disebut rawi apabila menerima hadis dan menghimpunnya dalam suatu kitab, persis dengan mudawwin (penyusun dan penghimpun hadis). Rawi dalam konteks ini disebut pula mudawwin atau mukharrij.

مَنْ ينقل الحديث بإِسْنَادِهِ يَسْمَعُهُ مِنْ شُيُوْخِهِ وَيُحَدِّثُ بِهِ تَلاَمِذِهِ [23]

Sementara Nuruddin ‘Itr menjelaskan definisi rawi adalah orang yang menerima hadis dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya (dengan salah satu lambang periwayatan).[24]

Sedangkan mukharrij berasal dari kata takhrij, istikhraj dan ikhraj yang berarti menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Realitanya, pekerjaan seorang mukharrij memang mengeluarkan hadis (menyebut hadis) dengan sanadnya sendiri dari dalam kitab-kitab himpunan hadis. al-Muhdi memaparkan definisi mukharrij ialah penyebut periwayatan seperti Bukhari.[25]

المخرج هُو ذَاكِرُ الرِّوايَة كالبُخَارِى       

Bisa dilihat dalam contoh hadis tentang niat, di akhir hadis tertulis أخرَجَه البُخَارِي yang menandakan mukharrij dalam hadis tersebut adalah Bukhari. Terkadang juga memakai lafal رَوَاهُ, kandungan artinya tetap sama dengan lafal أخرَجَه.[26]

Kembali lagi kepada perawi, yang dimaksud dengan perawi dalam sebuah hadis di sini adalah orang-orang yang berada dalam sanad, orang-orang yang memakai lambang periwayatan dalam sanad (rijal al-sanad). al-rawi atau perawi adalah orang yang hanya sekedar meriwayatkan. Ia tidak mengetahui tentang seluk beluk ilmu riwayah maupun dirayah, tidak tahu tentang ilmu jarh dan ta‘dil, apalagi tentang nilai sahih dan lemahnya hadis. Yang dilakukannya hanyalah menyampaikan hadis semata dari satu daerah ke daerah lain, dari satu generasike generasi yang lain. Ia hanya sebatas mendengar dan menerima hadis lalu meriwayatkannya.

Disamping itu, rawi juga mempunyai kriteria-kriteria khusus, tidak sembarang orang bisa menjadi rawi. Kriteria tersebut terhimpun dalam dua poin, kesalehan dan kecerdasan (kecermatan dan hafalan yang kuat) yang dalam bahasa disiplin ilmu hadis disebut ‘adalah dan dabit. ‘adalah yakni suatu sifat dan watak yang sangat kuat yang mampu mengarahkan pribadinya pada ketakwaan, menjauhi segala sesuatu yang mungkar dan segala sesuatu yang dapat merusak harga dirinya (muru’ah). Poin ‘adalah mencakup beberapa faktor, meliputi: Islam, balig, berakal sehat dan takwa.[27]

Sementara dabit ialah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalannya bila dirinya meriwayatkan hadis berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila ia meriwayatkan berdasarkan tulisannya. Sementara, bila ia meriwayatkan hadis secara maknawi maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[28]

Contoh perawi sangat banyak sekali. Di antaranya Habib bin ‘Abdullah Al-Azadi Al-Yuhmidi, Abu Dawud meriwayatkan satu hadis darinya di bab Saum (puasa). Riwayatnya tidak ditemukan dalam kutub al-sittah kecuali satu hadis tersebut. Abu Hatim menyebutnya majhul. Kedua, ‘Uthman bin Harb Al-Bahily, dirinya pernah meriwayatkan beberapa riwayat yang tidak terlalu banyak dari para tabiin.[29]Ada beberapa klasifikasi bagi para perawi hadis dan ulamanya. Di antaranya:

1.      Al-Musnid, Al-Talib dan Al-Mubtadi’

Ini adalah gelar untuk ulama hadis, tingkatannya sederajat dengan Al-Rawi, hanya sekedar meriwayatkan.

2.      Al-Muhaddith

Seorang yang menghafal banyak hadis, dan memahami sepenuhnya tentang sanad-sanad yang ada didalamnya. Lebih jelasnya, seseorang itu haruslah hafal hadis-hadis yang ada dalam kutub al-sittah, dan lainnya seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Ma‘ajim Tabrani, Sunan Baihaqi, serta mengetahui para perawi berikut sanad yang ada di dalamnya. Dengan kata lain ia harus menghafal sekitar 20.000 hadis lengkap dengan sanad dan memahami kapabelitas perawinya. Contohnya Abu Bakar bin Muhammad bin Ismail al-Muhandis (w. 385) berasal dari Mesir dan Abu al-Husain Ahmad bin Hamzah bin Abi al-Hasan Ali al-Muwaziny al-Sulamy al-Dimashqi (w. 585) seorang muhaddith dari Damaskus beserta Muhammad Murtada al-Zabidy (penyusun Sharh Ihya’ Ulum Al-Din).

3.      Al-Hafiz

Ulama hadis terdahulu menyamakan antara al-hafiz dengan al-muhaddith, sementara ulama hadis akhir-akhir masa ini membedakannya. Gelar ini diberikan kepada ahli hadis yang mampu menghafal sebagian besar hadis nabawi dan mengetahui penuh tentang ilmu sanadnya beserta Matan hadis. Menurut sebagian pendapat, ia harus menghafal 100.000 -300.000 hadis. Al-Hafiz berada ditingkat yang lebih tinggi dari gelar kedua. Contohnya seperti Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463) dan Ibn Hajar al-Asqalani (w.852).

4.      Al-Hujjah

Gelar ini diberikan kepada ahli hadis yang hafalan hadisnya dan kedalaman ilmunya dalam memahami sanad dan Matan hadis bisa dijadikan hujah, pedoman dan referensi bagi penghafal yang lain. Sebagian pendapat mengharuskan ahli hadis tersebut harus menghafal 300.000 hadis. Contohnya: al-Hasan al-Basri (w. 110), ‘Urwah bin Zubair ( w. 94), Qatadah (w. 118) dan ‘Amru bin Dinar (w. 126). ‘Abdul Mahdi menjelaskan bahwa ‘Amru bin Dinar termasuk golongan Al-Hujjah, sementara Abdul Majid Khon memasukkannya dalam kategori Al-Hakim.

Penulis juga masih belum mengetahui apa dasar keduanya dalam  mengklafisikan ‘Amru bin Dinar sebagai gelar keempat atau kelima. Hanya saja dalam Tahdzib Al-Tahdzib, banyak muhadisin yang memuji kualitasnya, banyak yang menyebutnya thiqah, bahkan thiqah thabat. Dinilai lebih baik daripada Qatadah, dan lebih alim dan fakih daripada Mujahid dan ‘Ata’. Sehingga penulis pribadi sedikit lebih cenderung kepada Abdul Majid Khon, sebab telah dikatakan ‘Amru bin Dinar lebih tinggi kualitasnya dibandingkan Qatadah, sayangnya penulis belum menemukan jumlah hafalan hadis dari yang bersangkutan apakah memenuhi kriteria gelar Al-Hakim atau tidak .[30]

5.      Al-Hakim

Sebagian ulama hadis tidak menganggapnya sebagai gelar muhadisin, gelar ini sama saja dengan al-Hujjah. Namun, yang lain berpendapat Al-Hakim masih termasuk gelar unttuk muhadisin, dan mereka menganggap gelar ini berada diantara al-Hujjah dan Amirul Mukminin. Mereka mendefinisikannya sebagai ahli hadis yang mengetahui semua hadis, mengetahui tentang semua hal yang berhubungan dengan sanad-sanadnya berikut Matan. Juga menghafal sekitar 800.000 hadis. Seperti Ibn Jarir al-Tabari (w.310) dan Ibn al-Bayyi‘(w. 405).

6.      Amirul Mukminin

Merupakan gelar puncak bagi ahli hadis yang ilmunya dirayah dan riwayatnya melebihi dari kualitas semua gelar sebelumnya di setiap masa. Para ulama mutaqaddimin yang menerima gelar ini adalah Ibn Shihab al-Zuhri (w. 124), Sufyan al-Thauri (w. 161), Bukhari (w. 256), Malik bin Anas (w. 179).[31]  

Dalam sanad juga ada istilah lainnya, seperti awal sanad, akhir sanad, awal rawi dan akhir rawi. Semuanya memiliki maksud yang berlawanan. Awal sanad berarti akhir rawi. Begitupula sebaliknya. Bila menilik kembali pada contoh hadis tentang niat diatas kita dapatkan silsilah sanad sebagai berikut:

Al-Humaidy ‘Abdullah bin Al-Zubair            : awal sanad dan akhir rawi

Sufyan                                                             : awsat sanad (sanad tengah)

                                                                          dan awsat rawi (rawi tengah)

Yahya bin Sa‘id al-Ansary                              : awsat sanad dan awsat rawi

 

Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy                 : awsat sanad dan awsat rawi

‘Alqamah bin Waqas al-Laithi                        : awsat sanad dan awsat rawi

‘Umar bin Khattab                                          : akhir sanad dan awal rawi

Perhitungan rawi dimulai dari siapa yang menerima hadis tersebut pertama kali dari Rasulullah SAW. Sedangkan perhitungan sanad dilihat dari siapa yang jaraknya paling dekat dari mukharrij atau siapa yang pertama kali disebut ketika sanad hadis dibaca. Kemudian sebutan awsat entah sanad maupun rawi diperuntukkan bagi semua orang yang urutan namanya terletak diantara awal dan akhir, sanad maupun rawi.[32]

Dalam sanad juga dikenal istilah sanad ‘aly (tinggi) dan sanad nazil (rendah). Sanad aly merupakan sanad yang jumlah perawinya sedikit dan bersambung.[33]  Disebut dengan derajat aly karena sedikitnya kuantitas perawi membuat kemungkinan adanya kecacatan dalam hadisyang diriwayatkan sangat kecil sekali. Ketinggian sanad merupakan salah satu faktor kekuatan sanad. al-Hafiz Abu al-Fadl al-Maqdisi mengatakan ulama hadis dan ahli riwayat sepakat untuk mencari dan memuji ketinggian sanad, karena apabila mereka hanya puas dengan sanad yang rendah (banyak untaian perawinya) niscaya mereka tidak merasa perlu mengadakan ekspedisi guna mencari hadis dari guru yang lebih senior. [34]

Sementara telah diketahui bersama bahwa ulama terdahulu sangat gemar melakukan ekspedisi hadis, bila mereka mendapat informasi bahwa hadis yang mereka dapatkan dari seorang muhadis A berasal dari gurunya yang masih hidup sezaman dengan mereka. Semua ini dilakukan kecintaan mereka terhadap ketinggian sanad, bahkan Ahmad bin Hanbal menceritakan bahwa hal tersebut merupakan sunah orang-orang terdahulu.[35]

Dalam sanad aly juga ada istilah thulathiyyat. Yakni, antara mukharrij dengan Rasulullah SAW hanya tiga perawi saja. Bukhari dalam masterpiecenya memiliki beberapa thulathiyyat. sanad thulathiyyatnya terhitung ada sekitar 5 sanad. Diantaranya riwayat al-Makki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-Akwa’ RA. Dan riwayat Muhammad bin al-Ansari dari Hamid dari Anas RA.[36] Tidak hanya Bukhari yang memiliki thulathiyyat, Ahmad bin Hanbal juga mempunyai thulathiyyat dalam musnadnya. Salah satunya riwayat dari Sufyan dari ‘Amr dari Jabir RA.   

Istilah yang kedua adalah sanad nazil (rendah). Ialah antonim dari sanad ‘aly, yaitu sanad yang jaraknya jauh. Banyak muhadisin yang tidak menyukai sanad ini dibanding ‘aly. Ibn Ma‘in berkata sanad nazil itu bagaikan cacar diwajah. Bahkan Ibn Al-Madiny terang-terangan mengatakan bahwa kerendahan sanad adalah sebuah kecelakaan. Namun muhadisin tidak serta merta menganggap semua sanad ‘aly hadisnya sahih dan sanad nazil hadisnya daif. Melainkan semua kembali pada kualitas pribadi para perawinya. [37]

Sesuai dengan yang Ibn al-Mubarak katakan, kualitas suatu hadis itu tidak ditentukan oleh dekatnya sanad, melainkan ditentukan oleh ke-tsiqat-an (tepercaya) para rawinya. al-Hafiz al-Silafi menambahkan, yang paling menentukan adalah pengambilan dari para ulama. maka hadis nazil dari para ulama itu lebih utama daripada hadis ‘aly dari orang-orang bodoh. Demikian menurut para ahli riwayat. [38]


        c.       Esensi hadis (Matan)

Esensi hadis atau Matan merupakan salah satu dari unsur hadis itu sendiri. Lalu ketika kita menilik unsur yang terdapat dalam Matan hadis, akan kita temukan dua unsur berbeda, atau lebih tepatnya dua bentuk model lafal yang berbeda. Pertama, lafal yang tertera di Matan merupakan sebenar-benarnya lafal yang diucapkan Rasulullah SAW. Dalam hal ini mengartikan bahwa Matan hadis diriwayatkan lafdiyah, sesuai kalam Nabi SAW. Kedua, lafal yang tertera di Matan bukan lafal yang sesuai dengan kalam Nabi SAW, melainkan lafal yang mengandung makna yang sama dengan apa yang diucapkan Nabi SAW. Dalam konteks ini berarti Matan hadis diriwayatkan rawi secara maknawi. Dengan demikian, Matan memiliki dua unsur : lafdiyah dan maknawi.

Contoh dari Matan lafdiyah bisa kita lihat hadis di atas tentang niat. Selanjutnya, di bawah ini merupakan contoh dari Matan maknawi.

حَدّثَنَا عَمْرو بن عَلِي حَدّثَنَا يَحيَى حَدّثَنَا هِشَام حَدّثَنَا مُحَمَّد عَن أبِي هُرَيْرة رضي الله عنه قال نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا  [39]

Tentang periwayatan secara maknawi, terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Akan tetapi telah disepakati bahwa periwayatan secara maknawi diterima validitasnya oleh ulama, asalkan perawi tidak mengurangi atau menambah isi hadis, dan memahami betul esensi dari hadis yang bersangkutan serta mampu mengutarakannya dengan kata-kata yang tepat.[40] Dan periwayatan maknawi ini diperbolehkan bila rawi khawatir tidak kuat atau tidak tepat dengan hafalannya sendiri waktu itu, sedang ia berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan hadis tersebut.[41] Menurut Abi al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy sebaiknya perawi yang meriwayatkan secara maknawi menambahkan lafal كما قال atau نحوه atau شبهه atau ما أشبه هذا .[42]

Bila Matan dilihat dari sumber berita, maka ia mengandung 4 unsur atau 4 macam: Pertama, hadis qudsi yang sumber beritanya dinisbatkan pada Allah SWT meskipun lafalnya dari Nabi SAW.[43] Kedua, hadis nabawi atau yang seringkali disebut marfu’ dalam istilah ilmu hadis, yaitu hadis yang sumber beritanya dinisbatkan kepada nabi Muhammad SAW. Ketiga, hadis mauquf yang rawinya berujung pada sahabat dan disandarkan pula Matan hadis padanya. Yang terakhir, hadis maqtu‘ yang dinisbatkan kepada tabiin. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan lebih jelas lagi dipembahasan selanjutnya.

Baca artikel tentang Hadis lainya :

DAFTAR PUSTAKA

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. tahkik Ibrahim al-Zaibaq dan ‘A<dil Murshid. Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th.

Bakkar (al), ‘Abd al-Qadir Mahmud. Qawa’id al-Tahdith. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‘fy. al-Jami’ al-Sahih. Kairo: Maktabah Tabary, 2010.

Doi, ‘Abdur Rahman I. Introduction to the Hadith. Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991.

Farisy (al),al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali. Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Hadi (al), ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd. “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin”, Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith al-Sharif. Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.

Idri. “Kriteria Hadis Mawdu’ oleh Ibn Al-Jawzi - Kajian terhadap Kitab Al-Mawdu’at”. Disertasi-- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2004.

Ismail,M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa,1991.

‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. terj. Endang Soetari. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media, 1996.

Sha’ban, ‘Abdullah. al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin. Kairo: Dar al-Salam, 2008.

Suyuti (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawi fiSharh Taqrib al-Nawawy. tahkik Ahmad Ma’bad ‘Abdul Karim dan Tariq bin ‘Aud. Riyadh : Dar al-‘A<simah, 2003.

Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah Hadith. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H.

Tahun, Ratibah Ibrahim Khitab. Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith. Kairo: Azhar University, 2009.

Tibby (al), al-Husain bin Abdullah. al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith. tahkik Subha al-Sahira’i. Beirut: ‘A<lam al-Kitab, 1985.

Zabidy (al), Muhammad Murtada al-Husaini. Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus. tahkik ‘Abd al-Sattar Ahmad Farraj. Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965.


[1] Khon, Ulumul Hadis, 110.

[2] Ibid., 110.

[3] Ibid., 111.

[4]Abdul Majid Khon berpendapat tampaknya ijazah dalam metode ini hanya sebagai tali pengikat semata antara guru dan murid. Lihat. Khon, Ulumul Hadis, 111.

[5]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 123.

[6] Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  25. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 111-112.

[7]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 125-126.

[8]al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 126. Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  21.

[9] Lihat al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 125.

[10] (Memberitakan kepada kami, memberitakan kepadaku, aku telah mendengar)

[11] (Telah kubacakan kepadanya, mengabariku)

[12] (Dibacakan kepadanya dan aku turut mendengarkan)

[13] (Memberitakan kepadaku)

[14] (Memberikan kepadaku)

[15] (Berbicara kepadaku yakni dengan metode al-ijazah)

[16] (Menuliskan kepadaku atau mengirimiku tulisan/surat dengan metode al-ijazah)

[17] (Telah menyebutkan, telah meriwayatkan, telah berkata,  diriwayatkan dari)

[18] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 124.

[19] Ibid.

[20] Ibid., 125.

[21] Khon, Ulumul Hadis, 112. Bandingkan dengan Bukhary, al-Jami‘ al-Sahih, Vol I,  27.

[22]Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1, 43-44. Lihat juga ‘Abd al-Mahdi ‘Abd al-Qadir ‘Abd al-Hadi, “al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin” dalam Mausu‘ah ‘Ulumul Hadith Al-Sharif, (Kairo: Majlis A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009), 146. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 114. Bandingkan juga dengan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 95.

[23]‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah li al-Ruwah wa al-Muhaddithin, 146.

[24] Nuruddin Itr mengutip definisi tersebut dari kitab al-Manhaj al-Hadith karya Muhammad Al-Simahi. Lihat Nuruddin ‘Itr, Ulum Al-Hadits, terj. Endang Soetari (Bandung:Remaja Rosdakarya,1995)  61.

[25] Khon, Ulumul Hadis, 114.

[26] Ibid.

[27] ‘Abdur Rahman I. Doi mengatakan semua kriteria rawi telah terangkum di Al-Risalah karya Imam Shafi‘i, Lihat lebih lanjut ‘Abdur Rahman I. Doi, Introduction to the Hadith, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 1991),16. Bandingkan dengan‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol I, 64-66. Bandingkan juga dengan Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 13-16.

[28] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol I, 66.

[29] ‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah, 146-147.

[30]‘Abd al-Hadi, al-Alqab al-‘Ilmiyah, 149. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116. Lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Ed. Ibrahim al-Zaibaq dan ‘Adil Murshid, Vol.III (Kairo: Muassasah al-Risalah, t.th), 268-269.

[31] Terdapat perbedaan kembali dimana ‘Abdul Hadi menempatkan Imam Malik di kategori Amirul Mukminin, sedangkan Abdul Majid mencantumkannya di Al-Hakim. Imam Syafi‘i pernah mengatakan bila menyebutkan para ulama, maka Imam Malik lah bintangnya. Tak ayal bila ‘Abdul Hadi menempatkannya di kategori Amirul Mukminin. Lihat Lihat ‘Abdul Hadi, Al-Alqab Al-‘Ilmiyah, 162. Bandingkan dengan Khon, Ulumul Hadis, 116.

[32] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa,1991), 18.

[33] Secara terminologis, sanad aly adalah sebuah sanad yang sedikit jumlah rawinya dan bersambung.  

الإِسْنَاد العَالِي هُو الذى قَلَّ عَدَد رِجَالُهُ مَعَ الاتصَال  

Lihat ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol II, 139.

[34] ‘Itr, Ulum Al-Hadits, Vol II, 140.

[35] Ibid.

[36] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, 22-23. Bandingkan dengan ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 141.

[37] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol II, 144.

[38] Ibid., 145.

[39] Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, Kitab al-Sahwi, Bab al-Khasr fi al-Salah, no. 1220.

[40] ‘Itr, Ulum al-Hadits, Vol I, 64-66.

[41] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2008), 85.

[42] al-Faid Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Farisy, Jawahir al-Usul fi ‘Ilmi Hadithi al-Rasul, (Beirut: Dar l-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 121.

[43] Ismail, Pengantar Ilmu, 160, 164, dan 167.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...