Menjelang
usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari
kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara
Mekkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur.
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya,
menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal dara. Bacalah, dan Tuhanm itu Maha Mulia, dia telah mengajar dengan
Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui (QS. al-‘Alaq:
1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah di pilih Tuhan
sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru
manusia kepada suatu agama.[1]
Setelah
wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama,
sementara Nabi Muhammad selalu menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’.
Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu
itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang
yang berselimut, bangun dan beri ingatlah Hendaklah engka besarkan Tuhanmu dan
bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa dan janganlah engkau
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah (QS.
Al-Muddathtsir :1-7).[2]
Dengan
turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau
melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan
rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya
adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah,
kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi T{alib yang baru berumur 10 tahun.
Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak
yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya
Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. sebagai
seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa
orang dekatnya, seperti Uthman bin Affan, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad
bin Abi Waqqas, dan T{alhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada
Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah diam-diam ini belasan
orang telah memeluk agama Islam[3].
Langkah
dakwah seterusnya yang diambil Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum.
Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan
terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia
menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu,
ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekkah, dari berbagai negeri untuk
mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalakan tanpa mengenal lelah. Dengan
usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat jumlah pengikut nabi
yang tadinya hanya belasa orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri
dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah namun semangat mereka sungguh
membaja.[4]
Setelah
dakwah terang-terangan itu. Pemimpin Quraish mulai menghalangi dakwah Rasul. Semakin
bertambahnya jumlah pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum
Quraish. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraish
menentang seruan Islam itu[5](1)
mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Mutalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan. (2) Nabi
Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan hamba sahaya. Hal ini
tidak disetujui oleh bangsawan Quraish. (3) Para pemimpin Quraish tidak dapat
menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. (4) Taqlid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakaar pada bangsa Arab.
(5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[6]
Banyak cara
yang ditempuh para pemimpin Quraish untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad.
Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan
pembelaan Abu T{alib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta Anda memilih
satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda
menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian Anda akan terhindar dari kesulitan
yang tidak di inginkan.” Tampaknya, Abu T{alib cukup terpengaruh dengan ancaman
tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi
menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan
mengucilkan saya.” Abu T{alib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya
itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.[7]
Merasa
gagal dengan cara ini, kaum Quraish kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan
membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Untuk
mempertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu T{alib:
“Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk
kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu T{alib.[8]
Untuk
kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka Mengutus Utbah
bin Rabiah, Seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta,
wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua
tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biar pun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan
berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”[9]
Setelah
cara-cara diplomatik dan bujuk rayu dilakukan oleh kaum Quraish gagal,
tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan
semakin ditingkatkan. Tindakan kekesaras itu lebih intensif dilaksanakan
setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah
ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta,
sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda
dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para
pemimpin Quraish juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa keluarganya
yang masuk Islam sampai dia murtad kembali[10]
Kekejaman
yang dilakukan oleh penduduk Mekkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi
untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekkah. Pada tahun lima
kerasulannya, Nabi menetapkan Habshah (Ethiopia) sebagai negeri tempat
pengungsian, karena Negus (Raja)
negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang
pria dan empat orang wanita. Diantaranya Uthman bin Affan beserta Isrinya
Rukayah puteri Rasulullah, Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian,
menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far
bin Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraish untuk menghalangi hijrah ke Habasyah
ini, termasuk membujuk Negus agar
menolak kehadira umat Islam di sana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka
mempermalukan umat Islam, Semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan
ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraish masuk Islam, Hamzah
dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat
Islam semakin kuat.[11]
Menguatnya
posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraish. Mereka menempuh cara
baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani
Hashim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh
Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hashim terlebih dahulu secara
keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala
bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekkah pun diperenankan
melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hashim. Persetujuan dibuat dalam
bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat
boikot tersebut Bani Hashim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan
yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaa itu, Bani Hashim akhirnya
pindah ke suatu lembah diluar kota Mekkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai
pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsng selama tiga tahun. Ini merupakan
tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.[12]
Pemboikotan
itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraish menyadari bahwa apa yang
telah mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot
dihentikan, Bani Hashim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah
masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu T{alib, Paman Nabi yang merupakan
pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu,
Khadijah, Isteri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun
kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad saw.
Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraish tidak segan-segan lagi
melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah
demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun di
T{aif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian
kepala dan badannya.[13]
Untuk
menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng-isra’ dan me-mi’raj-kan
beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj
ini menggemparkan masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahkan
propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia
merupakan ujian keimanan[14]
Setelah
peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah
Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yathrib yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang
terdiri dari suku Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang, pertama, pada tahun kesepuluh kenabian
beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat
dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar
merindukan perdamaian kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan
engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, Kami akan berdakwah
agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan
Islam di Yathrib. Kedua, pada tahun
kedua belas delegasi Yathrib, terdiri dari sepuluh suku Khazraj dan dua orang
suku Aus serta seorang wanita menemui nabi di suatu tempat bernama Aqabah.
Dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian
kembali ke Yathrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair
yang sengaja di utus nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini dinamakan
perjanjian Aqabah yang pertama. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang
datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yathrib, mereka
meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yathrib. Mereka berjanji akan membela
nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan.
Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua.[15]
Setelah
kaum musyrikin Quraish mengetahu adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang
Yathrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal
ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yathrib. Dalam waktu dua
bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan
kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekkah bersama nabi.
Keduanyaa membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yathrib karena
kafir Quraish sudah merencanakan akan membunuhnya.[16]
Dalam perjalanannya ke Yathrib nabi ditemani oleh Abu bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yathrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kulsum bin Hindun. Di halaman rumah ini nabi membangun sebuah masjid. Inilah masjid pertama yang di bangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yathrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang meraka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yathrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yathrib diubah menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinat al-Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[17]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- Letak Geografi Arab Pra-Islam
- Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad
- Pembentukan Negara Madinah
- Khulafaur Rasyidin
- Renaisans Di Eropa
- Kedatangan Barat Di Berbagai Dunia Islam
- Kemunduran Kerajaan Utsmani Dan Ekspansi Barat Ke Timur Tengah
- Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya
- Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan
- Teori Datangnya Islam Ke Indonesia
- Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia
[1] Ibid., 18.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.
[2] Ibid., 19.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 20.
[5]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 20.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.
[7]Ibid., 21.
[8]Ibid., 21.
[9]Ibid., 22.
[10]Ibid., 22.
[11]Ibid., 22.
[12] Ibid., 23.
[13] Ibid., 23.
[14] Ibid., 24.
[15] Ibid., 24.
[16] Ibid., 24-25.
[17] Ibid., 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar