HOME

30 Maret, 2022

Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad

 

Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara Mekkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal dara. Bacalah, dan Tuhanm itu Maha Mulia, dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui (QS. al-‘Alaq: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah di pilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[1]

Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad selalu menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah Hendaklah engka besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah  (QS. Al-Muddathtsir :1-7).[2]

Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi T{alib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang dekatnya, seperti Uthman bin Affan, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan T{alhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah diam-diam ini belasan orang telah memeluk agama Islam[3].

Langkah dakwah seterusnya yang diambil Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalakan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat jumlah pengikut nabi yang tadinya hanya belasa orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah namun semangat mereka sungguh membaja.[4]

Setelah dakwah terang-terangan itu. Pemimpin Quraish mulai menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraish. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraish menentang seruan Islam itu[5](1) mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Mutalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan. (2) Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Quraish. (3) Para pemimpin Quraish tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. (4) Taqlid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakaar pada bangsa Arab. (5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[6]

Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraish untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu T{alib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta Anda memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian Anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak di inginkan.” Tampaknya, Abu T{alib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya.” Abu T{alib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.[7]

Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraish kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Untuk mempertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu T{alib: “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu T{alib.[8]

Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka Mengutus Utbah bin Rabiah, Seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biar pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”[9]

Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu dilakukan oleh kaum Quraish gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekesaras itu lebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraish juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali[10]

Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekkah. Pada tahun lima kerasulannya, Nabi menetapkan Habshah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (Raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita. Diantaranya Uthman bin Affan beserta Isrinya Rukayah puteri Rasulullah, Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian, menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraish untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadira umat Islam di sana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka mempermalukan umat Islam, Semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraish masuk Islam, Hamzah dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.[11]

Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraish. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hashim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hashim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekkah pun diperenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hashim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat boikot tersebut Bani Hashim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaa itu, Bani Hashim akhirnya pindah ke suatu lembah diluar kota Mekkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsng selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.[12]

Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraish menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot dihentikan, Bani Hashim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu T{alib, Paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu, Khadijah, Isteri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraish tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun di T{aif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian kepala dan badannya.[13]

Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng-isra’ dan me-mi’raj-kan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahkan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan[14]

Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk  Yathrib yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang, pertama, pada tahun kesepuluh kenabian beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, Kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan Islam di Yathrib. Kedua, pada tahun kedua belas delegasi Yathrib, terdiri dari sepuluh suku Khazraj dan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui nabi di suatu tempat bernama Aqabah. Dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yathrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja di utus nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini dinamakan perjanjian Aqabah yang pertama. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yathrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yathrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua.[15]

Setelah kaum musyrikin Quraish mengetahu adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yathrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yathrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekkah bersama nabi. Keduanyaa membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yathrib karena kafir Quraish sudah merencanakan akan membunuhnya.[16]

Dalam perjalanannya ke Yathrib nabi ditemani oleh Abu bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yathrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kulsum bin Hindun. Di halaman rumah ini nabi membangun sebuah masjid. Inilah masjid pertama yang di bangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yathrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang meraka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yathrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yathrib diubah menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinat al-Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[17]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Ibid., 18.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.

[2] Ibid., 19.

[3] Ibid.

[4] Ibid., 20.

[5]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 20.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.

[7]Ibid., 21.

[8]Ibid., 21.

[9]Ibid., 22.

[10]Ibid., 22.

[11]Ibid., 22.

[12] Ibid., 23.

[13] Ibid., 23.

[14] Ibid., 24.

[15] Ibid., 24.

[16] Ibid., 24-25.

[17] Ibid., 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...