BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Banyaknya
problematika di masyarakat tentang amaliyah, ini menjadikan perlunya dasar
dasar hukum yang otentik untuk di jadikan sebagai pegangan atau untuk landasan
hukum, karena tidak bisa di pungkiri lagi bahwa problematika problematika di
kalangan masyarakat harus terpecahkan, maka penulis tergerak untuk membahas
tentang hadis hadis yang di pandang otentik oleh para ulama.
Karena juga tidak
bisa di pungkiri lagi bahwa Sahih Bukhari dan Muslim merupakan
salah satu kumpulan kitab hadis yang isi nya merupakan kebanyakan hadis sahih.
Oleh krena dua kitab ini telah ter akui di kalangan masyarakat, maka penulis
ingin menyingkap kitab lain yang mungkin kualitas nya bisa di akui di kalangan
ulama kalau itu keontentikan beriringan degan dua kitab tersebut.
Dan setelah
penulis cari cari informasi ternyata kitab ke tiga setelah Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim adalah Sunan Abu Dawud.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka bisa kami rumusan
masalah sebagai berikut
1.
Siapakah Imam Abu
Dawud?
2.
Apa sajakah karya
Imam Abu Dawud?
3.
Bagaimanakah
sistematika Sunan Abu Dawud ?
4. Bagaimanakah pendapat para ulama tentang Abu Dawud?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Abu Dawud
1. Latar Belakang Kehidupan Abu Dawud
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’as Bin Ishaq Al-Azdy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan pada 202 H di Sijistani.[1] Suatu kota di Basrah. Sebagai ulama Mutaqaddimin yang produktif, beliau selalu memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu dan beribadah. Namun sangat disayangkan, informasi kehidupan Abu Dawud di masa kecil sangat sedikit. Sedangkan masa dewasanya banyak riwayat yang mengatakan bahwa beliau termasuk ulama hadis yang terkenal,
Abu Dawud adalah seorang perawi hadis yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadis lalu memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud.[2]
Abu Zahwu dalam kitab nya Hadith Wal Muhaddithun mengatakan bahwa Imam Abu Dawud merupakan Imam yang paling faqih di antara a’imah al-sittah setelah Imam Bukhari. [3]
Abu Dawud terlahir di tengah keluarga yang agamis. Mengawali intelektualitasnya, ia mempelajari al-Qur’an dan literatur (bahasa) Arab serta sejumlah materi lainnya sebelum mempelajari Hadis, sebagaimana tradisi masyarakat saat itu. Dalam usianya kurang lebih dua puluh tahun, ia telah berkelana ke Baghdad.[4]
Setelah dewasa, beliau melakukan rihlah dengan intensif untuk mempelajari Hadis. Ia melakukan perjalanan ke Hijaz, Syam, Irak, Jazirah Arab dan Khurasan untuk bertemu ulama-ulama Hadis.[5] Pengembaraannya ini menunjang Abu Dawud mendapatkan Hadis sebanyak-banyaknya untuk dijadikan referensi dalam penyusunan kitab sunannya.
Pola hidup sederhana tercermin dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dari cara berpakaiannya, yaitu salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Menurutnya, lengan yang ini (lebar) untuk membawa kitab sedang yang satunya tidak diperlukan, kalau lebar berarti pemborosan. Maka tidak heran jika banyak ulama yang semasanya atau sesudahnya memberikan gelar Zaid (mampu meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi) dan Wara’ (teguh atau tegar dalam mensikapi kehidupan).[6]
Abu Dawud berhasil meraih reputasi tinggi dalam hidupnya di basrah, setelah basrah mengalami kegersangan ilmu pasca serbuan Zarji pada tahun 257 H. gubernur basrah pada waktu itu mengunjungi Abu Dawud di Baghdad untuk meminta Abu Dawud pindah ke Basrah.
Diriwayatkan oleh al-Kahttabi dari Abdillah bin Muhammad al-Miski dari Abu Bakar bin Jabir (pembantu Abu Dawud), dia berkata: “Bahwa Amir Abu Ahmad al-Muffaq minta untuk bertemu Abu Dawud, lalu Abu Dawud bertanya: “Apa yang mendorong amir ke sini?”, Amir menjadi: “Hendaknya anda mengajarkan Sunan kepada anak-anakmu”. Yang kedua tanya Abu Dawud, Amir menjawab: “Hendaknya anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan Hadis kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum”. Abu Dawud menjawab: “Permintaan kedua tidak bisa aku kabulkan, sebab derajat manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata dalam menuntut ilmu dipandang sama”. Ibnu Jabir berkata: “Sejak itulah putera-putera khalifah menghadiri majelis ta’lim, duduk bersama orang umum dan diberi tirai pemisah.”[7]
Atas
permintaan Gubernur Abu Ahmad tersebut, maka Abu Dawud pindah ke Basrah dan
menetap di sana hingga wafat. Pada tahun 275 H Abu Dawud al-Sijistaniy
menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 73 tahun atau tepatnya pada tanggal
16 syawal 275 H di Basrah.[8]
2.
Guru-guru Imam Abu
Dawud
Imam Abu Dawud memiliki banyak guru di antaranya ialah :
a.
Ahmad Ibn Hanbal
b.
Al-Qa’nabi
c.
Abu Umar al-D{arir
d.
Muslim Ibn Ibrahim
e.
Abdullah Ibn Raja’
f.
Abu al-Walid al-T{ayalisi
g.
dll
3.
Murid-murid Imam
Abu Dawud
Seperti hal nya jumlah guru gurunya, murid murid dari
Imam Abu Dawud juga banyak di antaranya :
a.
Abu ‘isa
al-Tirmidhi
b.
Abu Abd Al-Rahman
Al-Nasa’i
c.
Abu Bakar Ibn Abu
Dawud (anak nya sendiri)
d.
Abu ‘Iwanah
e.
Abu Sa’id
f.
dll
B.
Karya-karya Imam
Abu Dawud
1.
Karya tulis Imam
Abu Dawud Di antaranya adalah:[9]
a.
Al-Marasil, kitab ini merupakan kumpulan Hadis-hadis mursal (gugur
perawinya), yang disusun secara tematik, adapun jumlah hadisnya adalah 6000 Hadis
b.
Masail al-Imam Ahmad
c.
Al-Naskh wa al-Mansukh
d.
Risalah fi Wasf Kitab al-Sunan
e.
Al-Zuhd
f.
Ijabat al-Salawat al-‘Ajjuri
g.
As’illah Ahmad bin Hanbal
h.
Tasmiyah al-Akhwan
i.
Qaul Adar
j.
Al-Ba’as wa Al-Nusyur
k.
Al-Masa’il allati Halaf ‘Alaihi Al-Imam
Ahmad
l.
Dala’il Al-Ansar
m. Fadha’il Al-Ansar
n.
Musnad Malik
o.
Al-Du’a
p.
Ibtida’ Al-Wahyi
q.
Al-Tafarrud fi Al-Sunan
r.
Akhbar Al-Khawarij
s.
A’lam Al-Nubuwwat
t.
Sunan Abu Dawud
Sedangkan menurut Abu Shuhbah dalam kitab nya Fi Rihab
Al-Sunnah, Kitab-kitab karya Abu Dawud ada sembilan macam yaitu[10] :
1)
Kitab al-Sunan
2)
Kitab al-Marasil
3)
Kitab al-Qadr
4)
Al-Nasikh wa
al-Mansukh
5)
Fada’il al-A’mal
6)
Kitab al-Zuhd
7)
Dalail al-Nubuwwah
8)
Ibtida’ al-Wahyu
9) Ikhbar al-Khawarij
Dari
karya-karya tersebut di atas, yang paling populer adalah kitab sunan Abu Dawud.
Menurut riwayat Abu Ali bin Ahmad bin ‘Amr al-Lu’lui al-Basri, seorang ulama’ hadis
mengatakan: ‘Hadis telah dilunakkan Abu Dawud, sebagaimana besi telah
dilunakkan Nabi Dawud”. Ungkapan tersebut adalah perumpamaan bagi seorang ahli Hadis
yang telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan
yang sukar.[11]
Di kalangan kritikus Hadis, Abu Dawud
mendapatkan penilaian.[12]
a. Musa bin Harun berkata: bahwa Abu Dawud
diciptakan di dunia untuk Hadis dan di akhirat untuk surga. “Aku tidak pernah
melihat orang yang lebih utama dari dia.”
b. Abu Halim bin Hibban menyatakan bahwa Abu Dawud adalah
seorang imam dunia dalam bidang fiqh, ilmu hafalan, dan ibadah. Beliau telah
mengumpulkan Hadis-hadis dan tegak mempertahankan sunnah.
c. Al-Hakim mengatakan bahwa Abu Dawud adalah imam ahli Hadis
pada zamannya, tidak ada yang menyamainya.
d. Maslahah bin Qasim mengatakan bahwa Abu Dawud adalah seorang zahid, mempunyai ilmu pengetahuan tentang Hadis, seorang Imam pada zamannya.
Ahmad bin Muhammad bin Yasin
al-Harawi menyatakan bahwa Abu Dawud adalah salah satu orang yang hafiz
dalam bidang Hadis, yang memahami Hadis beserta illat dan sanadnya,
dan memiliki derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, ke-sahih-an,
dan ke-wara’an
C.
Kitab Sunan Abu Dawud
1.
Metode Penyusunan Kitab Sunan Abu Dawud
Kitab
Sunan menurut para ahli Hadis adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab fiqh, Kitab Sunan ini hanya memuat Hadis-hadis marfu’,
tidak memuat Hadis manqut atau maqtu’, sebab dua macam Hadis
terakhir Hadis ini disebut sunnah, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
moralitas, sejarah, dan zuhud. Sebagaimana
pernyataan al-Khatani dalam kitab al-Risalah
al-Mustatrafah: “Diantara kitab-kitab Hadis adalah kitab-kitab Sunan
yaitu kitab hadis yang disusun menurut bab-bab fiqh, mula-mula dari bab taharah,
salat, zakat, dan sebagainya, dan di dalamnya tidak terdapat hadis
mauquf, karena hadis ini tidak disebut sebagai sunnah, namun hanya disebut
sebagai hadis.[13]
Oleh karena kitab
ini datang dengan membawa kumpulan tentang bab-bab fiqh dan hadith, maka
tidak mengherankan jika kitab ini di jadikan oleh Fuqaha’ Mesir menjadi
rujukan untuk pengambilan suatu dalil dan juga di gunakan untuk memutuskan
suatu hukum, sampai sampai mereka berkata : sesungguhnya sudah di cukupkan -
bagi para mujtahid (dalam berijtihad) –dengan menggunakan kitab tersebut (Sunan
Abu Dawud) setelah al-Quran oleh karena sebab inilah kitab ini sangat masyhur
di kalangan para Fuqaha’ karena terkumpulnya hadis-hadis hukum di dalam nya [14]
Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah shari’at, jadi kumpulan
hadisnnya berfokus murni pada
hadis tentang syariat. Setiap hadis dalam kumpulanya di periksa kesesuainya
dengan al-Qur’an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab
tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.[15]
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia muslim
sebagai salah satu kitab hadis yang paling otentik. Namun di ketahui bahwa
kitab ini mengandung beberapa hadis lemah
(yang sebagian ditandai oleh Imam Abu Dawud dan sebagian tidak).[16]
Metode yang dipakai oleh Abu Dawud berbeda dengan metode
yang dipakai oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang
menyusun kitab Musnad dan Imam Bukhari dan Muslim yang menyusun kitabnya
dengan hanya membatasi pada Hadis-hadis yang sahih saja. Adapun Abu Dawud menyusun kitabnya
dengan mengumpulkan Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum (Fiqh), dan dalam
menyusunnya berdasarkan urutan bab-bab fiqh. Hadis-hadis yang berkenaan dengan fada’il al-a’mal (keutamaan-keutamaan amal). Dan
kisah-kisah tidak dimasukkan dalam kitabnya.
2.
Sistematika Penyusunan Kitab
Dalam
Sunan Abu Dawud, ia membagi hadisnya dalam beberapa kitab, dan setiap kitab
dibagi menjadi beberapa bab. Adapun perinciannya adalah 35 kitab, 1871 bab,
serta 4800 Hadis. Tetapi menurut Muhammad Muhyudin Abdul Hamid, jumlahnya
sebanyak 5274 Hadis. Perbedaan perhitungan tersebut tidak aneh, karena Abu
Dawud sering mencantumkan sebuah hadis di tempat yang berbeda, hal ini
dilakukan karena untuk menjelaskan suatu hukum dari hadis tersebut, dan di
samping itu untuk memperbanyak
jalur sanad.[17]
Adapun
sistematika (urutan) penulisan
Hadis dalam Sunan Abu
Dawud menurut
Zainul Arifin dalam kitabnya Studi Hadith dengan perbandingan
sistematika penyusunan dalam Maktabah al-Syamilah yang telah di tahqiq
oleh Imam Albani adalah:[18]
No. |
Judul BAB |
Jumlah Bab versi |
|
Fi Rihab al-Sunnah |
Maktabah al-Shamilah |
||
1. |
al-Taharah |
159 |
144 |
2. |
al-Salat |
251 |
259 |
3. |
al-Istisqa’ |
11 |
12 |
4 |
Salat al-Safar |
20 |
20 |
5 |
al-Tatawwu’ |
27 |
28 |
6 |
Shahru Ramadan |
10 |
10 |
7 |
Sujud Al-Quran |
8 |
8 |
8 |
al-Witr |
32 |
32 |
9 |
al-Zakat |
46 |
47 |
10 |
al-Luqatah |
20 |
1 |
11 |
al-Manasik |
96 |
99 |
12 |
al-Nikah |
49 |
50 |
13 |
al-Talaq |
50 |
50 |
14 |
al-Saum |
81 |
82 |
15 |
al-Jihad |
170 |
182 |
16 |
al-Duhaya |
25 |
21 |
17 |
al-Said |
|
4 |
18 |
al-Wasaya |
17 |
17 |
19 |
al-Faraid |
18 |
18 |
20 |
al-Kharaj |
41 |
41 |
21 |
al-Janaiz |
80 |
84 |
22 |
al-‘Aiman Wa al-Nudhur |
25 |
32 |
23 |
al-Buyu’ |
90 |
36 |
24 |
al-Ijarah |
|
56 |
25 |
al-Aqdiyah |
31 |
31 |
26 |
al-‘Ilm |
13 |
13 |
27 |
al-Ashribah |
22 |
22 |
28 |
al-At’imah |
54 |
55 |
29 |
al-Tib |
24 |
24 |
30 |
al-‘itq |
15 |
15 |
31 |
al-Huruf wa al-Qira’at |
39 |
1 |
32 |
al-Hamam |
2 |
3 |
33 |
al-Libas |
45 |
47 |
34 |
al-Tarajjal |
21 |
21 |
35 |
al-Khatim |
8 |
8 |
36 |
al-Fitan |
7 |
7 |
37 |
al-Mahdi |
12 |
1 |
38 |
al-Malahim |
18 |
18 |
39 |
al-Hudud |
38 |
40 |
40 |
al-Diyat |
28 |
32 |
41 |
al-Sunnah |
29 |
32 |
42 |
al-Adab |
169 |
182 |
3.Contoh Hadith Dalam kitab Sunan Abu Dawud
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِى
سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ
اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ
أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِىُّ صَوْتِهِ وَلاَ يُفْقَهُ مَا
يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ».
قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُنَّ قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». قَالَ
وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صِيَامَ شَهْرِ رَمَضَانَ
قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُ قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». قَالَ
وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الصَّدَقَةَ. قَالَ فَهَلْ
عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ « لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ ». فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ
وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ[19]
»
Sunan Abu Dawud
memiliki banyak Sharh
1. Sharh al-Tasannif al-Mufidah, Karya al-Imam Abi Sulaiman Ahmad Bin Ibrahim Bin Khitab al-Basti, yang wafat tahun 388 H. Yang juga memiliki nama lain yaitu" معالم السنن " ini merupakan Sharh pertengahan yang di dalam nya sering di gunakan sebagai pengambilan hukum dan adab.
2. Sharh ‘aun al-Ma’bud ‘ala Sunan Abi Dawud, karya al-Imam al-syaikh Syarful al-haq yang masyhur di panggil Muhammad Ashraf Ibn ‘aly Haidar al-Sadiqy, yang wafat pada kurun ke empat hijriyah , Kitab ini merupakan kitab yang menyingkap sebagian lughat dan ‘ibarat yang di pandang sulit
3.
Al-Minhal
al-‘Adhbu al-Maurud Sharh Sunan Abi Dawud, karya al-‘alim
al-‘Arif Billah al-Syaikh Mahmud bin Muhammad Bin Khitab al-Subki ini
merupakan salah satu kita Sharh dari Sunan Abu Dawud yang memiliki
pembahasan yang luas, karna dalam kitab ini di jelaskan tentan Biografi perawi
hadis, Penjelasan tentang lafaz dan ma’na nya, serta penjelasan tentang
pengambilan tentang beberapa hukum dan
juga msalah adab, begitu juga dan kitab ini dijelaskan tentang Mukharrij
Hadith yang bersangkutan selain Abu Dawud, serta menjelaskan tentang
kualitas hadis yang bersangkutan apakah itu Sahih, hasan, maupun
da’if[20]
E.
Komentar Para
Ulama tentak Imam Abu Dawud
Imam Abu Dawud adalah orang yang alim dari salah satu orang alimnya agama Islam baik dari segi hafalan maupun pemahaman, begitu pula dalam masalah hadis serta illat-illat nya, al-Hafidh Musa Ibn Harun berkata “Abu Dawud di ciptakan ke dunia untuk (memperjuangkan) Hadis, dan di akhirat untuk surga, saya tidak pernah melihat orang yang lebih utama daripada dia.[21]
Imam Abu Dawud adalah imam dari Imam Ahlusunnah wa
Al-Jama’ah yang hidup di Bashrah, kota berkembangnya kelompok Qadariyah
dan pemikiran Khawarij , Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah Rafidhah,
Jahmiyyah serta lain-lainya. Walaupun demikian, a tetap dalam ke-istiqamah-an
di atas sunnah dan membantah Qadariyah dengan kitbnya Al-Qadar. Demikian pula
bantahanya atas Khawarij dalam kitabnya Akhbar Al-Khawarij dan beliau
juga berani membantah pemahaman yag menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang
telah di sampaikan oleh Rasulullah. Tentang hal itu bisa di lihat dalam
kitabnya Al-Sunan yang di dalam nya terdapat bantahan-bantahan terhadap
jahmiyyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.[22]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
PENUTUP
Kitab sunan menurut para ahli hadis adalah kitab hadis
yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh, Kitab sunan ini hanya
memuat hadis-hadis marfu’, tidak memuat hadis manqut atau maqtu’,
sebab dua macam hadis terakhir hadis ini disebut sunnah, termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan moralitas, sejarah, dan zuhud. Sebagaimana pernyataan al-Khatani
dalam kitab al-Risalah al-Mustatrafah: “Diantara kitab-kitab hadis
adalah kitab-kitab sunan yaitu kitab hadis yang disusun menurut bab-bab
fiqh, mula-mula dari bab taharah, salat, zakat, dan sebagainya,
dan di dalamnya tidak terdapat hadis mauquf, karena hadis ini tidak
disebut sebagai sunah, namun hanya disebut sebagai hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Ashiddieqi, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar ‘Ilmu Hadith, Semarang: Pusaka Rieky Putra, 1998.
Azami, Mustafa, Ilmu Hadis, terj. Jakarta: Lentera, 1995.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajajj. Ushul al-Hadith: ‘Ilmuhu wa Musthalahuhu. Damaskus:Dar al-Fikri, 1975.
Mudasir. Ilmu Hadith. Bandung: Pusaka Setia, 1999.
Salahuddin Agus dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Shuhbah, Abu Muhammad Muhammad. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah. Kairo: al-Azhar, 1995.
Suryadilaga, M. Fatih. Studi Kitab Hadith. Yogyakarta: Teras, 2003.
Zahwu, Abu Muhammad muhammad, al-Hadith wa al-Muhaddithun. Saudi Arabia :1985.
[1]
Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Ushul
al-Hadith:
‘Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikri, 1975), 320
[4] Mudasir, Ilmu Hadith, (Bandung: Pusaka Setia, 1999, 110
[6] Mudasir,
Ilmu Hadis…, 110
[7] Ibid., 110.
[8] Muhammad
‘Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadis…, 320
[9] Mustafa Azami, Ilmu Hadis, terj., (Jakarta: Lentera, 1995), 1429
[10] Muhammad
Muhammad Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah, (Kitab
Digital/Pdf ), 136
[11] Ibid., 142
[12] M. Faith Surya Dilaga, Studi Kitab
Hadith,
(Yogyakarta: Teras, 2003), 88
[13]
Mustaf
a
Azami, Ilmu Hadis, 143.
[14] Muhammad muhammad Abu Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 411.
[15] Agus Salahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith, 241
[16] Ibid. 241.
[17]
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieq, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang: Pusaka Rieky Putra, 1998), 88.
[18] Zainal Arifin,Studi Hadith, (Surabaya: Al-Muna, , 2010), 78.
[19] سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني – مكتبه الشاملة (1 / 150)
[20] Muhammad
Muhammad Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub Al-Sihah al-Sittah, 143.
[21] Ibid., 143.
[22] Agus Salahuddin dan Agus Suyadi, Ulum al-Hadith, 242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar