HOME

10 Maret, 2022

STUDI KRITIS PERAWI HADIS (JARH WA TA‘DIL)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Jarh wa ta‘dil merupakan salah satu cabang ilmu di dalam ‘ulum al-hadith. Ilmu ini sangatlah penting untuk diketahui, dipelajari dan dipahami bagi setiap orang yang mendalami ilmu hadis. Hal ini dikarenakan, ilmu Jarh wa ta‘dil selalu dibutuhkan untuk melihat derajat sebuah hadis, melihat shahihan dan keda‘ifan hadis Rasulullah SAW.

Sering terjadi terhadap sebagian orang yang mengindahkan ilmu ini dan tidak mempelajarinya, sehingga dia salah dalam menghukumi hadis tersebut, dikarenakan kelalainnya.

            Apa yang menyebabkan sebagian kalangan terjerumus dalam kesalahan tersebut? Seberapa penting ilmu ini di mata para ahli hadis? Bagaimana ahlu hadis mendalami, meneliti dan juga mengembangkan ilmu ini sampai saat ini? Tentunya hal tersebut akan sangat menarik sekali jika kita bahas.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian al-Jarh wa al-Ta‘dil

2.      Sejarah Jarh wa ta‘dil

3.      Dalil dibolehkannya al-Jarh wa al-Ta‘dil

4.      Pendapat para ulama dalam al-Jarh wa al-Ta‘dil

5.      Syarat-syarat pentajrih dan penta‘dil

6.      Beberapa hal yang tidak disyaratkan dalam Jarh wa ta‘dil

7.      Adab dalam melakukan Jarh wa ta‘dil

8.      Lafaz Jarh wa Ta‘dil  serta tingkatannya

9.      Beberapa hal yang perlu diketahui dalam Jarh waTa‘dil

10.  Metode dalam tarjih  dan ta‘dil  perawi

11.  Beberapa hal yang tertolak dalam Jarh wa ta‘dil

12.  Bagaimana jika ada pertentangan dalam Jarh wa ta‘dil ?

13.  Karya-karya perawi hadis


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian al-Jarh wa al-Ta‘dil

Shaikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan dalam Manhaj Naqd  bahwa yang dimaksud dengan al-Jarh wa al-Ta‘dil  adalah sebagai berikut

الجرح عند المحدثين: هو الطعن في راوي الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه

Al-Jarh menurut para ahli hadis adalah celaan terhadap perawi hadis yang akan mengurangi ‘adalah atau dabtnya.

والتعديل: عكسه، وهو تزكية الراوي والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط

Dan al-Ta‘dil adalah lawan katanya. Yaitu membersihkan/mensucikan perawi dan menghukuminya adalah ataupun dabt.

Oleh karenanya ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dil adalah merupakan timbangan perawi hadis. Jika berat timbangannya, maka perawi tersebut diterima riwayatnya, tetapi jika ringan timbangannya maka riwayatnya ditolak.[1]

Suyuti (w. 911 H) dalam Tadribnya dalam hal ini menggunakan istilah ma’rifat thiqat wa al-du‘afa’. Ia mengatakan ilmu ini sangat penting sekali, karena dengan ilmu ini bisa diketahui hadis yang sahih dan yang da‘if.[2]

 

B.     Sejarah Jarh wa ta‘dil

Sudah sejak lama para ulama memperhatikan Jarh wa ta‘dil, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Ady al-Jurjany (w. 360 H): Dari para sahabat adalah Ibn ‘Abbas (w. 68 H), Anas ibn Malik (w. 93 H). Dari kalangan tabi‘in adalah ‘Amir al-Sha’by (w. 104 H), Ibn Sirin (w. 110 H), Sa‘id ibn Musayyab (w. 93 H). Mereka semua jumlahnya lebih sedikit daripada generasi setelahnya, karena pada zaman sahabat semuanya ‘adl, sedangkan para tabi‘in kebanyak thiqat. Pada masa ini du‘afa’ sangat sedikit. Pada abad kedua, yaitu pada pertengahan masa tabi‘in banyak muncul du‘afa’. Mereka memursalkan banyak hadis, dan memarfu’kan

mauquf, diantaranya: Abu Harun al-‘Abdary (w. 143 H). lalu sekitar tahun 150-an Hijriah banyak orang berbicara dalam Jarh wa ta‘dil, diantaranya al-A‘mash (w. 148 H) yang menjarh para perawi dan mentauthiq sebagian yang lain. Kemudian muncul pula Syu‘bah (w. 160 H), Ma‘mar (w. 153 H), al-Auza‘iy (w. 156 H), Sufyan al-Thauriy (w. 161 H), Laith ibn Sa‘d (w. 175 H), Malik ibn Anas (w. 189 H).[3]

Pada masa itu juga terkenal ibarat ibn Mubarak (w. 181 H) yang diabadikan di dalam Sahih Muslim:

وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُهْزَاذَ مِنْ أَهْلِ مَرْوَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Telah bercerita kepada Muhammad ibn ‘Adullah ibn Quhzadh dari Ahli Marwa berkata, aku mendengar ‘Abdan ibn Uthman berkata, aku mendengar ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata: “Isnad bagian dari agama, dan kalau bukan karena isnad, seseorang akan berkata apa saja semau mereka”.[4]

Setelah itu muncullah Ibn ‘Uyainah (w. 197 H), Ibn Wahb (w. 197 H), Waki‘ Ibn al-Jarrah (w. 189 H). Abu Dawud al-Tayalisy (w. 204 H). kemudian dibuatlah kitab tentang Jarh wa ta‘dil dan ‘ilal. Salah satu pemimpin dalam Jarh wa ta‘dil adalah Yahya ibn Ma‘in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa‘d (w. 230 H), Ali ibn al-Madiny (w. 234 H), Abu Bakr ibn Shaibah (w. 235 H). Kemudian datang setelahnya al-Bukhari (w. 256 H), Abu Zur‘ah (w. 264 H), Abu Hatim (w. 277 H), Muslim (w. 261 H), Abu Dawud (w. 275 H). Lalu al-Nasa’i (w. 303 H), Abu Ya’la(w. 307 H), Ibn Huzaimah (w. 311 H), Ibn Jarir Tabari(w. 310 H), ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Dar al-Qutny (w. 323 H).[5]

Tetapi Shaikh Nuruddin‘Itr berpendapat kitab Jarh wa ta‘dil pertama yang sampai ke tangan kita adalah Mukaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil karya ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H)[6]


C.    Dalil Dibolehkannya al-Jarh wa al-Ta‘dil

a.       Dalil Ta‘dil dari Alquran. Allah I berfirman:

يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti [Al Hujurat6]

 

b.      Dalil Ta‘dil dari sunnah. Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ أُخْتِهِ حَفْصَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَجُلٌ صَالِحٌ

Diriwayatkan dari Yahya ibn Sulaiman telah menceritakan kepada kami ibn Wahb dari Yunus dari al-Zuhri dari Salim dari ibn ‘Umar dari saudara perempuannya Hafsah sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya ‘Abdullah seorang laki-laki yang salih.[7]

 

D.    Pendapat Para Ulama Dalam al-Jarh wa al-Ta‘dil

Sebagian orang sufi bertanya kepada ‘Abdullah ibn Mubarak: “Apakah engkau melakukan ghibah?”. Ibn Mubarak berkata: “Diamlah! Apabila kita tidak menjelaskan, bagaiman seseorang akan tau yang haq dan yang batil”.[8]

Diriwayatkan dari Abu Zaid al-Ansori, suatu ketika Shu‘bah datang kepada kami ketika hujan, dia berkata: “Sekarang bukan waktunya hadis, sekarang waktunya ghibah, marilah kita membicarakan (ghibah) tentang orang-orang pendusta”. Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, suatu ketika Abu Thurab datang kepada ayahku. Ketika itu Ahmad ibn Hanbal mengatakan Fulan da‘if, Fulan thiqah. Maka Abu Thurab berkata: “Wahai Sheikh! Janganlah engkau melakukan ghibah terhadap ulama”. Lalu Ahmad ibn Hanbal menoleh kepadanya dan berkata: “Ini adalah nasihat, bukan ghibah!”.[9]


 

E.     Syarat-Syarat Pentajrih dan Penta‘dil

Bagi orang yang ingin mentajrih dan menta‘dil harus memenuhi kriteria-kriteria  berikut:

a.       Bagi orang yang ingin mentajrih ataupun menta‘dilharus mempunyai pengetahuan, ketaqwaan, wara‘, kejujuran (‘adalah). Ibn Hajar (w. 852 H) berkata:

ينبغي ألا يقبل الجرح والتعديل إلا من عدل متيقِّظ، فلا يقبل جرح من أفرط فيه فجرح بما لا يقتضي رد حديث المحدث، كما لا تقبل تزكية من أخذ بمجرد الظاهر فأطلق التزكية

Hendaknya tidak diterima Jarh wa ta‘dil kecuali dari seseorang yang ‘adl dan waspada (hati-hati), maka tidak diterima jarh dari orang yang lalai atau gegabah, dia menjarh sesuatu yang tidak menunjukkan pembatalan hadis perawi (dia lalai, akhirnya salah dalam menjarh, sedangkan ulama yang lain tidak menjarh perawi tersebut), sebagaimana tidak diterima pula pembenaran yang dilakukan penta‘dil tetapi hanya terlihat secara zahir saja, lalu dia mengatakan (bahwa perawi tersebut) ‘adl.[10]

b.      Mempunyai ilmu asbab al-Jarh wa al-Ta‘dil

c.       Ahli dalam kalamal-‘Arab. Sehingga ia tidak menaruh lafaz (semisal menjarh) perawi yang tidak sesuai dengan ma’nanya.[11]

Sedangkan dijelaskan di dalam kitab al-Raf’u wa al-Takmil mengatakan syarat bagi seseorang penjarh maupun penta‘dil adalah: ‘ilm, taqwa, wara’, jujur, menjauhi ta‘assub, mengetahui sebab Jarh wa ta‘dil. bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, maka tidak diterima Jarh wa ta‘dilnya.[12]

Shaikh ‘Abdul Muhdi mengatakan bahwa syarat untuk mentajrih adalah: Harus berlaku adil, memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap kondisi perawi mengetahui sebab jarh, tidak ta‘assub.[13]

 

F.     Beberapa Hal Yang Tidak Disyaratkan Dalam Jarh wa ta‘dil:

1.      Tidak disyaratkan bagi seorang penjarh maupun penta‘dil laki-laki atau orang yang merdeka. Jadi baik laki-laki dan juga perempuan diterima Jarh wa ta‘dilnya. Begitu juga dengan orang yang merdeka maupun tidak.[14]

2.      Ada orang yang mengatakan tidak diterima Jarh wa ta‘dil kecuali dengan perkataan dua orang sebagaimana dalam shahadah (kesaksian). Tetapi mayoritas para ulama berpendapat satu orang saja (yang ‘adl dan teliti) sudah cukup untuk mengetahui jarh atau ta‘dil dari seorang perawi.[15]Ibn Salah (w. 643 H) berkata:

هو الصحيح الذي اختاره الخطيب وغيره أنه يثبت بواحد، لأن العدد لم يشترط في قبول الخبر، فلم يشترط في جرح روايه وتعديله، بخلاف الشهادة

Inilah yang benar yang dipilih oleh Khatib dan yang lainnya, bahwasanya penjarh ataupun penta‘dil cukup dengan satu orang. Karena jumlah tidak disyaratkan dalam diterimanya khabar (hadis), maka tidak disyaratkan pula dalam jarh maupun ta‘dil. (Hal ini) berbeda dengan shahadah (kesaksian).[16]

 

G.    Adab Dalam Melakukan Jarh wa ta‘dil

Sheikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan beberapa adab yang perlu diperhatikan bagi penjarh ataupun penta‘dil adalah sebagai berikut:

1.      Kejujuran dalam penta‘dilan. Tidak boleh meninggikan derajat perawi dari martabatnya ataupun menurunkan, sebagaimana banyak yang dilakukan orang-orang pada zaman kita sekarang ini.

2.      Tidak boleh mentajrih kelewat batas. Karena tajrih disyari’atkan sesuai kebutuhan. Dan kebutuhan dilakukan sesuai dengan kadarnya.

3.      Tidak boleh hanya melakukan tajrih saja terhadap seorang perawi yang mempunyai jarh juga ta‘dil. Maka keduanya harus diteliti.

4.      Menurut Nuruddin ‘Itr, bagi perawi yang sudah tidak dibutuhkan lagi tajrih nya maka tidak boleh dilakukan tajrih. Karena tajrih dilakukan karena kebutuhan. Apabila tidak dibutuhkan kebutuhan tersebut maka tidak boleh masuk ke dalamnya. Inilah yang banyak dilakukan orang-orang yang melampaui batas pada masa sekarang. Beliau menukil perkataan Luknawi:

من عاداتهم الخبيثة: أنهم كلما ناظروا أحدا من الأفاضل في مسألة من المسائل توجهوا إلى جرحه بأفعاله الذاتية، وبحثوا عن أعماله العرضية، وخلطوا ألف كذبات بصدق واحد، وفتحوا لسان الطعن عليه بحيث يتعجب منه كل ساجد، وغرضهم منه إسكات مخاصمهم بالسب والشتم

Diantara kebiasaan mereka yang buruk: Setiap kali mereka melihat seseorang yang mempunyai kemuliaan dalam suatu permasalah, mereka mencoba untuk menjarhnya dengan perbuatan mereka sendiri. Mereka mencari secara kebetulan, lalu mencampur ribuan kedustaan dengan satu kejujuran. Dan membuka lisan fitnah terhadapnya sehingga menjadikan orang-orang terkejut, tujuanya mereka adalah menjadikan diam musuh-musuh mereka dengan mencemarkan nama baik dan mencaci maki.[17]

 

H.    Lafaz Jarh wa ta‘dil serta Tingkatannya

Para ulama menggunakan beberapa lafaz untuk mengungkapkan sifat perawi untuk menerima perawi ini ataupun menolaknya. Mereka juga telah menyusun beberapa tingkatan Jarh wa ta‘dil  bagi perawi. Pastinya lafaz-lafaz ini sangatlah penting untuk diketahui bagi peneliti maupun pelajar yang takhassus dalam bidang hadis.

Di dalam “al-Jarh wa al-Ta‘dil” karangan ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) telah membagi tingkatan ta‘dil  menjadi empat, begitu juga dengan tingkatan tajrih.

Tingkatan ta‘dil dan tajrih menurut Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H):[18]

a.       Tingkatan ta‘dil:

Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) berkata: Aku menemukan beberapa lafaz dalam jarh dan ta‘dil dalam beberapa tingkatan:

1.      Apabila dikatakan kepada seorang perawi:

إنه ثقة، أو متقن، أو ثبت فهو ممن يحتج به

2.      Apabila dikatakan kepadanya:

صدوق، أو محله الصدق، أو لا بأس به فهو ممن يكتب حديثه وينظر فيه وهي المنزلة الثانية

3.      Apabila dikatakan:

شيخ فهو ممن يكتب حديثه وينظر فيه إلا أنه دون الثانية

4.      Apabila dikatakan:

صالح الحديث فإنه يكتب حديثه للاعتبار

 

b.      Sedangkan untuk tingkatan jarh adalah sebagai berikut:

1.      Apabila mereka mengatakan kepada seorang perawi

لين الحديث فهو ممن يكتب حديث وينظر فيه اعتبارا

2.      Apabila dikatakan

ليس بقوي فهو بمنزلة الأولى في كتابة حديثه

3.      Apabila mereka mengatakan

ضعيف الحديث فهو دون الثاني لا يطرح حديثه بل يعتبر به

4.      Apabila mereka mengatakan

متروك الحديث أو ذاهب الحديث أو كذب فهو ساقط الحديث لا يكتب حديثه، وهي المنزلة الرابعة

Para ahli hadis generasi setelahnya banyak yang mengikuti pembagian semacam ini, seperti ibn Salah (w. 643 H), Imam Nawawi (w. 676 H). Sedangkan al-Dhahabi (w. 748 H), al-‘Iraqi (w. 806 H), ibn Hajar (w. 852 H), al-Sakhawi (w. 902 H) sepakat dengan pendapat ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) hanya saja menambahkan beberapa hal.[19]

Pembagian ta‘dil menurut al-Dhahabi (w. 748 H):[20]

a.       Tingkatan ta‘dil

1.      Perawi paling tinggi adalah

ثبت حجة، وثبت حافظ، أو ثقة متقن، وثقة ثقة

2.      Derajat kedua adalah

 ثقة

3.      Sedangkan tingkatan ketiga

صدوق، ولا بأس به، وليس به بأس

4.      Tingkatan keempat

محله الصدق، وجيد الحديث، وصالح الحديث، وشيخ وسط، وشيخ حسن الحديث، وصدوق إن شاء الله، وصويلح، ونحو ذلك

Dalam hal ini al-Dhahabi (w. 748 H) mempunyai tingkatan yang sama sebagaiman ibn Abi Hatim al-Razi, hanya saja menambahkan tingkatan yang pertama, lalu menggabungkan tingkatan ketiga dan keempat dalam pembagian ibn Abi Hatim menjadi satu.

 

b.      Tingkatan jarh adalah sebagai berikut:

1.      Hadis yang terlempar

دجال، كذاب، وضاع، يضع الحديث

2.      Tingkatan di bawahnya

متهم بالكذب، متفق على تركه

3.      Dikatakan kepada mereka

متروك، وليس بثقة، وسكتوا عنه

4.      Dikatakan kepada mereka

واه بمرة، وليس بشيء، وضعيف جدا، وضعفوه

5.      Tingkatan selanjutnya

يضعف، وفيه ضعف، وقد ضعف، وليس بالقوي، سيء الحفظ

Kemudian datang masa setelahnya al-‘Iraqi (w. 806 H) yang mengikuti al-Dhahabi (w. 748 H). Al-‘Iraqi hanya memperjelas pembagian tersebut.

Pada pembagian ta‘dil, untuk tingkatan pertama dan kedua hadisnya dapat dijadikan hujjah. Sedangkan pada tingkatan ketiga يكتب حديثه وينظر فيه. Lalu untuk tingkatan keempat sama seperti tingkatan ketiga yaitu يكتب حديثه وينظر فيه hanya saja tingkatannya berada di bawahnya.

Sedangkan pada pembagian jarh, untuk tiga tingkat pertama لا يحتج به ولا يستشهد به ولا يعتبر به. Lalu untuk tingkatan keempat dan kelima يخرج حديثه للاعتبار.

Sebagaimana dijelaskan dalam al-Nukhbah, ibn Hajar (w. 852 H) dan menambahkan tingkatan ta‘dil yang paling tinggi dari yang diklasifikasikan oleh al-Dhahabi (w. 748 H) dan al-‘Iraqi (w. 806 H), yaitu dengan istilah: أوثق الناس sehingga jumlahnya menjadi 5 tingkatan. Kemudian dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib  dan Taqrib al-Tahdhib Ibn Hajar (w. 852 H) menambahkan tingkatan lagi diatasnya, yaitu tingkatan sahabat. Sehingga jumlah keseluruhan menjadi 6 tingkatan.

Sedangkan untuk tingkatan jarh Ibn Hajar (w. 852 H) menambahkan istilah أكذب الناس, sehingga jumlahnya juga menjadi 6. Pembagian ini juga diikuti oleh al-Sakhawi (w. 902 H).

Pembagian ta‘dil menurut Ibn Hajar (w. 852 H):[21]

a.       Tingkatan ta‘dil

1.      Tingkatan sahabat. Sahabat mempunyai tingkatan paling tinggi karena ta‘dilnya langsung dari nas kitab dan sunnah.

2.      Menggunakan lafaz tafdil (ماكان بصيغة أفعل)

أوثق الناس، أثبت الناس، أضبط الناس، وإليه المنتهى في التثبت، ويلحق به: لا أعرف له نظيرا في الدنيا، وقولهم: لا أحد أثبت منه، أو من مثل فلان، أو فلان لايسأل عنه. زاد الهمهدي: أتقن من أدركت[22]

3.      Apabila lafaz tauthiq diulangi (تكرار لفظ التوثيق). Bisa berupa:

a.       تباين اللفظين (dua lafaz saling menjelaskan): ثبت حجة، وثبت حافظ، أو ثقة متقن، ثقة ثبت

b.      Dua lafaz yang diulangi: ثقة ثقة، ثبت ثبت ونحوها

4.      Lafaz yang menunjukkan tauthiq (hanya satu) (ماكان بلفظ من ألفاظ التعديل العليا).

ثقة، أو ثبت أو متقن، أو كأنه مصحف، أو حجة، أو إمام، أو عدل ضابط. زاد المهدي: حافظ، ضابط (أقل من عدل ضابط)، إمام، المصحف، الميزان، القبان، الجِهْبِذ، فارس الحديث.[23]

5.      Menujukkan ta‘dil tetapi tidak ada unsur dabt.

صدوق، أو محله الصدق، ولا بأس به (عند غير ابن معين)، وليس به بأس، أو مأمون، خيار، أو خيار الخلق، أو ما أعلم به بأسا،

6.      Shaikh Manna’ al-Qattan membedakan menjadi dua (sedangkan Ibn Hajar tidak membedakan):

a.       Lafaz yang tidak menunjukkan tauthiq ataupun tajrih

فلان شيخ، وشيخ وسط، وسط، روى عنه الناس، أو إلى الصدق ما هو

b.      Lafazyang lebih dekat ke tajrih

جيد الحديث، حسن الحديث، صالح، وصالح الحديث، وصدوق إن شاء الله، وصويلح، ليس ببعيد من الصواب، يروى حديثه، أو يعتبر به، أو يكتب حديثه، يعتبر به، أو مقارِب الحديث[24]، أو مقارَب الحديث[25]، أو ما أقرب حديثه، أو أرجو أن لا بأس به، مقبول، صدوق تغير بأَخَرَة، صدوق سيء الحفظ، صدوق له أوهام، صدوق مبتدع، صدوق يهم. زاد المهدي: محله الصدق، رووا عنه، رووا الناس عنه، إلى الصدق ما هو (ليس بعيدا عن الصدق)، صدوق سيء الحفظ، صدوق تغير بآخره، صدوق رمي ببدعة (قدري، جهمي، متشيع)، صدوق إن شاء الله، ما أعلم به بأسا.[26]

Pada tingkatan keempat, ibn Hajar (w. 852 H) dan al-Sakhawi (w. 902 H) tidak membedakan menjadi dua, berbeda dengan Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) yang membedakannya menjadi dua. Tapi meskipun begitu tingkatan ta‘dilManna’ al-Qattan (w. 1420 H) hanya 6, karena tidak memasukkan sahabat. Jadi tingkatan ta‘dil menurutnya adalah: no. 2, no. 3, no. 4, no. 5, no. 6a dan no. 6b.[27]

Imam al-Sakhawi (w. 902 H) menjelaskan dalam Fath al-Mughith bahwa 4 tingkatan yang pertama bisa dijadikan hujjah. Sedangkan untuk yang setelahnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena disebabkan kurang dabt, tetapi hadisnya yuktab (ditulis) dan yu’tabar.[28]

 

b.      Tingkatan jarh menurut ibn Hajar (w. 852 H):

1.      Apabila menunjukkan تليين (sesuatu yang lunak/lemah) (الوصف بما يفيد التكلم فيه بتضعيف أو تليين).

ضُعِّفَ، ويضعف، وفيه ضعف، وقد ضعف، للضعف ماهو، وليس بالقوي، ليس بالمتين، ليس بحجة، ليس بعمدة، ليس بمأمون، ليس بالمرضى، ليس يحمدونه، ليس بالحافظ، سيء الحفظ، فيه مقال، أو أدنى مقال، ينكر مرة ويعرف أخرى، ليس بذاك، غيره أوثق منه، فيه شيء، فيه جهالة، لا أدري ما هو، ليس الحديث، ليس الحديث، سيء الحفظ. زاد السخاوي[29]في حديثه ضعف، فلان تُنْكِر (يعني مرة)، فلان ليس بذاك، ليس بذاك القوي، فلان ليس بحجة، ليس من إبل القباب.

Imam al-Sakhawi (w. 902 H) juga menambahkan istilah-istilah lain yang pernah ditemukannya.

أنه يروى حديثه، ولا يحتج بما ينفرد به، لما لا يخفى من الكناية المذكورة، ليس من جِمَال المحامل، لم يكن من القريتين عظيم، وكذا لا يقنع بحديثه، ليس يحمدونه، في حديثه شيء، فلان مجهول، لا أدري ما هو، أنه ليس ببعيد عن الضَّعف، فلان فيه خلف، فلان طعنوا فيه، فلان مطعون فيه، فلان لين، لين الحديث، فيه لين، فلان تكلموا فيه، فيه نظر من غير البخاري. زاد عبد المهدي: ليس من جمازات المحامل، ليس بالمرضى، فيه جهالة.[30]

2.      Lafaz sarih bahwa tidak bisa berhujjah dengannya (الوصف بما يفيد عدم الاحتجاج بحديثه)

ضعيف، واه بمرة، وليس بشيء، وضعفوه، فلان لا يحتج به، أو أو مضطرب الحديث، ألو له ما ينكر، أو حديثه منكر، أو له مناكير، أو منكر. زاد السخاوي[31]: لاشيء، فلان لا يساوي فلسا، أو لا يساوي شيئا،[32] مضطرب به، فلان واه، فلان ضعفوه

Hukum tingkatan hadis pertama dan kedua menurut al-Sakhawi (w. 902 H): hadisnya yu’tabar, atau hadisnya dikeluarkan untuk i’tibar (mencari riwayat untuk menguatkan, supaya hadis tersebut bisa dijadikan hujjah).


3.      Lafaz sarih bahwa tidak boleh menulis hadisnya (الوصف بما يفيد رد الحديث، وعدم كتابته أو نحو ذلك)

فلان لايكتب حديثه، أو لا تحل الرواية عنه، متروك، فلان متروك، أو متروك الحديث، أو تركوه. زاد السخاوي: وليس بثقة، ليس بالثقة، غير ثقة، وسكتوا عنه.[33]بالبناء للمفعول: بين المحدثين، ردوا حديثه، مردود الحديث. فلان ضعيف جدا، فلان واه بمرة، فلان مطرح، مطرح الحديث،.[34] زاد عبد المهدي: رد حديثه، ردوا حديثه، مردود الحديث، فلان ضعيف جدا، تالف، طرحوا حديثه، ارم به، لا تحل كتابة حديثه،

4.      Menunjukkan ada indikasi kedustaan pada perawi (الوصف بما يفيد الاتهام بالكذب ونحوه)

متهم بالكذب، متفق على تركه. زاد السخاوي في فيتح المغيث: متهم بالوضع، فلان ساقط، فلان هالك، فلان ذاهب، ذاهب الحديث، فلان يسرق الحديث. زاد عبد المهدي: ساقط، لا يعتبر به، لا يعتبر بحديثه، فيه نظر، على يدي عدل، مود[35]

Yang dimaksud dengan yasriq al-Hadith adalah seorang perawi mempunyai hadis dari gurunya. Kemudian datang سارق dan mengklaim mendapat hadis tersebut dari guru sang perawi.[36]


Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) memasukkan ليس بثقة di tingkatan keempat, sedangkan al-Sakhawi (w. 902 H) sudah memasukkannya pada tingkatan ketiga.

5.      Menunjukkan bahwa perawi pendusta (الوصف بالكذب أو الوضع)

فلان كذاب، دجال، وضاع، يضع الحديث، يكذب. زاد عبد المهدي: وضع حديثا، ينتعل (يختلف) الحديث، يثبج الحديث، يزرف (يكذب)، يزيد في الرقم (يكذب أيضا)، له بلايا[37]

6.      Dengan menggunakan Mubalaghah(الوصف بما يل على المبالغة في الجرح)

أكذب الناس، زاد السخاوي في فتح المغيث إليه المنتهى في الوضع، أو إليه المنتهى في الكذب، أو وهو ركن الكذب، أو هو معدن الكذب، ونحو ذلك[38]، زاد عبد المهدي: أشر الناس وضعا للحديث، يضرب المثل بكذبه، جراب الكذب[39]

Imam al-Sakhawi (w. 902 H) empat tingkatan yang terakhir tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa digunakan untuk istishhad.[40]

 

I.       Beberapa Hal Yang Perlu Diketahui Dalam Jarh wa ta‘dil:

1.      Apabila ibn Ma‘in dan Duhaim al-Hafiz mengatakan لابأس به أو ليس به بأس maka maksudnya adalah ثقة. Sedangkan selain keduanya, maka tingkatannya pada tingkatan ta‘dil yang kelima.

2.      Apabila dikatakan مقارب الحديث (بفتح الراء وكسرها) maka itu termasuk ta‘dil bukan tajrih.

3.      Apabila dikatakan تعرِف وتنكِر atau يُعرف ويُنكر maka terkadang perawi tersebut merawikan hadis yang ma‘ruf (diterima), dan terkadang merawikan hadis yang mungkar. Oleh karenanya perlu lebih teliti dalam hal ini. Tetapi para muhaddithin lebih sering menggunakan untuk yang pertama (yang diterima).

4.      Perlu waspada dalam melihat lafaz منكر الحديث,  يروي المناكير dan حديث منكر. Berikut penjelasannya:

-          منكر الحديث، يروي المناكير: dikarenakan banyak riwayat yang diriwayatkan sendiri (كثرة تفرده), sedangkan perawinya thiqah. Demikian yang dilakukan oleh para mutaqaddimin seperti Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Duhaim dan yang lain.

-          حديث منكر: hadis da‘if yang bertentangan dengan thiqah

    Sebagai contoh kesalahan orang yang menda‘if kan Yazid ibn Khasifah yang meriwayatkan bahwa sahabat pada zaman umar melakukan sholat tarawih sebanyak 20 raka’at. Karena dalam hadis tersebut Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menghukumi Yazid dengan منكر الحديث. Padahal yang dimaksud disitu Yazid sering meriwayatkan hadis sendiri (tetapi dia thiqah), bukan berarti dia da‘if.

5.      Al-‘Iraqi (w. 806 H) memahami lafazهو على يَدَي عدلٍ merupakan kalimat yang digunakan untuk tauthiq. Sedangkan Ibn Hajar (w. 852 H) memahami lafaz tersbut maksudnya untuk tajrihal-Shadid.[41]

 

J.      Metode Dalam Tarjih  dan Ta‘dil Perawi:[42]

Shaikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan:

1.      Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah untuk menjarh maupun menta‘dil:

a.       Mayoritas ulama mensyaratkan minimal ada dua orang menetapkan ‘adalah seorang perawi, maka perawi tersebut baru bisa dikatakan‘adl. Hal ini didasari qiyas terhadap shahadah disyaratkan dua orang.

b.      Pendapat yang dipilih Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dan Ibn Salah (w. 643 H) bahwa ta‘dil boleh hanya dengan satu orang.Dengan alasan sebagai berikut:

-          Karena tidak ada ketetapan jumlah untuk menerima khabar (hadis). Maka tidak disyaratkan harus dua orang untuk mentajrih ataupun menta‘dil perawi. Hal ini berbeda dengan shahadah.

-          Menimbang perawi merupakan ketetapan hukum dari seorang pengadil. Dan ketetapan hukum tidak disyaratkan harus dua orang.

2.      Bagi perawi yang sudah masyhur kethiqahannya maka tidak perlu menjelaskan ‘adalahnya. Seperti: Imam Malik ibn Anas, Shu‘bah, Sufyan al-Thauri, Waki‘, Ishaq ibn Rahawaih.

Suatu ketika ImamAhmad ibn Hanbal (w. 241 H) pernah ditanya tentang Ishaq ibn Rahawaih, maka ia menjawab:

مثل إسحاق يسأل عنه؟ إسحاق عندنا إمام من أئمة المسلمين

Apakah orang seperti Ishaq masih dipertanyakan? Ishaq bagi kami merupakan salah satu Imam dari para Imam kaum Muslimin.

Hal ini juga berlaku untuk mentajrih seorang perawi.

3.      Ibn ‘Abdi al-Bar mengatakan: “Setiap pembawa ilmu (hadis) maka dihukumi ‘adl sampai terkuak jarhnya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:

يحمل هذا العلم من كل خَلَف عدولُه، يفنون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين

Setiap yang membawa ilmu ini dari khalaf, maka ‘adl. Jauh dari kesesatan orang yang melampaui batas dan mengikuti kebatilan, serta ta’wil orang-orang yang bodoh.

Pendapat ini dikritik Ibn Salah (w. 643 H) karena terlalu menggampangkan (tasahul) yang tidak dapat diterima. Nuruddin‘Itr mengomentari: “Sepertinya Ibn Salah (w. 643 H) menyamakan pendapat tersebut dengan mastur.

Tetapi pendapat Ibn ‘Abdi al-Bar disepakati oleh para muhaqqiq seperti: ibn al-Jauzi, al-Mizzi, al-Dhahabi, al-Sakhawi. Al-Sakhawi (w. 902 H) mengatakan:

ولا يدخل في ذلك المستور، فإنه غير مشهور بالعناية بالعلم

“Pendapat Ibn ‘Abdi al-Bar tidak bisa disamakan dengan mastur, karena perawi mastur tidak termasuk (dikenal) orang membawa ilmu.

 

K.    Beberapa Hal Yang Tertolak Dalam Jarh wa ta‘dil

1.      Tidak boleh menta‘dil seorang perawi yang mubham, seperti mengatakan حدثني الثقة, tanpa menyebutkan namanya. Maka tidak cukup menghukumi perawi tersebut ‘adl sebelum menyebutkan namanya.

2.      Ibn Hibban (w. 354 H) berpendapat bahwa apabila ada perawi majhul yang meriwayatkan dari thiqah dan yang mengambil darinya thiqah, maka riwayatnya diterima.

Tidak bisa dipungkiri, banyak perawi yang thiqah meriwayatkan dari du‘afa’, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya Ibn Hibban (w. 354 H) dianggap terlalu tasahhul.

3.      Apabila ada seorang perawi ‘adl meriwayatkan dari perawi dan menyebutkan namanya, maka menurut mayoritas ulama perawi tersebut tidak bisa langsung dihukumi ‘adl.

4.      apabila seorang perawi meriwayatkan hadis, sedangkan ia tidak melakukannya, tidak menurunkan derajat ‘adalahnya. Di dalam muwatta’ terdapat 70 hadis yang tidak diamalkan Malik, maka hal tersebut tidak menurunkan derajat ‘adalahnya.[43]

 

L.     Bagaimana Jika Ada Pertentangan Dalam Jarh wa ta‘dil?

Menurut Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dari jumhur ulama dan disepakati ibn Salah (w. 643 H) , juga jama‘ah dari Usuliyyin bawah jarh lebih diutamakan daripada ta‘dil, walaupun penta‘dil lebih banyak. Ibn Salah (w. 643 H) mengatakan dalam muqaddimahnya:

إذا اجتمع في شخص جرح وتعديل، فالجرح مقدم لأن المعدل يخبر عما ظهر من حاله والجارح يخبر عن باطن خفي على المعدل.

Apabila bertemu antara jarh dan ta‘dil dalam satu perawi, maka yang diutamakan adalah jarh, karena penta‘dil mengabarkan tentang apa yang terlihat dari kondisi perawi, sedangkan pentajrih mengabarkan dari batin yang tidak terlihat oleh penta‘dil.

Ibn Salah (w. 643 H) lalu menambahkan

فإن كان عدد المعدلين أكثر فقد قيل التعديل أولى. والصحيح والذي عليه الجمهور أن الجرح أولى لما ذكرناه

Ada orang yang mengatakan apabila jumlah penta‘dil lebih banyak maka lebih diutamakan. Yang benar dan yang disepakati mayoritas (ahli hadis) bahwa jarh lebih diutamakan.[44]

Nuruddin‘Itr menambahkan bahwa meskipun jarh lebih diutamakan, tetapi harus memenuhis syarat-syarat berikut:

1.      Pentajrih harus memenuhi semua syarat.

2.      Tidak diterima jarh dari seorang pentajrih yang berselisih atau mencari-cari kesalahan perawi yang ditarjih. Maka tidak diterima tajrih dari al-Nasa’i terhadap Ahmad ibn Salih al-Misry, karena perselisihan antara keduanya.

3.      Al-Uqaily mentajrih Thabit ibn ‘Ajlan al-Ansary dengan mengatakan: لا يتابع على حديثه (riwayatnya tidak bisa diikuti). Abu al-Hasan ibn al-Qattan mengatakan itu tidak membahayakannya kecuali apabila riwayatnya banyak yang mungkar dan bertentangan dengan thiqat. Demikian yang dijelaskan Ibn Hajar (w. 852 H).

 

M.   Karya-Karya Rijal (Perawi) Hadis

Para ulama pun sudah mengarang kitab khusus untuk mengetahui thiqah atau tidaknya sang perawi, diantaranya:[45]

a.       Kitab yang berisi perawi du‘afa’ seperti:

1.      Al-Du‘afa’ karya Imam Bukhari,

2.      Al-Du‘afa’wa al-Matrukin karya al-Nasa’i

3.      Al-Du‘afa’ al-Uqaili[46]

4.      Al-Kamilfial-Du‘afa’karya ibn ‘Adi

5.      Al-Majruhin karya Ibn Hibban

6.      Mizan al-I‘tidal karya al-Dhahabi

7.      Lisan al-Mizan karya Ibn Hajar

b.      Kitab yang berisi perawi thiqat seperti:

1.      Al-Thiqat karya Ibn Hibban

2.      Al-Thiqat karya al-‘Ijli[47]

3.      Al-Thiqat karya Abi Hatim

4.      Al-Thiqat karya Khalil ibn Shahin

Ada juga kitab lain yang menjelaskan perawi thiqat seperti Tabaqat karya al-Dhahabi (w. 748 H) dan Suyuti (w. 911 H), selain itu Tabaqat ulama’ al-Hadith karya ibn ‘Abdi al-Hadi.

c.       Kitab berisi perawi du‘afa’ dan thiqat (Mushtarak):

1.      Tabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’d

2.      Tabaqat karya Khalifah Ibn Khayyat

3.      Tarikh al-Bukhari al-Thalathah

4.      al-Jarh wa al-Ta‘dil karya Ibn Abi Hatim

5.      Tamyiz karangan al-Nasa’i.

6.      Ma’rifatu al-Ruwwat al-Mutakallam fihim bima la yujab al-Radd karya al-Dhahabi

 

N.    Karya-Karya Tentang Jarh wa ta‘dil

1.      Mukaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil karya Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H)

2.      Al-Raf‘u wa al-Takmil fial-Jarh wa al-Ta‘dil karya al-Luknawi (w. 1304 H).[48]



BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut:

        1.      Sudah sejak lama para ulama memperhatikan Jarh wa ta‘dil, dari para sahabat adalah Ibn ‘Abbas (w. 68 H), Anas ibn Malik (w. 93 H). Dari kalangan tabi‘in adalah ‘Amir al-Sha’by (w. 104 H), ibn Sirin (w. 110 H), Sa‘id ibn Musayyab (w. 93 H)

        2.      Jarh wa ta‘dil sangat penting, terutama dalam penentuan hukum sebuah hadis. Oleh karenanya sejak dulu para ahli hadis menanyakan setiap perawi hadis, dari mana dia mendapat hadis tersebut.

3.      Dalam melakukan jarh dan ta‘dil ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Selain itu juga ada adab-adab yang perlu diperhatik dalam melakukan Jarh wa ta‘dil

4.      Jarh wa ta‘dil mempunyai lafaz (kode-kode) tertentu. Dan itu diklasifisikan oleh Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Ibn Salah (w. 643 H), Ibn Hajar (w. 852 H), al-Sakhawi (w. 902 H) dan Manna’ al-Qattan (w. 1420 H).

5.      Orang pertama yang meletakkan pondai pengklasifikasian Jarh wa ta‘dil menurut Nuruddin‘Itr adalah Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H).

6.      Tidak semua Jarh wa ta‘dil diterima, karena ada beberapa hal dalam Jarh wa ta‘dil yang ditolak, sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya.

7.      Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan pentajrih dan penta‘dil. Ada yang mengatakan bahwa minimal harus dua orang, sebagian lain mengatakan tidak ada persyaratan dalam jumlah pentajrih dan penta‘dil.


DAFTAR PUSTAKA

Baghdadi (al), Al-Khatib, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah. t.t.: Jum ‘iyyah Dairatu al-Ma’arif, 1357 H.

Bakkar, Muhammad Mahmud Ahmad, Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadith wa al-Rijal. Kairo: Dar Salam, 2012.

Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Juz 2. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Dhahabi (al), Shamsuddin, Mizanu al-I‘tidal fi Naqdi al-Rijal, juz 1.Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963.

Hajar, Ibn, Nuzhatu al-Nazr. Suriah: Matba’ah al-Sabah, 2000
____, Ibn, Nukhbatu al-Fikr. Beirut: Dar ibn Hazm, 1427 H / 2006 M.

‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith. Suriah: Dar al-Fikr, 1997.

Luknawi (al), Muhammad ‘Abdu al-Hay, Al-Raf’u wa al-Takmil, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah. t.t.: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.th..

Muhdi, ‘Abdul, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu. Kairo: Maktabah Iman, 2011.

Muslim, Imam, SahihMuslim, Juz 1. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Qattan (al), Manna’, Usul al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.

Razi (al), Ibn AbiHatim, al-Jarh wa al-Ta‘dil, juz 2. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1952.

Sakhawi (al), Fath al-Mughith , Juz 2. Riyad: Dar al-Minhaj, 1426 H.

Salah, Ibn, Ulum al-Hadith, tahqiq Nuruddin al-‘Itr. t.t.: t.p., t.th..

Suyuti (al), Jalaluddin, Tadrib al-Rawi, tahqiq Abu Mu’adh Tariq ibn ‘Iwadillah ibn Muhammad, Juz 2. Riyad: Dar al-‘Asimah, 1424 H / 2003 M.

Zahw, Muhammad Muhammad Abu, al-Hadith wa al-Muhaddithun. Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah, 1404 H / 1984 M.


[1] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith (Suriah: Dar al-Fikr, 1997),  92.

[2] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Jilid 2 (Riyad: Dar al-‘Asimah, 2003), 494.

[3]Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah, 1404 H / 1984 M), 455.

[4] Muslim, Sahih Muslim, Juz 1(Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 10.

[5]Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 457.

[6] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 106.

[7] Bukhari, Sahih Bukhari, Juz 2 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 738.

[8] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah (t.t.: Jam‘iyyah Dairatu al-Ma’arif, 1357 H), 45.

[9]Ibid.

[10] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazr (Suriah: Matba’ah al-Sabah, 2000), 138.

[11] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, 94.

[12] Muhammad ‘Abdu al-Hay al-Luknawi al-Hindi, Al-Raf’u wa al-Takmil, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah(t.t.: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.th.), 16.

[13] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarhwa al-Ta‘dilQawa‘iduhu wa A’immatuhu, (Kairo: Maktabah Iman, 2011), 65.

[14] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 94. Lihat juga Muhammad ‘Abdu al-Hay al-Luknawi al-Hindi, Al-Raf’u wa al-Takmil, 53.

[15]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh, 70.

[16] Ibn Salah, Ulum al-Hadith, tahqiq Nuruddin al-‘Itr (t.t.: t.p., t.th.), 109.

[17] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 95.

[18] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta‘dil, juz 2(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1952), 37.

[19]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 107.

[20] Shams al-Din al-Dhahabi, Mizanu al-I‘tidal fi Naqdi al-Rijal, juz 1(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963), 4.

[21] Ibn Hajar, Nukhbatu al-Fikr (Beirut: Dar ibn Hazm, 1427 H / 2006 M), 175.

[22]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 39. Abdul Muhdi memasukkan tingkatan kedua dalam pembagian ibn Hajar, menjadi tingkatan pertama. Sedangkan untuk tingkatan keduanya, Abdul Muhdi memasukkan: فلان يسأل عن مثله، مثلي يسأل عن فلان؟ مثل فلان يسأل عنه؟ فلان يسأل عن الناس؟ yaitu menunjukkan kemasyhuran perawi (ما يفيد اشتهار الراوي بالعدالة).

[23]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 40.

[24]حديثه مقارِب لحديث غيره من الثقات، أي هو وسط، أو حديثه حسن

[25]حديثه يقاربه حديث غيره، أو فحديثه وسط أو حسن

[26]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 41.

[27]Manna’ al-Qattan, Usul al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid,(Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), 164.

[28] Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2(Riyad: Dar al-Minhaj, 1426 H), 285. Lihat juga ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 109. Manna’ al-Qattan, Usul al-Takhrij, 164.

[29] Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 293.

[30]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh, 75.

[31]Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 292.

[32]Abdul Muhdi memasukkan لا شيء، ليس بشيء، فلان لا يساوي فلسا، لا يساوي شيئا pada tingkatan jarh ke-tiga.

[33]Abdul Muhdi memasukkan متروك،متروكالحديث،تركوه،سكتواعنه، مجمع على تركهpada tingkatan jarh ke-empat.

[34]Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 291.

[35]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh, 74.

[36]Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 290.

[37]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh  74.

[38] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 111. Lihat juga Al-Sakhawi, Fath al-Mughith, Juz 2, 289. Manna’ al-Qattan, Usul al-Takhrij, 165.

[39]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh, 73.

[40] Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 295.

[41]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 113.

[42]Ibid., 101.

[43]Ibid., 104.

[44] Ibn Salah, Ulum al-Hadith, 100.

[45] Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulughu al-Amal min Mustalahi al-Hadith wa al-Rijal (Kairo: Dar Salam, 2012), 668. Lihat juga Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah, 1404 H / 1984 M), 460.

[46] Suyuti (w. 911 H) menuliskan dalam Tadribnya al-‘Uqaili bukan al-‘Aqili

[47] Suyuti (w. 911 H) menuliskan dalam Tadribnya al-‘Ijli bukan al-‘Ajili

[48] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...