Setelah Nabi hijrah ke Yathrib, kota tersebut dijadikan
pusat jamaah kaum muslimin, dan selanjutnya diubah namanya menjadi kota
Madinah. Di kota ini, keadaan Nabi dan umat muslim mengalami perubahan besar,
dari kaum yang tertindas menjadi kaum yang mempunyai kedudukan yang baik dan
kuat serta mandiri. Nabi sendiri menjadi kepala masyarakat yang baru dibentuk
itu, sampai kekuasaanya meliputi seluruh Semenanjung Arabia di akhir hayatnya.
Dengan kata lain, otoritas Muhammad di Madinah bukan hanya sebagai Rasul saja
tetapi sebagai kepala Negara.
Mengingat kondisi masyarakat Madinah yang menyambut baik dakwah Nabi, maka cara Nabi dakwah pun diarahkan dalam rangka menciptakan dan membina suatu masyarakat Islam, karena jumlah umat Islam sudah banyak. Rasulullah kemudian meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat sebagai berikut:
1. Membangun
Masjid Nabawy.
Selain sebagai sarana shalat, Masjid Nabawy berperan
penting sebagai tempat untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa
mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah
yang dihadapi. Masjid Nabawy juga berfungsi sebagai pusat pemerintah Islam.
Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas,
keempat temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan
yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan
tempat kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tak ada penerangan
dalam masjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu shalat isya’ diadakan
penerangan dengan mebakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama Sembilan
tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada
batang-batang kurma yang dijadikan penopong atap itu. Sebenarnya tempat tinggal
nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya dari pada masjid, meskipun memang
sudah sepatutnya lebih tertutup.[1]
2.
Mendamaikan suku Aus dah suku
Khazraj.
Sebelum Islam datang suku Aus dan Khazraj selalu terjadi
perselisihan dan bersitegang bahkan tidak jarang terjadinya pertumpahan darah,
hal ini dipicu oleh adanya pihak ketiga, yakni Yahudi. Kedatangan Rasulullah SAW
memberikan dampak yang sangat positif pada kedua suku tersebut. Kedua suku
tersebut banyak yang memeluk agama Islam, sehingga semuanya telah terikat dalam
tali keimanan. Walaupun sama sekali tidak bisa meninggalkan sisi fanatisme
kesukuan namun telah tertanam dalam jiwa mereka bahwa semua manusia dalam
pandangan Islam sama. Yang membedakan derajat manusia disisi Allah hanyalah
ketakwaanya.
3.
Ukhuwah Islamiyah.
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya
itu, Abu Bakar dan Umar. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang
mula-mula adalah menyusun barisan Muslimin serta mempererat persatuan mereka
guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama
di kalangan mereka sendiri. Untuk mencapai tujuan ini ia mempersaudarakan
muslimin masin-masing dua orang, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali
bin Abi T{alib, Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar
bersaudara dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin al-Khattab dipersaudarakan dengan
Itban bin Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan muhajirin
yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib (sesudah mereka yang tadinya
masih tinggal di mekah menyusul ke maadinah setelah Rasul hijrah)
dipersaudarakan dengan setiap orang dari pihak Ansar, yang oleh Rasulullah lalu
dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian,
persaudaraan muslimin bertambah kukuh adanya.[2]
Nabi berusaha mempersaudarakan antara kaum Muhajirin
dengan kaum Ansar, dengan demikian diharapkan setiap muslimin merasa terikat
dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Dan inilah bentuk baru ikatan
persaudaraan, yakni tidak berdasarkan pada ikatan darah melainkan atas dasar
agama.
4.
Mendeklarasikan Piagam Madinah.
Umat Islam yang hidup bebas dan merdeka di Madinah di
bawah kepemimpinan Rasulullah bukanlah satu-satunya komunitas yang hidup di
kota ini. Ada banyak komunitas lain yang terdiri dari Yahudi dan
sisa-sisa suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih memuja berhala.[3] dan Nabi juga mempersatukan antara golongan
Yahudi dari Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraizah.
Mengingat hal itu, Nabi kemudian menawarkan deklarasi
kepada kedua golongan ini guna menciptakan stabilitas keamanan dalam masyarakat
Madinah. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah ini
didasarkan pada prinsip al-adalat al-insaniyah (keadilan dan
kemanusiaan), al-shura, al-wahdah
al-islamiyah, dan al-ukhuwah al-islamiyah.
Rasululah menawarkan
sebuah perjanjian yang isinya merupakan kesepakatan untuk saling memberikan
kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang,
dan memusuhi. Setelah dikukuhkan di kalangan kaum Muslimin, lalu disodorkan
kepada kaum yahudi. Berikut ini adalah butir-butir perjanjian tersebut:
1. Orang-orang yahudi dari
bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Orang Yahudi dengan agamanya
dan orang-mukmin dengan agamanya sendiri. Termasuk pengikut-pengikut mereka
serta diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok Yahudi di luar
bani ‘Auf.
2. Tanggungan nafkah
dibebankan kepada masing-masing. Orang-orang Yahudi menanggung beban nafkahnya,
demikian juga orang-orang mukmin.
3. Mereka harus bersatu
memerangi siapa saja yang hendak membatalkan perjanjian ini.
4. Mereka harus saling
menasehati, berbuat kebaikan dan tidak boleh berbuat jahat.
5. Tidak boleh menyakiti
dan berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.
6. Harus menolong orang
yang dizalimi
7. Orang-orang Yahudi
harus beriringan bersama kaum mukminin selagi mereka dalam kondisi berperang.
8. Yasrib menjadi kota
suci bagi setiap orang yang terikat dengan perjanjian ini.
9. Jika ada perselisihan
antara orang-orang yang terikat dengan perjanjian ini sehingga khawatir
mengarah pada kerusakan, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad
Rasul-Nya.
10. Orang-orang Quraish
tidak memperoleh pertolongan dan perlindungan
11. Mereka harus bersatu
melawan pihak yang hendak menyerang Yasrib.
12. Perjanjian ini tidak
boleh dilanggar.[4]
Dengan disepakati perjanjian ini. Kota
Madinah dan sekitarnya seakanakan menjadi sebuah negara yang makmur yang
menjadi presidennya adalah Rasulullah saw. Jalannya pemerintahan didomonasi
oleh peran kaum muslim sehingga dengan begitu kota Madinah menjadi ibu kota
bagi Islam.[5]
5.
Meletakkan Dasar-Dasar
Politik , Ekonomi, dan Sosial.
Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru tersebut. Oleh karena itu ayat-ayat Alquran yang diturunkan saat di Madinah ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat tersebut dijelaskan oleh Rasulullah,baik lisan maupun tulisan. Sehingga jadilah dua pedoman umat Islam al-Quran dan hadis. Dari dua sumber hukum islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- Letak Geografi Arab Pra-Islam
- Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad
- Pembentukan Negara Madinah
- Khulafaur Rasyidin
- Renaisans Di Eropa
- Kedatangan Barat Di Berbagai Dunia Islam
- Kemunduran Kerajaan Utsmani Dan Ekspansi Barat Ke Timur Tengah
- Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya
- Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan
- Teori Datangnya Islam Ke Indonesia
- Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia
[1] Muhamad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bogor:
Litera Antar Nusa2011), 196.
[2] Ibid., 200.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 26.
[4] Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Sirah al-Nabawi (Bairut:
Dar Ibn
Hazm, 2009), 232.
[5] Safi al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum (Kairo:
Dar al-Wafa’, 2010), 181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar