HOME

23 Maret, 2022

MAKALAH AL-TAFSIR BI AL-RA'YI

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Alquran merupakan mu’jizat terbesar Rasulullah r yang diwahyukan oleh Allah melalui perantara Jibril u. Kewajiban bagi seorang muslim tentunya untuk membaca Alquran, belajar, medalami serta mengamalkan syari’at-syari’at yang ada di dalam Alquran di kehidupannya.

Allah berfirman dalam surat al-‘Alaq (1-5):

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢  ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣  ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya[1]

Tafsir adalah cara untuk memahami Alquran. Oleh karenanya sangat penting bagi seorang muslim untuk mendalami tafsir, baik itu tafsir bi al-ra'yi maupun tafsir bi ma’thur.

Tentunya pembahasan tafsir bi al-ra'yi kali ini akan sangat menarik sekali untuk dikaji lebih dalam, diteliti dan dibahas.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

    1.      Tinjauan Umum Tentang Tafsir bil Ra’yi

    2.      Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir bil Ra’yi

    3.      Bantahan Ulama Yang Melarang Terhadap Larangan Tafsir bi al-Ra'yi

    4.      Macam-Macam Tafsir bi al-Ra’yi Dengan Contohnya

    5.      Syarat-Syarat Menjadi Mufassir

    6.      Kode Etik Tafsir bi al-Ra'yi

BAB II

PEMBAHASAN 

A.    Tinjauan Umum Tentang Tafsir bil Ra’yi

Secara bahasa al-ra’yu berarti al-i’tiqadu  (keyakinan), al-‘aqlu (akal) dan al-tadbiru (perenungan). Ahli fiqh yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yi. Karena itu Tafsir bi al-Ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.[2]

Sedangkan menurut terminologi, Tafsir bi al-Ra’yi adalah upaya untuk memahami nas Alquran atas dasar ijtihad seorang mufassir yang memahmi betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafaz-lafaznya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam Alquran, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[3]

Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dalam penjelasan maksudnya, seorang mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata.[4]

Sedangkan Ahmad Zuhdi dalam Studi al-Qur’an mengatakan Tafsir bi al-Ra’yi bisa disebut juga tafsir dirayah, atau tafsir dengan akal, atau berdasarkan pada ijtihad. Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang dalam menafsirkan Alquran hanya

berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu, disamping berdasar pada dasar-dasar yang sahih, kaidah yang murni dan tepat.[5]

Menurut Ali S{abuni tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir menggunakan ijtihad berdasarkan usul al-S{ahihah, dan kaidah yang benar.[6]

Menurut Acep Hermawan Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.[7]

Dari pengertian diatas nampaknya Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) termasuk ulama’ yang tidak menerima Tafsir bi al-Ra’yi. Penjelasan selengkapnya tentang pendapat para ulama’ terhadap Tafsir bi al-Ra’yi akan dipaparkan secara khusus.

Ijtihad dalam menafsirkan Alquran berbeda dengan ijtihad dalam disiplin ushul fiqh.

    ·       Ijtihad dalam usul fiqh: Kesungguhan seorang ahli fiqh (faqih) atau seorang mujtahid untuk mengetahui hukum syara’ berdasarkan dalil-dalilnya yang terinci dalam rangka penetapan hukum (istinbat al-hukm)

    ·         Ijtihad dalam konteks ilmu tafsir (khususnya Tafsir bi al-Ra’yi): Kesungguhan seorang mufassir untuk memahami makna nas Alquran. Mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung di dalamnya. Ini adalah ijtihad yang lebih berarti kesungguhan untuk menjelaskan kandungan nas Alquran, baik berupa hukum-hukum syari’at, hikmah-hikmah, nasihat-nasihat, contoh-contoh teladan dan lain sebagainya.[8]

 

B.     Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir bil Ra’yi

Para ulama’ berbeda pendapat tentang tafsir bi al-ra'yi

1.      Golongan yang melarang

Sebagian ulama’ dan mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Alquran, meskipun ia dikatakan ‘alim (ulama’), mengerti bahasa dan sastra Arab (adib), mengerti ilmu nahwu, hadis Nabi r dan mengetahui athar para sahabat.[9]

Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) dalam kitabnya mengatakan bahwa Tafsir bi al-Ra’yi tidak termasuk kategori pemahaman (terhadap Alquran) yang sesuai dengan roh syari’at. Bahkan ia mengklaim orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah dan penganut madzhab batil. Ia pun mencontohkan beberapa tafsir tersebut seperti tafsir (karya) ‘Abdurrah{man ibn Kaisan al-Asam, al-Juba’I, ‘Abdul Jabbar, al-Rummani, Zamakhshari dan sebagainya.[10]

 

Dalil golongan yang melarang

a.       Dalil dari Alquran

Tafsir bi al-ra'yi adalah menafsirkan firman Allah tanpa ilmu. Orang yang melakukan tafsir bi al-ra'yi tidak yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah. Artinya tafsir tersebut hanya berdasarkan pada perkiraan (zanny).[11] Tentunya menafsirkan ayat Alquran seperti ini dilarang, sebagaimana firman Allah:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isra’ 36][12]

... وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui" [Al A'raf 33][13]

 

Sebagian ulama’ yang menolak tafsir bi al-ra'yi berkeyakinan bahwa yang berhak menjelaskan Alquran hanya Nabi Muhammad r[14]. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [An Nahl 44][15]

 

b.      Dalil dari Hadis

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Suwaid bin 'Amru Al Kalbi telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abdul A'la dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jagalah diri untuk menceritakan dariku kecuali yang kalian ketahui, barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka dan barangsiapa mengatakan tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan. (HR. Tirmidzi)[16]

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepadaku Ya'qub bin Ishaq Al Muqri` Al Hadlrami telah menceritakan kepada kami Suhail bin Mihran saudara Hazm Al Qutha'I, telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran dari Jundub ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berbicara tentang Kitabullah 'azza wajalla menggunakan pendapatnya, meskipun benar maka ia telah salah." (HR. Abu Dawud)[17]

 

c.       Sikap Para Sahabat

Para sahabat dan tabi‘in sangat menghormati tafsir Alquran dan menghindari penggunaan akal. Sebagai contoh Ketika Sa‘id ibn Musayyab ditanya soal halal haram, dia menjawab. Tetapi ketika ditanya tentang tafsir salah satu ayat Alquran, maka ia akan diam seolah tidak mendengar apapun.[18]

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam meriwayatkan, Abu Bakar al-S{iddiq pernah ditanya tentang maksud dari kata al-abb dalam firman Allah:

وَفَاكِهَةً وَأَبًّا

Dan buah-buahan serta rumput-rumputan (Abasa 31).[19]

Ia menjawab: “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan tentang kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?”[20]

Meskipun begitu Manna’ al-Qattan (w. 1420 H) tidak menyangkal adanya sahabat yang menafsirkan ayat Alquran. Para sahabat hanya menafsirkan hal yang mereka ketahui saja, baik berkenaan dengan bahasa maupuan syara’. Sedangkan untuk hal yang tidak mereka ketahui, mereka enggan untuk bicara.[21]

Akan tetapi jika tafsir bi al-ma’thur yang sahih ditinggalkan dan beralih ke pendapat yang berdasarkan pada ra’yu semata, maka hal ini merupakan perbuatan mungkar. Ibn Taimiyyah berkata, “Siapa pun yang beralih dari madhhab sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya, ia telah melakukan perbuatan salah dan bahkan bid’ah. Sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir Alquran dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa oleh misi Rasulullah r.”[22]       


 Baca artikel lain yang berkaitan;


2.      Golongan yang membolehkan

a.       Allah dalam banyak ayat di alquran menganjurkan penggunaan akal, pemikiran, perenungan dan penelitian.[23] Sebagaimana firman Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? [An Nisa 82].[24]

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran [Sad 29][25]

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). [An Nisa 83]

Pada ayat pertama dan kedua menujukkan bahwa Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berpikir, merenung dan menggunakan akal. Sedangkan ayat ketiga menunjukkan bahwa Alquran dapat digali isi kandungannya melalui ijtihad orang-orang berakal, yang berilmu dan mumpuni.

b.      Seandainya tafsir bi al-ra'yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtidah dibolehkan? Seorang mujtahid dalam hukum syara’ diberi dua pahala jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al-ra'yi tidaklah tepat.

c.       Para sahabat dalam menafsirkan Alquran ada sedikit perbedaan, itu dikarenakan mereka belum mendapat penjelasan seluruh makna Alquran dari Rasulullah r. Maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya. Seandainya tafsir bi al-ra'yi dilarang, tentu para sahabat telah menyalahi dan melakukan apa yang dilarang Allah.

d.      Rasulullah r pernah berdo’a untuk ‘Abdullah ibn ‘Abbas

حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Musa telah menceritakan kepada kami Zuhair Abu Khaitsamah dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangannya di atas bahuku atau di atas pundaku, -Sa'id merasa ragu, - kemudian beliau berdoa; "Ya Allah fahamkanlah ia terhadap agama dan ajarilah ia ta`wil." (HR. Ahmad)

Seandainya penafsiran Alquran terbatas pada apa yang didengar dari Rasulullah r, tentu disini tidak ada artinya do’a Nabi r yang dikhususkan kepada ibn ‘Abbas t.[26]

C.    Bantahan Ulama Yang Melarang Terhadap Larangan Tafsir bi al-Ra'yi

1.      Anggapan bahwa tafsir bi al-ra'yi merupakan zanny, sehingga tafsir bi al-ra'yi tidak bisa dijadikan metode untuk menafsirkan Alquran merupakan alasan yang kurang tepat. Karena bagaimanapun juga zanny juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memiliki potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka zanny bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang tidak dalil qat‘iy.[27] Ini sesuai dengan firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah 286][28]

2.      Keyakinan bahwa hanya Rasulullah r yang mempunyai otoritas menjelaskan Alquran dijawab: “Ketika Nabi Muhammad r masih hidup, maka penjelasan Alquran memang menjadi otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi r masalah-masalah baru mulai bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir Alquran, dibutuhkan tafsir menggunakan akal dan ijtihad.”[29] Allah berfirman:

... وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

… supaya mereka memikirkan [An Nahl 44][30]

3.      Hadis yang menjelaskan barangsiapa yang menafsirkan Alquran dengan logikanya, maka akan ditempatkan di neraka, itu dimaksudkan bagi orang yang menafsirkan Alquran dengan hawa nafsunya dan tanpa dalil.[31]

4.      Sedangkan sikap Sa‘id ibn Musayyab dan Abu Bakar ketika ditanya tentang tafsir ayat Alquran, itu selain karena sikap hati-hati mereka, juga karena mereka belum tau kebenaran dengan pertimbangan ijtihad yang akan dikemukakan. Fakta menunjukkan bahwa ketika mereka mengetahui kebenarannya, maka pertimbangan dengan ijtihad itu dilakukan meski kebenarannya masih zanny. Misalnya saja yang pernah dilakukan Abu Bakar t ketika ditanya tentang masalah kalalah, ia menjawab: “Dalam hal ini saya menyatakan atas dasar pendapat saya, jika benar itu dari Allah, tetapi jika tidak, maka itu dariku dan dari shaitan, al-kalalah itu begini begini…[32]

 

D.    Macam-Macam Tafsir bi al-Ra’yi Dengan Contohnya

Setelah beberapa pihak berusaha menafsirkan Alquran bi al-ra'yi maka muncul persoalan baru, adanya beberapa orang yang belebihan dalam tafsirnya. Oleh karenanya perlu adanya syarat-syarat yang mengatur penafsiran Alquran atas dasar ra'yu (ijtihad). Karenanya tafsir dibedakan menjadi dua:

    1.      Tafsir bi al-ra'yi al-mahmud (terpuji)

Tafsir bi al-ra'yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nas Alquran.[33]

    2.      Tafsir bi al-ra'yi al-madhmum (tercela)

Tafsir bi al-ra'yi yang dianggap tercela apabila menafsirkan Alquran menurut penafsiran sendiri, tidak mengetahui kaidah bahasa atau hukum, atau membawa firman Allah kepada madhhabnya yang menyimpang, atau kepada bid‘ah dhalalah.[34]

 

Contoh tafsir bi al-ra'yi yang tercela

يَوۡمَ نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۢ بِإِمَٰمِهِمۡۖ فَمَنۡ أُوتِيَ كِتَٰبَهُۥ بِيَمِينِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَقۡرَءُونَ كِتَٰبَهُمۡ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلٗا

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun [Al Isra 71][35]

 

Orang ‘bodoh’ menjelaskan maksud dari kata الإمام adalah الأمهات. Padahal maknanya sangat berbeda. Dia menduga bahwa kata الإمام adalah bentuk jama’ dari kata أم. Padahal tidaklah demikian. Bentuk jama’ dari الأم adalah أمهات.[36]

 

E.     Syarat-Syarat Menjadi Mufassir

Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, maka perlu rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seorang mufassir baik dengan metode ra'yi maupun ma’thur. Berikut syarat-syaratnya:

    1.      Seorang mufassir harus mengetahui hadis Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah.

    2.    Seorang mufassir harus mengetahui bahasa Arab. Sebab melalui bahasa Arab seorang mufassir dapat menjelaskan perbendaharaan lafaz dan dalil-dalilnya. Selain itu terkadang lafaz Alquran mengandung makna mushtarak (mengandung dua makna). Maka keharusan bagi mufassir mengetahui dua makna tersebut, karena bisa jadi makna yang tersembunyi justru makna yang dikehendaki.

    3.      Seorang mufassir harus menguasai ilmu nahwu, karena makna akan berubah dan berbeda disebabkan perbedaan i'rab.

    4.      Seorang mufassir harus menguasai ilmu sarf, karena dengan ilmu sarf akan diketahui bangunan dan timbangan kata. Misalnya jika ada kata yang mubham (tidak jelas maknanya), ketika dia mentasrifkan ke asal katanya, akan diketahui maknanya.

    5.      Seorang mufassir harus mengetahui sumber pengambilan kata. Seperti kata al-masih apakah diambil dari kata al-siyahah atau dari kata al-mashu? karena dua kata tersebut maknanya berbeda.

    6.      Seorang mufassir harus mengetahui ilmu balaghah baik bayan, ma‘ani, maupun badi‘. Dengan ilmu bayan dapat diketahui spesifikasi susunan kata dari segi perbedaannya berdasarkan kejelasan dalalah dan ketersembunyiannya. Dengan ilmu ma‘ani dapat diketahui spesifikasi susunan kata dari segi pemanfaatan makna. Dan dengan ilmu badi‘ dapat diketahui sisi-sisi keindahan kata. Dengan ketiga ilmu tersebut seorang mufassir dapat mengetahui i'jaz Alquran.

    7.      Seorang mufassir harus mengetaui ilmu qira‘at, karena dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui perbedaan pemaknaan dan penafsiran berdasarkan perbedaan qira‘at yang ada.

    8.      Seorang mufassir harus paham tentang ilmu Ushuluddin (islamic theology), seperti ilmu Tauhid. Dengan ilmu tauhid, seorang mufassir dapat mengetahui sifat-sifat yang wajib, ja’iz dan yang mustah{il bagi Allah.

    9.      Seorang mufassir harus mengetahui ilmu ushul fiqh. Karena dengan menguasai ilmu tersebut dia mengetahui cara mengeluarkan hukum Islam dari ayat-ayat Alquran. Serta mengetahui umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, dalalah al-nas, isharah al-nas, dalalah al-amr nahi dan sebagainya.

    10.  Seorang mufassir haru mengetahui ilmu asbab al-nuzul, karena dengan mengetahui sebab-sebab turun ayat tersebut dapat membantu memahami maksud ayat menurut latar belakang turunnya.

    11.  Seorang mufassir harus mengetahui qasas Alquran. Dengan pengetahuan atas kisah-kisah ini secara rinci, akan memperjelas baginya apa yang masih global dari cerita tersebut di dalam Alquran.

    12.  Seorang mufassir harus mengetahui nasikh dan mansukh, karena dengan ilmu tersebut dia dapat mengetahui ayat yang sudah dihapus (mansukh) dalam Alquran dan yang belum.

    13.  Seorang mufasir harus mengamalkan apa yang dia ketahui. Ini akan melahirkan darinya ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Allah berfirman:

... وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

… Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [Al Baqarah 282][37]

 

F.     Kode Etik Tafsir bi al-Ra'yi Antara Lain:

    a.       Menukil dari sunnah Nabi r dengan menghindari yang da‘if dan maudu‘.

    b.      Merujuk pendapat sahabat Nabi r yang memiliki otoritas marfu‘.

    c.       Merujuk pada makna bahasa Arab yang umum (tekstual).

    d.      Sesuai dengan makna kalam dan maksud syara’.[38]

 

G.    Ketentuan-Ketentuan Tafsir bi al-Ra'yi

    1.      Mengetahui pertentangan (ta’arud) antara tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi ma’thur

Sebagai contoh: tafsir الصراط المستقيم . ada yang menafsirkan “Ajaran Alquran”, ada juga yang menafsirkan “Ajaran Islam”, “dengan cara ibadah”, serta “dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Makna tersebut jelas sekali, sekalipun berbeda, tetapi tidak saling menafikan dan tidak pula bertentangan.[39]

    2.      Mengetahui segi-segi pertentangan (ta’arud)antara ayat Alquran

    3.      Mengetahui pertentangan (ta’arud)antara ayat Alquran dan hadis Nabi

    4.      Mengetahui perbedaan (ikhtilaf) dan pertentangan (tanaqud)

    5.      Mengetahui muham ikhtilaf

    6.      Mengetahui sebab-sebab utama ikhtilaf

    7.      Mengetahui ilmu mubhamat

    8.      Menjelaskan makna tersirat Alquran

 

H.    Selain Itu Dalam Menafsirkan Alquran bi al-Ra'yi Harus Menghindari Hal-Hal Berikut:

    a.       Interpretasi teks hanya mengandalkan pendapat pribadi, tanpa memperhatikan dari sisi linguistik ataupun sejarah.

    b.      Menetapkan makna pada teks untuk alasan atau tujuan pribadi.

    c.       Jika teks mempunyai makna ganda, penafsir hanya memilih satu tanpa memperhatikan konteks dan teks lain.

    d.      Memaksanakan makna tertentu pada teks, bukan mencari arti yang paling benar.[40]

 

I.       Anshori menukil dari Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak menambahkan bagaimana kode etik seorang mufassir:

    a.       Seorang mufassir harus mengetahui hukum-hukum Allah mulai dari ibadah, mu‘amalah, sunnah-sunnah yang ada di dalamnya, agar mampu meletakkan ayat-ayat yang mengatur hukum ini sesuai dengan tempatnya.

    b.      Seorang mufassir harus baik tabi’atnya, cerdas pemahamnnya, kuat pikirannya.

    c.       Seorang mufassir harus memiliki sikap dan sifat zuhud (tidak rakus dunia) dan cinta terhadap akhirat. Karena dengan cinta dunia, seseorang akan mudah berpaling dari kitab Allah dan berpihak pada hawa nafus. Dengan begitu, dia akan mudah pula menyesatkan dirinya dan orang lain.[41]


Baca artikel lain yang berkaitan;


BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut:

    1.      Tafsir bi al-ra'yi merupakan tasfir dengan menggunakan akal dan ijtihad berdasarkan usul al-S{ahihah, dan kaidah yang benar

    2.      Meskipun tidak semua ulama menerima tafsir bi al-ra'yi, tapi jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir bi al-ra'yi boleh digunakan dan selama memenuhi persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.

3.      Tafsir bi al-ra'yi dibagi menjadi dua:

a.       Tafsir bi al-ra'yi al-mahmud (terpuji)

b.      Tafsir bi al-ra'yi al-madhmum (tercela)

4.      Untuk menjadi seorang mufassir harus memenuhi persyaratan dan ahli dalam ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan Alquran. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk tafsir bi al-ra'yi saja, melainkan juga untuk tafsir bi ma’thur.

5.      Selain syarat-syarat yang sudah ditetapkan, seorang mufassir juga harus menjaga kode etik dan memperhatikan beberapa hal yang dilarang dalam tafsir Alquran.


DAFTAR PUSTAKA

‘Ak. (al), Khalid ‘Abdurrahman, Ushul al-Tafsir wa qawa‘iduhu. Beirut: Dar al-Nafais, 1406 H / 1986 M.

Alquran Terjemah Departemen Agama

Anshori, Ulumul Qur’an. Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013.

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, juz 2. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Dhahabi. (al), Husein, al-tafsir wa al-Mufassirun. Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2003.

Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.

Ja’far, Abdul Ghafur Mahmud Mustafa, Tafsir wal Mufassirun fi Thaubihi al-Jadid. Kairo: Dar Salam, 2007.

Qattan. (al), Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.

S{abuni, Ali, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Pakistan: Maktabah al-Bushra, 2011.

Tirmidzi, Imam, Sunan Tirmidzi, juz 2, no. Hadis 3205. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Zuhdi, Acmad, dkk, Studi al-Qur’an. Surabaya: UINSA Press, 2015.



[1] Alquran Terjemah Departemen Agama (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1995), 1079.

[2] Anshori, Ulumul Qur’an (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013), 174.

[3] Husein al-Dhahabi, al-tafsir wa al-Mufassirun (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2003), 183. Lihat juga: Anshori, Ulumul Qur’an, 174.

[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), 488.

[5] Acmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an (Surabaya: UINSA Press, 2015), 521.

[6] Ali al-S{abuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Pakistan: Maktabah al-Bushra, 2011), 101.

[7] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 115.

[8] Anshori, Ulumul Qur’an, 175.

[9] Ibid., 176.

[10] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, 17.

[11] Anshori, Ulumul Qur’an, 176.

[12] Alquran Terjemah Departemen Agama, 429.

[13] Ibid., 226.

[14] Anshori, Ulumul Qur’an, 176.

[15] Alquran Terjemah Departemen Agama, 408.

[16] Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, juz 2, no. Hadis 3205 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 743.

[17] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 2, no. Hadis 3654 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 622.

[18] Anshori, Ulumul Qur’an, 179. Lihat juga: Husein al-dhahabi, al tafsir wal mufassirun, 262-263

[19] Alquran Terjemah Departemen Agama, 1026.

[20] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, 489.

[21] Ibid., 490.

[22] Ibid.

[23] Anshori, Ulumul Qur’an, 180.

[24] Alquran Terjemah Departemen Agama, 132.

[25] Ibid., 736.

[26] Anshori, Ulumul Qur’an, 180.

[27] Anshori, Ulumul Qur’an, 177.

[28] Alquran Terjemah Departemen Agama, 72.

[29] Anshori, Ulumul Qur’an, 177.

[30] Alquran Terjemah Departemen Agama, 408.

[31] Anshori, Ulumul Qur’an, 178.

[32] Ibid., 179.

[33] Anshori, Ulumul Qur’an, 182.

[34] Abdul Ghafur Mahmud Mustafa Ja’far, Tafsir wal Mufassirun fi Thaubihi al-Jadid (Kairo: Dar Salam, 2007), 515-516.

[35] Alquran Terjemah Departemen Agama, 435.

[36] Anshori, Ulumul Qur’an, 183.

[37] Anshori, Ulumul Qur’an, 182. Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa qawa‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafais, 1406 H / 1986 M), 187.

[38] Ahmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an, 518.

[39] Anshori, Ulumul Qur’an, 183.

[40] Acmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an, 519

[41] Khalid abdurrahman al-‘ak, Usul al-Tafsir, 188, Anshori, Ulumul Qur’an, 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...