BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian al-Quran al-Karim bermula sejak kitab ini diturunkan/
diwahyukan kepada Nabi Muhamad Saw. Konsep-konsep di dalam al-Quran selalu
relevan dengan problema yang dihadapi oleh manusia, karena ia turun untuk
berdialog dengan umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap
problema tersebut, kapan dan di mana pun mereka berada.
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam dan
pedoman hidup bagi setiap Muslim bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
(hablu min Allah wa hablu min al-nas), serta manusia dengan alam sekitar. Untuk memahami ajaran al-Quran
secara sempurna (kaffah) diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Quran
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan
konsisten.[1]
Sebagaimana diketahui, al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab, baik Lafal maupun Uslubnya.[2] Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna (medan semantik).
Kendati al-Quran bahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang
mahir bahasa Arab dapat memahami al-Quran secara rinci. Bahkan para sahabat
mengalami kesulitan untuk memahami kandungan al-Quran kalau hanya mendengarkan
dari Rasulullah Saw.
Meski Nabi Muhammad telah mencurahkan segala upaya dalam menjaga keutuhan al-Quran, beliau tidak merangkum semua surah kedalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Thabit dalam pernyataannya “saat Nabi Muhammad wafat, al-Quran belum dirangkum dalam satuan bentuk buku”
Untuk itu, makalah ini akan mencoba mengurai
permasalahan yang berkaitan dengan al-Quran, yang difokuskan pada pengertian,
beserta proses pembukuan dan pembakuannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah al-Quran ?
2.
Apa perbedaan antara al-Quran dengan hadis ?
3.
Bagaimana pembukuan dan pembakuan al-Quran ?
4.
Bagaimana pembuktian autentisitas al-Quran ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi al-Quran
1. Pengertian
Al-Quran Secara Etimologi
Dalam pembahasan pengertian al-Quran, terdapat beberapa pendapat Ulama yang dapat dijadikan sebagai dasar memahami apa itu al-Quran, baik pengertian secara lughawi maupun Istilahi, dalam hal ulama berbeda pendapat, yakni mempunyai asal kata atau tidak, dari Bina’ Mahmuz atau tidak dan terakhir terbentuk dari masdar ataupun terbentuk dari kata sifat.
Yang pertama mengatakan lafadz al-Quran berbentuk Mahmuz, di sini terdapat dua pendapat ;
al-Lihyani berkata bahwa kata al-Quran merupakan bentuk Mashdar dari kata kerja qara’a yang berarti “bacaan”. Seperti kata Rajhani dan Ghufrana. Ini berdasarkan firman Allah swt. Q.S. al Qiyamah 75 : 18 ;
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ﴿١٨﴾
“Maka apabila kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya”[3]
al-Zujaj mengatakan bahwa al-Quran adalah kata sifat yang ikut Wazan fu’lanun, yang terbentuk dari lafadz al-Qor’u yang bermakna al-Jam’u (kumpulan). Yang juga senada dengan apa yang diungkapkan oleh Abu Ishaq al-Nahwi dalam kamus Lisanu al‘Arabi, disebutkan :
“و معني القرآن معنى الجمع, و سمى قرآنا لأنه يجمع السور , فيضمها. و قوله تعالى : إن علينا جمعه و قرآنه اي جمعه و قرائته , فإذا قرأناه فاتبع قرآنه , اي قرأته.”
“Lafaz Al-Quran itu berarti al-Jam’u (kumpulan). Untuk itu dinamakan al-Quran sebab terkumpul di dalamnya surat-surat dan ayat, cerita ataupun perintah dan larangan. sebagimana firman Allah Swt ‘apabila kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya’ artinya pengumpulannya dan bacaannya”. Kedua pendapat diatas adalah lafaz al-Quran adalah berbentuk mahmuz.
Jadi berdasar uraian di atas nama al-Quran tetap berhamzah. Dan bila hamzahnya dibuang , maka hal itu karna tujuan Takhfifi (meringankan ucapan) dan bila dimasuki Al setelah jadi nama, maka al tersebut murupakan Li hamhil Ashl (melihat makna asal) bukan li al Ta’rif( menyempitkan).[4]
Pendapat kedua mereka yang mengataka lafadz al-Quran bukan bentuk mahmuz (tanpa hamzah) diantaranya adalah al-Syafi’i, al-Farra’ dan al-Asy’ari. Disini mereka berbeda tentang asal kejadian kata tersebut;
Al-Asy’ari mengatakan bahwa lafaz al-Quran terbentuk dari lafadz Qarana, yang bermakna bersamaan. Maka diambillah nama dari kata ini, karena bersamaannya surah, ayat, dan huruf.
Sedangkan al Farra’ mengatakan bahwa lafadz tersebut terbentuk lari kata al-Qara’inu, karna keberadaan ayat-ayat tersebut membenarkan sebagian dengan sebagian yang lain. dan menyerupai yang satu dengan yang lain sehingga ayat tersebut sebagai tanda atas ayat yang lain.
Al-Syafi’i mengemukakan bahwa kata al-Quran adalah Ism Alam ghairu Manqul bukan kata bentukan dan sejak awal memang digunakan untuk nama atas kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW . dari semua pendapat di atas pendapat al-Lihyani lebih kuat.[5]
Hanya saja dari beberapa pendapat Ulama di atas, pendapat yang menyatakan bahwa kata Qur’an berarti “bacaan”,yang berasal dari kata قرأ- يقرأ-قرأنا و قرأة dengan makna membaca, kata ini sebenarnya berasal dari bahasa alarumiyah yang kemudian masuk ke dalam bahasa Arab.[6]
2. Pengertian
Al-Quran secara Terminologi.
Selanjutnya adalah pengertian al-Quran secara terminologi. Pengertian al-Quran ternyata cukup menjadi perhatian para ulama dan para ahli bahasa. Tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda pada tingkat redaksi definisi yang dijabarkan, namun secara substansi tetap sama bahwa al-Quran adalah firman Allah yang telah diwahyukan (كلام الله).
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, lazimnya, pembahasan apapun selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (defenisi) secara teknis, guna menangkap substansi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itulah pengertian al-Quran secara terminologi ini, diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadapnya.
Ada beberapa pengertian yang diungkapkan para Ulama maupun para ahli bahasa, yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya al-Quran itu.
"هو كلام الله المعجز , المنزل علي خاتم الانبياء و المرسلين
, بواسطة الأمين جبريل عليه السلام المكتوب في المصاحف , المنقول إلينا باتواتر ,
المتعبد بتلاوته , المبدوء بسورة الفاتحة, المختتم بسورة الناس."
“Al-Quran adalah
kalam Allah yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul,
melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril ‘alaihi as salam,
ditulis dalam mushaf, disampaikan
kepada kita dengan jalur Mutawatir, bernilai ibadah dengan membacanya,
dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah al-Naas.
Jadi, al-Quran adalah kalam Allah SWT. yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril ‘alaihi as salam, ditulis dalam Mushaf, disampaikan kepada kita dengan jalur mutawatir, bernilai ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah al-Nas. Pendapat ini telah disepakati oleh para Ulama Ushul, Fuqaha’ dan para Ulama dari kalangan ahli bahasa.[7]
B.
Perbedaan antara al-Quran dan
Hadis
Di awal sudah dijelaskan tentang definisi al-Quran
dan untuk mengetahui perbedaan antara al-Quran dan hadis maka kami paparkan definisi al-Hadith.[8]
1.
Hadis nabi.
secara bahasa adalah
baru, secara mutlak maksud baru disini semua ucapan yang diungkapkan, dipindah,
dan disampaikan pada manusia lewat pendengaran atau wahyu, dengan makna ini
maka al-Quran juga dikatakan hadis.
Sedang hadis secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, peebuatan, penetapan ataupun sifat. Kami contohkan satu hadis yang berupa penetapan nabi terhadap suatu perkara;
Seperti ketika Rasullah SAW. mengajarkan para sahabat tentang cara shalat, beliau melaksanakan shalat kemudian bersabda;
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian memilahat aku shalat
2. Hadis
qudsi.
Secara bahasa kata qudsi menunjukkan pada kemulyaan dan keagungan, karna substansi dari kata ini mempunyai arti bersih dan suci. Seperti firman Allah SWT. Surah al baqarah, 30;
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ
“padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau.
Sedang secara istilah Hadis Qudsi adalah
sabda Nabi yang disandarkan kepada allah swt. Maksudnya adalah Nabi meriwayat hadis
yang bersumber dari allah dengan menggunakan redaksinya sendiri. Dan ketika
sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah maka akan bersanad pada Allah SWT.
Seperti sabda Nabi SAW;
قل رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Atau sabda beliau قال تعالىatauيقول الله تعالى
Baca artikel lain yang berkaitan;
C.
Proses Pembukuan dan
Pembakuan Al-Quran
Jika ditelusuri sejarah al-Quran mulai dari diterimanya oleh nabi hingga kepada pertumbuhan dan perkembangan berikutnya. Maka terdapat tiga fase pembukuan al quran, yaitu pada masa Nabi, Abu Bakar dan Uthman bin Affan. Ketiga fase pembukuan ini mempunyai ciri, karakter, tujuan dan latar belakang yang berbeda.
1.
Pada masa Rasulullah SAW
a. Semua
ayat telah dihafal oleh para sahabat.
Setiap wahyu turun maka perhatian beliau akan tertuju sepenuhnya kepada penghafalan terhadapnya. Disini beliau menjadi penghimpun al-Quran didalam hati. Kemudian beliau membacakannya kepada orang-orang, sedikit demi sedikit agar mereka juga mampu menghafal dengan baik, Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Tanpa perubahan, pengurangan dan penambahan, Hal ini dikarnakan beliau adalah seorang ummi yang diutus kepada masyarakat yang mayoritas ummi pula. Allah swt, berfirman dalam surah al-Jumu’ah ayat 2 ;
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ
لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ﴿۲﴾
“Dia-lah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
Hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata,[9]
Pada masa ini tidak ada al-Quran kecuali seluruhnya mereka hafal, sesuai karakter mereka orang-orang Arab pada umumnya mempunyai kemampuan yang kuat untuk menghafal, karna itu setiap kali menerima ayat al-Quran baik langsung dari Rasulullah Saw ataupun dari sahabat yang lain, mereka langsung mempelajari dan menghafal dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa faktor yang mendorong minat mereka untuk menghafal al-Quran.
Yang pertama al-Quran berisi berbagai ajaran dan petunjuk tentang kehidupan yang baik beradab dan sejahtera, baik lahir maupun batin. Ajaran-ajaran itu belum mereka miliki sebelumnya. Kedua belajar dan mengajarkan al-Quran kepada orang lain merupan ibadah yang paling utama dalam Islam. Seperti sabda Rasulullah SAW.
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“ Orang yang terbaik
diantara kamu adalah orang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya kepada
orang lain.
Ketiga, orang yang terbaik dalam membaca al-Quran dan terbanyak hafalannya akan mendapat prioritas untuk ditunjuk menjadi imam shalat berjamaah, seperti disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW.
"يؤم القوم أقرأهم لِكِتَابِ اللَّهِ، فَإِنْ كَانُوا في القراءة سواءاً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا في السنة سواءاً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا في الهجرة سواءاً، فَأَقْدَمُهُمْ سِنا، وَلَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يُقْعَدُ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إلَّا بِإِذْنِهِ"
Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang pali qari diantara mereka, jika mereka sama dalam hal tersebut maka dahulukan yang banyak mengetahui al sunnah, jika sama juga dalam hal sunnah maka dahulukan yang terdahulu berhijrah,jika sama dalam hal hijrah dahulukan yang lebih tua di antara mereka, jangan sampai orang menjadi imam orang lain yang di wilayah kekuasaannya dan jangan pula ia duduk di rumah orang lain, karna menghormatinya, kecuali dengan izinnya.
b. Semua
ayat al-Quran telah ditulis oleh para sahabat.
Disamping telah menyuruh dan mendorong minat sahabat untuk mengahafal al-Quran. Rasulullah juga telah menyuruh mereka menuliskan ayat-ayat al-Quran diatas benda apa saja yang bisa ditulisi. Seperti pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, sobekan kain, potongan tulang, dan lembaran kulit binatang yang sudah dimasak. jumlah mereka cukup banyak, tidak kurang dari 43 orang. Yang terkenal antara lain Abu Bakar, Umar bin khatthab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi T{alib, Abu Sufyan, dan dua putranya yaitu Muawiyah dan Yazid, dan lain-lain. Mereka itu semua disebut katibul wahyi (para penulis wahyu). Penulisan al-Quran pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh sahabat tertentu yang ditunjuk sebagai sekretaris wahyu, melainkan masing-masing sahabat yang pandai menulis mereka juga menulis al-Quran untuk pribadi.
c. Semua
ayat dan surat telah tersusun seperti sekarang.
Untuk menjaga kemurnian al-Quran maka rasulullah tidak hanya menyuruh para sahabat menghafal dan menulis ayat-ayat secara utuh, sekaligus menetapkan ayat-ayat alqur’an pada suratnya masing-masing. Seperti sabda rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Abu Darda “ Siapa saja yang telah menghafal 10 ayat dari permulaan surat al-Kahfi ia akan terpelihara dari fitnah Dajjal. Begitu pula dengan sabda Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Umar katanya “Ia sering bertanya kepada Rasulullah tentang masalah kalalah” beliau kemudian memasukkan jari-jari beliau ke dalam dadanya seraya berkata “Ayat shaif yang terdapat di surat al-Nisa sudah cukup untukmu”. [10]
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al-Quran telah tersusun secara berurutan. Sebab, jika tidak dipahami demikian, bagaimana mana mungkin seorang sahabat dapat mengetahui urutan ayat-ayat al-Quran di dalama suatu surat sebagaimana yang telah disebutkan dalam ketiga riwayat tersebut kalau tidak ada susunan ayat al-Quran pada setiap surat yang sudah baku dan diikuti semua orang.[11]
2. Pada
masa Abu Bakar.
Setelah nabi saw. wafat yang menggantikan beliau sebagai khalifah kesatu adalah Abu Bakar S{iddiq ra. Pada masa khalifah ini upaya memelihara autentisitas maju selangkah, yaitu terlaksananaya kompilasi (pengumpulan) ayat-ayat al-Quran.
Belum setahun setelah Rasulullah SAW. Wafat dan Abu Bakar telah menjadi khalifah telah terjadi peperangan sengit di Yamamah antara kaum muslimin dan para pengikut Musailamah al-Kadhdhab. Mengingat akibat dari peristiwa tersebut, khususnya yang berkenaan dengan banyaknya para qari dan hafidz al-Quran yang syahid di peperangan itu telah menimbulkan kekhawatiran Umar al-Khatthab akan bertambahnya para qari dan hafidz yang syahid atau wafat. Baik dalam peperang an atau lainnya.
Disni abu bakar menugaskan Zaid Bin Thabit sebagai ketua pengumpulan al-Quran, berdasarkan hadis riwayat ‘ubaid ibn sabbaq yang terdapat dalam S{ahih Bukhari. Dalam menjalankan tugasnya Zaid hanya mengumpulkan tulisan-tulisan al-Quran yang asli ditulis di hadapan Rasulullah SAW. Tugas ini beliau laksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama meneliti al-Quran secara seksama. Tahap kedua mengumpulkan hasil penelitian tersebut ke dalam satu bundelan yang kemudian disebut mushaf.[12] Untuk meringankannya maka abu Bakar menunjuk beberapa orang sahabat untuk membantu mereka adalah Ubai bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatthab, Uthman bin Affan semua adalah penulis wahyu dan hafal al-Quran. Agar kumpulan al-Quran hasil kerja panitia dapat dijamin otentisitasnya, maka panitia dalam melaksanakan tugasnya telah mengikuti cara yang sangat teliti.
Pertama yang diteliti dan dumpulkan hanyalah catatan-catatan al-Quran yang asli dan telah ditulis dihadapan Rasulullah saw. Bukan dari hafalan saja.
Kedua, catatan-catatan tersebut harus dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi. Persyaratan ini telah disebutkan dalam sebuah riwayat dari yahya bin Abd al Rahman Ibn Hathib yang diceritakan kembali oleh Abi Dawud dalam sunannya, bahwa Umar datang seraya berkata, “ siapa yang telah menerima sesuatu dari al-Quran dari Rasulullah saw. maka bawalah. “mereka telah menulisnya di kulit-kulit binatang, kepingan-kepingan batu dan pelepah-pelepah kurma kering. Catatan-catatan yang telah dibawa kehadapan Zaid, tidak dapat langsung diterima begitu saja dari seseorang, kecuali kalau ada dua orang yang membenarkannya. Menurut al-S{ahawi yang dimaksud dengan dua orang saksi di sini adalah yang menyaksikan bahwa yang tertulis itu benar-benar ditulis dihadapan nabi saw.[13]
Sebenarnnya Zaid bukanlah orang yang pertama kali mengumpulkan al-Quran dalam sebuah Mushaf, karna sebelum dia melaksanakan tugasnya, bahkan sebelum Umar mengusulkan ide pengumpulan al-Quran kepada khalifah Abu Bakar, beberapa orang sahabat telah berupaya atas inisiatif sendiri. Diantara mereka Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa al-Ash ‘ari .
Pengumpulan-pengumpulan al-Quran yang telah dilakukan para sahabat tersebut, tentunya sudah diketahui oleh Umar, namun apa yang dilakukan mereka, belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Mengingat sumber yang mereka pakai untuk pengumpulan al-Quran tersebut masih terbatas pada hafalan dan catatan-catatan al-Quran yang ada pada koleksi pribadi masing-masing. Sebaliknya, pengumpulan yang dilakukan oleh Zaid adalah atas tanggung jawab negara dan atas perintah resmi dari khalifah. Disamping dia sendiri memiliki potensi yang sama untuk melakukannya seorang diri. Sebab dia adalah seorang hafidz al-Quran dan penulis wahyu.
Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan al-Quran yang dilaksanakan oleh Zaid adalah pengumpulan al-Quran resmi dari khalifah. Karena itu mushaf yang terwujud dari hasil kerjanya itu menjadi mushaf resmi yang menjadi rujukan seluruh kaum muslimin.[14]
3. Pada
masa Umar bin al-Khattab
Setelah abu bakar wafat maka yang menggantikannya adalah Umar ibn al khatthab ra. mushaf yang sebelumnya disimpan oleh Abu Bakar, kini disimapan oleh Umar, tidak ada langkah baru yang dilakukan terhadap mushaf yang disimpannya itu. Ini disebabkan situasi dan kondisi pada waktuitu belum menghendaki demikian. Selain itu para sahabat telah mersa tentram dengan terkumpulnya dalam mushaf resmi ini. Meskipun demikian, perhatian Umar terhadap al-Quran diarahkan pada aspek pengajarannya secara merata keseluruh negeri Islam dan pengawasan terhadap Qira’at yang dipakai oleh kaum muslimin dalam membaca al-Quran agar tidak menyimpang dari semestinya, dan tidak keluar dari batas tujuh huruf yang telah diijinkan oleh Rasulullah SAW.[15]
4. Pada
masa Uthman RA.
Pengumpulan al-Quran pada masa Uthman adalah mengupulkan al-Quran dalam bentuk menstandarisasikan (menseragamkan) bacaan kaum muslimin. Seperti diterangkan di depan bahwa di samping negara memiliki mushaf resmi. Beberapa orang sahabat teleh pula memiliki Mushaf pribadi, yang dikumpulkan atas inisiatif dan usaha sendiri. Yang antara bacaan dan susunannya berbeda dengan yang terdapat dalam Mushaf resmi.
Para sahabat yang menetap di luar madinah dan sekaligus menjadi pengajar al-Quran di sana. Sehingga Mushaf-Mushaf mereka menjadi pegangan kaum muslim setempat. Mushaf Ubay ibn Ka’ab dipakai di Damaskus, Miqdad di Himsh, mushaf ibn Mas’ud di Kufah, dan Mushaf Abu Musa al Asy’ari di Bashrah.
Mushaf-mushaf tersebut tidaklah seragam, terutama dalam hal bacaannya. Bagi mereka yang memegang mushaf-mushaf tersebut fanatik akan kebenaran mushaf yang mereka pegang. Akibat dari perbedaan yang tidak terawasi oleh pemerintah sebaimana yang dilakuan Umar, telah menimbulkan pertiakaian yang tajam antar sesama kaum muslim. Hingga berakibat saling menkafirkan, kejadian ini terjadi pada 25 H. Atau sekitar dua atau tiga tahun dari pemerintahan Uthman tepatnya ketika kaum muslimin menaklukkan Arminia An Adzribijan. Kasus perbadaan tersebut telah disaksikan oleh Hudhaifah yang memempin penaklukan, mempunyai gagasan untuk mengusulkan kepafa khalifah ‘Uthman agar sesegera mungkin bertindak untuk menyeragamkan Mushaf al-Quran dalam satu Qira’at atau bacaan.[16]
Dalam usahanya untuk menyeragamkan bacaan kaum muslimin, beliau bermusyawarah dengan para sahabat dan berpendapat agar dilakukannya penyeragaman kaum muslimin dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan. Yang kemudian pendapat itu sepakati oleh para sahabat. Ada beberapa langkah yang ditempuh khalifah Uthman Untuk merealisasikan idenya tersebut.
Pertama meminjam Mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa abu bakar kepada hafsah untuk disalin.
Kedua membentuk sebuah panitia yang terdiri atas empat orang, yang dipimpin Zaid bin Thabit, dengan anggota sebanyak tiga orang yaitu Abdullah ibn al Zubair, Sa’id Ibn Al-Ash, Dan Abdurrahman Ibn Harith Ibn Hisyam, dan menurut pendapat lain masih banyak lagi.
Ketiga, setelah panitia selesai melaksanakan tugasnya, maka mushaf-mushaf yang telah diselesaikan oleh panitia tersebut dikirim ke berbagai negeri islam.
Keempat, memerintahkan kepada kaum muslimin di seluruh negeri
islam untuk membakar semua mushaf dan catatan al-Quran yang tidak sesuai dengan
Mushaf resmi.[17]
Tulisan yang pakai oleh panitia dalam menulis mushaf Uthmani dan
menggandakannya adalah juga tulisan yang telah dipakai dalam menulis al-Quran
pada zaman Rasulullah SAW. Yaitu tulisan kufi, yang tidak menggunakan titik dan
baris di samping itu para sahabat dalam menulis al-Quran pada masa Rasulullah
saw. Belum memiliki standar penulisan yang sedah baku. Begitu pula dengan
penulisan al-Quran dalam Mushaf
Uthmani. karena itu, tidaklah mengherankan jika didalam mushaf itu banyak
dijumpai bentuk penulisan khat dengan huruf yang tidak sama persis sama denga pengucapannya
dan berbeda dengan penulisan Arab sistem imla’i yang sesuai dengan bunyi kata yang diucapkan, tanpa
ada tambahan, pengurangan, penggantian dan perubahan.[18] Bentuk yang dipakai oleh para sahabat
dalam dalam menulis ayat-ayat al-Qurandi dalam Mushaf Uthmani itulah yang dinamai
Rasm Uthmani. bentuk tulisan yang membedakan dengan tulisan Imla’i tersebut,
antara lain berupa hadzf , ziyadah, hamzah, badal, fashl, dan
washal,.
D.
Bukti keotentikan al-Quran
Al-Quran mempunyai berbagai ciri dan sifat. Salah satunya adalah ia merupakan kitab yang keotentiaknnya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang terpelihara. Allah swt. Berfirman dalam surat al Hijr 9;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴿٩﴾
“Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Quran dan kamilah pemelihara-pemeliharanya”.
Demikian Allah SWT menjamin keotentikan al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan. Serta upaya-upaya yang telah dilakukan oleh makhluk-makhluknya. Dengan jaminan ayat di atas. Setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Quran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW. Dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat.[19]
Untuk membuktikannya dr. Mustafa Mahmud mengutip pendapat Rasyad Khalifah mengemukakan bahwa dalam al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya. Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surat dalam al-Quran adalah jaminan keutuhan al-Quran sebagaimana diterima Rasulullah Saw. Tidak lebih tidak berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan dalam al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19 sesuai dengan jumlah huruf dalam بسم الله الرحمن الرحيم
Huruf ق yang merupakan awal dari surah ke 50 ditemukan
terulang 57 kali atau 3X19
Huruf كهيعص , dalam surat maryam ditemukan sebanyak 798
kali atau 42X19
huruf ن pada permulaan surat al qalam,
ditemukan sebanayak 133 atau 7x19
huruf يس pada
surat yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15X19
kedua huruf طه pada
surat tha ha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama denga 19X18
huruf همyang terdapat dalam keseluruhan surat yang
dimulai dengan kedua huruf ini ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari
114X19, yakni masing-masing berjumlah 2.166
bilangan ini dapat ditemukan langsung dari celah ayat al-Quran, maka seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau di tukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau. Disamping al-Quran sendiri ada juga tinjaun keotentikan al-Quran dari segi sejarah.[20]
Baca artikel lain yang berkaitan;
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas kami
dapat menyimpulkan;
1. Al-Quran adalah kalam Allah yang dimu’jizatkan,
diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantara yang
terpercaya Malaikat Jibril ‘alaihi as salam, ditulis dalam mushaf, disampaikan
kepada kita dengan jalur mutawatir, bernilai ibadah dengan
membacanya, dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah al-Naas.sedang
secara bahasa terdapat banyak pendapat. Terdapat tiga pendapat.
2. Al-Quran berbeda dengan hadis al-Quran adalah kalamullah sedang hadis adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang bersumber
dari allah. Sedang hadis qudsi adalah sabda nabi yang nisbatkan kepada Allah SWT.
3.
Al-Quran dalam pembukuannya mengalami
perjalanan yang panjang, dan bisa dibagi dalam tiga fase di setiap fase
mengalami pembakuan sesuai situasi kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
4. Keotentikan al-Quran telah dijamin oleh Allah
swt. Dan dalam al-Quran itu sendiri, juga keotentikan itu bisa dilihat dari
sejarah al-Quran dan orang-orang yang telah berusaha untuk menjaganya
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon
‘Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Athoillah, H.A. Sejarah al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Kadar, M.
Yusuf. Studi Al
Quran. Jakarta: Amzah, 2009.
Ma’bad, Muhamad Ahmad. Nafahat min Ulum al-Quran. Dar al Salam.
S{abuni (al), Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Quran,
terj. Muhammad Qadirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
S{alih, Shubhi. Mabahits Fi Ulumi Al-Quran. Beirut:
Dar al-Ilmi li al Malayin,
1988.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.
Shuhbah, Abu. al Madkhal li Dirasat al-Quran. Kairo: Maktabah al Sunnah.
Zaila’i (al), Jamuluddin Abu Muhammad. Nasbu al Rayah al Ahadis al Hidayah.
Beirut: Dar al-Qiblah, 1997.
[1]
. ShubhiAsSholih, Mabahith Fi
UlumiAl-Quran,(Beirut: DarulIlmi Lilmalayin,1988),.3.
[2].
Muhammad
Ali Al Shabuni, al Tibyan Fi Ulum al-Quran,(Mekah: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003M/1424 H),.215.
[3]Al-Quran dan Terjemah Depag RI, 852.
[4]Abu
Syahbah, al Madkhal
li Dirasat al-Quran,19 lihat juga, al-Zarqani, Manahilu al
Irfan,. 3
[5]Subhi
Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Quran,.18
lihat juga, Abu Syahbah, al-Madkhal Li Dirasat al-Quran,.20
[6]Ibid,.
20
[7]. Ali al-Shabuni , Al Tibyan Fi Ulum al-Quran,. 3 lihat juga, al-Zarqani,Manahil al Irfan,. 10 Muhammad Ahmad Ma’bad, Nafahat Min Ulum al-Quran,. 11lihat juga, ShubhiSholih, Mabahits Fi
Ulumi al-Quran,. 21. Lihat: Rosihon
Anwar, ‘Ulum al-Quran,(Bandung:
PustakaSetia, 2009), 31-34.
[8]. Ma’bad, Nafahatmin Ulum al-Quran,12
[9]Al-Quran dan Terjemah Depag RI, 808
[10]H.A
Athoillah , Sejarah Al-Quran, 204
[11]Ibid.,
204
[12]Ibid.,
213-221
[13]Ibid.,
223
[14]Ibid,.
227
[15]Ibid.,231
[16]Ibid.,239.
[17]Ibid.,245
[18]Ibid.,256
[19]M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran.27
[20]M.
Quraish shihab, Membumikan Al-Quran,30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar