HOME

30 Maret, 2022

KHULAFAUR RASYIDIN

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

Sejarah merupakan rujukan yang sangat penting saat kita akan membangun masa depan. Dengan membaca sejarah kita bisa tahu apa dan bagaimana Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan para Khulafâ’ Râsidun. Namun, kadang kita sebagai umat Islam malas untuk membaca sejarah, sehingga kita berjalan tanpa tujuan dan kadang mengulang kesalahan yang pernah ada di masa lampau. Di sinilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa masa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang serta merencanakan matang-matang masa depan yang lebih cemerlang tanpa tergoyahkan dengan kekuatan apapun.

Kalau kita membaca sejarah tentang Kehadiran Nabi Muhammad saw, pasti akan identik dengan latar belakang kondisi masyarakat Arab, khususnya orang- orang Mekkah. Kehidupan masyarakat Arab secara sosiopolitis mencerminkan kehidupan yang sangat rendah. Perbudakan, perzinaan, eksploitasi ekonomi dan perang antar suku menjadi karakter perilaku mereka. Dari aspek kepercayaan orang Arab adalah penyembah berhala. Berangkat dari kondisi inilah dalam sejarah dicatat bahwa Muhammad sering melakukan kontemplasi untuk mendapatkan suatu jawaban apa dan bagaimana seharusnya membangun masyarakat arab. Setelah melalui kotemplasi yang cukup lama tepatnya di Gua Hira’, akhirnya Nabi Muhammad saw mendapatkan petunjuk dari Allah melalui malaikat Jibril untuk mengubah masyarakat Arab. Dari sinilah awal sejarah penyebaran dan perjuangan dalam menegakkan ajaran Islam.

Perkembangan Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat adalah merupakan suatu zaman keemasan, hal itu bisa kita lihat kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada zaman Khulafâ’ Râsidun. Islam berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendallikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan sekaligus menyebarkan agama Islam sebagai agama tauhid yang diridhai. Perkembanyan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan kearah yang lebih maju.

    B.  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

1.     Letak Geografi Arab pra-Islam

A.  Arab Pra-Islam

B.  Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad

C.  Pembentukan Negara Madinah

2.        Pengertian al-Khulafâ’ al-Râshidun

A.  Watak Dan Prestasi al-Khulafâ’ al-Râshidun

B.  Sistem pemilihan al-Khulafâ’ al-Râshidun

    C.  Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

1.        Letak Geografi Arab pra-Islam

A.  Arab Pra-Islam

B.  Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad

C.  Pembentukan Negara Madinah

2.        Pengertian Khulafâ’ Râshidun

A.  Watak Dan Prestasi Khulafâ’ Râshidun

B.  Sistem pemilihan Khulafâ’ Râshidun


BAB II

PEMBAHASAN

    1.    Letak Geografi Arab pra-Islam

Jazirah Arabia adalah semenanjung yang paling luas di dunia. Para Geografis Arab menamakan semenanjung Arab itu dengan nama jazirah (pulau). Sebab ketiga sisinya dikelilingi oleh tiga laut. Letaknya di sebelah barat daya benua Asia. Sebelah timur jazirah berbatasan dengan Teluk Persia. Sebelah selatannya di batasi oleh Lautan Hindia dan sebelah baratnya di batasi oleh Laut Merah. Sedangkan sebelah utaranya merupakan batasan yang tidak jelas. Hanya saja para ahli geografis Arab membatasinya mulai Teluk Aqabah memanjang sampai teluk Persia.[1] Kaum Muslimin membagi Jazirah Arabia menjadi lima daerah:

a.    Hijaz : Ialah daerah yang memanjang dari Teluk Aqabah sampai ke Yaman. Nama Hijaz berarti suatu dataran rendah yang memanjang di sekitar laut merah

b.    Tihamah

c.    Yaman

d.   Najed: Ialah dataran tinggi yang memanjang dari Hijaz sampai ke Laut Arab dan Laut Merah. Dataran ini merupakan suatu padang pasir dan gunung-gunung.

e.    Yamamah: ialah daerah yang memanjang dari Yaman sampai Najed yang menghubungkan kedua laut (Laut Arab dan Laut Merah). Pembagian diatas berdasarkan pembagian Abdullah bin Abbas.[2]

 

A.  Arab Pra-Islam

Ketika Nabi Muhamad saw lahir (570M), Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena


tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdaganyan yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan dan Siria di utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, megelilingi berhala utama,Hubal. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukaan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi[3]

Bila di kelompokkan, bangsa Arab terdiri dari tiga golongan: Pertama: Arab Ba’idah, Arab ‘Aribah, dan ketiga Arab Musta’ribah. Kelompok pertama adalah kelompok yang sulit dilacak datanya oleh para ahli sejarah, kecuali dari kitab al-Qur’an dan Hadis. Kelompok ini adalah Arab Asli keturunan Iram bin Syam bin Nuh, terdiri dari Sembilan bangsa: ‘Ad, Tsamud, Amim, Amil, Thasam, Jadis, Imliq, Jurhum Ula dan Wabar, Bangsa-bangsa tergolong tua sesudah kaum Nabi Nuh. Menurut riwayat, mereka tergolong makmur dan memiliki peninggalan sejarah yang tidak sedikit. Dari Babilon mereka eksodus ke jazirah Arab dan mendirikan beberapa kerajaan dan benteng sampai mereka dikalahkan oleh bangsa Arab keturunan Ya’rib ibnu Qahtan. Hanya kaum’Ad dan Tsamud yang disebutkan dalam al-Qur’an. Yang kedua (Arab ‘Aribah), adalah keturunan Jurhum dan Qahtan, putra A<bir dan Aibar (alias Nabi Hud), tinggal di Hijaz atau dikenal dengan al-Yamaniyah. Mereka sebenarnya berasal dari Suku Saba’, Abdu Shamsin bin Shasjub bin Ya’rib bin Qatan. Saba’ mempunyai beberapa anak laki- laki, di antaranya Himyar dan Kuhlan, adapun kerajaan ini akhirnya terpecah menjadi tiga bagian setelah di hanyutkan oleh banjir (129SM).[4]

Adapun yang ketiga adalah (Arab Musta’ribah) adalah mereka yang dikenal dengan Ismailiyah yang menurunkan Adnan dan seterusnya sampai Nabi Muhammad. Ismail yang berasal dari Ibrahim, bukan bangsa Arab, tapi Kan’an yang eksodus ke Mekkah. Kelompok kedua dan ketiga disebut Arab Baqiyah, karena sumber-sember tentang mereka masih bisa di telusuri oleh ahli sejarah.[5]

Masa sebelum Islam, khususnya kawasan Jazirah Arab disebut dengan masa jahiliyah, julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya arab pedalaman (badui) yang hidupnya menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumya hidup berkabilah dan nomaden. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan.

Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memuaskan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam ditengan-tengah mereka.

Bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yag diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun ditempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di ka’bah; Lata, dewa tertua, terletak di Thaif, Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya dibawah Hubal dan Manat yang bertempat di Yathrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk. [6]

    B.  Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad

Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara Mekkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal dara. Bacalah, dan Tuhanm itu Maha Mulia, dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui (QS. al-‘Alaq: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah di pilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[7]

Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad selalu menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah Hendaklah engka besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah  (QS. Al-Muddathtsir :1-7).[8]

Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi T{alib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang dekatnya, seperti Uthman bin Affan, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan T{alhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah diam-diam ini belasan orang telah memeluk agama Islam[9].

Langkah dakwah seterusnya yang diambil Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalakan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat jumlah pengikut nabi yang tadinya hanya belasa orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah namun semangat mereka sungguh membaja.[10]

Setelah dakwah terang-terangan itu. Pemimpin Quraish mulai menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraish. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraish menentang seruan Islam itu[11](1) mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Mutalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan. (2) Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Quraish. (3) Para pemimpin Quraish tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. (4) Taqlid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakaar pada bangsa Arab. (5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[12]

Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraish untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu T{alib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta Anda memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian Anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak di inginkan.” Tampaknya, Abu T{alib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya.” Abu T{alib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.[13]

Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraish kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Untuk mempertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu T{alib: “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu T{alib.[14]

Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka Mengutus Utbah bin Rabiah, Seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biar pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”[15]

Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu dilakukan oleh kaum Quraish gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekesaras itu lebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraish juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali[16]

Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekkah. Pada tahun lima kerasulannya, Nabi menetapkan Habshah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (Raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita. Diantaranya Uthman bin Affan beserta Isrinya Rukayah puteri Rasulullah, Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian, menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraish untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadira umat Islam di sana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka mempermalukan umat Islam, Semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraish masuk Islam, Hamzah dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.[17]

Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraish. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hashim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hashim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekkah pun diperenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hashim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat boikot tersebut Bani Hashim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaa itu, Bani Hashim akhirnya pindah ke suatu lembah diluar kota Mekkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsng selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.[18]

Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraish menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot dihentikan, Bani Hashim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu T{alib, Paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu, Khadijah, Isteri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraish tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun di T{aif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian kepala dan badannya.[19]

Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng-isra’ dan me-mi’raj-kan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahkan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan[20]

Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk  Yathrib yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang, pertama, pada tahun kesepuluh kenabian beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, Kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan Islam di Yathrib. Kedua, pada tahun kedua belas delegasi Yathrib, terdiri dari sepuluh suku Khazraj dan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui nabi di suatu tempat bernama Aqabah. Dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yathrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja di utus nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini dinamakan perjanjian Aqabah yang pertama. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yathrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yathrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua.[21]

Setelah kaum musyrikin Quraish mengetahu adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yathrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yathrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekkah bersama nabi. Keduanyaa membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yathrib karena kafir Quraish sudah merencanakan akan membunuhnya.[22]

Dalam perjalanannya ke Yathrib nabi ditemani oleh Abu bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yathrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kulsum bin Hindun. Di halaman rumah ini nabi membangun sebuah masjid. Inilah masjid pertama yang di bangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yathrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang meraka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yathrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yathrib diubah menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinat al-Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[23]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


    C.  Pembentukan Negara Madinah

Setelah Nabi hijrah ke Yathrib, kota tersebut dijadikan pusat jamaah kaum muslimin, dan selanjutnya diubah namanya menjadi kota Madinah. Di kota ini, keadaan Nabi dan umat muslim mengalami perubahan besar, dari kaum yang tertindas menjadi kaum yang mempunyai kedudukan yang baik dan kuat serta mandiri. Nabi sendiri menjadi kepala masyarakat yang baru dibentuk itu, sampai kekuasaanya meliputi seluruh Semenanjung Arabia di akhir hayatnya. Dengan kata lain, otoritas Muhammad di Madinah bukan hanya sebagai Rasul saja tetapi sebagai kepala Negara.

Mengingat kondisi masyarakat Madinah yang menyambut baik dakwah Nabi, maka cara Nabi dakwah pun diarahkan dalam rangka menciptakan dan membina suatu masyarakat Islam, karena jumlah umat Islam sudah banyak. Rasulullah kemudian meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat sebagai berikut:


1.    Membangun Masjid Nabawy.

Selain sebagai sarana shalat, Masjid Nabawy berperan penting sebagai tempat untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid Nabawy juga berfungsi sebagai pusat pemerintah Islam.

Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tak ada penerangan dalam masjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu shalat isya’ diadakan penerangan dengan mebakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama Sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopong atap itu. Sebenarnya tempat tinggal nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya dari pada masjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.[24]


2.    Mendamaikan suku Aus dah suku Khazraj.

Sebelum Islam datang suku Aus dan Khazraj selalu terjadi perselisihan dan bersitegang bahkan tidak jarang terjadinya pertumpahan darah, hal ini dipicu oleh adanya pihak ketiga, yakni Yahudi. Kedatangan Rasulullah SAW memberikan dampak yang sangat positif pada kedua suku tersebut. Kedua suku tersebut banyak yang memeluk agama Islam, sehingga semuanya telah terikat dalam tali keimanan. Walaupun sama sekali tidak bisa meninggalkan sisi fanatisme kesukuan namun telah tertanam dalam jiwa mereka bahwa semua manusia dalam pandangan Islam sama. Yang membedakan derajat manusia disisi Allah hanyalah ketakwaanya.


3.    Ukhuwah Islamiyah.

Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu, Abu Bakar dan Umar. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula adalah menyusun barisan Muslimin serta mempererat persatuan mereka guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka sendiri. Untuk mencapai tujuan ini ia mempersaudarakan muslimin masin-masing dua orang, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali bin Abi T{alib, Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar bersaudara dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin al-Khattab dipersaudarakan dengan Itban bin Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib (sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di mekah menyusul ke maadinah setelah Rasul hijrah) dipersaudarakan dengan setiap orang dari pihak Ansar, yang oleh Rasulullah lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian, persaudaraan muslimin bertambah kukuh adanya.[25]

Nabi berusaha mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, dengan demikian diharapkan setiap muslimin merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Dan inilah bentuk baru ikatan persaudaraan, yakni tidak berdasarkan pada ikatan darah melainkan atas dasar agama.


4.    Mendeklarasikan Piagam Madinah.

Umat Islam yang hidup bebas dan merdeka di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah bukanlah satu-satunya komunitas yang hidup di kota ini. Ada banyak komunitas lain yang terdiri dari Yahudi  dan sisa-sisa suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih memuja berhala.[26] dan Nabi juga mempersatukan antara golongan Yahudi dari Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraizah.

Mengingat hal itu, Nabi kemudian menawarkan deklarasi kepada kedua golongan ini guna menciptakan stabilitas keamanan dalam masyarakat Madinah. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah ini didasarkan pada prinsip al-adalat al-insaniyah (keadilan dan kemanusiaan), al-shura, al-wahdah al-islamiyah, dan al-ukhuwah al-islamiyah.

Rasululah menawarkan sebuah perjanjian yang isinya merupakan kesepakatan untuk saling memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang, dan memusuhi. Setelah dikukuhkan di kalangan kaum Muslimin, lalu disodorkan kepada kaum yahudi. Berikut ini adalah butir-butir perjanjian tersebut:

1.    Orang-orang yahudi dari bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Orang Yahudi dengan agamanya dan orang-mukmin dengan agamanya sendiri. Termasuk pengikut-pengikut mereka serta diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok Yahudi di luar bani ‘Auf.

2.    Tanggungan nafkah dibebankan kepada masing-masing. Orang-orang Yahudi menanggung beban nafkahnya, demikian juga orang-orang mukmin.

3.    Mereka harus bersatu memerangi siapa saja yang hendak membatalkan perjanjian ini.

4.    Mereka harus saling menasehati, berbuat kebaikan dan tidak boleh berbuat jahat.

5.    Tidak boleh menyakiti dan berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.

6.    Harus menolong orang yang dizalimi

7.    Orang-orang Yahudi harus beriringan bersama kaum mukminin selagi mereka dalam kondisi berperang.

8.    Yasrib menjadi kota suci bagi setiap orang yang terikat dengan perjanjian ini.

9.    Jika ada perselisihan antara orang-orang yang terikat dengan perjanjian ini sehingga khawatir mengarah pada kerusakan, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasul-Nya.

10.    Orang-orang Quraish tidak memperoleh pertolongan dan perlindungan

11.    Mereka harus bersatu melawan pihak yang hendak menyerang Yasrib.

12.    Perjanjian ini tidak boleh dilanggar.[27]

Dengan disepakati perjanjian ini. Kota Madinah dan sekitarnya seakanakan menjadi sebuah negara yang makmur yang menjadi presidennya adalah Rasulullah saw. Jalannya pemerintahan didomonasi oleh peran kaum muslim sehingga dengan begitu kota Madinah menjadi ibu kota bagi Islam.[28]


5.    Meletakkan  Dasar-Dasar Politik , Ekonomi, dan Sosial.

Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat  yang baru tersebut. Oleh  karena itu ayat-ayat Alquran  yang diturunkan saat di Madinah ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat tersebut dijelaskan oleh Rasulullah,baik lisan maupun tulisan. Sehingga jadilah dua pedoman umat Islam al-Quran dan hadis. Dari dua sumber hukum islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta  dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.

 

    2.    Pengertian Khulafâ’ Râshidun

Khalifah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pengganti atau orang yang berada di belakang seseorang. Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah Khulafâ’, sedangkan Rashidun dalam bahasa Indonesia berarti benar, pintar, atau lurus.

Dalam sejarah Islam Khulafâ’ Rashidun diartikan: penggganti Rasul yang benar dan lurus, dan diterima oleh seluruh umat. Empat Khalifah yang mendapatkan julukan Khulafâ’ Rashidun adalah empat khalifah awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah. mereka adalah :

a.         Abu Bakar (memimpin tahun 11 s/d 13 H)

b.       Umar bin Khattab (memimpin tahun 13 s/d 23 H)

c.        Uthman bin Affan (memimpin tahun 23 s/d 35 H)

d.       Ali bin Abi T{alib (memimpin tahun 35 s/d 40 H)

Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, cukup menggemparkan segenap umat Islam dan sekaligus menandakan telah berakhirnya otoritas seorang pemimpin spiritual dan duniawi yang mendapatkan tuntunan langsung wahyu Ilahi, serta menunjukkan pula bahwa risalah kenabian telah sempurna. Beliau pun tidak mewariskan siapa penggantinya yang akan meneruskan missi sucinya.

Pada saat itu untuk memutuskan mengenai siapa pengganti Nabi dalam memimpin umat Islam dalam rangka mengemban amanah-Nya tersebut telah menimbulkan interpretasi umat yang beraneka-ragam, yang pada gilirannya menjadi pemicu konflik tajam yang berkesudahan antar sesama muslim. Padahal beliau telah berusaha keras menanamkan persaudaraan sejati yang kokoh diantara pengikutnya, misalnya antara kaum Ansar dengan kaum Muhajirin. Terlambatnya pemakaman jenazah Nabi mengilustrasikan betapa gawatnya krisis suksesi saat itu. Sejarah mencatat terdapat tiga golongan yang terlibat konflik dalam persaingan perebutan kekuasaan itu, yaitu kaum Ansar, kaum Muhajirin, dan kaum Bani Hashim.

Mereka ini merupakan para sahabat nabi yang terpercaya dan terkemuka. Jasa mereka sangat besar dalam membantu tugas Nabi Muhammad dalam menyiarkan Agama Islam. Dalam kurun waktu 29 tahun, mereka dapat memperluas Islam sampai ke wilayah Syam, Irak Mesir, Sudan, Palestina, dan beberapa daerah di Benua Afrika. Oleh sebab itu, mereka sangat pantas mendapat sebutan Khulafâ’ Rashidun.

Sifat Utama yang dapat dijadikan ciri seorang Khulafâ’ Rashidun adalah ia merupakan pemimpin arif dan bijaksana. Sebab dalam menjalankan kepemimpinannya selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam maupun dalam mengelola negara dan kepemerintahan. Sifat-­sifat lain yang dimiliki oleh seorang Khulafâ’ Rashidun antara lain : 1. memiliki sifat arif dan bijaksana. 2. memiliki kewibawaan dan rasa kedisiplinan yang tinggi. 3. memiliki wawasan dan pengetahuan agama yang luas dan mendalam. 4. Berani, tegas dalam menegakkan kebenaran. 5. memiliki kemauan yang keras.

Tugas Rasulullah meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Tugas kenabian atau tugas kerasulan yaitu tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Tugas kenegaraan adalah tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Khalifah hanya menggantikan tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas kenabian tidak dapat digantikan karena tugas itu khusus untuk nabi dan nabi Muhammad adalah rasul dan Nabi terakhir.

    A.  Watak dan Prestasi Khulafâ’ Râshidun

Abu Bakar adalah salah seorang dari pemimpin Quraish dan anggota majelis permusyawaratan. Dia dikenal sebagai seorang yang berperangi lembut dan dicintai oleh kaumnya[29]

Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tindak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintah, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang Melawan Kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.[30]

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam[31]

Umar adalah seorang berwatak tegas dalam hak. Sebelum masuk Islam ia terkenal sebagai orang Quraish yang paling berbahaya bagi kaum muslimin. Tetepi ketika masuk Islam ia berubah drastic menjadi orang Islam yang paling berani menyatakan pendapatnya dan yang paling gigih membela agama ini[32]

Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama tejadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan di Mesir di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash dan di Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sedah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian wilayah Persia dan mesir.[33]

Pada masanya mulai di atur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[34] Umar juga mendirikan Bait al-Mal dan menciptakan tahun hijrah.[35]

Setelah Umar wafat, ia di gantikan oleh Uthman bin Affan. Khalifah Uthman adalah seorang yang takwa wara’, selalu menjalankan puasa sepanjang tahun dan berhaji setiap tahun.[36] Uthman juga terkenal sebagai seorang baik budi, penyantun, rendah hati, dan sangat kasih kepada sesama[37]

Di masa pemerintahan Uthman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Phodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabarista berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti disini.[38] Pada masanya, Uthman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.[39]

Setelah Uthman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi T{alib sebagai khalifah. Ia adalah seorang yang mengiaskan budi pakerti terpuji. Dia tumbuh ditengah kehidupan rumah tangga Rasulullah saw sehingga ia terdidik dengan pendidikan yang sangat etis dan berakhlak dengan akhlak yang sangat baik.[40]

   Ali adalah figur seorang yang petah lidah dan selalu berbahasa Arab dengan baik dan benar. Dalam berbicara ia selalu menggunakan kata-kata yang sederhana dengan tidak dibuat-buat sehingga diterima oleh jiwa yang mendengar dan terpengaruh karenanya. Begitu juga ia pun seorang yang paling pandai bersyair di antara Khulafâ’ Râshidun.[41]

            Adapun prestasi-prestasi yang ia peroleh ketika menjalankan pemerintahan adalah:

a.   Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap.

     Khalifah Ali bin Abi T{alib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Uthman bin Affan (Bani Umaiyah). Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak  menyukai Khalifah Ali bin Abi T{alib.

b.  Membenahi Keuangan Negara (Bait al-Mal).

     Setelah mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Tahlib kemudian menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak  benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Bait al-Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

c.  Memajukan Bidang Ilmu Bahasa.

    Pada saat Khalifah Ali bin Abi T{alib memegang pemerintahan , Wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijriyah belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dammah dan shaddah. hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks al-Quran dan Hadis di daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.

    Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan al-Qur’an dan Hadis. Khalifah Ali bin Abi T{alib memerintahkan Abu Aswad al-Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwuyaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non  Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan hadis.

d.   Bidang Pembangunan

     Salah satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi T{alib adalah pembangunan Kota Kufah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi, kota Kufah kemudian berkembang  menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.

     Pada waktu itu , perselisihan antara pendukung Khalifah Ali bin Abi T{alib dan Mua'wiyah bin Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang menjadi awal berakhirnya pemerintahan Islam dibawah Khulafa’ Rashidun. meskipun memiliki kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa pemerintahan Islam masa Khulafa’ Rashidun merupakan masa pemerintahan Islam yang paling mendekati masa pemerintahan Rasulullah saw.

 

    B.  Sistem Pemilihan al-Khulafâ’ al-Râshidun

Satu hal tentang suksesi yang pertama kali muncul dan mengusik jiwa masyarakat jazirah Arab setelah ditinggal Muhammad saw di hampir separuh abad ke-7 M adalah siapakah yang akan menggantikannya, baik sebagai pengemban amanah keagamaan maupun sebagai kepala pemerintahaan. Ketika dihadapkan masalah agama, adakah sosok yang kompeten? Sementara tidak ada lagi risalah atau misi kenabian seperti sebelumnya, karena Muhammad saw adalah nabi terakhir. Dan apabila soal pemerintahan, siapa yang akan dipilih sementara secara spesifik Nabi tidak menunjuk pengganti dan begitu banyak yang harus di tangani?[42]

Apapun masalahnya, diperlukan tokoh tertentu yang mempunyai otoritas keislaman yang kuat ditengah masyarakat. Ia pun diakui publik untuk sebuah terobosan besar peradaban Islam dalam waktu yang dibatasi. Maka suksesi kepemimpinan mesti dilakukan dengan cara-cara yang baik dan demokratis serta diterima masyarakat.[43]

Masalah kepemimpinan pasca Muhammad saw. Kemudian menjadi otoritas umat Islam. siapapun yang menggantikan nabi tersebut, ia harus disepakati lalu di baiat oleh masyarakat. Suatu prinsip bernegara yang seringkali di ajarkan adalah musyawarah, sesuai dengan ajaran Islam. prinsip musyawarah dapat dibuktikan dengan beberapa peristiwa yang terjadi disetiap pergantian pemimpin dari empat khalifah periode Khulafa’ Rashidun, meski dengan versi yag beragam. Upaya ke arah positif selalu ditegakkan oleh para sahabat ketika itu, sehingga umat Islam memberikan respons positif pula. Tidak ada konflik besar ditegakkannya prinsip musyawarah tersebut.[44]

Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis di Thaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern. Kaum Ansar menekankan persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad bin Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan aspek kesetiaan, mereka mengajukan calon Abu Ubaidah bin Jarrrah. Sementara Pihak Ahl Bait mengiginkan agar Ali bin Abi T{alib atas pertimbangan kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu serta karib nabi. Hampir saja terjadi pergolokan antar kelompok-kelompok berkepentingan tersebut. Melalui perdebatan panjang, akhirnya Abu Bakar disetujui untuk menduduki jabatan khalifah.[45] Dalam sistem musyawarah bila sejumlah orang tidak menyetujui, maka mereka di anggap itba’ dan terkelompokkan ke mayoritas.[46]

Pendapat lain menyebutkan bahwa ketika para sahabat disibukkan dengan urusan jenazah Nabi Muhammad saw, pagi harinya Umar bin Khattab mendengar ada pertemuan kelompok Ansar di saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj sebagai khalifah. Kemudian Umar bergegas ke kediaman Nabi, menyuruh seseorang untuk memanggil Abu Bakar yang berada di situ. Awalnya Abu Bakar menolak, namun akhirnya memaklumi. Kedua sahabat terebut bergegas menuju pertemuan dimaksud  bersama Abu Ubaidah bin Jarrah, tokoh senior dari kaum Muhajirin. Perdebatan sengit tak dapat dihindari antara kaum Muhajirin dan Ansar. Sa’ad bin Ubaidah berpidato tentang kedekatan Ansar dengan Rasulullah, maka menurutnya utusan mereka berhak dipilih. Spontan kaum Ansar memilih Sa’ad bin Ubaidah sebagai representasi mereka.[47]

Di pihak lain, kaum Muhajirin mengutus Abu Bakar. Seraya menegaskan bahwa pihak mereka lebih awal dekat dengan Nabi dan kepemimpinan adalah milik kabilah Quraish. Ketika Kaum Ansar mengusulkan ada utusan dari masing-masing kelompok, baik Ansar maupun Muhajirin, tapi tidak disetujui oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah serta sebagian sahabat. Umar dengan kelihaiannya menyakinkan forum-membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah. Spontan keputusan tersebut diikuti mayoritas umat Islam. Dalam pembaiatan yang dilakukan oleh mereka, keluarga nabi tidak ikut serta karena disibukkan dengan urusan jenazah Nabi.[48] Namun demikian, Ali bin Abi T{alib akhirnya ikut membaiat kekhalifahan Abu Bakar. Sikap Ali tersebut di nilai beragam dan di kemudian hari menjadi konsumsi politik. Namun apa pun persepsi yang dimunculkan, pembaiatan Abu Bakar sudah sangat demokratis karena merepsentasikan keinginan mayoritas umat Islam.[49]

Agak sedikit berbeda dengan suksesi sudahnya, bukan melalui musyawarah karena Umar bin Khattab di angkat dan dipilih oleh tokoh tertentu di masyarakat, kemudian disetujui oleh umat Islam. menjelang waktu wafatnya, Abu Bakar menderita sakit dan situasi negara tidak stabil walaupun sepenuhnya dapat di kendalikan, dan pasukan Islam pada waktu itu bertempur di medan perang. Dukungan moral dan politik dari pusat pemerintah di Madinah tentu sangat dibutuhkan. Maka kemunculan pemimpin pengganti pasca Abu Bakar adalah solusi terbaik. Akhirnya Umar bin Khattab terpilih menggantikannya tentu dengan dukungan politik dan persetujuan para pemuka masyarakat. Seandainya khalifah pertama tersebut membiarkan situasi sebagaimana yang telah disikapi Muhammdah saw. Sangat dimungkinkan terjadi pertumpahan darah apalagi jumlah penduduk di akhir kepemimpinan cukup besar.[50]

Munawir Sjadzali menegaskan, bahwa pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar berdasarkan penunjukan oleh Abu Bakar. Kebijakan tersebut di ambil cepat untuk mengantisipasi kemungkinan terulangnya kasus Thaqifah Bani Sa’idah. Sebagai khalifah yang berpengalaman dan memiliki kematangan diri, Abu Bakar tersebut mengkonsultasikan masalah tersebut kepada para sahabat senior. Di Antaranya, Abdurrahman bin ‘Auf dan Uthman bin ‘Affan dari kelompok muhajirin serta Asid bin Khudair dari golongan Ansar. Selanjutnya, Abu Bakar meminta Utsman bin Affan untuk menulis pesan tertulis tentang pengganti Abu Bakar yaitu Umar bin Khattab. Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di baiat sebagai khalifah kedua dalam satu peristiwa pembaiatan umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[51]

Dalam rangka pembaiatan khalifah ketiga, umat Islam harus mencari calon pemimpin. Terlebih tokoh bijak seperti Umar bin Khattab telah wafat, sudah bisa dipastikan mereka bingung. Namun demikian, sebelum kepergiannya, khalifah kedua tersebut telah membuat tim khusus sebagai persiapan politik. Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, dan diperkirakan dalam pandangan masyarakat kesemuanya pantas menduduki jabatan khalifah. Mereka adalah Ali bin Abi T{alib, Uthman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan  T{alhah bin Ubaidillah. Alasan khalifah memilih mereka, secara kebetulan mereka semua dari golongan muhajirin adalah bukan karena faktor kelompok atau keturunan, namun karena mereka berenam pernah dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga. Pertimbangan Umar, dalam hal ini lebih ditekankan pada integritas kepribadian dan loyalitas pada agama, bukan yang lainnya.[52]

Lembaga tersebut adalah: Ahl al-Hal wa al-Aqd -lembaga pertama semacam DPR yang dibentuk dalam pemerintahan Islam. Mereka yang direkrut di lembaga tersebut bermusyawarah untuk menentukan siapa bakal menjadi khalifah. Agar proses berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan, maka putranya Abdullah bin Umar diminta bergabung dengan tokoh-tokoh tim tersebut dengan syarat tidak diperkenankan untuk dipilih sebagai khalifah. Dalam pemilihan, Utsman mendapatkan suara lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Uthman.[53]

Dalam proses pemilihan tersebur, menurut versi yang lain diceritakan bahwa dalam sebuah pertemuan yang tidak dihadiri T{alhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf mengusulkan ada yang mengundurkan diri dari pencalonan khalifah. Peserta rapat diam, akhirnya Abdurrahman mengambil sikap tegas mundur dari pencalonan tersebut. Ali bin Abi T{alib mengikuti dengan syarat Abdurrahman jujur dan tidak memilih Utsman karena alasan kedekatan hubungan kekerabatan. Kemudian diputuskan melalui musyawarah umat Islam dan para sahabat yang ditunjuk oleh Khalifah Umar. Tersaring menjadi dua orang, yaitu Utsman dan Ali. Keputusan pilihan jatuh ketangan Uthman, karena ia dianggap lebih senior dan perilakunya lebih lembut.[54]

Setelah Uthman bin Affan, berkuasalah Ali bin Abi T{alib. Khalifah Ali dipilih dan di angkat oleh komunitas muslim di Madinah. Meskipun ada pihak tertentu tidak menyukai Ali, tetapi tidak ada orang yang berminat menjadi khalifah selagi kekuasaan masih ditangan Ali bin Abi T{alib. Begitulah prosses pemilihan para Khulafâ’ Râshidun di sela-sela tiga puluh tahun berkuasa sangat demokratis dan apa yang telah mereka tunjukkan mencerminkan nilai tersendiri bagi upaya pengembangan politik dimasa depan. Apa yang telah dicontohkan para sahabat di negara Madinah, ternyata tidak serta merta dipraktikkan umat Islam dalam aktivitas politik mereka.[55]


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakr Al-Siddi. terj. Ali Audah. Bogor :  PT. Pustaka Litera AntarNUsa, 2012.

Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Si<rah al-Nabawi. Bairut: Dar ibn Hazm, 2009.

Hitti, Philip K. Histori of the Arabs. terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta  : PT Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Mubarakfuri (al), Safi al-Rahman. al-Rahi<q al-Makhtum. Kairo: Dar al-Wafa’, 2010.

Nadwy (al), Abul Hasan Ali Al Hasani. Riwayat Hidup Rasulullah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Shiddiq ,Nouruzzaman. Tamaddun Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 2003.

Sulaiman, Rusydi. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.


[1] Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah (Surabaya: PT Bina Ilmu,1983) 37.

[2] Ibid., 37.

[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Rajawali pers,2011), 9.

[4]Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2014), 168.

[5]Ibid., 169.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 15.

[7] Ibid., 18.

[8] Ibid., 19.

[9] Ibid.

[10] Ibid., 20.

[11]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87.

[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 20.

[13]Ibid., 21.

[14]Ibid., 21.

[15]Ibid., 22.

[16]Ibid., 22.

[17]Ibid., 22.

[18] Ibid., 23.

[19] Ibid., 23.

[20] Ibid., 24.

[21] Ibid., 24.

[22] Ibid., 24-25.

[23] Ibid., 25.

[24] Muhamad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bogor: Litera Antar Nusa2011), 196.

[25] Ibid., 200.

[26]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 26.

[27] Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Sirah al-Nabawi (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2009), 232.

[28] Safi al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum (Kairo: Dar al-Wafa’, 2010), 181.

[29] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), 398.

[30] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 36.

[31] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 408.

[32] Ibid., 469.

[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 58.

[34] Syibli Nu’man, Umar Yang Agung (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 264.

[35] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), 263.

[36] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 500.

[37] Ibid., 501.

[38] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 38.

[39] Ibid., 39.

[40] Hasan Ibrahim Hasan, sejarah Kebudayaan Islam, 516.

[41] Ibid., 518.

[42] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 216.

[43]Ibid.

[44] Ibid.

[45] Nouruzzaman Shiddiq, Tamaddun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 117.

[46] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 217.

[47] Ibid., 217.

[48] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press,2003), 22.

[49] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam,  218.

[50] Ibid., 218.

[51] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 25.

[52] Ibid.

[53] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 219.

[54] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 268

[55] Rusydi Sulaiman,  Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam , 220.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...