BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
merupakan rujukan yang sangat penting saat kita akan membangun masa depan.
Dengan membaca sejarah kita bisa tahu apa dan bagaimana Islam pada masa Nabi
Muhammad saw dan para Khulafâ’ Râsidun. Namun, kadang kita sebagai umat
Islam malas untuk membaca sejarah, sehingga kita berjalan tanpa tujuan dan
kadang mengulang kesalahan yang pernah ada di masa lampau. Di sinilah sejarah
berfungsi sebagai cerminan bahwa masa silam telah terjadi sebuah kisah yang
patut kita pelajari untuk merancang serta merencanakan matang-matang masa depan
yang lebih cemerlang tanpa tergoyahkan dengan kekuatan apapun.
Kalau
kita membaca sejarah tentang Kehadiran Nabi Muhammad saw, pasti akan identik
dengan latar belakang kondisi masyarakat Arab, khususnya orang- orang Mekkah.
Kehidupan masyarakat Arab secara sosiopolitis mencerminkan kehidupan yang
sangat rendah. Perbudakan, perzinaan, eksploitasi ekonomi dan perang antar suku
menjadi karakter perilaku mereka. Dari aspek kepercayaan orang Arab adalah
penyembah berhala. Berangkat dari kondisi inilah dalam sejarah dicatat bahwa
Muhammad sering melakukan kontemplasi untuk mendapatkan suatu jawaban apa dan
bagaimana seharusnya membangun masyarakat arab. Setelah melalui kotemplasi yang
cukup lama tepatnya di Gua Hira’, akhirnya Nabi Muhammad saw mendapatkan
petunjuk dari Allah melalui malaikat Jibril untuk mengubah masyarakat Arab. Dari
sinilah awal sejarah penyebaran dan perjuangan dalam menegakkan ajaran Islam.
Perkembangan Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat adalah merupakan suatu zaman keemasan, hal itu bisa kita lihat kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada zaman Khulafâ’ Râsidun. Islam berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendallikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan sekaligus menyebarkan agama Islam sebagai agama tauhid yang diridhai. Perkembanyan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan kearah yang lebih maju.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Letak Geografi Arab pra-Islam
A. Arab
Pra-Islam
B. Perjuangan
Dakwah Nabi Muhammad
C. Pembentukan
Negara Madinah
2.
Pengertian al-Khulafâ’
al-Râshidun
A. Watak
Dan Prestasi al-Khulafâ’ al-Râshidun
B. Sistem
pemilihan al-Khulafâ’ al-Râshidun
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
1.
Letak Geografi Arab pra-Islam
A. Arab
Pra-Islam
B. Perjuangan
Dakwah Nabi Muhammad
C. Pembentukan
Negara Madinah
2.
Pengertian Khulafâ’ Râshidun
A. Watak
Dan Prestasi Khulafâ’ Râshidun
B. Sistem pemilihan Khulafâ’ Râshidun
BAB II
PEMBAHASAN
1. Letak Geografi
Arab pra-Islam
Jazirah Arabia
adalah semenanjung yang paling luas di dunia. Para Geografis Arab menamakan
semenanjung Arab itu dengan nama jazirah (pulau). Sebab ketiga sisinya
dikelilingi oleh tiga laut. Letaknya di sebelah barat daya benua Asia. Sebelah
timur jazirah berbatasan dengan Teluk Persia. Sebelah selatannya di batasi oleh
Lautan Hindia dan sebelah baratnya di batasi oleh Laut Merah. Sedangkan sebelah
utaranya merupakan batasan yang tidak jelas. Hanya saja para ahli geografis
Arab membatasinya mulai Teluk Aqabah memanjang sampai teluk Persia.[1]
Kaum Muslimin membagi Jazirah Arabia menjadi lima daerah:
a.
Hijaz : Ialah daerah yang
memanjang dari Teluk Aqabah sampai ke Yaman. Nama Hijaz berarti suatu dataran
rendah yang memanjang di sekitar laut merah
b.
Tihamah
c.
Yaman
d.
Najed: Ialah dataran tinggi
yang memanjang dari Hijaz sampai ke Laut Arab dan Laut Merah. Dataran ini
merupakan suatu padang pasir dan gunung-gunung.
e.
Yamamah: ialah daerah yang
memanjang dari Yaman sampai Najed yang menghubungkan kedua laut (Laut Arab dan
Laut Merah). Pembagian diatas berdasarkan pembagian Abdullah bin Abbas.[2]
A. Arab Pra-Islam
Ketika Nabi
Muhamad saw lahir (570M), Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan
terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena
tradisinya maupun karena
letaknya. Kota ini dilalui jalur perdaganyan yang ramai, menghubungkan Yaman di
selatan dan Siria di utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi
pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya
terdapat 360 berhala, megelilingi berhala utama,Hubal. Agama dan masyarakat
Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukaan masyarakat jazirah Arab dengan
luas satu juta mil persegi[3]
Bila di
kelompokkan, bangsa Arab terdiri dari tiga golongan: Pertama: Arab Ba’idah, Arab ‘Aribah, dan ketiga Arab Musta’ribah.
Kelompok pertama adalah kelompok yang sulit dilacak datanya oleh para ahli
sejarah, kecuali dari kitab al-Qur’an dan Hadis. Kelompok ini adalah Arab Asli
keturunan Iram bin Syam bin Nuh, terdiri dari Sembilan bangsa: ‘Ad, Tsamud, Amim, Amil, Thasam, Jadis,
Imliq, Jurhum Ula dan Wabar, Bangsa-bangsa tergolong tua sesudah kaum Nabi
Nuh. Menurut riwayat, mereka tergolong makmur dan memiliki peninggalan sejarah
yang tidak sedikit. Dari Babilon mereka eksodus ke jazirah Arab dan mendirikan
beberapa kerajaan dan benteng sampai mereka dikalahkan oleh bangsa Arab
keturunan Ya’rib ibnu Qahtan. Hanya kaum’Ad dan Tsamud yang disebutkan dalam
al-Qur’an. Yang kedua (Arab ‘Aribah), adalah keturunan Jurhum dan
Qahtan, putra A<bir dan Aibar (alias Nabi Hud), tinggal di Hijaz atau
dikenal dengan al-Yamaniyah. Mereka sebenarnya berasal dari Suku Saba’, Abdu Shamsin
bin Shasjub bin Ya’rib bin Qatan. Saba’ mempunyai beberapa anak laki- laki, di
antaranya Himyar dan Kuhlan, adapun kerajaan ini akhirnya terpecah menjadi tiga
bagian setelah di hanyutkan oleh banjir (129SM).[4]
Adapun
yang ketiga adalah (Arab Musta’ribah)
adalah mereka yang dikenal dengan Ismailiyah yang menurunkan Adnan dan
seterusnya sampai Nabi Muhammad. Ismail yang berasal dari Ibrahim, bukan bangsa
Arab, tapi Kan’an yang eksodus ke Mekkah. Kelompok kedua dan ketiga disebut Arab
Baqiyah, karena sumber-sember tentang mereka masih bisa di telusuri oleh ahli
sejarah.[5]
Masa
sebelum Islam, khususnya kawasan Jazirah Arab disebut dengan masa jahiliyah,
julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab
khususnya arab pedalaman (badui) yang hidupnya menyatu dengan padang pasir dan
area tanah yang gersang. Mereka pada umumya hidup berkabilah dan nomaden.
Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan.
Situasi
yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut mengakibatkan mereka sesat
jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih
kemuliaan, memuaskan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan
alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga
datang Islam ditengan-tengah mereka.
Bangsa
Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak
dewa yag diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai
berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun
ditempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal,
yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di ka’bah; Lata, dewa tertua,
terletak di Thaif, Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya dibawah Hubal dan
Manat yang bertempat di Yathrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat
menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk. [6]
B. Perjuangan Dakwah Nabi
Muhammad
Menjelang
usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari
kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara
Mekkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur.
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya,
menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal dara. Bacalah, dan Tuhanm itu Maha Mulia, dia telah mengajar dengan
Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui (QS. al-‘Alaq:
1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah di pilih Tuhan
sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru
manusia kepada suatu agama.[7]
Setelah
wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama,
sementara Nabi Muhammad selalu menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’.
Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu
itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang
yang berselimut, bangun dan beri ingatlah Hendaklah engka besarkan Tuhanmu dan
bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa dan janganlah engkau
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah (QS.
Al-Muddathtsir :1-7).[8]
Dengan
turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau
melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan
rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya
adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah,
kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi T{alib yang baru berumur 10 tahun.
Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak
yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya
Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. sebagai
seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa
orang dekatnya, seperti Uthman bin Affan, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad
bin Abi Waqqas, dan T{alhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada
Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah diam-diam ini belasan
orang telah memeluk agama Islam[9].
Langkah
dakwah seterusnya yang diambil Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum.
Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan
terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia
menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu,
ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekkah, dari berbagai negeri untuk
mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalakan tanpa mengenal lelah. Dengan
usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat jumlah pengikut nabi
yang tadinya hanya belasa orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri
dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah namun semangat mereka sungguh
membaja.[10]
Setelah
dakwah terang-terangan itu. Pemimpin Quraish mulai menghalangi dakwah Rasul. Semakin
bertambahnya jumlah pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum
Quraish. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraish
menentang seruan Islam itu[11](1)
mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Mutalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan. (2) Nabi
Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan hamba sahaya. Hal ini
tidak disetujui oleh bangsawan Quraish. (3) Para pemimpin Quraish tidak dapat
menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. (4) Taqlid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakaar pada bangsa Arab.
(5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[12]
Banyak cara
yang ditempuh para pemimpin Quraish untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad.
Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan
pembelaan Abu T{alib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta Anda memilih
satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda
menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian Anda akan terhindar dari kesulitan
yang tidak di inginkan.” Tampaknya, Abu T{alib cukup terpengaruh dengan ancaman
tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi
menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan
mengucilkan saya.” Abu T{alib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya
itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.[13]
Merasa
gagal dengan cara ini, kaum Quraish kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan
membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Untuk
mempertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu T{alib:
“Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk
kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu T{alib.[14]
Untuk
kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka Mengutus Utbah
bin Rabiah, Seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta,
wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua
tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biar pun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan
berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”[15]
Setelah
cara-cara diplomatik dan bujuk rayu dilakukan oleh kaum Quraish gagal,
tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan
semakin ditingkatkan. Tindakan kekesaras itu lebih intensif dilaksanakan
setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah
ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta,
sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda
dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para
pemimpin Quraish juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa keluarganya
yang masuk Islam sampai dia murtad kembali[16]
Kekejaman
yang dilakukan oleh penduduk Mekkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi
untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekkah. Pada tahun lima
kerasulannya, Nabi menetapkan Habshah (Ethiopia) sebagai negeri tempat
pengungsian, karena Negus (Raja)
negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang
pria dan empat orang wanita. Diantaranya Uthman bin Affan beserta Isrinya
Rukayah puteri Rasulullah, Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian,
menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far
bin Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraish untuk menghalangi hijrah ke Habasyah
ini, termasuk membujuk Negus agar
menolak kehadira umat Islam di sana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka
mempermalukan umat Islam, Semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan
ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraish masuk Islam, Hamzah
dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat
Islam semakin kuat.[17]
Menguatnya
posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraish. Mereka menempuh cara
baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani
Hashim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh
Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hashim terlebih dahulu secara
keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala
bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekkah pun diperenankan
melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hashim. Persetujuan dibuat dalam
bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat
boikot tersebut Bani Hashim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan
yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaa itu, Bani Hashim akhirnya
pindah ke suatu lembah diluar kota Mekkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai
pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsng selama tiga tahun. Ini merupakan
tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.[18]
Pemboikotan
itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraish menyadari bahwa apa yang
telah mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot
dihentikan, Bani Hashim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah
masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu T{alib, Paman Nabi yang merupakan
pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu,
Khadijah, Isteri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun
kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad saw.
Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraish tidak segan-segan lagi
melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah
demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun di
T{aif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian
kepala dan badannya.[19]
Untuk
menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng-isra’ dan me-mi’raj-kan
beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj
ini menggemparkan masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahkan
propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia
merupakan ujian keimanan[20]
Setelah
peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah
Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yathrib yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang
terdiri dari suku Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang, pertama, pada tahun kesepuluh kenabian
beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat
dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar
merindukan perdamaian kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan
engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, Kami akan berdakwah
agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan
Islam di Yathrib. Kedua, pada tahun
kedua belas delegasi Yathrib, terdiri dari sepuluh suku Khazraj dan dua orang
suku Aus serta seorang wanita menemui nabi di suatu tempat bernama Aqabah.
Dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian
kembali ke Yathrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair
yang sengaja di utus nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini dinamakan
perjanjian Aqabah yang pertama. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang
datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yathrib, mereka
meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yathrib. Mereka berjanji akan membela
nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan.
Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua.[21]
Setelah
kaum musyrikin Quraish mengetahu adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang
Yathrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal
ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yathrib. Dalam waktu dua
bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan
kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekkah bersama nabi.
Keduanyaa membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yathrib karena
kafir Quraish sudah merencanakan akan membunuhnya.[22]
Dalam
perjalanannya ke Yathrib nabi ditemani oleh Abu bakar. Ketika tiba di Quba,
sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yathrib, nabi istirahat
beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kulsum bin Hindun. Di halaman
rumah ini nabi membangun sebuah masjid. Inilah masjid pertama yang di bangun
nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri
dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu,
penduduk Yathrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang meraka tunggu-tunggu
itu tiba. Nabi memasuki Yathrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan
beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi,
nama kota Yathrib diubah menjadi Madinat
al-Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinat al-Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah
Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup
disebut Madinah saja.[23]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
- DINASTI ABBASIYAH
- ISLAM DI SPANYOL
- DINASTI FATIMIYAH
- TURKI UTSMANI
- DINASTI SAFAWI DI PERSIA
- DINASTI MUGHAL
- ERA PENJAJAHAN DUNIA ISLAM
- ISLAM DI INDONESIA
C. Pembentukan Negara Madinah
Setelah Nabi hijrah ke Yathrib, kota tersebut dijadikan
pusat jamaah kaum muslimin, dan selanjutnya diubah namanya menjadi kota
Madinah. Di kota ini, keadaan Nabi dan umat muslim mengalami perubahan besar,
dari kaum yang tertindas menjadi kaum yang mempunyai kedudukan yang baik dan
kuat serta mandiri. Nabi sendiri menjadi kepala masyarakat yang baru dibentuk
itu, sampai kekuasaanya meliputi seluruh Semenanjung Arabia di akhir hayatnya.
Dengan kata lain, otoritas Muhammad di Madinah bukan hanya sebagai Rasul saja
tetapi sebagai kepala Negara.
Mengingat kondisi masyarakat Madinah yang menyambut baik
dakwah Nabi, maka cara Nabi dakwah pun diarahkan dalam rangka menciptakan dan
membina suatu masyarakat Islam, karena jumlah umat Islam sudah banyak.
Rasulullah kemudian meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat sebagai
berikut:
1. Membangun
Masjid Nabawy.
Selain sebagai sarana shalat, Masjid Nabawy berperan
penting sebagai tempat untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa
mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah
yang dihadapi. Masjid Nabawy juga berfungsi sebagai pusat pemerintah Islam.
Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas,
keempat temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan
yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan
tempat kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tak ada penerangan
dalam masjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu shalat isya’ diadakan
penerangan dengan mebakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama Sembilan
tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada
batang-batang kurma yang dijadikan penopong atap itu. Sebenarnya tempat tinggal
nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya dari pada masjid, meskipun memang
sudah sepatutnya lebih tertutup.[24]
2.
Mendamaikan suku Aus dah suku
Khazraj.
Sebelum Islam datang suku Aus dan Khazraj selalu terjadi
perselisihan dan bersitegang bahkan tidak jarang terjadinya pertumpahan darah,
hal ini dipicu oleh adanya pihak ketiga, yakni Yahudi. Kedatangan Rasulullah SAW
memberikan dampak yang sangat positif pada kedua suku tersebut. Kedua suku
tersebut banyak yang memeluk agama Islam, sehingga semuanya telah terikat dalam
tali keimanan. Walaupun sama sekali tidak bisa meninggalkan sisi fanatisme
kesukuan namun telah tertanam dalam jiwa mereka bahwa semua manusia dalam
pandangan Islam sama. Yang membedakan derajat manusia disisi Allah hanyalah
ketakwaanya.
3.
Ukhuwah Islamiyah.
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya
itu, Abu Bakar dan Umar. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang
mula-mula adalah menyusun barisan Muslimin serta mempererat persatuan mereka
guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama
di kalangan mereka sendiri. Untuk mencapai tujuan ini ia mempersaudarakan
muslimin masin-masing dua orang, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali
bin Abi T{alib, Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar
bersaudara dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin al-Khattab dipersaudarakan dengan
Itban bin Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan muhajirin
yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib (sesudah mereka yang tadinya
masih tinggal di mekah menyusul ke maadinah setelah Rasul hijrah)
dipersaudarakan dengan setiap orang dari pihak Ansar, yang oleh Rasulullah lalu
dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian,
persaudaraan muslimin bertambah kukuh adanya.[25]
Nabi berusaha mempersaudarakan antara kaum Muhajirin
dengan kaum Ansar, dengan demikian diharapkan setiap muslimin merasa terikat
dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Dan inilah bentuk baru ikatan
persaudaraan, yakni tidak berdasarkan pada ikatan darah melainkan atas dasar
agama.
4.
Mendeklarasikan Piagam Madinah.
Umat Islam yang hidup bebas dan merdeka di Madinah di
bawah kepemimpinan Rasulullah bukanlah satu-satunya komunitas yang hidup di
kota ini. Ada banyak komunitas lain yang terdiri dari Yahudi dan
sisa-sisa suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih memuja berhala.[26] dan Nabi juga mempersatukan antara golongan
Yahudi dari Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraizah.
Mengingat hal itu, Nabi kemudian menawarkan deklarasi
kepada kedua golongan ini guna menciptakan stabilitas keamanan dalam masyarakat
Madinah. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah ini
didasarkan pada prinsip al-adalat al-insaniyah (keadilan dan
kemanusiaan), al-shura, al-wahdah
al-islamiyah, dan al-ukhuwah al-islamiyah.
Rasululah menawarkan
sebuah perjanjian yang isinya merupakan kesepakatan untuk saling memberikan
kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang,
dan memusuhi. Setelah dikukuhkan di kalangan kaum Muslimin, lalu disodorkan
kepada kaum yahudi. Berikut ini adalah butir-butir perjanjian tersebut:
1. Orang-orang yahudi dari
bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Orang Yahudi dengan agamanya
dan orang-mukmin dengan agamanya sendiri. Termasuk pengikut-pengikut mereka
serta diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok Yahudi di luar
bani ‘Auf.
2. Tanggungan nafkah
dibebankan kepada masing-masing. Orang-orang Yahudi menanggung beban nafkahnya,
demikian juga orang-orang mukmin.
3. Mereka harus bersatu
memerangi siapa saja yang hendak membatalkan perjanjian ini.
4. Mereka harus saling
menasehati, berbuat kebaikan dan tidak boleh berbuat jahat.
5. Tidak boleh menyakiti
dan berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.
6. Harus menolong orang
yang dizalimi
7. Orang-orang Yahudi
harus beriringan bersama kaum mukminin selagi mereka dalam kondisi berperang.
8. Yasrib menjadi kota
suci bagi setiap orang yang terikat dengan perjanjian ini.
9. Jika ada perselisihan
antara orang-orang yang terikat dengan perjanjian ini sehingga khawatir
mengarah pada kerusakan, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad
Rasul-Nya.
10. Orang-orang Quraish
tidak memperoleh pertolongan dan perlindungan
11. Mereka harus bersatu
melawan pihak yang hendak menyerang Yasrib.
12. Perjanjian ini tidak
boleh dilanggar.[27]
Dengan disepakati perjanjian ini. Kota
Madinah dan sekitarnya seakanakan menjadi sebuah negara yang makmur yang
menjadi presidennya adalah Rasulullah saw. Jalannya pemerintahan didomonasi
oleh peran kaum muslim sehingga dengan begitu kota Madinah menjadi ibu kota
bagi Islam.[28]
5.
Meletakkan Dasar-Dasar
Politik , Ekonomi, dan Sosial.
Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan
dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru tersebut. Oleh
karena itu ayat-ayat Alquran yang diturunkan saat di Madinah ditujukan
kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat tersebut dijelaskan oleh Rasulullah,baik lisan maupun tulisan. Sehingga
jadilah dua pedoman umat Islam al-Quran dan hadis. Dari dua sumber hukum islam
tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan
untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta
dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat
antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat
manusia adalah ketakwaan.
2. Pengertian Khulafâ’
Râshidun
Khalifah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pengganti
atau orang yang berada di belakang seseorang. Khalifah adalah bentuk
tunggal, bentuk jamaknya adalah Khulafâ’, sedangkan Rashidun dalam bahasa Indonesia
berarti benar, pintar, atau lurus.
Dalam sejarah Islam Khulafâ’ Rashidun diartikan: penggganti
Rasul yang benar dan lurus, dan diterima oleh seluruh umat. Empat Khalifah yang
mendapatkan julukan Khulafâ’ Rashidun adalah empat khalifah
awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah. mereka adalah :
a.
Abu Bakar (memimpin tahun 11 s/d 13 H)
b. Umar bin Khattab (memimpin tahun 13 s/d 23 H)
c.
Uthman bin Affan (memimpin tahun 23 s/d 35 H)
d. Ali bin Abi T{alib (memimpin tahun 35 s/d 40 H)
Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, cukup
menggemparkan segenap umat Islam dan sekaligus menandakan telah berakhirnya
otoritas seorang pemimpin spiritual dan duniawi yang mendapatkan tuntunan
langsung wahyu Ilahi, serta menunjukkan pula bahwa risalah kenabian telah
sempurna. Beliau pun tidak mewariskan siapa penggantinya yang akan
meneruskan missi sucinya.
Pada saat itu untuk memutuskan mengenai siapa
pengganti Nabi dalam memimpin umat Islam dalam rangka mengemban amanah-Nya
tersebut telah menimbulkan interpretasi umat yang beraneka-ragam, yang pada
gilirannya menjadi pemicu konflik tajam yang berkesudahan antar sesama muslim.
Padahal beliau telah berusaha keras menanamkan persaudaraan sejati yang kokoh
diantara pengikutnya, misalnya antara kaum Ansar dengan kaum Muhajirin.
Terlambatnya pemakaman jenazah Nabi mengilustrasikan betapa gawatnya krisis
suksesi saat itu. Sejarah mencatat terdapat tiga golongan yang terlibat konflik
dalam persaingan perebutan kekuasaan itu, yaitu kaum Ansar, kaum Muhajirin, dan
kaum Bani Hashim.
Mereka
ini merupakan para sahabat nabi yang terpercaya dan terkemuka. Jasa mereka
sangat besar dalam membantu tugas Nabi Muhammad dalam menyiarkan Agama Islam.
Dalam kurun waktu 29 tahun, mereka dapat memperluas Islam sampai ke wilayah
Syam, Irak Mesir, Sudan, Palestina, dan beberapa daerah di Benua Afrika. Oleh
sebab itu, mereka sangat pantas mendapat sebutan Khulafâ’ Rashidun.
Sifat
Utama yang dapat dijadikan ciri seorang Khulafâ’ Rashidun adalah ia
merupakan pemimpin arif dan bijaksana. Sebab dalam menjalankan kepemimpinannya
selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam
maupun dalam mengelola negara dan kepemerintahan. Sifat-sifat lain yang
dimiliki oleh seorang Khulafâ’ Rashidun antara lain : 1. memiliki sifat
arif dan bijaksana. 2. memiliki kewibawaan dan rasa kedisiplinan yang tinggi.
3. memiliki wawasan dan pengetahuan agama yang luas dan mendalam. 4. Berani,
tegas dalam menegakkan kebenaran. 5. memiliki kemauan yang keras.
Tugas Rasulullah
meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Tugas kenabian
atau tugas kerasulan yaitu tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Tugas
kenegaraan adalah tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan
pemimpin umat. Khalifah hanya menggantikan tugas sebagai kepala negara, kepala
pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas kenabian tidak dapat digantikan karena tugas
itu khusus untuk nabi dan nabi Muhammad adalah rasul dan Nabi terakhir.
A. Watak dan Prestasi Khulafâ’
Râshidun
Abu Bakar adalah salah
seorang dari pemimpin Quraish dan anggota majelis permusyawaratan. Dia dikenal
sebagai seorang yang berperangi lembut dan dicintai oleh kaumnya[29]
Abu Bakar menjadi khalifah
selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis
untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan
oleh suku-suku bangsa Arab yang tindak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah.
Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan
sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena sikap keras kepala dan penentangan
mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintah, Abu Bakar menyelesaikan
persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang Melawan
Kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah
ini.[30]
Ketika Abu Bakar sakit dan
merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian
mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam[31]
Umar adalah seorang berwatak
tegas dalam hak. Sebelum masuk Islam ia terkenal sebagai orang Quraish yang
paling berbahaya bagi kaum muslimin. Tetepi ketika masuk Islam ia berubah
drastic menjadi orang Islam yang paling berani menyatakan pendapatnya dan yang
paling gigih membela agama ini[32]
Di zaman Umar gelombang
ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama tejadi, ibu kota Syria, Damaskus,
jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan di Mesir di bawah pimpinan
‘Amr bin ‘Ash dan di Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sedah meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian wilayah Persia dan mesir.[33]
Pada masanya mulai di atur
dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan
dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula
jawatan pekerjaan umum.[34]
Umar juga mendirikan Bait al-Mal dan
menciptakan tahun hijrah.[35]
Setelah Umar wafat, ia di
gantikan oleh Uthman bin Affan. Khalifah Uthman adalah seorang yang takwa
wara’, selalu menjalankan puasa sepanjang tahun dan berhaji setiap tahun.[36] Uthman
juga terkenal sebagai seorang baik budi, penyantun, rendah hati, dan sangat
kasih kepada sesama[37]
Di masa pemerintahan Uthman,
Armenia, Tunisia, Cyprus, Phodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania dan Tabarista berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti
disini.[38]
Pada masanya, Uthman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.[39]
Setelah Uthman wafat,
masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi T{alib sebagai khalifah. Ia
adalah seorang yang mengiaskan budi pakerti terpuji. Dia tumbuh ditengah
kehidupan rumah tangga Rasulullah saw sehingga ia terdidik dengan pendidikan
yang sangat etis dan berakhlak dengan akhlak yang sangat baik.[40]
Ali adalah figur seorang yang petah lidah
dan selalu berbahasa Arab dengan baik dan benar. Dalam berbicara ia selalu menggunakan
kata-kata yang sederhana dengan tidak dibuat-buat sehingga diterima oleh jiwa
yang mendengar dan terpengaruh karenanya. Begitu juga ia pun seorang yang
paling pandai bersyair di antara Khulafâ’ Râshidun.[41]
Adapun prestasi-prestasi yang ia
peroleh ketika menjalankan pemerintahan adalah:
a. Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap.
Khalifah Ali bin Abi T{alib menginginkan sebuah pemerintahan yang
efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat
yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata
banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Uthman bin Affan (Bani Umaiyah).
Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak menyukai Khalifah
Ali bin Abi T{alib.
b. Membenahi Keuangan Negara (Bait al-Mal).
Setelah
mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Tahlib kemudian
menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar.
Harta tersebut kemudian disimpan di Bait al-Mal dan digunakan
untuk kesejahteraan rakyat.
c. Memajukan Bidang Ilmu Bahasa.
Pada saat Khalifah Ali bin Abi T{alib memegang pemerintahan , Wilayah
Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijriyah belum
dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dammah dan shaddah. hal
itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks al-Quran dan Hadis di daerah-daerah
yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan al-Qur’an dan Hadis. Khalifah
Ali bin Abi T{alib memerintahkan Abu Aswad al-Duali untuk mengembangkan
pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari
tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu
orang-orang non Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran Islam,
yaitu al-Quran dan hadis.
d. Bidang Pembangunan
Salah
satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi
T{alib adalah pembangunan Kota Kufah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan
sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan
tetapi, kota Kufah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir,
ilmu hadis, ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.
Pada waktu itu , perselisihan antara pendukung Khalifah Ali bin Abi
T{alib dan Mua'wiyah bin Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang
menjadi awal berakhirnya pemerintahan Islam dibawah Khulafa’ Rashidun.
meskipun memiliki kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa pemerintahan
Islam masa Khulafa’ Rashidun merupakan masa pemerintahan Islam yang
paling mendekati masa pemerintahan Rasulullah saw.
B. Sistem Pemilihan
al-Khulafâ’ al-Râshidun
Satu hal
tentang suksesi yang pertama kali muncul dan mengusik jiwa masyarakat jazirah
Arab setelah ditinggal Muhammad saw di hampir separuh abad ke-7 M adalah
siapakah yang akan menggantikannya, baik sebagai pengemban amanah keagamaan
maupun sebagai kepala pemerintahaan. Ketika dihadapkan masalah agama, adakah
sosok yang kompeten? Sementara tidak ada lagi risalah atau misi kenabian
seperti sebelumnya, karena Muhammad saw adalah nabi terakhir. Dan apabila soal
pemerintahan, siapa yang akan dipilih sementara secara spesifik Nabi tidak
menunjuk pengganti dan begitu banyak yang harus di tangani?[42]
Apapun
masalahnya, diperlukan tokoh tertentu yang mempunyai otoritas keislaman yang kuat
ditengah masyarakat. Ia pun diakui publik untuk sebuah terobosan besar
peradaban Islam dalam waktu yang dibatasi. Maka suksesi kepemimpinan mesti dilakukan
dengan cara-cara yang baik dan demokratis serta diterima masyarakat.[43]
Masalah
kepemimpinan pasca Muhammad saw. Kemudian menjadi otoritas umat Islam. siapapun
yang menggantikan nabi tersebut, ia harus disepakati lalu di baiat oleh
masyarakat. Suatu prinsip bernegara yang seringkali di ajarkan adalah musyawarah,
sesuai dengan ajaran Islam. prinsip musyawarah dapat dibuktikan dengan beberapa
peristiwa yang terjadi disetiap pergantian pemimpin dari empat khalifah periode
Khulafa’ Rashidun, meski dengan versi yag beragam. Upaya ke arah positif
selalu ditegakkan oleh para sahabat ketika itu, sehingga umat Islam memberikan
respons positif pula. Tidak ada konflik besar ditegakkannya prinsip musyawarah
tersebut.[44]
Abu
Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara
demokratis di Thaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang
dikenal dunia modern. Kaum Ansar menekankan persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad
bin Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan aspek kesetiaan, mereka mengajukan calon
Abu Ubaidah bin Jarrrah. Sementara Pihak Ahl Bait mengiginkan agar Ali
bin Abi T{alib atas pertimbangan kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu
serta karib nabi. Hampir saja terjadi pergolokan antar kelompok-kelompok
berkepentingan tersebut. Melalui perdebatan panjang, akhirnya Abu Bakar
disetujui untuk menduduki jabatan khalifah.[45]
Dalam sistem musyawarah bila sejumlah orang tidak menyetujui, maka mereka di
anggap itba’ dan terkelompokkan ke
mayoritas.[46]
Pendapat
lain menyebutkan bahwa ketika para sahabat disibukkan dengan urusan jenazah Nabi
Muhammad saw, pagi harinya Umar bin Khattab mendengar ada pertemuan kelompok Ansar
di saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Ansar
dari suku Khazraj sebagai khalifah. Kemudian Umar bergegas ke kediaman Nabi,
menyuruh seseorang untuk memanggil Abu Bakar yang berada di situ. Awalnya Abu
Bakar menolak, namun akhirnya memaklumi. Kedua sahabat terebut bergegas menuju
pertemuan dimaksud bersama Abu Ubaidah
bin Jarrah, tokoh senior dari kaum Muhajirin. Perdebatan sengit tak dapat
dihindari antara kaum Muhajirin dan Ansar. Sa’ad bin Ubaidah berpidato tentang
kedekatan Ansar dengan Rasulullah, maka menurutnya utusan mereka berhak
dipilih. Spontan kaum Ansar memilih Sa’ad bin Ubaidah sebagai representasi
mereka.[47]
Di pihak
lain, kaum Muhajirin mengutus Abu Bakar. Seraya menegaskan bahwa pihak mereka
lebih awal dekat dengan Nabi dan kepemimpinan adalah milik kabilah Quraish.
Ketika Kaum Ansar mengusulkan ada utusan dari masing-masing kelompok, baik Ansar
maupun Muhajirin, tapi tidak disetujui oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah
serta sebagian sahabat. Umar dengan kelihaiannya menyakinkan forum-membaiat Abu
Bakar sebagai Khalifah. Spontan keputusan tersebut diikuti mayoritas umat
Islam. Dalam pembaiatan yang dilakukan oleh mereka, keluarga nabi tidak ikut
serta karena disibukkan dengan urusan jenazah Nabi.[48]
Namun demikian, Ali bin Abi T{alib akhirnya ikut membaiat kekhalifahan Abu
Bakar. Sikap Ali tersebut di nilai beragam dan di kemudian hari menjadi
konsumsi politik. Namun apa pun persepsi yang dimunculkan, pembaiatan Abu Bakar
sudah sangat demokratis karena merepsentasikan keinginan mayoritas umat Islam.[49]
Agak sedikit
berbeda dengan suksesi sudahnya, bukan melalui musyawarah karena Umar bin
Khattab di angkat dan dipilih oleh tokoh tertentu di masyarakat, kemudian disetujui
oleh umat Islam. menjelang waktu wafatnya, Abu Bakar menderita sakit dan situasi
negara tidak stabil walaupun sepenuhnya dapat di kendalikan, dan pasukan Islam
pada waktu itu bertempur di medan perang. Dukungan moral dan politik dari pusat
pemerintah di Madinah tentu sangat dibutuhkan. Maka kemunculan pemimpin
pengganti pasca Abu Bakar adalah solusi terbaik. Akhirnya Umar bin Khattab
terpilih menggantikannya tentu dengan dukungan politik dan persetujuan para
pemuka masyarakat. Seandainya khalifah pertama tersebut membiarkan situasi
sebagaimana yang telah disikapi Muhammdah saw. Sangat dimungkinkan terjadi
pertumpahan darah apalagi jumlah penduduk di akhir kepemimpinan cukup besar.[50]
Munawir
Sjadzali menegaskan, bahwa pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah
pengganti Abu Bakar berdasarkan penunjukan oleh Abu Bakar. Kebijakan tersebut
di ambil cepat untuk mengantisipasi kemungkinan terulangnya kasus Thaqifah Bani
Sa’idah. Sebagai khalifah yang berpengalaman dan memiliki kematangan diri, Abu
Bakar tersebut mengkonsultasikan masalah tersebut kepada para sahabat senior.
Di Antaranya, Abdurrahman bin ‘Auf dan Uthman bin ‘Affan dari kelompok
muhajirin serta Asid bin Khudair dari golongan Ansar. Selanjutnya, Abu Bakar
meminta Utsman bin Affan untuk menulis pesan tertulis tentang pengganti Abu
Bakar yaitu Umar bin Khattab. Sesuai dengan pesan tertulis tersebut,
sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di baiat sebagai khalifah kedua dalam
satu peristiwa pembaiatan umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[51]
Dalam
rangka pembaiatan khalifah ketiga, umat Islam harus mencari calon pemimpin.
Terlebih tokoh bijak seperti Umar bin Khattab telah wafat, sudah bisa
dipastikan mereka bingung. Namun demikian, sebelum kepergiannya, khalifah kedua
tersebut telah membuat tim khusus sebagai persiapan politik. Umar bin Khattab
menunjuk enam orang calon, dan diperkirakan dalam pandangan masyarakat kesemuanya
pantas menduduki jabatan khalifah. Mereka adalah Ali bin Abi T{alib, Uthman bin
Affan, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan T{alhah bin Ubaidillah. Alasan khalifah
memilih mereka, secara kebetulan mereka semua dari golongan muhajirin adalah
bukan karena faktor kelompok atau keturunan, namun karena mereka berenam pernah
dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga. Pertimbangan Umar,
dalam hal ini lebih ditekankan pada integritas kepribadian dan loyalitas pada
agama, bukan yang lainnya.[52]
Lembaga
tersebut adalah: Ahl al-Hal wa al-Aqd -lembaga pertama semacam DPR yang
dibentuk dalam pemerintahan Islam. Mereka yang direkrut di lembaga tersebut
bermusyawarah untuk menentukan siapa bakal menjadi khalifah. Agar proses
berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan, maka putranya Abdullah
bin Umar diminta bergabung dengan tokoh-tokoh tim tersebut dengan syarat tidak
diperkenankan untuk dipilih sebagai khalifah. Dalam pemilihan, Utsman
mendapatkan suara lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Uthman.[53]
Dalam
proses pemilihan tersebur, menurut versi yang lain diceritakan bahwa dalam
sebuah pertemuan yang tidak dihadiri T{alhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin
Auf mengusulkan ada yang mengundurkan diri dari pencalonan khalifah. Peserta
rapat diam, akhirnya Abdurrahman mengambil sikap tegas mundur dari pencalonan
tersebut. Ali bin Abi T{alib mengikuti dengan syarat Abdurrahman jujur dan tidak
memilih Utsman karena alasan kedekatan hubungan kekerabatan. Kemudian
diputuskan melalui musyawarah umat Islam dan para sahabat yang ditunjuk oleh
Khalifah Umar. Tersaring menjadi dua orang, yaitu Utsman dan Ali. Keputusan
pilihan jatuh ketangan Uthman, karena ia dianggap lebih senior dan perilakunya
lebih lembut.[54]
Setelah
Uthman bin Affan, berkuasalah Ali bin Abi T{alib. Khalifah Ali dipilih dan di angkat
oleh komunitas muslim di Madinah. Meskipun ada pihak tertentu tidak menyukai
Ali, tetapi tidak ada orang yang berminat menjadi khalifah selagi kekuasaan
masih ditangan Ali bin Abi T{alib. Begitulah prosses pemilihan para Khulafâ’ Râshidun di sela-sela tiga
puluh tahun berkuasa sangat demokratis dan apa yang telah mereka tunjukkan
mencerminkan nilai tersendiri bagi upaya pengembangan politik dimasa depan. Apa
yang telah dicontohkan para sahabat di negara Madinah, ternyata tidak serta
merta dipraktikkan umat Islam dalam aktivitas politik mereka.[55]
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia, 2001.
Haekal,
Muhammad Husain. Abu Bakr Al-Siddi. terj. Ali Audah. Bogor : PT. Pustaka Litera AntarNUsa, 2012.
Hisam,
Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Si<rah
al-Nabawi. Bairut: Dar ibn Hazm, 2009.
Hitti, Philip K. Histori of the Arabs. terj.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Mubarakfuri
(al), Safi
al-Rahman. al-Rahi<q
al-Makhtum. Kairo: Dar al-Wafa’, 2010.
Nadwy
(al), Abul Hasan Ali Al Hasani. Riwayat
Hidup Rasulullah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
Shiddiq ,Nouruzzaman. Tamaddun Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 2003.
Sulaiman,
Rusydi. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Syalabi,
Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.
[1] Abu al-Hasan
Ali al-Hasani al-Nadwy, Riwayat Hidup
Rasulullah (Surabaya: PT Bina Ilmu,1983) 37.
[2] Ibid., 37.
[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta
Rajawali pers,2011), 9.
[4]Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2014), 168.
[5]Ibid., 169.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 15.
[7] Ibid., 18.
[8] Ibid., 19.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 20.
[11]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 20.
[13]Ibid., 21.
[14]Ibid., 21.
[15]Ibid., 22.
[16]Ibid., 22.
[17]Ibid., 22.
[18] Ibid., 23.
[19] Ibid., 23.
[20] Ibid., 24.
[21] Ibid., 24.
[22] Ibid., 24-25.
[23] Ibid., 25.
[24] Muhamad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bogor:
Litera Antar Nusa2011), 196.
[25] Ibid., 200.
[26] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 26.
[27] Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Sirah al-Nabawi (Bairut:
Dar Ibn
Hazm, 2009), 232.
[28] Safi al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum (Kairo:
Dar al-Wafa’, 2010), 181.
[29] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2001), 398.
[30] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 36.
[31] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 408.
[32] Ibid., 469.
[33] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press,
1985), 58.
[34] Syibli Nu’man,
Umar Yang Agung (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 264.
[35] A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), 263.
[36] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 500.
[37] Ibid., 501.
[38] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 38.
[39] Ibid., 39.
[40] Hasan Ibrahim
Hasan, sejarah Kebudayaan Islam, 516.
[41] Ibid., 518.
[42] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah
Peradaban Islam, 216.
[43]Ibid.
[44] Ibid.
[45] Nouruzzaman
Shiddiq, Tamaddun Muslim (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), 117.
[46] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 217.
[47] Ibid., 217.
[48] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta:
UI Press,2003), 22.
[49] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 218.
[50] Ibid., 218.
[51] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 25.
[52] Ibid.
[53] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 219.
[54] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 268
[55] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam , 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar