BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan,
seperti dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya
dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan
langsung oleh Rasulullah dan masa pemerintahan Khulafa’ Rasyidin.
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu
dari Dinasti Shiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di
Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu
yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua
sekte Ismailiyah.
Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan
munculnya disintegrasi wilayah.
Dinasti Fatimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam
yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah
peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah
menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang
tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Kelahiran Dinasti Fatimiyah?
2. Bagaimana dan kapan kejayaan
Dinasti Fatimiyah?
3. Kemunduran Dinasti
Fatimiyah ?
4. Bagaimana kehidupan Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat ditarik tujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah.
2.
Mengetahui puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah.
3.
Mengetahui kapan runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
4.
Mengetahui
kehidupan Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BERDIRINYA
DINASTI FATIMIYAH
Dinasti Fatimiyah ini mengaku
sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW.
atas dasar inilah mereka menisbatkan diri dengan nama Fatimiyah. Khalifah
pertama mereka adalah Ubaidillah al-Mahdi di samping itu Khalifah Fatimiyah ini
mempunyai pemimpin lain yaitu Ali Ibn Fadhi al-Yamani, Abi Qasim Khatam Ibn
Husain Ibn Hausah al-Kufi, AI-Halawani dan Abu Sofyan. Ubaidillah al- Mahdi
yang telah memulai aktivitas di tahun 909 M. dia datang dari Syuriah ke Afrika
Utara, menyamar sebagai pedagang, lalu tertangkap oleh Amir Dinasti Aghlabi
ziadatullah III dibantu oleh gubernurnya
al-Yasa, Ubaidillah dipenjarakan di Sijilmasah[1].
Kelompok yang
dipimpin Abdullah al-Shi'i ingin membebaskan Ubaidillah dari penjara Sijilmasah,
melihat kelompok al-Shi’i ini al-Yasa merasa takut lalu melarikan diri
meninggalkan kediamannya. Dengan demikian al-Shi'i dapat melepaskan Ubaidillah
dan anaknya pada waktu itu pula al-Shi'i mengangkat Ubaidillah menjadi Khalifah
tepatnya di tahun 297/ 909 M.[2]
Khilafah Fatimiyah ini berdiri di Afrika dengan ibu kotanya Raqadah di pinggiran kota Kairawan. Dengan kejadian seperti ini dapatlah dikatakan bahwa Ubaidillah dan pendukungnya telah dapat merebut kekuasaan Bani Ahglab secara de Facto. Daerah pusat pemerintahan Ahglab ini dijadikan tempat pemusatan dakwah Syi'ah. Ubaidillah memulai aksi politiknya dengan menghilangkan nama Khalifah Bani Abbasiah yang selalu disebut dalam khutbah. Di kota Kairawan Ubaidillah disambut oleh masyarakat, mereka membai'at dan menyatakan keta'atan terhadap Ubaidillah, namanya disebut di dalam khutbah dengan gelar "al-Mahdi Amir al-Mukminin", maka saat itu khalifah Fatimiyah telah diakui dan resmi berdiri. Pemimpin Aghlabiyyah terakhir Ziyadatullah III, diusir ke Mesir pada tahun 296 H/909 M, setelah upaya untuk mendapatkan bantuan dari ‘Abbasiah (dibawah pimpinan al-Muqtadir) sia-sia.[3]
Jika diperhatikan
secara cermat, penyerangan yang dilakukan oleh orang Fatimiyah ini bukan saja
merebutkan pemerintahan, tetapi secara otomatis pula mereka mengalahkan kaum
Sunni (Bani Ahglab), yang sejak dahulu menjadi musuh Shiah.
Pada tahun yang
sama, da’i termasyhur Abu' Abdullah al-Shi'i, berusaha menaklukkan kekuasaan
Rustamiyah di Tahart dengan upaya penyerangan terhadap keluarga Rustamiyah. Al-Shi'i
didukung oleh orang-orang Beber Ketama.[4] Bangkitnya Fatimiyah yang Shi’i di Maroko ini melemahkan Dinasti
Rustamiyah, dan dinasti-dinasti lokal di Maghribi. Dalam
penyerangan al-Shi’i itu banyak keluarga Rustamiah terbunuh, dan diantaranya
ada yang melarikan diri ke Wargla (daerah Selatan). Maka secara politis
Rustamiyah tunduk kepada Fathimiyah.
Perlu diketahui bahwasanya obsesi
dari Ubaidillah dan Abu Abdullah al-Shi’i ini, untuk merebut Tahart sangat
baik, karena pada waktu itu Tahart adalah sebuah kota yang makmur di bawah
pemerintahan Rustamiyah, menjadi terminal di Utara, dari salah satu rute
Kafilah Trans-Sahara, memikat penduduk Kosmopolitan diantaranya kelompok
pedagang Persia dan Kristen, menjadi pusat keserjanaan. Secara historis Tahart
adalah pusat perkumpulan Kharijiyah diseluruh Afrika Utara dan di luar Afrika.
Dari dua kali penaklukan ini Dinasti Fatimiah mulai tampak memperluas daerah
kekuasaannya, sehingga menguasai seluruh wilayah Afrika Utara sampai ke Maroko,
hingga ke perbatasan Mesir. Tahun 920 pemerintahan Fatimiyah ini sudah stabil,
Ubaidillah al-Mahdi membangun sebuah kota baru di bagian Tenggara Kairawan di
daerah pantai Tunisia yang diberinya nama al-Mahdiyat, kota ini dijadikan pusat pemerintahannya.[5]
Pada tahun 309
H/921 M, Ubaidillah mengerahkan tenteranya untuk menyerang dan menduduki kota
Fez, ibu kota Dinasti Idrisiyah, penguasa Idrisiah Yahya IV Waktu itu terpaksa
mengakui kedaulatan Fatimiyah, Kota Fez diduduki tentera Fatimiyah. Setelah itu
kekuasaan Idrisiyah mencapai daerah pelosok Maroko, dari Tamdult di Selatan
sampai ke daerah Beber Ghomara di Rif (Maroko Utara). Idrisiyah yang berada di
Rif ini selain mendapat ancaman dari Fatimiyah, juga mendapat ancaman dari
Dinasti Umayyah di Spanyol, yang menerapkan kebijaksanaannya di Afrika utara
(Maghrib).[6]
Abdurrahman
sebagai pemimpin Bani Umayyah di Spanyol berada di puncak kejayaannya di Faroh
pertama abad ke-10 itu, juga merasa khawatir sekali akan ancaman, yaitu
berkembangnya Dinasti Fatimiyah. Sehingga pada tahun 929 M Abdurrahman III,
mamakai gelar "Khalifah" dan memakai gelar kerajaan “Nasir
Lidinillah”, ini bukanlah pernyataan penguasa seluruh negeri Islam, tetapi
hanya suatu penegasan bahwasanya dia tidak berada di bawah kekuasaan otoritas
Muslim. Abdurrahman
merasa Khawatir akan kekuasaan Dinasti Fatimiyah, yang terkenal dengan
penggalangan massa melalui dakwah itu. Di sisi lain Bani Fatimiyah tidak mampu
membuat Maghrawa dan Zenata menjadi jajahan mereka, karena orang Maghrawa dan
Zanata sangat membenci Fatimiyah, mereka lebih suka berada di bawah pimpinan
Bani Umayyah di Spanyol. Pada akhirnya Fatimiyah memadamkan pemberontakan kaum
Khawarij yang dipimpin oleh Uba Yazid Sajadi tahun 942-944 H.[7]
Selanjutnya Bani Fatimiyah
mengalihkan perhatiannya ke wilayah Afrika Utara yaitu Mesir sesuai dengan
keinginan al-Mahdi.
B. Pembentukan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Obsesi yang
tersirat dalam pendirian Bani Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba
menguasai pusat dunia Islam; yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk
menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekonomi" dan
"Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi Mesir yang terletak di daerah
Bulan Sabit yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas perdagangan
yang strategis; perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut
Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.[8]
Dari segi faktor politik, Mesir terletak
di wilayah yang strategis menurut peta politik, daerah ini dekat dengan Syam,
Palestina dan Hijaz yang juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tuluniyah. Bila
Fatimiyah dapat menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai
Madinah sebagai pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua
ibu kota ternama di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Dengan demikian maka
nantinya Dinasti Fatimiyah ini akan cepat masyhur dan di kenal Dunia. Untuk
mencapai hal yang telah dicanangkannya ini Ubaidillah al-Mahdi memerintahkan
anaknya al-Qasim, melakukan ekspedisi ke Mesir, perjalanan ini dilakukan
berturut -turut pada tahun 913, 919 dan 925 H, akan tetapi ekspedisi ini tidak
berhasil. AI- Muiz, Khalifah keempat dari Dinasti Fatimiyah melanjutkan rencana
penaklukan yang dicita-citakan oleh Khalifah pertama Bani Fatimiyah (Ubaidillah
al-Mahdi), dia memulai seterategi baru yakni merangkul kelompok Beber yang
ingin melakukan pemberontakan terhadap Fatimiyah, semua kelompok itu dapat
ditundukkannya. Setelah itu orang Fatimiyah mengadakan persiapan yang cermat,
disamping itu mereka mengadakan propaganda politik di saat Mesir dilanda
bencana kelaparan yang hebat. Jauhar menerobos Kairo lama (al-Fustat) tanpa
mengalami kesulitan dia dapat menguasai negeri itu. Seorang pangeran Ikhsidiyah
yang bernama Ahmad masih berkuasa pada waktu itu, tetapi rezim Ikhsidiah sudah
tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan kepada tentera Jauhar.[9]
Jauhar memasuki Mesir bersama
100.000 tentara.[10] Jauhar mulai
membangun kota baru yang diberinya nama al-Qahirah berarti kemenangan di kota
ini dia menempatkan bala tenteranya. Serangan ke Mesir ini dilakukan pada tahun
358 H atau 969 M. Setelah al-Qahirah (Kairo) dibangun; pada tahun 973 M pusat
pemerintahan Dinasti Fatimiyah dipindahkan ke Kairo dan bertahan sampai tahun 1171 M.[11]
Kota Kairo juga sebagai tempat
kediaman para Khalifah Fatimiyah. Maka pembentukan kekuasaan (Khilafah)
Fatimiyah ini, tercatat di masa pemerintahan al-Muizz. Persiapan awal yang
dijalankan pertama kali adalah:
1.
Merangkul kelompok yang ingin
memberontak
2.
Mempersiapkan tentera untuk
melakukan penyerangan
3.
Membangun jalan raya menuju ke Mesir
4.
Menggali sumur-sumur di pinggiran
jalan raya menuju ke Mesir
5.
Membangun rumah tempat
peristirahatan (tentara)
6.
Mempersiapkan dana (keuangan guna
perbekalan bagi pasukan Fathimiyah).[12]
Sebagai Panglima yang dipercayakan
memimpin tentara pada penaklukan Mesir itu, Jauhar menjalankan aksi politik
Fatimiyah bagi penduduk Mesir yaitu dengan :
1.
Memberikan keyakinan kepada penduduk
tentang kebebasan mereka menjalankan ibadah menurut agama dan
mazhab mereka masing-masing.
2.
Berjanji akan melaksanakan
pembangunan di negeri itu dan akan menegakkan keadilan.
3.
Mempertahankan Mesir dari serangan
musuh.
4.
Menghapuskan nama-nama khalifah bani
Abbasiah yang disebut-sebut dalam do’a.
5.
Ketika shalat jumat dan digantikan
dengan nama Khalifah Fatimiyah.
6.
Menata pemerintahan
Penataan pemerintahan yang dilakukan
Jauhar adalah menetapkan kedudukan Ja'afar ibn al-Fadl ibn al-Furat di Mesir,
sebagai wazir di Mesir. Pegawai dari golongan Sunni tetap pada posisi semula
ditambah dengan seorang pegawai dari Syi'ah Mahgribi di setiap bagian.
Masyarakat Mesir terdiri dari tiga golongan yakni Golongan Sunni, golongan
Kristen Koptic dan golongan Shi'ah. Semuanya dibebaskan menjalankan ajaran
agamanya masing- masing. Dari setiap mazhab yang ada diangkat seorang qadhi.
Dengan demikian masyarakat Mesir yang beraliran Sunni itu tidak merasa khawatir
dan tidak menentang pemerintahan yang beraliran Shiah IsmaiIiyah ini, rakyat
menaruh simpati kepada pemerintahan Fatimiyah, propaganda Syi'ah yang
dijalankan oleh Jauhar ini berhasil. Pola pemerintahan yang dijalankan
Fatimiyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiyah di Bahgdad.
Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada
Khalifah dan dibai'ah lewat seremoni yang megah. Golongan Fatimiah ini mengaku
diri mereka keturunan Nabi, yang pantas memegang tampuk kepemimpinan
kekhalifahan, meskipun Syi'ah Ali menentang mereka. Dinasti Fatimiyah ini
semula, mandapat dukungan dari golongan Qaramit dan dalam perkembangannya
kedua kelompok ini bermusuhan, kemungkinan karena perbedaan prinsip.[13]
Sumber kehidupan Fatimiyah dari
pertanian dan hasil kerajinan serta hasil perdagangan dan lintas perjalanan
dagang di Medetaranian dan Laut Merah itu membuat mereka dapat hidup dengan
senang dan cukup pula untuk membiayai tentera yang diambil dari luar Mesir
seperti tentara suku Bebber, dan orang-orang kulit hitam dari Sudan serta
orang-orang Turki.
Keberhasilan Fatimiyah mengembalikan
Hajar al-aswad ke Mekkah, setelah 10 tahun lamanya di tangan Qaramithah
(dipimpin Hamdan bin Qarmath) merupakan satu keberhasilan yang gemilang
sehingga daerah-daerah yang semula mengakui kekuasaan Iksidiah, Mekah dan
Madinah dan dengan cepat mengakui Fatimiyah. Setelah memerintah selama 22
tahun, al-Mu'iz telah dapat memimpin negara dengan baik, dapat dikatakan khilafah
Fatimiyah berdiri kokoh. Lamanya Dinasti Fatimiyah berdiri 208 tahun.[14]
C.
Para Penguasa Dinasti Fatimiyah:
1.
Al-Mahdi ( 909-934 M. / 297-322 H. )
Penguasa
sekaligus pendiri Dinasti Fatimiyah ini mempunyai nama asli Sa’id bin
al-Husayn al-Salmiyah dengan gelar Ubayd Allah al-Mahdi yang menegakkan
pemerintahannya di istana Aghlabiyah yaitu Raqqadah (terletak di pinggiran kota
Qairawan) setelah dapat mengusir Ziyadatullah pada tahun 909 M/297 H., penguasa
Aghlabi yang terakhir.[15]Al-Mahdi adalah pemimpin yang sangat
cakap dan berbakat, dua tahun setelah berkuasa ia membunuh pemimpin
propagandanya, Abu Abd Allah al-Husayn al-Shi’i karena terbukti bersekongkol
dengan saudaranya sendiri, Abu al-Abbas untuk melancarkam kudeta terhadap
dirinya.
2.
Al-Qaim ( 934-946 M. / 322-334 H. )
Al-Mahdi
wafat pada tahun 934 M./322 H. dan digantikan oleh putra tertuanya Abu al-Qasim
yang bergelar al-Qaim bi Amr Allah. Ia adalah pemimpin pemberani, hampir
setiap ekspsdisi militer ia pimpin sendiri, sehingga dalam tahun pertama
kekhalifannya, ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai
Calabria dan pada tahun yang sama ia mengerahkan pasukan ke Mesir namun dapat
dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah sehingga mereka terusir dari Iskandariyah.
Ia meninggal dunia pada tahun 946 M.[16]
3.
Al-Mansur ( 946-952 M. / 334-341 H. )
Al-Mansur adalah pemuda yang lincah dan berani, ia menggantikan ayahnya dalam usia 27 tahun. Meskipun hanya memerintah selama 7 tahun 6 hari, ia masih bisa menjaga kedaulatan Dinasti Fatimiyah meskipun putra Abu Yazid Makad dan sejumlah pengikutnya senantiasa menimbulkan keributan. Ia juga membangun sebuah kota di wilayah perbatasan Susa’ pada tahun 337 H./949M. yang diberi nama al-Mansuriyyah.[17]
4.
Al-Mu’iz ( 952-975 M. /341-365 H. )
Setelah
al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal 341 H/952 M., ia
digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Mu’izz li Din Allah.
Penobatan al-Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti
Fatimiyah, karena di samping pusat pemerintahan sudah berpindah dari
al-Mahdiyah ke al-Qahirah yang dibangun oleh panglima perangnya, Jawhar
al-S}iqilli (al-Saqali)[18] setelah menguasai ibu kota Fust}at}
sebagai lambang kemenangan dan dilanjutkan membangun Masjid al-Azhar setelah
Mesir dapat ditaklukannya pada bulan Februari 969 M./ Rabi’ al-Akhir 358 H., juga keberhasilan
dalam ekspansi kekuasaan yaitu ke Maroko, Sycilia, Palestina dan Suriah
Damaskus serta mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.[19]
5. Al-‘Aziz ( 975-996
M. / 365-386 H. )
Abu Mansur Nizar (lahir pada tahun 344 H./954 M.)
menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal 365 H. memasuki tahun
ke-22 dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz bi Allah, ia terkenal sangat
pemurah dan bijaksana bahkan terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Puncak
kekuasaan Dinasti Fatimiyah adalah pada saat pemerintahannya yang meliputi dari
wilayah Eufrat sampai Atlantik, melampaui kekuasaan dinasti Abbasiyah di
Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran dibawah kekuasaan Buwaihiyah.[20]
Dalam pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi
kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama
terjalin dengan sangat baik, bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur adalah
beragama kristen dan Manasah seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat
tinggi di istananya. Pembangunan
fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan pemerintahannya, karena ia
juga ahli Sha’ir dan pendidikan seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion
dan masjid Karafa, masjid al-Azhar dijadikan al-Jami’ah/Universitas.[21] Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996
M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.
6.
Al-Hakim ( 996-1021 M. / 386-411 H. )
Al-‘Aziz
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ali Mansur (lahir pada bulan
Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar al-Hakim bi Amr Allah yang
masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun pertama, ia berada dibawah pengaruh
Gubernurnya yang bernama Barjawan yang sedang terlibat konflik dengan panglima
militer Ibn ‘Ammar, setelah berhasil menyingkirkan sang panglima, Barjawan
menjadi pelaku utama dalam pemerintahannya meskipun pada tanggal 26 Rabi’
Al-Thani 390 H./1000 M. Bajarwan dibunuh karena tuduhan penyalah-gunaan
kekuasaan negara. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang
menakutkan, ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja,
orang kristen dan orang yahudi harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi
keledai, ia mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja di
Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka
merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.[22]
Prestasi besar dalam pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-perguruan dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. ia merampungkan pembangunan Dar al-Hikmah sebagai sarana penyebaran ajaran-ajaran Shi’ah dan pada tahun 403 H./1013 M.. ia mendirikan al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah “Akademia” dari berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, mantiq, Filsafat, matematika, kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-Hikmah ia pindahkan ke masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13 Februari 1021 M./411 H. Ia terbunuh di Mukatam, kemungkinan konspirasi yang dipimpin oleh adik perempuannya yang bernama Siti al-Mulk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh khalifah.[23]
7. Al-Zahir (
1021-1035 M. / 411-427 H. )
Al-Hakim digantikan oleh putranya yang bernama Abu
Hashim dengan gelar al-Zahir li I’zaz din Allah (lahir 10 Ramad}an 395
H./1005 M.), ia naik tahta pada usia 16 tahun sehingga pemerintahannya dipegang
oleh bibinya Sitt al-Mulk, sepeninggal bibinya (tahun 415 H./1025 M.),
ia menjadi raja boneka dari menteri-menterinya. Peristiwa besar pada masa ini adalah penyelesaian sengketa
keagamaan di mana para tokoh mazhab Malikiyah diusir dari Mesir.[24]
8.
Al-Mustansir ( 1035-1094 M. / 427-487 H.
)
Al-Zahir
diganti oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Muhammad dengan gelar al-Mustansir
bi Allah, ia menjabat sebagai khalifah selama enam puluh tahun empat bulan
yang merupakan pemerintahan terpanjang dalam sejarah. Masa awal pemerintahannya
dipegang oleh ibunya, karena ketika dinobatkan sebagai khalifah ia masih
berumur tujuh tahun.
Pada masa
al-Mustansir, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis,
relatif tidak ada perkembangan kecuali pembangunan teropong bintang,
beberapa kali terjadi perebutan perdana menteri dan terjadi pemberontakan dan
peperangan seperti Marokko menyatakan bebas dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
pada tahun 443 H., Mekkah dan Madinah memisahkan diri pada tahun 462 H. dan di
Yaman nama Khalifah telah tidak disebut-sebut lagi pada waktu khutbah.[25]
9. Al-Musta’li (
1094-1101 M. / 487-495 H. )
Putra termuda dari al-Mustansir yaitu Abu al-Qasim Ahmad
yang bergelar al-Musta’li bi Allah menduduki jabatan khalifah
sepeninggal ayahnya, tetapi putra al-Mustansir yang tertua, Nizar menolak
penobatan adiknya lalu ia bangkit di Iskandariyah setelah memecat
Gubernur wilayah tersebut, disana ia memproklamirkan diri sebagai khalifah
dengan gelar al-Mustafa li Din Allah. Ketika al-Musta’li mengetahui kejadian tersebut, maka al-Malik
al-Afdal sebagai orang yang mengangkat al-Musta’li membawa bala tentara untuk
menangkap Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal.
Dengan
kejadian ini, rakyat terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Musta’li dan
Nizari. Kaum Nizari Isma’iliyah sebagian berada di Shiria dan sebagian di
pegunungan Persia Barat dibawah pinpinan Hassan assabah, gerakan inilah yang
kemudian dikenal dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin.[26]
10. Al-Amir ( 1101-1130 M. / 495-524 H. )
Setelah al-Musta’li meninggal dunia, anaknya yang masih
berumur lima tahun dinobatkan oleh al-Malik al-Afdal sebagai khalifah
dengaan gelar kehormatan al-Amir li Ahkam Allah. al-Malik al-Afdal
adalah perdana menteri yang berkuasa secara absolut selama 20 tahun, termasuk
ketika al-Amir telah dewasa dan merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama
50 tahun.[27]
11. Al-Hafiz ( 1130-1149 M. / 524-544 H. )
Setelah menjadi korban pembunuhan kelompok Nizariyyah/batiniyyah,
sepupunya yeng bernama Abu al-Maymun Abd al-Majid al-Hafiz memproklamirkan diri
sebagai khalifah. Pemerintahanmya
banyak diwarnai dengan perpecahan antara unsur-unsur kemiliteran.[28]
12.
Al-Zafir ( 1149-1154 M. / 544-549 H. )
Setelah
kematian al-Hafiz, Putranya yang bernama Abu Mansur Isma’il dengan gelar
al-Zafir. Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika dinobatkan menjadi
khalifah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan sembrono yang lebih
memikirkan urusan perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan,
meskipun sebenarnya ia hanyalah seorang boneka dari seorang wazir dari
Kurdistan, Abu al-Hasari bin al-Sallar yang menyebut dirinya al-Malik
al-‘Adil yang kemudian terbunuh dan posisi wazir digantikan oleh Abbas. Pada
tahun 1153 M./548 H. al-Zafir dibunuh oleh Nasr ibn Abbas.[29]
13. Al-Faiz ( 1154-1160 M. / 549-555 H. )
Dua hari setelah kematian al-Zafir, putranya yang masih
berumur empat tahun, Abu al-Qasim Isa dinobatkan sebagai khalifah oleh Abbas
dengan gelar al-Faiz, khalifah kecil ini meninggal dunia pada usia sebelas
tahun, lalu digantikan oleh sepupunya al-‘Adid.[30]
14. Al-‘Adid ( 1160-1171 M. / 555-567 H. )
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abd Allah al-‘Adid,
ia masih berumur sembilan tahun ketika dinobatkan sebagai khalifah yang ke
empat belas (khalifah terakhir dari Dinasti Fatimiyah), karena segera disusul
penyerangan Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir pada tahun 1167 M./562 H. dan
terus menerus terjadi perebutan kekuasaan sampai datang Salah al-Din
al-Ayyubi yang menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai wazir pada tahun
1169 M./564 H.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
- DINASTI ABBASIYAH
- ISLAM DI SPANYOL
- DINASTI FATIMIYAH
- TURKI UTSMANI
- DINASTI SAFAWI DI PERSIA
- DINASTI MUGHAL
- ERA PENJAJAHAN DUNIA ISLAM
- ISLAM DI INDONESIA
D.
Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyyah
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir
senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang
kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah
kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang
khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya
yang berbentang
dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus,
Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang
sangat luas. Di
bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”. Bisa
dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah
khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo
yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan
kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat
Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan
prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen
“Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki
dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis
yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang
menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte Shiah yang
bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir
abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan
mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan
mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan
ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya
dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah al-Mansur pada
tahun 951 M.[31]
E.
Kehidupan Mesir Pada Dinasti
Fatimiyah
Sejak awal pemerintahannya, al-Mahdi
sudah berusaha menaklukkan Mesir, ia melakukan ekspansi tersebut sampai tiga
kali yaitu pada tahun 913 M/301 H. ,919 M./307 H. dan tahun 933 M./321 H yang
dipinpin oleh putranya Abu al-Qasim tetapi tidak pernah berhasil. Menurut Hasan Ibrahim, ekspansi
tersebut didorong beberapa faktor yang antara lain adalah:
Faktor
Ekonomi : yaitu keadaan alam Mesir yang agraris dan subur serta kaya
dengan beberapa penghasilan dan kerajinan.
Faktor
Geografis: letak Mesir yang strategis, jauh dari pusat pemerintahan dawlah
Abbasiyah di Baghdad, berada di tengah-tengah timur dan barat, dekat dengan
Sham, Palestina dan Hijaz yang merupakan daerah-daerah yang subur dan
potensial.
Faktor
Politis: Dinasti Fatimiyah mendapat sambutan yang simpatik dari rakyat Mesir[32]
1.
Bidang Keagamaan
Dalam urusan
keagamaan, disusun lembaga dakwah dan dipimpin oleh kepala dakwah yang sangat
tendensius untuk kepentingan politik Shi’ah. Lembaga ini dalam struktur
pemerintahan bertanggung jawab langsung kepada khalifah dengan tugas menyebarkan
faham Shi’ah Isma’iliyyah[33] ke berbagai wilayah kekuasaan Dinasti
Fatimiyah serta menyusun materi pelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan
melalui kurikulum-kurikulum yang ditetapkan oleh dinasti tersebut.
Sedangkan diluar kekuasaan Dinasti Fatimiyah, dakwah ini dilakukan melalui
hubungan dagang yang dibangun di daerah-daerah belahan timur, khusunya di
samudera Hindia dan daerah-daerah lain di wilayah Afrika dan Eropa.[34]
Dinasti Fatimiyah juga membangun sejumlah makam Imam-Imam
Shi’ah seperti Makam Husayn di Mesir dan memindahkan kepalanya dari Ascalon ke
Kairo, sebagai salah satu bentuk pemuliaan kepada Imam mereka yang ma’sum
sekaligus sebagai figur penyelamat (Messianisal-Mahdi), hal ini,
disamping dimaksudkan sebagai dakwah juga sebagai legitimasi keagamaan bagi
Imam-Imam Dinasti Fatimiyah yang berkuasa berikutnya sebagai salah satu
keturunan para Imam (al-ma’sum dan al-Mahdi ) tersebut.[35]
2.
Bidang Administrasi dan Pemerintahan
Kekuasaan
Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali
meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah,
Yaman, dan Hijaz[36]. Bentuk pemerintahan Dinasti Fatimiyah
adalah bentuk yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaannya,
khalifah adalah kepala negara yang bersifat temporal dan spritual, pemecatan
pejabat tinggi berada dibawah kontrol kekuasaan khalifah.
Dalam bidang
Kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a. Amir-amir yang terdiri dari para
perwira tertinggi dan para pengawal khalifah
b. Para perwira istana yang terdiri atas
para ahli (ustadh) dan para kasim
c. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama khalifah, wazir dan suku.[37]
Di luar
jabatan-jabatan istana diatas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi
tiga daerah yaitu Mesir, Shiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah
Mesir terdiri dari empat provinsi, yaitu provinsi Mesir bagian atas, provinsi
Mesir wilayah timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iksandariyyah,
segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa
setempat.[38]
3. Bidang Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan
Dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan kebudayaan, Dinasti
Fatimiyah dapat dikatakan mengungguli prestasi bani Abbas di Baghdad dan Bani
Umayyah di Spanyol pada saat yang sama. Prestasi ini bermula dari tradisi yang
dirintis oleh khalifah al-‘Aziz, istananya dijadikan pusat kegiatan keilmuan,
diskusi para ulama, fuqaha’, qurra’, nuhat dan ahli hadith. al-‘Aziz memberi
gaji yang besar kepada para pengajar sehingga banyak ulama yang pindah dari
Baghdad ke Mesir.
Dalam bidang kebudayaan yang bisa kita saksikan sampai
saat ini adalah beberapa bangunan masjid yang mencirikan arsitektur khas Islam
dengan menampilkan tiang-tiang khas yang didesain dengan kaligrafi bergaya kufi
serta terdapat pintu-pintu gerbang besar yang masih bertahan sampai sekarang
yaitu: bab zawillah, bab al-Nasr dan bab al-Futuh dan juga
pintu-pintu gerbang yang sangat besar di Mesir yang dibangun oleh
arsitek-arsitek Edessa dengan rancangan ala Bizantium. Termasuk produk budaya
masa Dinasti Fatimiyah yang masih bisa kita lihat di museum Arab di Kairo
adalah papan-papan yang diukir beberapa makhluk hidup seperti rusa yang
diserang monster, kelinci yang diterkam elang dan beberapa pasang burung yang
saling berhadapan, koleksi perunggu yang kebanyakan berupa cermin dan pedupaan
serta patung perunggu grifin dengan tinggi 40 cm. yang sekarang berada Pisa.[39] Beberapa ilmuwan lainnya pada jaman ini
yaitu sebagai berikut:
a. Muhammad al-Tamim, seorang dokter.
b. Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi dan Ibn
Salamah al-Qudha’i’, sejarawan.
c. Ali ibn Yunus, seorang astronom hebat.
d. Abu Ali al-Hasan dan Ibn al-Haitsam,
ilmuwan fisika dan optik.
e. Ibn Muqlah, ahli kaligrafi.
f. Seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al Aziz yang berhasil membangun masjid al Azhar.[40]
Kemajuan
keilmuan yang paling
fundamental pada masa Fatimiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga
keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim
pada tahun 1005 Masehi. Ilmu
astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibn Yunus
kemudian Ali Al Hasan dan Ibn Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus
karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah
dihasilkan.
Pada masa
pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang
sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat
perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated
Al-Qur’an ini merupakan bukti kontribusi
Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
4.
Bidang Ekonomi dan Sosial
Mesir pada
masa ini mengalami kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial yang mengungguli
Irak dan daerah-daerah lain dalam dunia Islam masa itu, diceritakan oleh
seorang Persi yang menjadi Propagandis Isma’iliyah, Nasir-i-Khusraw
ketika ia berkunjung ke Mesir pada tahun 1046-1049 H. Bahwa istana
khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang diantaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda.
Hubungan dagang dengan dunia non-muslim terbina dengan baik, termasuk dengan
India dan negeri Mediterania yang beragama kristen serta melakukan hubungan
kerja sama dengan republik Italia, al-Maji, Pisa dan Vinice.
Juga terdapat
tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang pancang berlabuh ditepi
sungai Nil, terdapat 20.000 toko milik khalifah yang hampir semuanya dibangun
dengan batu bata dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai dan
dipenuhi dengan berbagai pruduk komoditi internasional, jalan-jalan utama
diberi atap dan diterangi lampu serta keamanan dan ketertiban pada masa itu
sangat diperhatikan. Konon, jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan
dipertontonkan diatas sepanjang jalan kota sambil membunyikan lonceng dan
mengakui kesalahannya, toko-toko perhiasan atau tempat penukaran uang (money
changer) tidak pernah dikunci saat ditinggal pemiliknya.[41] Keadaan ini menunjukkan bahwa
kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada
masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi
pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian
di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
a.
Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
b.
Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk
dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil
merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir,
kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa
kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun
untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil
ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan
kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin
gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[42]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
a.
Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan
aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam
gandum, kapas, pohon rami.
b.
Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air
sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air
dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk,
dan lain-lain.[43]
5. Bidang Politik
Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti
Fatimiyah sampai periode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir,
relatif stabil dan tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut
masih berkuasa penuh terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang
diambil oleh mereka sering kali merugikan pihak lain yang non Shi’ah bahkan non
muslim, seperti keputusan politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap
orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa mereka memakai jubah hitam dan
hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-Hakim mengeluarkan
maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan menyita tanah
serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan
hak-haknya sebagai warga negara[44], sedangkan kepada
orang-orang muslim yang menjadi pegawai kerajaan diwajibkan mengikuti paham
Shi’ah, Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan politik pada masa
pemerintahan al-‘Aziz yang begitu moderat, kondusif terhadap perkembangan semua
paham dan agama yang ada di Mesir, meskipun al-‘Aziz sendiri pernah melarang
pelaksanaan salat tarawih disemua masjid di Mesir[45], hal itu
disebabkan agar tidak terjadi gejolak sosial antara pengikut beberapa mazhab
dengan pendapat yang berbeda-beda tentang pelaksanaan salat tersebut.
F. MASA KEMUNDURAN
DINASTI FATIMIYAH
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran Dinasti Fatimiyah
telah terlihat dipenghujung masa pemerintahan al-Aziz namun baru kelihatan
wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567
H/1171 M. Dengan tindakan-tindakan tegas lainnya
dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki kemakmuran sekedarnya. Dia biasanya
disebut sebagai pemimpin militer (amir al-juyush), walau dia
mengurusi pemerintahan dan dakwah, yaitu propaganda religio-politis. Tahun 1094
putranya al-Afdal, atau al-Malik al-Afdal, menggantikannya dan meneruskan
kemakmuran negara sampai wafatnya tahun 1121. Setelah itu keadaan merosot
dengan cepat, dan tahun 1171 Bani Fatimiyah digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi.[46]
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya
Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal[47]:
1. Faktor internal
Faktor
internal yang paling besar dalam menghantarkan kemunduran Dinasti Fatimiyah
adalah dikarenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Para khalifah tidak lagi memiliki
semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka
ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang
bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan
ekspansi.
2. Faktor eksternal
Adapun
faktor eksternal yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah
menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki adalah gubernur Syiria yang masih
berada dibawah kekuasaan bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada
saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang
tidak mampu mengalahkan tentara salib. Dinasti Fatimiyah
berakhir pada tahun 567 H/1171 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan
Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan
sebagai pusat pemerintahan dan militer, yang kini bangunan benteng tersebut
masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishr al-Qadim (Mesir Lama) yang terletak
tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Muqattam.
Dinasti
Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada
awalnya, dinasti ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum
ditaklukan oleh Dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi. Dalam masa pemerintahannya, Dinasti
Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Shi’ah Ismailiyah. Untuk
kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintah dan warga
masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang
ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal
dari non muslim.
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan
para khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh
kebijakan para wazir sementara para khalifah hanya hidup menikmati kekuasaanya
dalam istana yang megah.
Melihat
perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti
Fathimiyah merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya
di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-faktor yang
lain. Secara ringkas, di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah
sebagai berikut[48]:
a.
Melemahnya para khalifah,
Khususnya sejak al-Mustansir, ia adalah urutan khalifah
yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah 14 orang, maka,
dapatlah dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh
berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan
menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, seperti; Al-Hakim berusia
sebelas tahun, Al Zahir berusia enam belas tahun, al-Amir disebut masih “berusia
hijau “, al-Zafir berusia tujuh belas tahun, aI-Faiz dikatakan “berusia
balita”, dan al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan
tahun.
Lemahnya para khalifah ini menyebabkan tampilnya “orang-orang
kuat” dan berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan
khalifah hanya sebagai boneka “orang-orang kuat” misalnya, Barjawan,
seorang gubernur al Hakim, Sitt al-Mulk, bibi al-Zahir, dan al-Azfal, perdana
menteri al-Amr. Tampilnya
“orang-orang kuat” ini mengakibatkan kecemburuan di pihak saudara-saudara
para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan diktator dan tidak stabil.
Di samping
itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri
yang bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah
berdasarkan “kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu
sistem atau melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak al-Musta’li,
merasa kecewa berat karena al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah
pengganti bapaknya al-Mustanshir yang wafat. la merasa bahwa dia adalah yang
lebih berhak untuk jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin
yang dipimpin oleh al-Hasan bin al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil
membunuh dua orang khalifah, al-Musta’li dan al-Amir.
b.
Perpecahan dalam tubuh militer.
Dalam tubuh
militer terdapat tiga unsur kekuatan. Pertama, unsur bangsa Barbar yang
sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fathimiyah. Kedua, unsur
bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-Aziz. Ketiga,
unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah al-Mustanshir. Tiga
faksi ini selalu. bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka.
Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan
unsur Barbar. Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini
menyebabkan kontrol milter terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya,
wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara
berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.
c.
Bencana alam.
Kekeringan
yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah
penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara, menyebabkan lumpuhnya
perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir.
Kekurangan pangan yang melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan kepada
Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada gilirannya memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti Fathimiyah dengan mudah pula.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dinasti
Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir
dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada
keturunan Ali Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali ibn Abi T{alib dan Fatimiah
dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali.
2. Ekspansi
yang dilakukan oleh dinasti Fatimiah diantaranya yaitu Khalifah Ubaidillah memperluas kekuasannya meliputi
wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan
Mesir. Tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Tahun
915 M, mereka berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai
pusat kekuasaan.
3. Ideologi keagamaan yang berkembang diantaranya
berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Selain
itu ada juga yang menganut faham Syi’ah dan Sunni.
4. Kemajuan
Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang yaitu keagamaan, administrasi dan pemerintahan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
ekonomi dan arsitektur dan seni, pemikiran
dan filsafat.
5. Kemunduran
Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah,
perebutan kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, keterlibatan
non-islam dalam pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Yogyakarta: LIPI, 2002.
abu, Su’ud. Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Islam. Ed. 1, Cet. 3. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993.
Aizid, Rizem. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta: Diva Press,2015.
Ali, K. Sejarah
Islam:Tarikh Pramodern. Jakarta:: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
C.E,Boswort. Dinasti-dinasti Islam. Bandung.:Penerbit Mizan,1980.
Hakim, Moh. Nur. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004.
Hitti, Philip K. History of the Arab. Terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Mahmudunnasir, Syaed. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Penerbit Remaja
Rosdakarya, 1994.
Montgomory, W Watt. Kerajaan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Sayyid, Aiman Fuad. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah:t.P,1992.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2003. Jakarta. Prenada Media, t.th.
Surur (al), Muhammad Jamal al- Din. al-Daulah al-Fatimiyah fi Misri. t.t: Dar al-Fikri,1979.
Syalabi, Ahmad. Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah. Mesir: t.p, 1979.
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Dunia Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
http://id.wikipedia.org / wiki / Bani Fatimiyah.
[1] Philip K. Hitti, History of the Arab. Terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2010), 788.
[2] Muhammad Jamal
al- Din al Surur. al-Daulah al-Fatimiyah fi Misri (t.t: Dar al-Fikri,1979) 16-19.
[3] Boswort. C.E, Dinasti-dinasti Islam (Bandung.:Penerbit Mizan,1980), 47.
[4] Ibid., 49.
[5] Philip K Hitti, History of Arabs..., 789.
[6] Boswort. C.E, Dinasti-dinasti Islam..., 43.
[7]Syaed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1994), 318-319.
[8]
W Watt Montgomory. Kerajaan
Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 216.
[9] Ibid.
[10] Ahmad Syalabi, Mausu’at
al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah (Mesir: t.p, 1979) 327.
[11] Philip K Hitti, History of Arabs..., 790.
[12]Muhammad Jamal al- Din al Surur. al-Daulah al-Fatimiyah fi Mishri..., 33-34.
[13] Rizem
Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap
(Yogyakarta: Diva Press,2015), 381-382.
[14] Musyrifah Sunanto. Sejarah
Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2003. Jakarta. Prenada
Media. Hlm 143.
[15] Philip K. Hitti, Hirtory,788.
lihat juga, Hasan Ibrahim Hasan,Tarikh al-Dawlah,49.lihat juga, Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004),113.
[16] Ibid., Ta>rikh al-Isla>mi
al-Siya>si, 136, lihat juga, K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), 492-493.
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Dawlah...,
92. lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan..., 113.
[18] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan..., 117.
[19] Philip K.Hitti, History...,790. lihat,Hasan Ibrahim , Tarikh al-Dawlah..., 92 dan 140. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.
[20] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Dawlah..., 97 dan 156. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.
[21] Philip K. Hitti, History...,
790. Lihat juga K.
Ali, Sejarah...,
499. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.
[22] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Dawlah, 164-165.
[23] Ibid, 428. lihat juga Philip K. Hitti, History..., 792-793.
[24] K. Ali, Sejarah Islam...,
502.
[25] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh
al-Dawlah...,
169.
[26] G.E.Von Grunebaum, Classical Islam...,
148. lihat juga K.
Ali, Sejarah...,
507.
[27] Ibid., 508
[28] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh
al-Dawlah...,
176-197.
[29] Philip K. Hitti, History...,
796. lihat
juga, Ajid Thohir, Perkembangan,... 121.
[30] Ibid.
[31] Ibid, 791.
[32] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh
al-Dawlah...,
112-113.
[33] Tahapan dakwah yang dilakukan bisa
dilihat,Ibid.,
326-342.
[34] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam (Yogyakarta: LIPI, 2002), 307.
[35] Moh.Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban
Islam (Malang: UMM
Press, 2004), 106.
[36] http://id.wikipedia.org / wiki / Bani
Fatimiyah.
[37] Philip K.Hitti, History...,
800. Lihat K.Ali, Sejarah.., 509-510. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan...,
115.
[38] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh
al-Dawlah...,
289.
[39] Philip K.Hitti, History...,
805.
[40] Ajid Thohir,
Perkembangan...,
117.
[41] Philip K
hitty, History..., 798.
[42] Aiman Fuad Sayyid, Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid (Dar El-Masriyah lil-Bananiyah:t.p. 1992) 293.
[43] Ibid.
[44] Philip k
hitty, History..., 208.
[45] Ibid, 218.
[46] Su’ud abu, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya
dalam Peradaban Umat Islam. Ed.
1, Cet. 3. (Jakarta:
PT Grafindo Persada, 1993)
, 81.
[47] Rizem
Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap...,
387-389.
[48] Moh. Nurhakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, 107-109, dan Yusuf Isy, Dinassti
Abbasiyah, Terj.
Arif Munandar (Jakarta:
al Kautsar, 2007), 236-243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar