HOME

30 Maret, 2022

DINASTI FATIMIYAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rasulullah dan masa pemerintahan Khulafa’ Rasyidin.

Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Shiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah.

Dinasti Fatimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.

 

    B.     Rumusan Masalah

Dari Latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Kelahiran Dinasti Fatimiyah?

2.      Bagaimana dan kapan kejayaan Dinasti Fatimiyah?

3.      Kemunduran Dinasti Fatimiyah ?

4.      Bagaimana kehidupan Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah?


C.    Tujuan

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat ditarik tujuan sebagai berikut:

1.      Mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah.

2.      Mengetahui puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah.

3.      Mengetahui kapan runtuhnya Dinasti Fatimiyah.

4.      Mengetahui kehidupan Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah.

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    SEJARAH BERDIRINYA DINASTI FATIMIYAH

Dinasti Fatimiyah ini mengaku sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. atas dasar inilah mereka menisbatkan diri dengan nama Fatimiyah. Khalifah pertama mereka adalah Ubaidillah al-Mahdi di samping itu Khalifah Fatimiyah ini mempunyai pemimpin lain yaitu Ali Ibn Fadhi al-Yamani, Abi Qasim Khatam Ibn Husain Ibn Hausah al-Kufi, AI-Halawani dan Abu Sofyan. Ubaidillah al- Mahdi yang telah memulai aktivitas di tahun 909 M. dia datang dari Syuriah ke Afrika Utara, menyamar sebagai pedagang, lalu tertangkap oleh Amir Dinasti Aghlabi ziadatullah III dibantu oleh gubernurnya al-Yasa, Ubaidillah dipenjarakan di Sijilmasah[1].

Kelompok yang dipimpin Abdullah al-Shi'i ingin membebaskan Ubaidillah dari penjara Sijilmasah, melihat kelompok al-Shi’i ini al-Yasa merasa takut lalu melarikan diri meninggalkan kediamannya. Dengan demikian al-Shi'i dapat melepaskan Ubaidillah dan anaknya pada waktu itu pula al-Shi'i mengangkat Ubaidillah menjadi Khalifah tepatnya di tahun 297/ 909 M.[2]

Khilafah Fatimiyah ini berdiri di Afrika dengan ibu kotanya Raqadah di pinggiran kota Kairawan. Dengan kejadian seperti ini dapatlah dikatakan bahwa Ubaidillah dan pendukungnya telah dapat merebut kekuasaan Bani Ahglab secara de Facto. Daerah pusat pemerintahan Ahglab ini dijadikan tempat pemusatan dakwah Syi'ah. Ubaidillah memulai aksi politiknya dengan menghilangkan nama Khalifah Bani Abbasiah yang selalu disebut dalam khutbah. Di kota Kairawan Ubaidillah disambut oleh masyarakat, mereka membai'at dan menyatakan keta'atan terhadap Ubaidillah, namanya disebut di dalam khutbah dengan gelar "al-Mahdi Amir al-Mukminin", maka saat itu khalifah Fatimiyah telah diakui dan resmi berdiri. Pemimpin Aghlabiyyah terakhir Ziyadatullah III, diusir ke Mesir pada tahun 296 H/909 M, setelah upaya untuk mendapatkan bantuan dari ‘Abbasiah (dibawah pimpinan al-Muqtadir) sia-sia.[3]         

Jika diperhatikan secara cermat, penyerangan yang dilakukan oleh orang Fatimiyah ini bukan saja merebutkan pemerintahan, tetapi secara otomatis pula mereka mengalahkan kaum Sunni (Bani Ahglab), yang sejak dahulu menjadi musuh Shiah.

Pada tahun yang sama, da’i termasyhur Abu' Abdullah al-Shi'i, berusaha menaklukkan kekuasaan Rustamiyah di Tahart dengan upaya penyerangan terhadap keluarga Rustamiyah. Al-Shi'i didukung oleh orang-orang Beber Ketama.[4] Bangkitnya Fatimiyah yang Shi’i di Maroko ini melemahkan Dinasti Rustamiyah, dan dinasti-dinasti lokal di Maghribi. Dalam penyerangan al-Shi’i itu banyak keluarga Rustamiah terbunuh, dan diantaranya ada yang melarikan diri ke Wargla (daerah Selatan). Maka secara politis Rustamiyah tunduk kepada Fathimiyah.

Perlu diketahui bahwasanya obsesi dari Ubaidillah dan Abu Abdullah al-Shi’i ini, untuk merebut Tahart sangat baik, karena pada waktu itu Tahart adalah sebuah kota yang makmur di bawah pemerintahan Rustamiyah, menjadi terminal di Utara, dari salah satu rute Kafilah Trans-Sahara, memikat penduduk Kosmopolitan diantaranya kelompok pedagang Persia dan Kristen, menjadi pusat keserjanaan. Secara historis Tahart adalah pusat perkumpulan Kharijiyah diseluruh Afrika Utara dan di luar Afrika. Dari dua kali penaklukan ini Dinasti Fatimiah mulai tampak memperluas daerah kekuasaannya, sehingga menguasai seluruh wilayah Afrika Utara sampai ke Maroko, hingga ke perbatasan Mesir. Tahun 920 pemerintahan Fatimiyah ini sudah stabil, Ubaidillah al-Mahdi membangun sebuah kota baru di bagian Tenggara Kairawan di daerah pantai Tunisia yang diberinya nama al-Mahdiyat, kota ini dijadikan pusat pemerintahannya.[5]

Pada tahun 309 H/921 M, Ubaidillah mengerahkan tenteranya untuk menyerang dan menduduki kota Fez, ibu kota Dinasti Idrisiyah, penguasa Idrisiah Yahya IV Waktu itu terpaksa mengakui kedaulatan Fatimiyah, Kota Fez diduduki tentera Fatimiyah. Setelah itu kekuasaan Idrisiyah mencapai daerah pelosok Maroko, dari Tamdult di Selatan sampai ke daerah Beber Ghomara di Rif (Maroko Utara). Idrisiyah yang berada di Rif ini selain mendapat ancaman dari Fatimiyah, juga mendapat ancaman dari Dinasti Umayyah di Spanyol, yang menerapkan kebijaksanaannya di Afrika utara (Maghrib).[6]

Abdurrahman sebagai pemimpin Bani Umayyah di Spanyol berada di puncak kejayaannya di Faroh pertama abad ke-10 itu, juga merasa khawatir sekali akan ancaman, yaitu berkembangnya Dinasti Fatimiyah. Sehingga pada tahun 929 M Abdurrahman III, mamakai gelar "Khalifah" dan memakai gelar kerajaan “Nasir Lidinillah”, ini bukanlah pernyataan penguasa seluruh negeri Islam, tetapi hanya suatu penegasan bahwasanya dia tidak berada di bawah kekuasaan otoritas Muslim. Abdurrahman merasa Khawatir akan kekuasaan Dinasti Fatimiyah, yang terkenal dengan penggalangan massa melalui dakwah itu. Di sisi lain Bani Fatimiyah tidak mampu membuat Maghrawa dan Zenata menjadi jajahan mereka, karena orang Maghrawa dan Zanata sangat membenci Fatimiyah, mereka lebih suka berada di bawah pimpinan Bani Umayyah di Spanyol. Pada akhirnya Fatimiyah memadamkan pemberontakan kaum Khawarij yang dipimpin oleh Uba Yazid Sajadi tahun 942-944 H.[7]

Selanjutnya Bani Fatimiyah mengalihkan perhatiannya ke wilayah Afrika Utara yaitu Mesir sesuai dengan keinginan al-Mahdi.

 

    B.     Pembentukan Dinasti Fatimiyah di Mesir

Obsesi yang tersirat dalam pendirian Bani Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam; yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekonomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi Mesir yang terletak di daerah Bulan Sabit yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas perdagangan yang strategis; perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.[8]

Dari segi faktor politik, Mesir terletak di wilayah yang strategis menurut peta politik, daerah ini dekat dengan Syam, Palestina dan Hijaz yang juga merupakan wilayah Mesir sejak Dinasti Tuluniyah. Bila Fatimiyah dapat menaklukkan Mesir berarti akan mudah baginya untuk menguasai Madinah sebagai pusat Islam masa lampau, serta kota Damaskus dan Bahgdad dua ibu kota ternama di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Dengan demikian maka nantinya Dinasti Fatimiyah ini akan cepat masyhur dan di kenal Dunia. Untuk mencapai hal yang telah dicanangkannya ini Ubaidillah al-Mahdi memerintahkan anaknya al-Qasim, melakukan ekspedisi ke Mesir, perjalanan ini dilakukan berturut -turut pada tahun 913, 919 dan 925 H, akan tetapi ekspedisi ini tidak berhasil. AI- Muiz, Khalifah keempat dari Dinasti Fatimiyah melanjutkan rencana penaklukan yang dicita-citakan oleh Khalifah pertama Bani Fatimiyah (Ubaidillah al-Mahdi), dia memulai seterategi baru yakni merangkul kelompok Beber yang ingin melakukan pemberontakan terhadap Fatimiyah, semua kelompok itu dapat ditundukkannya. Setelah itu orang Fatimiyah mengadakan persiapan yang cermat, disamping itu mereka mengadakan propaganda politik di saat Mesir dilanda bencana kelaparan yang hebat. Jauhar menerobos Kairo lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan dia dapat menguasai negeri itu. Seorang pangeran Ikhsidiyah yang bernama Ahmad masih berkuasa pada waktu itu, tetapi rezim Ikhsidiah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan kepada tentera Jauhar.[9]

Jauhar memasuki Mesir bersama 100.000 tentara.[10] Jauhar mulai membangun kota baru yang diberinya nama al-Qahirah berarti kemenangan di kota ini dia menempatkan bala tenteranya. Serangan ke Mesir ini dilakukan pada tahun 358 H atau 969 M. Setelah al-Qahirah (Kairo) dibangun; pada tahun 973 M pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah dipindahkan ke Kairo dan bertahan sampai tahun 1171 M.[11]

Kota Kairo juga sebagai tempat kediaman para Khalifah Fatimiyah. Maka pembentukan kekuasaan (Khilafah) Fatimiyah ini, tercatat di masa pemerintahan al-Muizz. Persiapan awal yang dijalankan pertama kali adalah:

    1.      Merangkul kelompok yang ingin memberontak

    2.      Mempersiapkan tentera untuk melakukan penyerangan

    3.      Membangun jalan raya menuju ke Mesir

    4.      Menggali sumur-sumur di pinggiran jalan raya menuju ke Mesir

    5.      Membangun rumah tempat peristirahatan (tentara)

    6.      Mempersiapkan dana (keuangan guna perbekalan bagi pasukan Fathimiyah).[12]

Sebagai Panglima yang dipercayakan memimpin tentara pada penaklukan Mesir itu, Jauhar menjalankan aksi politik Fatimiyah bagi penduduk Mesir yaitu dengan :

1.        Memberikan keyakinan kepada penduduk tentang kebebasan mereka   menjalankan ibadah menurut agama dan mazhab mereka masing-masing.

2.        Berjanji akan melaksanakan pembangunan di negeri itu dan akan menegakkan keadilan.

3.        Mempertahankan Mesir dari serangan musuh.

4.        Menghapuskan nama-nama khalifah bani Abbasiah yang disebut-sebut dalam do’a.

5.        Ketika shalat jumat dan digantikan dengan nama Khalifah Fatimiyah.

6.        Menata pemerintahan

Penataan pemerintahan yang dilakukan Jauhar adalah menetapkan kedudukan Ja'afar ibn al-Fadl ibn al-Furat di Mesir, sebagai wazir di Mesir. Pegawai dari golongan Sunni tetap pada posisi semula ditambah dengan seorang pegawai dari Syi'ah Mahgribi di setiap bagian. Masyarakat Mesir terdiri dari tiga golongan yakni Golongan Sunni, golongan Kristen Koptic dan golongan Shi'ah. Semuanya dibebaskan menjalankan ajaran agamanya masing- masing. Dari setiap mazhab yang ada diangkat seorang qadhi. Dengan demikian masyarakat Mesir yang beraliran Sunni itu tidak merasa khawatir dan tidak menentang pemerintahan yang beraliran Shiah IsmaiIiyah ini, rakyat menaruh simpati kepada pemerintahan Fatimiyah, propaganda Syi'ah yang dijalankan oleh Jauhar ini berhasil. Pola pemerintahan yang dijalankan Fatimiyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiyah di Bahgdad.

Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat seremoni yang megah. Golongan Fatimiah ini mengaku diri mereka keturunan Nabi, yang pantas memegang tampuk kepemimpinan kekhalifahan, meskipun Syi'ah Ali menentang mereka. Dinasti Fatimiyah ini semula, mandapat dukungan dari golongan Qaramit dan dalam perkembangannya kedua kelompok ini bermusuhan, kemungkinan karena perbedaan prinsip.[13]

Sumber kehidupan Fatimiyah dari pertanian dan hasil kerajinan serta hasil perdagangan dan lintas perjalanan dagang di Medetaranian dan Laut Merah itu membuat mereka dapat hidup dengan senang dan cukup pula untuk membiayai tentera yang diambil dari luar Mesir seperti tentara suku Bebber, dan orang-orang kulit hitam dari Sudan serta orang-orang Turki.

Keberhasilan Fatimiyah mengembalikan Hajar al-aswad ke Mekkah, setelah 10 tahun lamanya di tangan Qaramithah (dipimpin Hamdan bin Qarmath) merupakan satu keberhasilan yang gemilang sehingga daerah-daerah yang semula mengakui kekuasaan Iksidiah, Mekah dan Madinah dan dengan cepat mengakui Fatimiyah. Setelah memerintah selama 22 tahun, al-Mu'iz telah dapat memimpin negara dengan baik, dapat dikatakan khilafah Fatimiyah berdiri kokoh. Lamanya Dinasti Fatimiyah berdiri 208 tahun.[14]

 

    C.    Para Penguasa Dinasti Fatimiyah:

1.      Al-Mahdi ( 909-934 M. / 297-322 H. )

Penguasa sekaligus pendiri Dinasti Fatimiyah ini mempunyai nama asli  Sa’id bin al-Husayn al-Salmiyah dengan gelar Ubayd Allah al-Mahdi yang menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah yaitu Raqqadah (terletak di pinggiran kota Qairawan) setelah dapat mengusir Ziyadatullah pada tahun 909 M/297 H., penguasa Aghlabi yang terakhir.[15]Al-Mahdi adalah pemimpin yang sangat cakap dan berbakat, dua tahun setelah berkuasa ia membunuh pemimpin propagandanya, Abu Abd Allah al-Husayn al-Shi’i karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya sendiri, Abu al-Abbas untuk melancarkam kudeta  terhadap dirinya.

2.       Al-Qaim ( 934-946 M. / 322-334 H. )

Al-Mahdi wafat pada tahun 934 M./322 H. dan digantikan oleh putra tertuanya Abu al-Qasim yang bergelar al-Qaim bi Amr Allah. Ia adalah pemimpin pemberani, hampir setiap ekspsdisi militer ia pimpin sendiri, sehingga dalam tahun pertama kekhalifannya, ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria dan pada tahun yang sama ia mengerahkan pasukan ke Mesir namun dapat dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah sehingga mereka terusir dari Iskandariyah. Ia meninggal dunia pada tahun 946 M.[16]

3.       Al-Mansur ( 946-952 M. / 334-341 H. )

Al-Mansur adalah pemuda yang lincah dan berani, ia menggantikan ayahnya dalam usia 27 tahun. Meskipun hanya memerintah selama 7 tahun 6 hari, ia masih bisa menjaga kedaulatan Dinasti Fatimiyah meskipun putra Abu Yazid Makad dan sejumlah pengikutnya senantiasa menimbulkan keributan. Ia juga membangun sebuah kota  di wilayah  perbatasan Susa’ pada tahun 337 H./949M. yang diberi nama al-Mansuriyyah.[17]

4.       Al-Mu’iz ( 952-975 M. /341-365  H. )

Setelah al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal 341 H/952 M., ia digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Mu’izz li Din Allah. Penobatan  al-Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti Fatimiyah, karena di samping pusat pemerintahan sudah berpindah dari al-Mahdiyah ke al-Qahirah yang dibangun oleh panglima perangnya, Jawhar al-S}iqilli (al-Saqali)[18] setelah menguasai ibu kota Fust}at} sebagai lambang kemenangan dan dilanjutkan membangun Masjid al-Azhar setelah Mesir dapat ditaklukannya pada bulan Februari 969 M./ Rabi’ al-Akhir 358 H., juga keberhasilan dalam ekspansi kekuasaan yaitu ke Maroko, Sycilia, Palestina dan Suriah Damaskus serta mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.[19]

5.       Al-‘Aziz ( 975-996 M. / 365-386 H. )

Abu Mansur Nizar (lahir pada tahun 344 H./954 M.) menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal 365 H. memasuki  tahun ke-22 dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz bi Allah, ia terkenal sangat pemurah dan bijaksana bahkan terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Puncak kekuasaan Dinasti Fatimiyah adalah pada saat pemerintahannya yang meliputi dari wilayah Eufrat sampai Atlantik, melampaui kekuasaan dinasti Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran dibawah kekuasaan Buwaihiyah.[20]

Dalam pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat baik, bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur adalah beragama kristen dan Manasah seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di istananya. Pembangunan fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan pemerintahannya, karena ia juga ahli Sha’ir dan pendidikan seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion dan masjid Karafa, masjid al-Azhar dijadikan al-Jami’ah/Universitas.[21] Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.

6.       Al-Hakim ( 996-1021 M. / 386-411 H. )

Al-‘Aziz digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ali  Mansur (lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar al-Hakim bi Amr Allah yang masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun pertama, ia berada dibawah pengaruh Gubernurnya yang bernama Barjawan yang sedang terlibat konflik dengan panglima militer Ibn ‘Ammar, setelah berhasil menyingkirkan sang panglima, Barjawan menjadi pelaku utama dalam pemerintahannya meskipun pada tanggal 26 Rabi’ Al-Thani 390 H./1000 M. Bajarwan dibunuh karena tuduhan penyalah-gunaan kekuasaan negara. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan, ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja, orang kristen dan orang yahudi harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, ia mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.[22]

Prestasi besar dalam pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-perguruan dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. ia merampungkan pembangunan Dar al-Hikmah sebagai sarana penyebaran ajaran-ajaran Shi’ah dan pada tahun 403 H./1013 M.. ia mendirikan al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah “Akademia” dari berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, mantiq, Filsafat, matematika, kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-Hikmah ia pindahkan ke masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13 Februari 1021 M./411 H. Ia terbunuh di Mukatam, kemungkinan konspirasi yang dipimpin oleh adik perempuannya yang bernama Siti al-Mulk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh khalifah.[23]

7.       Al-Zahir ( 1021-1035 M. / 411-427 H. )

Al-Hakim digantikan oleh putranya  yang bernama Abu Hashim dengan gelar al-Zahir li I’zaz din Allah (lahir 10 Ramad}an 395 H./1005 M.), ia naik tahta pada usia 16 tahun sehingga pemerintahannya dipegang oleh bibinya Sitt al-Mulk, sepeninggal bibinya (tahun 415 H./1025 M.), ia menjadi raja boneka dari menteri-menterinya. Peristiwa besar pada masa ini adalah penyelesaian sengketa keagamaan di mana para tokoh mazhab Malikiyah diusir dari Mesir.[24]

8.       Al-Mustansir ( 1035-1094 M. / 427-487 H. )

Al-Zahir diganti oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Muhammad dengan gelar al-Mustansir bi Allah, ia menjabat sebagai khalifah selama enam puluh tahun empat bulan yang merupakan pemerintahan terpanjang dalam sejarah. Masa awal pemerintahannya dipegang oleh ibunya, karena ketika dinobatkan sebagai khalifah ia masih berumur tujuh tahun.

Pada masa al-Mustansir, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis, relatif tidak ada perkembangan  kecuali pembangunan teropong bintang, beberapa kali terjadi perebutan perdana menteri dan terjadi pemberontakan dan peperangan seperti Marokko menyatakan bebas dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada tahun 443 H., Mekkah dan Madinah memisahkan diri pada tahun 462 H. dan di Yaman nama Khalifah telah tidak disebut-sebut lagi pada waktu khutbah.[25]

9.       Al-Musta’li ( 1094-1101 M. / 487-495 H. )

Putra termuda dari al-Mustansir yaitu Abu al-Qasim Ahmad yang bergelar al-Musta’li bi Allah menduduki jabatan khalifah sepeninggal ayahnya, tetapi putra al-Mustansir yang tertua, Nizar menolak penobatan adiknya lalu ia bangkit di Iskandariyah setelah memecat  Gubernur wilayah tersebut, disana ia memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan gelar al-Mustafa li Din Allah. Ketika  al-Musta’li mengetahui kejadian tersebut, maka al-Malik al-Afdal sebagai orang yang mengangkat al-Musta’li membawa bala tentara untuk menangkap Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal.

Dengan kejadian ini, rakyat terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Musta’li dan Nizari. Kaum Nizari Isma’iliyah sebagian berada di Shiria dan sebagian di pegunungan Persia Barat dibawah pinpinan Hassan assabah, gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin.[26]

10.   Al-Amir ( 1101-1130 M. / 495-524 H. )

Setelah al-Musta’li meninggal dunia, anaknya yang masih berumur lima tahun dinobatkan oleh al-Malik al-Afdal sebagai khalifah dengaan gelar kehormatan al-Amir li Ahkam Allah. al-Malik al-Afdal adalah perdana menteri yang berkuasa secara absolut selama 20 tahun, termasuk ketika al-Amir telah dewasa dan merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama 50 tahun.[27]

11.   Al-Hafiz ( 1130-1149 M. / 524-544 H. )

Setelah menjadi korban pembunuhan kelompok Nizariyyah/batiniyyah, sepupunya yeng bernama Abu al-Maymun Abd al-Majid al-Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahanmya banyak diwarnai dengan perpecahan antara unsur-unsur kemiliteran.[28]

12.   Al-Zafir ( 1149-1154 M. / 544-549 H. )

Setelah kematian al-Hafiz, Putranya yang bernama Abu Mansur Isma’il  dengan gelar al-Zafir. Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika dinobatkan menjadi khalifah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan sembrono yang lebih memikirkan urusan perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan, meskipun sebenarnya ia hanyalah seorang boneka dari seorang wazir dari Kurdistan, Abu al-Hasari bin al-Sallar  yang menyebut dirinya al-Malik al-‘Adil yang kemudian terbunuh dan posisi wazir digantikan oleh Abbas. Pada tahun 1153 M./548 H. al-Zafir dibunuh oleh Nasr ibn Abbas.[29]

13.   Al-Faiz ( 1154-1160 M. / 549-555 H. )

Dua hari setelah kematian al-Zafir, putranya yang masih berumur empat tahun, Abu al-Qasim Isa dinobatkan sebagai khalifah oleh Abbas dengan gelar al-Faiz, khalifah kecil ini meninggal dunia pada usia sebelas tahun, lalu digantikan oleh sepupunya al-‘Adid.[30]

14.   Al-‘Adid ( 1160-1171 M. / 555-567 H. )

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abd Allah al-‘Adid, ia masih berumur sembilan tahun ketika dinobatkan sebagai khalifah yang ke empat belas (khalifah terakhir dari Dinasti Fatimiyah), karena segera disusul penyerangan Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir pada tahun 1167 M./562 H. dan terus menerus terjadi perebutan kekuasaan sampai datang  Salah al-Din al-Ayyubi yang menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai wazir  pada tahun 1169 M./564 H.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN

 

    D.    Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyyah

Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas. Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan kau lakukan kami akan membalasnya”. Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.

Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte Shiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah al-Mansur pada tahun 951 M.[31]

 

    E.     Kehidupan Mesir Pada Dinasti Fatimiyah

Sejak awal pemerintahannya, al-Mahdi sudah berusaha menaklukkan Mesir, ia melakukan ekspansi tersebut sampai tiga kali yaitu pada tahun 913 M/301 H. ,919 M./307 H. dan tahun 933 M./321 H yang dipinpin oleh putranya Abu al-Qasim tetapi tidak pernah berhasil. Menurut Hasan Ibrahim, ekspansi tersebut didorong beberapa faktor yang antara lain adalah:

            Faktor Ekonomi :  yaitu keadaan alam Mesir yang agraris dan subur serta kaya dengan  beberapa penghasilan dan kerajinan.

            Faktor Geografis: letak Mesir yang strategis, jauh dari pusat pemerintahan dawlah Abbasiyah di Baghdad, berada di tengah-tengah timur dan barat, dekat dengan Sham, Palestina dan Hijaz yang merupakan daerah-daerah yang subur dan potensial.

              Faktor Politis: Dinasti Fatimiyah mendapat sambutan yang simpatik dari rakyat Mesir[32]

1.   Bidang Keagamaan

Dalam urusan keagamaan, disusun lembaga dakwah dan dipimpin oleh kepala dakwah yang sangat tendensius untuk kepentingan politik Shi’ah. Lembaga ini dalam struktur pemerintahan bertanggung jawab langsung kepada khalifah dengan tugas menyebarkan faham Shi’ah Isma’iliyyah[33] ke berbagai wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah serta menyusun materi pelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan melalui kurikulum-kurikulum yang  ditetapkan oleh dinasti tersebut. Sedangkan diluar kekuasaan Dinasti Fatimiyah, dakwah ini dilakukan melalui hubungan dagang yang dibangun di daerah-daerah belahan timur, khusunya di samudera Hindia dan daerah-daerah lain di wilayah Afrika dan Eropa.[34]

Dinasti Fatimiyah juga membangun sejumlah makam Imam-Imam Shi’ah seperti Makam Husayn di Mesir dan memindahkan kepalanya dari Ascalon ke Kairo, sebagai salah satu bentuk pemuliaan kepada Imam mereka yang ma’sum sekaligus sebagai figur penyelamat (Messianisal-Mahdi), hal ini, disamping dimaksudkan sebagai dakwah juga sebagai legitimasi keagamaan bagi Imam-Imam Dinasti Fatimiyah yang berkuasa berikutnya sebagai salah satu keturunan para Imam (al-ma’sum dan al-Mahdi ) tersebut.[35]

2.  Bidang Administrasi dan Pemerintahan

Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz[36]. Bentuk pemerintahan Dinasti Fatimiyah adalah bentuk yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaannya, khalifah adalah kepala negara yang bersifat temporal dan spritual, pemecatan pejabat tinggi berada dibawah kontrol kekuasaan khalifah.

Dalam bidang Kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:

a.       Amir-amir yang terdiri dari para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah

b.      Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadh) dan para kasim

c.       Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah dan    sudaniyyah atau yang dinamai dengan  nama khalifah, wazir dan suku.[37]

Di luar jabatan-jabatan istana diatas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah yaitu Mesir, Shiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir terdiri dari empat provinsi, yaitu  provinsi Mesir bagian atas, provinsi Mesir wilayah timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iksandariyyah, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.[38]

3.  Bidang Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan

Dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan kebudayaan, Dinasti Fatimiyah dapat dikatakan mengungguli prestasi bani Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama. Prestasi ini bermula dari tradisi yang dirintis oleh khalifah al-‘Aziz, istananya dijadikan pusat kegiatan keilmuan, diskusi para ulama, fuqaha’, qurra’, nuhat dan ahli hadith. al-‘Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar sehingga banyak ulama yang pindah dari Baghdad ke Mesir.

Dalam bidang kebudayaan yang bisa kita saksikan sampai saat ini adalah beberapa bangunan masjid yang mencirikan arsitektur khas Islam dengan menampilkan tiang-tiang khas yang didesain dengan kaligrafi bergaya kufi serta terdapat pintu-pintu gerbang besar yang masih bertahan sampai sekarang yaitu: bab zawillah, bab al-Nasr dan bab al-Futuh dan juga pintu-pintu gerbang yang sangat besar di Mesir yang dibangun oleh arsitek-arsitek Edessa dengan rancangan ala Bizantium. Termasuk produk budaya masa Dinasti Fatimiyah yang masih bisa kita lihat di museum Arab di Kairo adalah papan-papan yang diukir beberapa makhluk hidup seperti rusa yang diserang monster, kelinci yang diterkam elang dan beberapa pasang burung yang saling berhadapan, koleksi perunggu yang kebanyakan berupa cermin dan pedupaan serta patung perunggu grifin dengan tinggi 40 cm. yang sekarang berada Pisa.[39] Beberapa ilmuwan lainnya pada jaman ini yaitu sebagai berikut:

a.       Muhammad al-Tamim, seorang dokter.

b.      Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi dan Ibn Salamah al-Qudha’i’, sejarawan.

c.       Ali ibn Yunus, seorang astronom hebat.

d.      Abu Ali al-Hasan dan Ibn al-Haitsam, ilmuwan fisika dan optik.

e.       Ibn Muqlah, ahli kaligrafi.

f.  Seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al Aziz yang berhasil membangun masjid al Azhar.[40]

Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatimiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim pada tahun 1005 Masehi. Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibn Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibn Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.

Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an  ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.

4.  Bidang Ekonomi dan Sosial

Mesir pada masa ini mengalami kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lain dalam dunia Islam masa itu, diceritakan oleh seorang Persi yang menjadi Propagandis Isma’iliyah, Nasir-i-Khusraw ketika ia berkunjung ke Mesir pada tahun 1046-1049 H. Bahwa istana khalifah  mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang diantaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda. Hubungan dagang dengan dunia non-muslim terbina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri Mediterania yang beragama kristen serta melakukan hubungan kerja sama dengan republik Italia, al-Maji, Pisa dan Vinice.

Juga terdapat tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang pancang berlabuh ditepi sungai Nil, terdapat 20.000 toko milik khalifah yang hampir semuanya dibangun dengan batu bata  dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai dan dipenuhi dengan berbagai pruduk komoditi internasional, jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi lampu serta keamanan dan ketertiban pada masa itu sangat diperhatikan. Konon, jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan diatas sepanjang jalan kota sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya, toko-toko perhiasan atau tempat penukaran uang (money changer) tidak pernah dikunci saat ditinggal pemiliknya.[41] Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.

Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor 

a.       Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil

b.      Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.

Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[42]

Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :

a.       Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.

b.      Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[43]

5.  Bidang Politik

Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti Fatimiyah sampai periode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka sering kali merugikan pihak lain yang non Shi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-Hakim mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara[44], sedangkan kepada orang-orang muslim yang menjadi pegawai kerajaan diwajibkan mengikuti paham Shi’ah, Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan politik pada masa pemerintahan al-‘Aziz yang begitu moderat, kondusif terhadap perkembangan semua paham dan agama yang ada di Mesir, meskipun al-‘Aziz sendiri pernah melarang pelaksanaan salat tarawih disemua masjid di Mesir[45], hal itu disebabkan agar tidak terjadi gejolak sosial antara pengikut beberapa mazhab dengan pendapat yang berbeda-beda tentang pelaksanaan salat tersebut.

 

    F.     MASA KEMUNDURAN DINASTI FATIMIYAH

Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran Dinasti Fatimiyah telah terlihat dipenghujung masa pemerintahan al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H/1171 M. Dengan tindakan-tindakan tegas lainnya dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki kemakmuran sekedarnya. Dia biasanya disebut sebagai pemimpin militer (amir al-juyush), walau dia mengurusi pemerintahan dan dakwah, yaitu propaganda religio-politis. Tahun 1094 putranya al-Afdal, atau al-Malik al-Afdal, menggantikannya dan meneruskan kemakmuran negara sampai wafatnya tahun 1121. Setelah itu keadaan merosot dengan cepat, dan tahun 1171 Bani Fatimiyah digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi.[46]

Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal[47]:

1.      Faktor internal

Faktor internal yang paling besar dalam menghantarkan kemunduran Dinasti Fatimiyah adalah dikarenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.

2.      Faktor eksternal

Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki adalah gubernur Syiria yang masih berada dibawah kekuasaan bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib. Dinasti Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H/1171 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer, yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishr al-Qadim (Mesir Lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Muqattam.

Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, dinasti ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukan oleh Dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi. Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Shi’ah Ismailiyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintah dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.

Kemunduran Dinasti Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan para khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara para khalifah hanya hidup menikmati kekuasaanya dalam istana yang megah.

Melihat perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fathimiyah merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-­faktor yang lain. Secara ringkas, di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut[48]:

a.       Melemahnya para khalifah,

Khususnya sejak al-Mustansir, ia adalah urutan khalifah yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapatlah dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, seperti; Al-Hakim berusia sebelas tahun, Al­ Zahir berusia enam belas tahun, al-Amir disebut masih “berusia hijau “, al-Zafir berusia tujuh belas tahun, aI-Faiz dikatakan “berusia balita”, dan al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan tahun.

Lemahnya para khalifah ini menyebabkan tampilnya “orang­-orang kuat” dan berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai  boneka “orang-orang kuat” misalnya, Barjawan, seorang gubernur al Hakim, Sitt al-Mulk, bibi al-Zahir, dan al-Azfal, perdana menteri al-Amr. Tampilnya  “orang-orang kuat” ini mengakibatkan kecemburuan di pihak saudara-s­audara para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan diktator dan tidak stabil.

Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan “kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak al-Musta’li, merasa kecewa berat karena al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya al-Mustanshir yang wafat. la merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin oleh al-Hasan bin al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang khalifah, al-Musta’li dan al-Amir.

b.      Perpecahan dalam tubuh militer.

Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur kekuatan. Pertama, unsur bangsa Barbar yang sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fathimiyah. Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-Aziz. Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah al-Mustanshir. Tiga faksi ini selalu. bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka. Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar. Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini menyebabkan kontrol milter terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.

c.        Bencana alam.

Kekeringan yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara, menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir. Kekurangan pangan yang melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.

Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada gilirannya memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti Fathimiyah dengan mudah pula.

BAB III

KESIMPULAN

1.    Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali ibn Abi T{alib dan Fatimiah dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali.

2.      Ekspansi yang dilakukan oleh dinasti Fatimiah diantaranya yaitu Khalifah Ubaidillah memperluas kekuasannya meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan Mesir. Tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Tahun 915 M, mereka berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat kekuasaan.

3.  Ideologi keagamaan yang berkembang diantaranya berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Selain itu ada juga yang menganut faham Syi’ah dan Sunni.

4. Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang yaitu keagamaan, administrasi dan pemerintahan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, ekonomi dan arsitektur dan seni, pemikiran dan filsafat.

5.   Kemunduran Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah, perebutan kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, keterlibatan non-islam dalam pemerintahan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Yogyakarta: LIPI, 2002.

abu,  Su’ud. Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam. Ed. 1, Cet. 3. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993.

Aizid, Rizem. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta: Diva Press,2015.

Ali, K. Sejarah Islam:Tarikh Pramodern. Jakarta:: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

C.E,Boswort. Dinasti-dinasti Islam. Bandung.:Penerbit Mizan,1980.

Hakim, Moh. Nur. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004.

Hitti, Philip K. History of the Arab. Terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Mahmudunnasir, Syaed. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1994.

Montgomory, W Watt. Kerajaan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Sayyid, Aiman Fuad. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah:t.P,1992.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2003. Jakarta. Prenada Media, t.th.

Surur (al), Muhammad Jamal al- Din. al-Daulah al-Fatimiyah  fi Misri. t.t: Dar al-Fikri,1979.

Syalabi,  Ahmad. Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah. Mesir: t.p, 1979.

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Dunia Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.

http://id.wikipedia.org / wiki / Bani Fatimiyah.


[1] Philip K. Hitti, History of the Arab. Terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 788.

[2] Muhammad Jamal al- Din al Surur. al-Daulah al-Fatimiyah  fi Misri (t.t: Dar al-Fikri,1979) 16-19.

[3] Boswort. C.E, Dinasti-dinasti Islam (Bandung.:Penerbit Mizan,1980), 47.

[4] Ibid., 49.

[5] Philip K Hitti, History of Arabs..., 789.

[6] Boswort. C.E, Dinasti-dinasti Islam..., 43.

[7]Syaed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1994), 318-319.

[8] W Watt Montgomory. Kerajaan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),  216.

[9] Ibid.

[10] Ahmad Syalabi,  Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah  (Mesir: t.p, 1979) 327.

[11] Philip K Hitti, History of Arabs..., 790.

[12]Muhammad Jamal al- Din al Surur. al-Daulah al-Fatimiyah  fi Mishri..., 33-34.

[13] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Yogyakarta: Diva Press,2015), 381-382.

[14] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. 2003. Jakarta. Prenada Media. Hlm 143.

[15] Philip K. Hitti, Hirtory,788. lihat juga, Hasan Ibrahim Hasan,Tarikh al-Dawlah,49.lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004),113.

[16] Ibid., Ta>rikh al-Isla>mi al-Siya>si, 136, lihat juga, K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 492-493.

[17] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Dawlah..., 92. lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan..., 113.

[18] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan..., 117.

[19] Philip K.Hitti, History...,790. lihat,Hasan Ibrahim , Tarikh al-Dawlah..., 92 dan 140. lihat juga  Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.

[20] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Dawlah..., 97 dan 156.  lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.

[21] Philip K. Hitti, History..., 790. Lihat juga K. Ali, Sejarah..., 499. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 114.

[22] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Dawlah, 164-165.

[23] Ibid, 428. lihat juga Philip K. Hitti, History..., 792-793.

[24] K. Ali, Sejarah Islam..., 502.

[25] Hasan Ibrahim Hasan,  Ta>rikh al-Dawlah..., 169.

[26] G.E.Von Grunebaum, Classical Islam..., 148. lihat juga K. Ali, Sejarah..., 507.

[27] Ibid., 508

[28] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh al-Dawlah..., 176-197.

[29] Philip K. Hitti, History..., 796. lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan,... 121.

[30] Ibid.

[31] Ibid, 791.

[32] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh al-Dawlah..., 112-113.

[33] Tahapan dakwah yang dilakukan bisa dilihat,Ibid., 326-342.

[34] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Yogyakarta: LIPI, 2002), 307.

[35] Moh.Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), 106.

[36] http://id.wikipedia.org / wiki / Bani Fatimiyah.

[37] Philip K.Hitti, History..., 800. Lihat K.Ali, Sejarah.., 509-510. lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan..., 115.

[38] Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh al-Dawlah..., 289.

[39] Philip K.Hitti, History..., 805.

[40] Ajid Thohir, Perkembangan...,  117.

[41] Philip K hitty, History..., 798.

[42] Aiman Fuad Sayyid, Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid (Dar El-Masriyah lil-Bananiyah:t.p. 1992) 293.

[43] Ibid.

[44] Philip k hitty, History..., 208.

[45] Ibid, 218.

[46] Su’ud abu,  Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam. Ed. 1, Cet. 3. (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993) , 81.

[47] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap..., 387-389.

[48] Moh. Nurhakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, 107-109, dan Yusuf  Isy, Dinassti Abbasiyah, Terj. Arif Munandar (Jakarta: al Kautsar, 2007), 236-243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...