a.
Pengertian Bahasa dan
Perkembangan Istilah Hadis Hasan
Hadis hasan
secara etimologi adalah sifat mushabbah dari al-husn berarti al-jamal
(bagus).[1]
Sedangkan hadis hasan secara terminologi, terdapat beberapa pendapat
di kalangan para ulama hadis mengingat pretensinya berada di tengah-tengah
antara sahih dan da‘if. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada
yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
1. Definisi al-Khataby: “Setiap
hadis yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya,
ia merupakan rotasi kebanyakan hadis dan dipakai oleh kebanyakan para
ulama dan mayoritas ulama fiqih.”.[2]
2. Definisi al-Turmudhy: “Setiap
hadis yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat
yang tertuduh sebagai pendusta, hadis tersebut tidak al-Shadh
(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan
lebih dari satu jalur seperti itu.[3]
3. Definisi Ibn Hajar adalah hadis
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil,
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalanya, tidak rancu dan tidak bercacat.[4]
Dr. Mahmud al-Thahhân mengatakan: seakan hadis hasan menurut Ibn Hajar adalah hadis sahih yang ringan kedabitan rawi-rawinya yaitu sedikit kedabitannya. Jadi ini adalah definisi hadis hasan yang paling baik. Sedangkan definisi al-Khataby banyak sekali kontradiktif atau kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudhy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadis hasan, yaitu hasan lighairih (hasan kerana adanya riwayat lain yang mendukungnya). Pada asalnya beliau mendefinisikan hasan lidhatih sebab hasan lighairih pada dasarnya adalah hadis da’if yang meningkat kepada tingkatan hasan sebab terdukung oleh banyaknya bilangan jalan-jalannya.[5]
Dengan berdasarkan pada definisi yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar maka hadis hasan dapat di definisikan suatu hadis
yang bersambung sanadnya dan di riwayatkan oleh orang yang adil,
ringan ke-dabit-annya dan orang yang semisalnya hingga puncak akhirnya,
tanpa ada shadh dan ‘illah.[6]
Dengan
demikian, maka yang di maksud dengan hadis hasan adalah hadis
yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja
semua perawinya atau sebagiannya ke-dabit-annya lebih sedikit dibanding
ke-dabit-an para perawi hadis sahih.
Kata hasan
mulai di kenal sejak zaman Imam Turmudhi. Bahkan dalam kitab sunan-nya,
Imam Turmudhi banyak juga menggunakan istilah hasan sahih, di samping
istilah hasan. Yang dimaksud dengan istilah hasan sahih tersebut
menurut sebagian ulama bahwa hadis tersebut di perselisihkan
kualitasnya, yakni ada yang mengatakan sahih dan ada juga yang
mengatakan hasan. Ada pula pendapat, bahwa hadis hasan
tersebut kualitasnya berada antara hasan dengan sahih.[7]
b.
Kriteria Hadis Hasan
Dari
definisi di atas terdapat lima sifat yang harus di miliki oleh suatu hadis,
agar dapat dikategorikan bebagai hadis hasan, yaitu sebagai
berikut:
1.
Sanadnya bersambung (Ittisal al-sanad)
Yang di
maksud dengan Ittisal al-sanad adalah bahwa setiap rawi hadis
yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di
atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqati’
dalam berbagai variasinya.
2.
Periwayatannya ‘adil
Keadilan
rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat,
karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk
bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang
merusak harga diri (muru’ah) seseorang.
3.
Periwayatannya ada
yang kurang dabit
Yang di
maksud dengan dabit adalah bahwa rawi hadis yang
bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan
hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkan
kembali ketika meriwayatkannya. Ke-dhabit-an inilah yang
membedakan antara hadis sahih dengan hasan. Hadis sahih
ke-dabit-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadis
hasan, kurang sedikit ke-dhabit-annya jika di bandingkan dengan hadis
sahih.
4.
Tidak rancu (shadh)
Kerancuan
adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu karena apabila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi
kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi itu
hurus diunggulkan, dan ia sendiri disebut shadh atau rancu. Dan karena
kerancuannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis
yang bersangkutan.
5.
Tidak ada cacat (‘illat)
Maksudnya
adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat ke-sahih-annya.
Yakni hadis itu terbebas dari sifa-sifat samar yang membuatnya cacat,
meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
Dengan kriteria ini maka definisi di atas
tidak mencakup hadis mu’allah (bercacat). Jadi hadis
yang mengandung cacat itu bukan hadis sahih dan juga hasan.[8]
c.
Peran al-Turmudhi dalam Memperkenalkan
Hadis Hasan
Menurut
al-Nawawi dalam al-Taqrib, kitab al-Tirmidhi adalah kitab pertama
kali yang memunculkan hadis hasan,
yang memperkenalkannya dan banyak menyebut dalam kitabnya, walaupun secara
terpisah ditemukan pada sebagian syaikh pada generasi sebelumnya. Ibn Taimiyah
juga mempertegas, bahwa al-Tirmidhi-lah orang pertama yang memperkenalkan
pembagian hadis dari segi kualitas kepada sahih, hasan, dan
da’if. Bagi al-Tirmidhi hadis hasan adalah hadis yang
berbilang jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang perawi yang
tertuduh dusta dan syadz (ganjil). Tingkatan hadis hasan
berada di bawah hadis sahih dan di atas hadis da’if.
Hadis sahih yang dikenal para perawinya sebagai
orang-orang yang ’adil dan dhabit. Sedang hadis da’if
adalah hadis yang dikenal perawinya seorang yang tertuduh dusta
atau tidak baik hafalannya.[9]
Para
ulama’ sebelum al-Tirmidhi belum kenal istilah tiga hadis tersebut, yang
dikenal mereka kualitas hadis ada dua macam yakni: sahih dan da’if.
Kemudin hadis da’if dibagi dua macam; da’if yang tidak
tercegah pengamalannya dan da’if yang wajib ditinggalkan. Barangkali da’if
yang pertama menurut ulama dahulu inilah yang disebut hasan oleh
al-Tirmidhi.[10]
Al-Dzahabi menyatakan bahwa
tingkatan hadis hasan yang paling tinggi adalah riwayat
Bahs bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا بَهْزُ
بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ
مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ
فَالْأَقْرَبَ
dan riwayat Amr bin Shuaib dari bapaknya dari kakeknya; dan sejenisnya yang menurut satu pendapat dinyatakan sebagai hadis sahih. Hadis hasan tingkatan ini termasuk hadis sahih pada tingkatan terendah.
Tingkatan berikutnya adalah hadis yang di persellisihkan ke-hasan-an dan ke-dhaif-annya, seperti hadis riwayat al-Haris bin abdullah[11] dan ‘Ashim bin Dhamrah.[12]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan
- Macam-Macam Hadis Hasan
- Kehujjahan Hadis Hasan
- Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis Hasan
- Pengertian Hadis Dha'if & Kriteriannya
- Macam-Macam Hadis Dha'if
- Kehujjahan Hadis Dha’if
- Hadis Mutawattir
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Kuantitasnya
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Posisinya Dalam Hujjah
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Ketersambungan Sanad
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita
- Hadis Qudsi
- Definisi Hadis Ahad
- Hukum Mengamalkan Hadis Ahad
- Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab
[1] Mahmud Thahhan, Taisir
Mustalah al-Hadith, terj. Zainul Muttaqin (Yogyakarta: Titial Ilahi Press, 2004),
51.
[2] Ibid., 51.
[3] Ahmad Muhammad Shakir, al-Ba’is
al-Hasis Sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz Ibnu Kathir (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, 1995), 37.
[4] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
al-Nukhbah (Kairo: Dar al-Basair, 2011),
65.
[5] Ibid., 52.
[6] Ibid., 52.
[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, t.th),
182.
[8] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 241.
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 163.
[10] Ibid., 63.
[11] Ia adalah al-Harith al-a’war.
Lihat Mizan al-I’tidal
[12] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, 269.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar