Menurut bahasa تدوين berasal dari دَوَّنَ – يُدَوِّنُ yang berarti كتب
(menulis) dan سجل
(mencatat)[1].
Sedangkan dalam Mu’jam al-Wasit adalah جمعها وترتيبها (mengumpulkan dan mengurutkan)[2].
Sedangkan menurut terminologi
dalam ilmu hadis adalah proses pengumpulan dan penyusunan hadis yang secara resmi didasarkan perintah khalifah,
bukan (penulisan) yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di
masa-masa sebelumnya.
Sementara itu terdapat
perbedaan antara kodifikasi (al-tadwin), penulisan (al-kitabah),
dan penyusunan (al-tasnif), yaitu:
a.
Al-Kitabah artinya penulisan, yaitu penulisan hadis
secara pribadi. Ketika itu para penulis hadis mengkhususkan tulisannya untuk
diri sendiri, dikarenakan ada larangan dari Rasulullah untuk menulis hadis.
Sebagian sahabat pun sudah menulis hadis sebagaimana riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِى
وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّى إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ
Abu Hurairah berkata, "Tidaklah ada seorangpun dari sahabat Nabi yang lebih banyak hadisnya dibandingkan aku, kecuali 'Abdullah bin 'Amr. Sebab ia bisa menulis sedang saya tidak."[3]
b. Al-Tasnif artinya penyusunan atau klasifikasi[4]. Menurut istilah mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadis (kitab hadis) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadis lain, dengan ayat-ayat al-Qur’an atau dengan ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmu Sharh dan meringkas. al-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadis .
c.
Mengutip dari Qamus al-Muhit, Fairuz Abadi mengatakan bahwa: “Tadwin secara bahasa adalah مجتمع الصحف (kumpulan
sahifah).[5]Menurut
Dr. Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani tadwin adalah :
تقييد
المتفرق المشتت، وجمعه في ديوان أو كتاب تجمع فيه الصحف
“Mengikat
yang berserakan lalu mengumpulkannya
menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.
Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al-Jam’u
(mengumpulkan).”[6]
Terkadang ada kesalahpahaman
seseorang yang menganggap bahwa pembukuan, penulisan dan penyusunan adalah hal
yang sama. Padahal hal tersebut sangat berbeda sekali. Tidak hanya secara
pengertian saja, bahkan masanya pun juga berbeda. Kitabah hadis sudah
ada sejak Nabi,
kemudian masa pembukuan dimulai ketika zaman ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan tasnif
jauh setelahnya.
Jika ada yang meragukan hadis dengan alasan pada zaman Rasulullah saw hadis tidak dibukukan, maka ibn Hajar menjawab: “Memang hadis Nabi pada zaman Sahabat, maupun kibar tabi‘in belum dibukukan, hal tersebut dikarenakan dua sebab: Yang pertama pada awalnya para sahabat dilarang untuk menulis hadis pada zaman Rasul, sebagaimana dijelaskan di dalam Sahih Muslim karena ditakutkan tercampur dengan al-Quran. Yang kedua para sahabat terkenal dengan kekuatan hafalannya, juga pada waktu tersebut kebanyakan kurang pandai menulis.”[7]
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
[1]
Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif,
t.th.), 435.
[2]
Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiah, Mu’jam al-Wasith (Mesir: Maktabah
al-Syuruq al-Dauliyah, Cetakan 4, 2004 M / 1425 H), 305.
[3] Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih (German: Maknaz al-Islami, 2010), 113.
[4]Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, 798.
[5]Fairuz Abadi, Qamus al-Muhit (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 2005), 1197
[6] Muhammad ibn Matar al-Zahrani, Tadwin
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa al-Tauzi‘,
1996), 74
[7]Mustafa A‘zami, Dirasat fi al-Hadith
al-Nabawiwa Tarikhu Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.), 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar