يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[1]
“Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[2]
Hadis memiliki
nilai-nilai otoritas tinggi dalam hal beragama, di samping al-Qur’an. Allah menempatkannya
di sisi kitab suci, bukan hanya sebagai penafsir ataupun penjelas semata.
Namun, hadis juga memiliki otoritas untuk mensyariatkan segala sesuatu yang
belum disinggung oleh al-Qur’an. Entah hukum yang disyariatkan itu berasal dari
wahyu ilahi maupun hasil ijtihad Nabi SAW sendiri.[3]
tوَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى [4]
“Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, melainkan ia hanyalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya”.[5]
Kesemua golongan mengamini otoritas hadis tersebut sebagai rujukan kedua dalam shariat, mencakup golongan Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Zaidiyah maupun Imamiyah dan Ibadiyah, terkecuali golongan yang terlalu menyeleweng dalam garis agama. Seperti kelompok-kelompok yang menyempitkan pedoman mereka kepada al-Qur’an saja, hanya karena alasan yang kurang bijaksana. Tak lain dan tak bukan karena terdapatnya hadis-hadis yang lemah secara sanad maupun matannya.[6]
Dalam
observasi menuju keabsahan, hal yang layak dilakukan bagi seorang muhadis
adalah meneliti hadis dari segi sanad melalui perangkat ilmu jarh wa ta’dil.
Dan meneliti bagian matan dengan menggunakan ilmu ‘ilal dan mukhtalaf
hadis serta asbab al-wurud . Yakni matan hadis diukur dan
dibandingkan dengan beberapa elemen, meliputi ayat al-Qur’an, hadis sahih atau
yang bernilai lebih sahih dari hadis yang tengah diteliti, rasio dan ilmu
pengetahuan beserta historisitas.[7] Berangkat
dari sini, tak heran bila seorang al-Ghamary, dalam bukunya secara
terang-terangan menolak pengakuan otoritas hadis yang telah terbukti sanadnya
lemah. Baginya, hadis yang telah terbukti lemah sanadnya melalui perangkat
disiplin ilmu hadis, sudah tidak bisa diterima matannya. Baik kandungan matan
tersebut senada dengan riwayat atau kebenaran yang lain ataupun tidak, baik
hadis tersebut mencapai nilai keabsahan melalui perangkat lain selain disiplin
ilmu hadis.[8]
Sejatinya, pendapat
untuk hadis yang lemah bermacam-macam. Pertama, ada yang menganggap tidak bisa
diamalkan sama sekali, entah itu dalam urusan keutamaan amal atau hukum shariat
sekalipun, sebagaimana al-Ghamary. Kedua, bisa diamalkan secara mutlak seperti
yang diungkapkan Imam Suyuti bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad berpendapat
demikian. Sebab, bagi mereka hadis yang lemah itu lebih baik daripada pendapat
seseorang. Ketiga, bisa diamalkan apabila termasuk dalam perihal keutamaan amal
dan pendapat inilah yang diamini oleh sebagian besar para ulama.
Namun, satu hal yang
perlu diperhatikan. Sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, guru
Imam Bukhari bahwasannya ada sebuah unsur yang membantu seorang muhadis
dapat mengetahui hadis-hadis palsu, yang mana secara zahir sanadnya bernilai
sahih. Unsur tersebut adalah ilmu yang diilhamkan Allah bagi segenap
insan-insan terkhusus.[9]
Maka penting kiranya untuk menyinggung otoritas kashaf dalam dunia
tasawuf, di mana ilham tercakup di dalamnya sebagai salah satu warna dalam
medan penyingkapan spiritual para sufi.
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
[1] al-Qur’an, 4 : 59.
[2]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul
‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 87.
[3] Muhammad Muhammad Zahwu, al-Hadith
wa al-Muhaddithun, (t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), 44.
[4] al-Qur’an, 53 : 3-4.
[5]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul
‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 526.
[6]Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq
al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al-Ahadith al-Shadhah al-Mardudah,
(Amman: Dar Imam Nawawi, 2007), 17.
[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 192.
[8] Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin al-Siddiq
al-Ghamary, al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati
Shab Amrad, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2009), 9.
[9] al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid
al-Maqsudah, 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar