HOME

05 Maret, 2022

Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[1]  

“Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[2]

Hadis memiliki nilai-nilai otoritas tinggi dalam hal beragama, di samping al-Qur’an. Allah menempatkannya di sisi kitab suci, bukan hanya sebagai penafsir ataupun penjelas semata. Namun, hadis juga memiliki otoritas untuk mensyariatkan segala sesuatu yang belum disinggung oleh al-Qur’an. Entah hukum yang disyariatkan itu berasal dari wahyu ilahi maupun hasil ijtihad Nabi SAW sendiri.[3]

tوَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى  [4] 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, melainkan ia hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.[5]

Kesemua golongan mengamini otoritas hadis tersebut sebagai rujukan kedua dalam shariat, mencakup golongan Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Zaidiyah maupun Imamiyah dan Ibadiyah, terkecuali golongan yang terlalu menyeleweng dalam garis agama. Seperti kelompok-kelompok yang menyempitkan pedoman mereka kepada al-Qur’an saja, hanya karena alasan yang kurang bijaksana. Tak lain dan tak bukan karena terdapatnya hadis-hadis yang lemah secara sanad maupun matannya.[6]

            Dalam observasi menuju keabsahan, hal yang layak dilakukan bagi seorang muhadis adalah meneliti hadis dari segi sanad melalui perangkat ilmu jarh wa ta’dil. Dan meneliti bagian matan dengan menggunakan ilmu ‘ilal dan mukhtalaf hadis serta asbab al-wurud . Yakni matan hadis diukur dan dibandingkan dengan beberapa elemen, meliputi ayat al-Qur’an, hadis sahih atau yang bernilai lebih sahih dari hadis yang tengah diteliti, rasio dan ilmu pengetahuan beserta historisitas.[7] Berangkat dari sini, tak heran bila seorang al-Ghamary, dalam bukunya secara terang-terangan menolak pengakuan otoritas hadis yang telah terbukti sanadnya lemah. Baginya, hadis yang telah terbukti lemah sanadnya melalui perangkat disiplin ilmu hadis, sudah tidak bisa diterima matannya. Baik kandungan matan tersebut senada dengan riwayat atau kebenaran yang lain ataupun tidak, baik hadis tersebut mencapai nilai keabsahan melalui perangkat lain selain disiplin ilmu hadis.[8]

Sejatinya, pendapat untuk hadis yang lemah bermacam-macam. Pertama, ada yang menganggap tidak bisa diamalkan sama sekali, entah itu dalam urusan keutamaan amal atau hukum shariat sekalipun, sebagaimana al-Ghamary. Kedua, bisa diamalkan secara mutlak seperti yang diungkapkan Imam Suyuti bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad berpendapat demikian. Sebab, bagi mereka hadis yang lemah itu lebih baik daripada pendapat seseorang. Ketiga, bisa diamalkan apabila termasuk dalam perihal keutamaan amal dan pendapat inilah yang diamini oleh sebagian besar para ulama.

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan. Sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam Bukhari bahwasannya ada sebuah unsur yang membantu seorang muhadis dapat mengetahui hadis-hadis palsu, yang mana secara zahir sanadnya bernilai sahih. Unsur tersebut adalah ilmu yang diilhamkan Allah bagi segenap insan-insan terkhusus.[9] Maka penting kiranya untuk menyinggung otoritas kashaf dalam dunia tasawuf, di mana ilham tercakup di dalamnya sebagai salah satu warna dalam medan penyingkapan spiritual para sufi.

Baca Juga Artikel yang lainya :


[1] al-Qur’an, 4 : 59.

[2]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 87.

[3] Muhammad Muhammad Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, (t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), 44.

[4] al-Qur’an, 53 : 3-4.

[5]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 526.

[6]Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al-Ahadith al-Shadhah al-Mardudah, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2007), 17.

[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 192.

[8] Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin al-Siddiq al-Ghamary, al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati Shab Amrad, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2009), 9.

[9] al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...