Sebelum berbincang panjang lebar
dengan kashaf dalam dunia sufi, eloknya berkenalan terlebih dahulu
dengan makna kashaf itu sendiri. Secara terminologi, kashaf berarti
menyibak tabir. الكشف هو رفع الحجاب Sedang
secara epistemologi sufi berarti menyibak tabir tentang hal-hal yang
berhubungan dengan gaib dan hakikat sesuatu melalui eksistensinya maupun apa
yang tampak. [1]
الاطلاع على ما وراء الحجاب من المعاني الغيبية و الأمور الحقيقية وجودا و شهودا
Kashaf
banyak macamnya, meliputi mimpi, ilham dan wahyu. Kashaf menurut Ibn ‘Arabi
ada dua jenis, hissi dan khayali. Pertama kashaf melalui
panca indera yang nyata, lainnya adalah kashaf melalui firasat dalam
khayal. Tidak ada definisi khusus untuk kedua hal tersebut, hanya saja kita
bisa membedakan di antaranya, yakni apabila kita melihat seseorang atau sebuah
perilaku makhluk maka tutuplah kedua mata kita, apabila hal tersebut masih
tetap ada, maka ia berada dalam alam bawah sadar (khayal). atau dengan
kata lain itulah kashaf khayali. Sedangkan bila hal tersebut
tidak ada, maka kashaf hissi.[2]
Sementara,
mimpi sebagai bagian dari kashaf, bagi para fakih tidak bisa
dijadikan dalil ataupun otoritas dalam Islam. Karena kashaf seperti yang
tadi disebutkan adalah ilmu yang didapatkan secara personal dan tidak dapat
diwariskan kepada khalayak umum. Apalagi, orang dalam keadaan tidur tidak
memiliki tanggungan dan beban. Karena posisi dia bukanlah mukalaf, terlebih
mempunyai hak untuk meriwayatkan sesuatu. Kemudian mimpi sesuai kebiasaannya,
muncul berbanding terbalik dengan kenyataannya, karena ia merupakan
simbol-simbol dan isyarat yang membutuhkan penafsiran dan penakwilan.[3]
Maka hukum-hukum shariat Islam hanyalah berbasis kepada al-Qur’an, sunah, konsensus
para ulama, analogi dan sebagainya.
Kembali
kepada macam-macam kashaf, antara mimpi dan ilham terdapat keterkaitan
semacam hubungan umum dan khusus bagi sebagian ulama. Ilham mencakup mimpi dalam
metodenya, sedang mimpi berarti salah satu jenis dari ilham. Sementara sebagian
ulama yang lain berpendapat di antara keduanya tabayun. Ilham adalah kashaf
dalam kondisi sadar, berbeda dengan mimpi yang termasuk kashaf di kala
tidur. Yang jelas, kesemuanya di atas mencakup mimpi, ilham, ataupun pertemuan
dengan Rasulullah dalam keadaan sadar termasuk beberapa metode yang dapat
menentukan keabsahan sebuah hadis melalui kashaf.[4]
Bentuknya
pun bermacam-macam, seperti terbukanya tabir padanya akan hakikat sebuah hadis
tertentu. Sebagaimana yang dialami oleh Ali bin Abi Talib. Di mana ia
mendapatkan ilham dari Allah berupa petunjuk, ataupun peringatan padanya untuk
mencerna kembali sebuah hadis tentang rahbah, berdasarkan pada kebiasaan
dan bahasa Nabi SAW, serta retorikanya. Diriwayatkan dari Imam al-Mustaghfiry
dengan sanadnya, bahwasannya Ali bertanya kepada seseorang tentang hadis rahbah,
kemudian berbohonglah orang itu kepada Ali. Maka Ali berkata: “Engkau
membohongiku”. Orang tersebut menjawab: “Tidak, aku tidak membohongimu”.
Kemudian berkatalah Ali: “Apakah aku harus mendoakanmu buta terlebih dahulu jikalau
dirimu benar-benar berdusta?”. Ia menjawab: “Berdoalah saja”. Maka berdoalah Ali
seperti demikian, hingga akhirnya orang tersebut benar-benar buta.[5]
Dengan
demikian, perlunya memahami pernyataan Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam
Bukhari bahwasannya makrifat hadis adalah ilham. Yakni dalam mengetahui hadis,
ilham merupakan unsur penyokongnya.[6]Tak
ayal, Abdullah al-Ghamari menyatakan peranan ilham dalam kritik hadis. “Dan
ulama hadis menelaah ‘ilal-‘ilal hadis yang zahir dan tersembunyi (khafiy)
dengan menggunakan ilham yang dikhususkan Allah kepada mereka, sehingga mereka
mampu mengetahui hadis yang maudu‘ meskipun secara zahir sanadnya sahih.[7]
Mungkin hal inilah yang membuat seorang peneliti mengatakan seorang sufi dalam
menelaah hadis tidak hanya mengandalkan kritik sanad dan matan semata, namun
mereka juga menelisik kandungannya, apabila sesuai dengan kashaf yang ia
peroleh maka hadisnya sahih apabila bertentangan maka hadisnya mardud.
berbeda dengan ulama-ulama zahir meliputi muhadisin, mutakallimin,
fukaha yang mana pembahasan dan ilmunya selalu berkutat dalam daerah dzan,
kebenarannya bersifat relatif bukan absolut.[8]
Adapun
bentuk lainnya yang seringkali disebut dengan al-Rabitah al-Barzakhiyah,
bisa dideskripsikan sebagai komunikasi dua pihak, antara sufi yang tengah
meneliti keabsahan hadis dengan perawi tersebut. Di mana seorang Fulan dalam
tidurnya berjumpa dengan sang perawi asli, kemudian sang perawi dengan serta
merta membenarkan keabsahan hadis yang diduga lemah oleh sebagian kalangan.
Ataupun sebaliknya, malah menyangkal partisipasinya dalam sebuah periwayatan
hadis yang sebelumnya dianggap benar. [9]
al-Rabitah
al-Barzakhiyah
atau dalam istilah lainnya Kashfu al-Qabr, merupakan kontak batin yang
terjadi di antara manusia-manusia yang saleh, ataupun antara syeikh dan
muridnya, yang mana salah satu di antaranya telah berpindah ke alam barzah.
Entah kontak batin tersebut berisikan pengajaran atau nasehat semata. Yang
jelas, arwah syaikh itu tampak dengan jasad aslinya dan mampu dilihat oleh sahibul
kashaf dengan melalui perantara mimpi atau penyingkapan tersebut bisa
terjadi ketika sahibul kashaf berada dalam alam sadarnya alias nyata.
Maupun melalui ziarah makam-makam para syeikh akbar beserta para wali.
Kesemuanya itu bukanlah hal yang baru, karena telah banyak dalil dalam al-Qur’an
dan hadis serta asar para sahabat dan tabiin yang mengungkap tentang hal
tersebut.[10]
Dalam
tarekat Naqsabandiyah, bentuk penyingkapan di atas lebih dikenal dengan sebutan
tarbiyah Uwaisiyah. Kata Uwaisiyah diambil dari sosok Uwais al-Qarni,
seorang tabiin yang belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nabi SAW. Namun,
memiliki keistimewaan khusus hingga membuat Ali bin Abi Talib dan Umar bin
Khattab menyalaminya dan memohon kepada dirinya untuk mendoakan mereka berdua.
Hal tersebut tentunya tak lepas dari perintah Nabi SAW. kepada kedua Khalifah
Rashidin sebelum beliau wafat.[11]
Tidak
hanya dua bentuk itu saja, melainkan terdapat bentuk lain di mana sahibul kashaf
dapat melihat Nabi SAW dalam posisi tidur. Di situlah Nabi ditanya tentang
keabsahan hadis yang dipermasalahkan oleh sahibul kashaf, dijawablah
Nabi SAW dengan ingkar jikalau hadis
tersebut palsu, atau dengan penegasan jikalau benar dan sahih. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa seseorang yang telah bertemu Nabi SAW. dalam kondisi ini
disebut sebagai sahabat. Karena bagi para muhadis, sahabat adalah
seseorang yang bertemu Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam
keislamannya.[12]
Dari
sekian hasil kashaf dari berbagai bentuk yang ada, jikalau hasil kashaf
menunjukkan kepada kesahihan sebuah hadis, yang mana secara disiplin ilmu hadis
sendiri hadis tersebut bernilai hasan atau sahih, maka tidak ada pertentangan
mengenai otoritas hadis tersebut. Karena buah dari kashaf dinilai
sebagai penegas, dalam kata lain didapatkannya dua bukti bagi satu perkara.
Kemudian, harus disadari bahwa otoritas dari hasil kashaf yang benar
hanya diperuntukkan bagi sahibul kashaf saja, tidak bagi yang lain. Juga
tidak diperkenankan untuk menyeru khalayak umum untuk mengaplikasikan buah kashaf
yang diperolehnya. Otoritasnya bukanlah publik melainkan individual. Berangkat
dari sini, sebagian ulama menentukan pagar-pagar batasan dalam lingkup otoritas
kashaf yang berasal dari individual selain para Nabi. Dikatakan bahwa
buah kashaf tak berarti apa-apa apabila bersinggungan perihal akidah,
serta hukum shariat mencakup wajib, makruh, mandub. Kecuali apabila berhubungan
perihal keutamaan amal ataupun meliputi berbagai urusan yang berhukum mubah, ia
menjadi hal yang tidak dipermasalahkan.[13]
Di samping itu, karena otoritas kashaf bersifat individual, tidak bisa dinafikan bila terkadang tak semua hasil dari penyingkapan spiritual tersebut bernilai mutlak. Ada yang benar, ada juga yang salah. Dengan demikian, tak pelak bila sahibul kashaf dihukumi mujtahid. Di kala salah mendapat satu pahala, sedang di kala benar baginya dua pahala. Maka apabila buah kashaf bertentangan dengan norma-norma yang telah diajarkan agama, sangat dianjurkan bagi sahibul kashaf untuk meninggalkannya. Karena tidak ada otoritas yang terkandung dalam hasil kashaf tersebut. Sebagaimana yang dipaparkan Ibn ‘Arabi dan Imam Al-Ghazali bahwa hasil ijtihad sahibul kashaf yang non fakih, hanyalah diperuntukkan dia seorang, dengan ketentuan tidak menyimpang dari shariat agama yang ada. Namun, bisa saja seseorang yang hatinya telah diterangi cahaya kebenaran, boleh baginya mengikuti buah kashaf dari sahibnya bila sesuai dengan nilai-nilai shariat.[14]
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
[1] Sayyid Sharif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta‘rifat, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1983), 184.
[2] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Naqd Al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus, (t.tp, 1375), 162-163.
[3] Ali Jum’ah, Mada Hujjiyah al-Ru’ya
‘inda Al-Usuliyin, (Kairo: Dar al-Risalah, 2004), 86.
[4] Muhammad Aunul Abid Shah, ‘An al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda al-Sufiyah, (t.tp, 2012), 3.
[5] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Nafahat
al-Ins min Hadrat al-Quds, tahkik Muhammad Adib al-Jadir, (Beirut: Dar
al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), 38.
[6] Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala’ (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), Vol 7, 594.
[7] Al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.
[8] ‘Abdurrahman bin Muhammad
Al-Murakibi, Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy, (Kairo: Dar
al-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987), 196.
[9] Muhammad Najm al-Din al-Kurdi, al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa Al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 298-308.
[10] Ibid., 298-308.
[11] Al-‘Allamah Al-Sindi, Fath al-Wadud
bi Sharh Sunan Abi Dawud, tahkik. Najm al-Din al-Kurdi, (Kairo: Maktabah
Kurdiyah, 2008), 1-38.
[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi Taudihi Nukhbat al-Fikr, (Kairo: Dar al-Basair,
2011), 111.
[13] ‘Abd al-Fattah Ahmad Qutb, al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah, (Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005), 92.
[14] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th), 3-18. Lihat
juga Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Tariq ila Allah –al-Syeikh wa al-Murid- min Kalam
al-Syaikh Al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi, (t.tp, t.th), 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar