HOME

05 Maret, 2022

Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi

 

Sebelum berbincang panjang lebar dengan kashaf dalam dunia sufi, eloknya berkenalan terlebih dahulu dengan makna kashaf itu sendiri. Secara terminologi, kashaf berarti menyibak tabir. الكشف هو رفع الحجاب Sedang secara epistemologi sufi berarti menyibak tabir tentang hal-hal yang berhubungan dengan gaib dan hakikat sesuatu melalui eksistensinya maupun apa yang tampak. [1]

الاطلاع على ما وراء الحجاب من المعاني الغيبية و الأمور الحقيقية وجودا و شهودا

            Kashaf banyak macamnya, meliputi mimpi, ilham dan wahyu. Kashaf menurut Ibn ‘Arabi ada dua jenis, hissi dan khayali. Pertama kashaf melalui panca indera yang nyata, lainnya adalah kashaf melalui firasat dalam khayal. Tidak ada definisi khusus untuk kedua hal tersebut, hanya saja kita bisa membedakan di antaranya, yakni apabila kita melihat seseorang atau sebuah perilaku makhluk maka tutuplah kedua mata kita, apabila hal tersebut masih tetap ada, maka ia berada dalam alam bawah sadar (khayal). atau dengan kata lain itulah kashaf khayali. Sedangkan bila hal tersebut tidak ada, maka kashaf hissi.[2]

            Sementara, mimpi sebagai bagian dari kashaf, bagi para fakih tidak bisa dijadikan dalil ataupun otoritas dalam Islam. Karena kashaf seperti yang tadi disebutkan adalah ilmu yang didapatkan secara personal dan tidak dapat diwariskan kepada khalayak umum. Apalagi, orang dalam keadaan tidur tidak memiliki tanggungan dan beban. Karena posisi dia bukanlah mukalaf, terlebih mempunyai hak untuk meriwayatkan sesuatu. Kemudian mimpi sesuai kebiasaannya, muncul berbanding terbalik dengan kenyataannya, karena ia merupakan simbol-simbol dan isyarat yang membutuhkan penafsiran dan penakwilan.[3] Maka hukum-hukum shariat Islam hanyalah berbasis kepada al-Qur’an, sunah, konsensus para ulama, analogi dan sebagainya.

            Kembali kepada macam-macam kashaf, antara mimpi dan ilham terdapat keterkaitan semacam hubungan umum dan khusus bagi sebagian ulama. Ilham mencakup mimpi dalam metodenya, sedang mimpi berarti salah satu jenis dari ilham. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat di antara keduanya tabayun. Ilham adalah kashaf dalam kondisi sadar, berbeda dengan mimpi yang termasuk kashaf di kala tidur. Yang jelas, kesemuanya di atas mencakup mimpi, ilham, ataupun pertemuan dengan Rasulullah dalam keadaan sadar termasuk beberapa metode yang dapat menentukan keabsahan sebuah hadis melalui kashaf.[4]

            Bentuknya pun bermacam-macam, seperti terbukanya tabir padanya akan hakikat sebuah hadis tertentu. Sebagaimana yang dialami oleh Ali bin Abi Talib. Di mana ia mendapatkan ilham dari Allah berupa petunjuk, ataupun peringatan padanya untuk mencerna kembali sebuah hadis tentang rahbah, berdasarkan pada kebiasaan dan bahasa Nabi SAW, serta retorikanya. Diriwayatkan dari Imam al-Mustaghfiry dengan sanadnya, bahwasannya Ali bertanya kepada seseorang tentang hadis rahbah, kemudian berbohonglah orang itu kepada Ali. Maka Ali berkata: “Engkau membohongiku”. Orang tersebut menjawab: “Tidak, aku tidak membohongimu”. Kemudian berkatalah Ali: “Apakah aku harus mendoakanmu buta terlebih dahulu jikalau dirimu benar-benar berdusta?”. Ia menjawab: “Berdoalah saja”. Maka berdoalah Ali seperti demikian, hingga akhirnya orang tersebut benar-benar buta.[5]

            Dengan demikian, perlunya memahami pernyataan Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam Bukhari bahwasannya makrifat hadis adalah ilham. Yakni dalam mengetahui hadis, ilham merupakan unsur penyokongnya.[6]Tak ayal, Abdullah al-Ghamari menyatakan peranan ilham dalam kritik hadis. “Dan ulama hadis menelaah ‘ilal-‘ilal hadis yang zahir dan tersembunyi (khafiy) dengan menggunakan ilham yang dikhususkan Allah kepada mereka, sehingga mereka mampu mengetahui hadis yang maudu‘ meskipun secara zahir sanadnya sahih.[7] Mungkin hal inilah yang membuat seorang peneliti mengatakan seorang sufi dalam menelaah hadis tidak hanya mengandalkan kritik sanad dan matan semata, namun mereka juga menelisik kandungannya, apabila sesuai dengan kashaf yang ia peroleh maka hadisnya sahih apabila bertentangan maka hadisnya mardud. berbeda dengan ulama-ulama zahir meliputi muhadisin, mutakallimin, fukaha yang mana pembahasan dan ilmunya selalu berkutat dalam daerah dzan, kebenarannya bersifat relatif bukan absolut.[8]

            Adapun bentuk lainnya yang seringkali disebut dengan al-Rabitah al-Barzakhiyah, bisa dideskripsikan sebagai komunikasi dua pihak, antara sufi yang tengah meneliti keabsahan hadis dengan perawi tersebut. Di mana seorang Fulan dalam tidurnya berjumpa dengan sang perawi asli, kemudian sang perawi dengan serta merta membenarkan keabsahan hadis yang diduga lemah oleh sebagian kalangan. Ataupun sebaliknya, malah menyangkal partisipasinya dalam sebuah periwayatan hadis yang sebelumnya dianggap benar. [9]

            al-Rabitah al-Barzakhiyah atau dalam istilah lainnya Kashfu al-Qabr, merupakan kontak batin yang terjadi di antara manusia-manusia yang saleh, ataupun antara syeikh dan muridnya, yang mana salah satu di antaranya telah berpindah ke alam barzah. Entah kontak batin tersebut berisikan pengajaran atau nasehat semata. Yang jelas, arwah syaikh itu tampak dengan jasad aslinya dan mampu dilihat oleh sahibul kashaf dengan melalui perantara mimpi atau penyingkapan tersebut bisa terjadi ketika sahibul kashaf berada dalam alam sadarnya alias nyata. Maupun melalui ziarah makam-makam para syeikh akbar beserta para wali. Kesemuanya itu bukanlah hal yang baru, karena telah banyak dalil dalam al-Qur’an dan hadis serta asar para sahabat dan tabiin yang mengungkap tentang hal tersebut.[10]

            Dalam tarekat Naqsabandiyah, bentuk penyingkapan di atas lebih dikenal dengan sebutan tarbiyah Uwaisiyah. Kata Uwaisiyah diambil dari sosok Uwais al-Qarni, seorang tabiin yang belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nabi SAW. Namun, memiliki keistimewaan khusus hingga membuat Ali bin Abi Talib dan Umar bin Khattab menyalaminya dan memohon kepada dirinya untuk mendoakan mereka berdua. Hal tersebut tentunya tak lepas dari perintah Nabi SAW. kepada kedua Khalifah Rashidin sebelum beliau wafat.[11]

            Tidak hanya dua bentuk itu saja, melainkan terdapat bentuk lain di mana sahibul kashaf dapat melihat Nabi SAW dalam posisi tidur. Di situlah Nabi ditanya tentang keabsahan hadis yang dipermasalahkan oleh sahibul kashaf, dijawablah Nabi SAW dengan ingkar  jikalau hadis tersebut palsu, atau dengan penegasan jikalau benar dan sahih. Namun tidak bisa dikatakan bahwa seseorang yang telah bertemu Nabi SAW. dalam kondisi ini disebut sebagai sahabat. Karena bagi para muhadis, sahabat adalah seseorang yang bertemu Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keislamannya.[12]

            Dari sekian hasil kashaf dari berbagai bentuk yang ada, jikalau hasil kashaf menunjukkan kepada kesahihan sebuah hadis, yang mana secara disiplin ilmu hadis sendiri hadis tersebut bernilai hasan atau sahih, maka tidak ada pertentangan mengenai otoritas hadis tersebut. Karena buah dari kashaf dinilai sebagai penegas, dalam kata lain didapatkannya dua bukti bagi satu perkara. Kemudian, harus disadari bahwa otoritas dari hasil kashaf yang benar hanya diperuntukkan bagi sahibul kashaf saja, tidak bagi yang lain. Juga tidak diperkenankan untuk menyeru khalayak umum untuk mengaplikasikan buah kashaf yang diperolehnya. Otoritasnya bukanlah publik melainkan individual. Berangkat dari sini, sebagian ulama menentukan pagar-pagar batasan dalam lingkup otoritas kashaf yang berasal dari individual selain para Nabi. Dikatakan bahwa buah kashaf tak berarti apa-apa apabila bersinggungan perihal akidah, serta hukum shariat mencakup wajib, makruh, mandub. Kecuali apabila berhubungan perihal keutamaan amal ataupun meliputi berbagai urusan yang berhukum mubah, ia menjadi hal yang tidak dipermasalahkan.[13]

            Di samping itu, karena otoritas kashaf bersifat individual, tidak bisa dinafikan bila terkadang tak semua hasil dari penyingkapan spiritual tersebut bernilai mutlak. Ada yang benar, ada juga yang salah. Dengan demikian, tak pelak bila sahibul kashaf dihukumi mujtahid. Di kala salah mendapat satu pahala, sedang di kala benar baginya dua pahala. Maka apabila buah kashaf bertentangan dengan norma-norma yang telah diajarkan agama, sangat dianjurkan bagi sahibul kashaf untuk meninggalkannya. Karena tidak ada otoritas yang terkandung dalam hasil kashaf tersebut. Sebagaimana yang dipaparkan Ibn ‘Arabi dan Imam Al-Ghazali bahwa hasil ijtihad sahibul kashaf yang non fakih, hanyalah diperuntukkan dia seorang, dengan ketentuan tidak menyimpang dari shariat agama yang ada. Namun, bisa saja seseorang yang hatinya telah diterangi cahaya kebenaran, boleh baginya mengikuti buah kashaf dari sahibnya bila sesuai dengan nilai-nilai shariat.[14]

Baca Juga Artikel yang lainya :


[1] Sayyid Sharif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta‘rifat, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1983), 184.

[2] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Naqd Al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus, (t.tp, 1375), 162-163.

[3] Ali Jum’ah, Mada Hujjiyah al-Ru’ya ‘inda Al-Usuliyin, (Kairo: Dar al-Risalah, 2004), 86.

[4] Muhammad Aunul Abid Shah, ‘An al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda al-Sufiyah, (t.tp, 2012), 3.

[5] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Nafahat al-Ins min Hadrat al-Quds, tahkik Muhammad Adib al-Jadir, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), 38.

[6] Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala’ (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), Vol 7, 594.

[7] Al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.

[8] ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Murakibi, Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy, (Kairo: Dar al-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987), 196.

[9] Muhammad Najm al-Din al-Kurdi, al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa Al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 298-308.

[10] Ibid., 298-308.

[11] Al-‘Allamah Al-Sindi, Fath al-Wadud bi Sharh Sunan Abi Dawud, tahkik. Najm al-Din al-Kurdi, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 1-38.

[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi Taudihi Nukhbat al-Fikr, (Kairo: Dar al-Basair, 2011), 111.

[13] ‘Abd al-Fattah Ahmad Qutb, al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah, (Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005), 92.

[14] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th), 3-18. Lihat juga Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Tariq ila Allah –al-Syeikh wa al-Murid- min Kalam al-Syaikh Al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi, (t.tp, t.th), 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...